And yes, I am literally crying while writing this...
Ummiku adalah bintang di tengah gelapnya langit
Polusi ibu kota dan angin puyuh sabana tak menutup kilauan cahayanya
Ummi tetap di sana, tetap tinggi bersinar di mata aku-aku yang menatap
Ketika itu aku masih mengenakan pakaian rok pendek warna bendera
yang selalu menggantung di tiang lapangan upacara
Ummi selalu membelikanku kaus kaki panjang hingga lutut sampainya
Ummi selalu membelikanku kerudung baru berenda
dan tongkat penunjuk mengaji yang indah
Kala itu aku tak paham kenapa
Kusalami para tetua sampai setengah pangkal tangan
Ummi bilang aku tak sopan, diajarinya aku cara bersalam
Mukena aku lepaskan selesai shalat dan berdoa
Ummi mengencangkan suara doanya dan memintaku berbalas amin
Kukekanakan kembali baju ibadahku, rupanya doaku masih jauh dari sepertiganya
Kuhabiskan waktuku untuk belajar
Ummi bilang tak apa, tapi jangan lupa menyapa saudara
Ku sering melihatnya masuk kamar membawa uang hendak memintaku belanja
Urung mulutnya terbuka
Melihatku menggenggam pensil dan menatap buku matematika
Ummiku adalah bintang di tengah gelapnya langit
Polusi ibu kota dan angin puyuh sabana tak menutup kilauan cahayanya
Ummi tetap di sana, tetap tinggi bersinar di mata aku-aku yang menatap
Hingga tak terasa pakaian sekolahku berwarna seperti aspal jalanan
Mata ummi berkaca ketika tahu anaknya terbang ke negeri Paman Sam
Tahukah Ummi kalau aku menangis tujuh malam sesampainya aku di sana?
Tidak perlu Ummi tahu, karena Abi bilang Ummi menangis setiap hari memikirkanku
Ummi kirimkan tiga buah mukena bersih saat itu, aku masih ingat
Ummi kirimkan Al-Quran yang dibungkus rapi bertumpuk puluhan lembar koran, aku tentu ingat
Ummi kirimkan doa setiap saat lewat media social, tidak pernah aku lupa
Sungguh mungkin retak hatimu jika Ummi tahu rinduku tidak sebesar rindumu kala itu
Sungguh mungkin retak hatimu ketika Ummi tahu lembaran-lembaran ayat yang jarang kubaca
Ketika itu usiaku 19 tahun, kujejaki Bandung
Kota yang tak pernah hinggap di pikiranku bahkan di pikiran Ummi
Sekali lagi,
Ummi tabah melewati segala masa lukanya merindu yang dibalas pahitnya racauan diriku
Ummi tak pernah mengusap peluh dan berkeluh karena aku yang tak menurut dimintai segera pulang
Padahal jarak rumahku tak sejauh teman sekelasku
Pulangkupun hanya sebatas bertamu
Kadang meniatkan pulang, sering hanya lupa tertinggal barang
Tabunganmu sepertinya berpindah buku begitu saja
Ke tanganku
Mimpiku yang terkadang berlebihan
Memaksamu mengorbankan segalanya
Tenaga, waktu, uang…
Gulana
Demi anakmu yang senang
Ummi rela menahan pedihnya rindu ketika seribu kata pesanmu
Hanya kubalas satu kata pesanku
Maafkan anakmu yang tak pandai berkata-kata
Maafkan anakmu yang tak pintar merangkai bunga
Percayalah,
Aku selalu meminta Tuhan
Untuk membalas segala apa yang telah Ummi lakukan
Mother's Day, 22 Desember 2014
Senin, 22 Desember 2014
Kamis, 11 Desember 2014
A fake bliss
Aku bermimpi, aku bermimpi aku merangkak sampai Surga. Peluh membasahi dahi dan sekujur tubuhku, kala itu tak henti-hentinya nanar mataku menatap tempat perhentian terakhir ini. Betapa bangganya aku. Betapa senangnya aku. Bahkan seseorang yang bersanding nama Izrail tak kerap meninggalkan jejaknya di beranda kamarku, tak kurasakan nadiku terputus. Aku seperti disuntikkan opium dan dibanjur air hujan yang bening.
Ternyata aku sedang berdiri di gurun pasir. Surga itu tak lebih dari fatamorgana. Pohon rindang yang kupandangi ternyata kaktus yang berduri. Air yang kuraup seketika berubah menjadi butir-butir pasir berbalur Kristal yang tak bisa diserap ususku. Kursi berlian di depanku adalah kayu yang terseok dari jalanan yang entah ratusan kilometer jauhnya.
Maafkan aku yang selama ini diam. Aku tidak bisa bicara dan tidak bisa menengadah karena mulutku dan tangkanku terbekap. Jarum detik jam terlihat lebih pendek, aku pikir aku masih punya banyak waktu untuk membuka tali bekap ini.
Aku menangis.
Aku berharap aku melihat si kecil Ismail yang mengeluarkan air dari goyangan kakinya. Aku berharap bertemu dengan Adam dan Hawa yang mau membagikan buah khuldinya. Aku berharap berpapasan dengan pasukan Quraisy yang membawa bekal perang.
Aku menangis,
Tak satupun dari mereka kutemui.
Aku melukai diriku, berharap ku bangun dari mimpi buruk yang membakar tubuhku. Aku mencakar pasir dan melempar sumpah serapah.
Aku terkungkung dalam mimpiku. Keringatku menguap mendidih dengan api matahari. Kulitku kering tersapu panas dan hujan pasir. Nafasku tersengal.
Maafkan aku yang akan menjadi diam.
Aku akan mengunjungiMu di balik fatamorgana yang Kau tunjukkan. Tak apa jika harus merangkak. Aku tak tahu diri jika aku meminta dua kaki ini mengayuh pedal di kaki bumi untuk mengantarku ke Surga. Harga diriku tak layak untuk membayar kendaraan yang Kau tawarkan. Semai dosaku dahulu telah menjadi bibit yang tak berhenti tumbuh hingga puncak langit. Kau menyaksikan itu. Tunggu aku yang sedang merangkak mengejarMu.
Ternyata aku sedang berdiri di gurun pasir. Surga itu tak lebih dari fatamorgana. Pohon rindang yang kupandangi ternyata kaktus yang berduri. Air yang kuraup seketika berubah menjadi butir-butir pasir berbalur Kristal yang tak bisa diserap ususku. Kursi berlian di depanku adalah kayu yang terseok dari jalanan yang entah ratusan kilometer jauhnya.
Maafkan aku yang selama ini diam. Aku tidak bisa bicara dan tidak bisa menengadah karena mulutku dan tangkanku terbekap. Jarum detik jam terlihat lebih pendek, aku pikir aku masih punya banyak waktu untuk membuka tali bekap ini.
Aku menangis.
Aku berharap aku melihat si kecil Ismail yang mengeluarkan air dari goyangan kakinya. Aku berharap bertemu dengan Adam dan Hawa yang mau membagikan buah khuldinya. Aku berharap berpapasan dengan pasukan Quraisy yang membawa bekal perang.
Aku menangis,
Tak satupun dari mereka kutemui.
Aku melukai diriku, berharap ku bangun dari mimpi buruk yang membakar tubuhku. Aku mencakar pasir dan melempar sumpah serapah.
Aku terkungkung dalam mimpiku. Keringatku menguap mendidih dengan api matahari. Kulitku kering tersapu panas dan hujan pasir. Nafasku tersengal.
Maafkan aku yang akan menjadi diam.
Aku akan mengunjungiMu di balik fatamorgana yang Kau tunjukkan. Tak apa jika harus merangkak. Aku tak tahu diri jika aku meminta dua kaki ini mengayuh pedal di kaki bumi untuk mengantarku ke Surga. Harga diriku tak layak untuk membayar kendaraan yang Kau tawarkan. Semai dosaku dahulu telah menjadi bibit yang tak berhenti tumbuh hingga puncak langit. Kau menyaksikan itu. Tunggu aku yang sedang merangkak mengejarMu.
Sabtu, 04 Oktober 2014
Negeri Kecilku Menginjak Usia 14 Tahun
Hari ulang tahun identik dengan hari bahagia. Hari di mana banyak orang mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan selama usianya. Hari bersyukur di mana ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Hari ulang tahun pun menjadi hari bercermin dan hari peringatan bahwa tidak ada yang tahu kapan seorang manusia akan dijemput; cermin untuk melihat sudah berapa banyak yang manusia lakukan untuk bekalnya melewati jembatan tipis rambut terbelah tujuh.
Lantas apakah sama halnya dengan usia sebuah benda mati, samakah halnya dengan sebongkah tanah yang diletakkan Tuhan di atas lautan? Apa yang harus disyukuri dan apa yang harus disiapkan?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Layaknya seorang remaja, ia sudah tak tertatih berjalan. Ia tak lagi menjadi momongan kakek-nenek dan buyut-buyutnya. Ia akan lebih sering menerima teriakan orang di sekitarnya karena tuntutan-tuntutan yang semakin tinggi. Ia menjadi harapan Negara dan dunia.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Aku teringat 14 tahun silam ketika ia bercerai dengan Jawa Barat. Siapkah Ia berdiri dengan kaki sendiri? Pikirku. Namun kini ia berdiri, 14 tahun, telah melewati berbagai labirin dengan kelokan yang rumit. Akankah ia bertahan?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Teringat akan betapa takutnya aku setiap tanggal pemilihan tiba. Betapa besarnya harapanku pada penerus tahta negeri kecilku. Sampai akhirnya aku tak kuasa menahan perih melihat Ibunda negeri ini diseret ke jeruji besi. Hanya doa yang lantas aku bisa berikan.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Tanah kosong dan sawah hijau yang terbentang perlahan tergantikan dengan bangunan megah nan elok. Aku, pribuminya yang kemudian menghaburkan uang untuk pemegang saham yang tak setitik pun darah berasal dari tanah ini. Tak apa. Hanya saja, tidakkah aku menengok saudara-saudaraku di ujung negeri kecilku? Hanya untuk membelikan mereka sepasang alas kaki.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Suatu hari, ia menemuiku. Ia bilang ia senang dan bersyukur. Banyak komunitas-komunitas pemuda yang peduli akan tanah kelahirannya. Bangun ini dan itu. Memberikan ini dan itu. Namun itu belum cukup. Ia bukan sekotak korek api yang dapat dibenahi hanya dengan membuka kotaknya dan menjetikkan jari untuk merapihkan batang-batangnya. Ia lebih dari sekotak mainan anak yang bisa dibersihkan kapan saja tanpa takut berjamur. Ia sebuah rumah yang sangat besar dan kompleks; butuh banyak pemuda yang mampu memperbaiki pondasi kirinya yang hampir roboh; butuh banyak pemuda yang mampu menancapkan tiang-tiang baru untuk memperkokohnya; butuh banyak pemuda yang mampu merenovasi bangunannya agar terlihat indah. Di mana pemuda-pemuda itu?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Ia bukan makhluk hidup yang bisa menyimpulkan senyum atau meneteskan air mata ketika sedih, mengibaskan ekor meminta perhatian layaknya seekor cendrawasih, atau berteriak ketika disakiti atau bahkan menengadahkan tangan berdoa dan bersyukur atas apa yang dilewatinya. Apa yang berdiri di tanah negeri ini, bangunan dan penduduknya, sekolah dan anak muridnya, pasar dan pedagangnya; mereka telah banyak bercerita lewat ekspresi sedu sedan dan tawa sumringah sejak negeri ini berdiri. Adakah aku yang peka membaca ekspresi itu? Bahkan berceritapun sering tak kudengarkan.
Apalah arti lebah yang mencari madu di timur dan kembali ke sarangnya di barat? Untuk apalah anak seekor penyu tertatik-tatih kembali ke ibunya di darat setelah dilepas ke lautan yang dalam? Ibu yang telah merawat dan membesarkan anaknya pasti ingin anaknya kembali, jikapun Ibu rela melepas, pantaskah seorang anak tak sedikitpun menengok dan memberi sapa?
Hari ulang tahun identik dengan hari bahagia. Hari di mana banyak orang mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan selama usianya. Hari bersyukur di mana ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Hari ulang tahun pun menjadi hari bercermin dan hari peringatan bahwa tidak ada yang tahu kapan seorang manusia akan dijemput; cermin untuk melihat sudah berapa banyak yang manusia lakukan untuk bekalnya melewati jembatan tipis rambut terbelah tujuh.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Seonggok tanah di atas lautan ini tak bisa berdiri di depan cermin. Ia tidak punya tangan dan kaki untuk memperbaiki dirinya sendiri. Tapi dikala ia tak bisa melakukannya, seonggok tanah ini tetap percaya. Ketika usianya bertambah, aku-aku di dalamnya lah yang akan berjalan mencari cermin, berkaca dan bertanya, sudah berapa banyak yang aku lakukan untuk negeri kecilku? ***rsn
Selamat ulang tahun ke 14 untuk Provinsi Banten. Semoga anak-anakmu membuatmu maju.
Lantas apakah sama halnya dengan usia sebuah benda mati, samakah halnya dengan sebongkah tanah yang diletakkan Tuhan di atas lautan? Apa yang harus disyukuri dan apa yang harus disiapkan?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Layaknya seorang remaja, ia sudah tak tertatih berjalan. Ia tak lagi menjadi momongan kakek-nenek dan buyut-buyutnya. Ia akan lebih sering menerima teriakan orang di sekitarnya karena tuntutan-tuntutan yang semakin tinggi. Ia menjadi harapan Negara dan dunia.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Aku teringat 14 tahun silam ketika ia bercerai dengan Jawa Barat. Siapkah Ia berdiri dengan kaki sendiri? Pikirku. Namun kini ia berdiri, 14 tahun, telah melewati berbagai labirin dengan kelokan yang rumit. Akankah ia bertahan?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Teringat akan betapa takutnya aku setiap tanggal pemilihan tiba. Betapa besarnya harapanku pada penerus tahta negeri kecilku. Sampai akhirnya aku tak kuasa menahan perih melihat Ibunda negeri ini diseret ke jeruji besi. Hanya doa yang lantas aku bisa berikan.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Tanah kosong dan sawah hijau yang terbentang perlahan tergantikan dengan bangunan megah nan elok. Aku, pribuminya yang kemudian menghaburkan uang untuk pemegang saham yang tak setitik pun darah berasal dari tanah ini. Tak apa. Hanya saja, tidakkah aku menengok saudara-saudaraku di ujung negeri kecilku? Hanya untuk membelikan mereka sepasang alas kaki.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Suatu hari, ia menemuiku. Ia bilang ia senang dan bersyukur. Banyak komunitas-komunitas pemuda yang peduli akan tanah kelahirannya. Bangun ini dan itu. Memberikan ini dan itu. Namun itu belum cukup. Ia bukan sekotak korek api yang dapat dibenahi hanya dengan membuka kotaknya dan menjetikkan jari untuk merapihkan batang-batangnya. Ia lebih dari sekotak mainan anak yang bisa dibersihkan kapan saja tanpa takut berjamur. Ia sebuah rumah yang sangat besar dan kompleks; butuh banyak pemuda yang mampu memperbaiki pondasi kirinya yang hampir roboh; butuh banyak pemuda yang mampu menancapkan tiang-tiang baru untuk memperkokohnya; butuh banyak pemuda yang mampu merenovasi bangunannya agar terlihat indah. Di mana pemuda-pemuda itu?
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Ia bukan makhluk hidup yang bisa menyimpulkan senyum atau meneteskan air mata ketika sedih, mengibaskan ekor meminta perhatian layaknya seekor cendrawasih, atau berteriak ketika disakiti atau bahkan menengadahkan tangan berdoa dan bersyukur atas apa yang dilewatinya. Apa yang berdiri di tanah negeri ini, bangunan dan penduduknya, sekolah dan anak muridnya, pasar dan pedagangnya; mereka telah banyak bercerita lewat ekspresi sedu sedan dan tawa sumringah sejak negeri ini berdiri. Adakah aku yang peka membaca ekspresi itu? Bahkan berceritapun sering tak kudengarkan.
Apalah arti lebah yang mencari madu di timur dan kembali ke sarangnya di barat? Untuk apalah anak seekor penyu tertatik-tatih kembali ke ibunya di darat setelah dilepas ke lautan yang dalam? Ibu yang telah merawat dan membesarkan anaknya pasti ingin anaknya kembali, jikapun Ibu rela melepas, pantaskah seorang anak tak sedikitpun menengok dan memberi sapa?
Hari ulang tahun identik dengan hari bahagia. Hari di mana banyak orang mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan selama usianya. Hari bersyukur di mana ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Hari ulang tahun pun menjadi hari bercermin dan hari peringatan bahwa tidak ada yang tahu kapan seorang manusia akan dijemput; cermin untuk melihat sudah berapa banyak yang manusia lakukan untuk bekalnya melewati jembatan tipis rambut terbelah tujuh.
Negeri kecilku kini menginjak usia 14. Seonggok tanah di atas lautan ini tak bisa berdiri di depan cermin. Ia tidak punya tangan dan kaki untuk memperbaiki dirinya sendiri. Tapi dikala ia tak bisa melakukannya, seonggok tanah ini tetap percaya. Ketika usianya bertambah, aku-aku di dalamnya lah yang akan berjalan mencari cermin, berkaca dan bertanya, sudah berapa banyak yang aku lakukan untuk negeri kecilku? ***rsn
Selamat ulang tahun ke 14 untuk Provinsi Banten. Semoga anak-anakmu membuatmu maju.
Kamis, 25 September 2014
#worldpharmacistday
Hi, I’m one of pharmacy students in ITB. Wait, ITB has Pharmacy? Yes. Fortunately it does :p
What we do?
We study many things related to drugs, diseases, clinical treatment, and its family. We learn how to make medicine so that it reaches the right target, how to create a drug design for kids, youth, and elderly so they can consume drug properly, which drugs for which diseases, what to do to make patient comfort over our counselling, how to make herbal drugs from plants, how to use instruments to check purity of active ingredients, how our body immune system works, so on and so on. All of them are to be integrated in order to improve public health so people can live longer. Just for giving a depiction that our work is important :p
For some students like me, studying pharmacy often stress us out. Some people assume that the study is almost the same like medical students, I would not say so though, but basically every university students have their own difficulty, right? I’m having a hard time in understanding organic chemistry and medicine analysis, but the main difficulty is integrating all the sciences and knowledge from all the classes we are having and we have had. To me, having a professor say “How you couldn’t answer such question? You’ve learned this in class x last semester” almost induce a heart attack. Lol. Yes, students are to integrate all the classes. Pharmacy students are to connect the dots of Human physiology to immunity to pathophysiology to pharmacology and so on. It is hard, but nothing like we can’t do it :)
Anyway. The sentences below do not really have things to do with the main point I concern about, but it may implicitly relate …wkwk just for having fun
Pharmacy students –im talking in ITB, mainly the clinical pharmacy- like taking notes. We would say “Wait sir! We’re not finished yet taking notes!” even though the professor already said “I’ll give you the presentation”, but quite a lot students will keep taking notes.
We tag chairs for our close friends. Whenever the class dismiss, we would shout “Tag in yak!” then the fastest one will have their pencil case, books, and bags, even a sheet of tissue on many tables. The stuffs they put on seem to say “don’t sit over here, its my friends’!” :p
We ‘shhutt’ people outside the class if they made noise. The ‘shhutt’ is not like what you might think, it’s pretty annoying because we do the ‘shhutt’ all together, you would want to listen. Haha
We have this cute book cover for our lab journal and report. We have strawberry cover, pink color cover, polkadot, dolls and bear. But well we also have batik cover and newspaper; these guys probably do not quite understand cuteness. Wkwk just kidding.
We love taking pictures. We take pictures in labs, class, streets, and everywhere. We love asking our lab assistant to take pictures with us especially after the labs done. We take picture of our first medicines, we arranged all the bottles and pills, we take pictures and upload them.
We shout happy to the assistants that give us good grade and frown for the not-good grade.
We make a line group to every work group assignments we have. We meet up directly to give part, we discuss the assignment on line afterward.
We volunteer for doing some public health events. We do blood drive; free health check up; pharmacy goes to village; medical team in lots of ITB events, probably.
We are broaden network to all pharmacist students and pharmacists through external activities, national and international
We join many competitions to improve our pharmacy skills, we win some, lose some
We do tutorials whenever the test come closer
We have these bundles as our study guide
We try to do every homework the professor gives
We study, we have fun, we care, we have fun, we're depressed, we have fun.
But yes. I bet all of us are curious how actually the real work field would look like. How we can even ‘talk’ to other health professionals? Though the interprofessional education has been aroused as a prior issue for years, but it still is an issue -.- if you know what I mean. How to manage Pharmacies, how to build pharmacies? What is needed? Will we actually make medicines with all the cool technologies? We compound and dispense in a lab scale, are we really gonna produce an enormous amount of drugs?? Are we gonna make a deal with doctors to use our product? Are we really gonna stay in the pharmacies for giving counselling? Are we gonna frequently check the illicit product and ban the counterfeit drugs? Are we gonna invent new drugs for untreated diseases? Will we make health policy? Will the drugs we make are just right? How to do the work??? Are we gonna go straight?
The idealism still probably tight us up, we dream of being a great pharmacist, we dream high. I want to be this and that. But sometimes we forget, have we done many good things? Have all the efforts enough to make us achieve all we want?
The depression we are through is not an indicator of how far we run and how deep we dig.
We haven’t done anything for public, we haven’t done anything to show our awareness to public health, we haven’t done anything to make our parents proud, we haven’t give any problem solving to what Indonesia undergoes, we just haven’t done anything. Let’s not be satisfied, yet.
Is it right what the professor said that the students quality fall down as new years come? Take our mirror.
#WorldPharmacistDay
#takeamirror
What we do?
We study many things related to drugs, diseases, clinical treatment, and its family. We learn how to make medicine so that it reaches the right target, how to create a drug design for kids, youth, and elderly so they can consume drug properly, which drugs for which diseases, what to do to make patient comfort over our counselling, how to make herbal drugs from plants, how to use instruments to check purity of active ingredients, how our body immune system works, so on and so on. All of them are to be integrated in order to improve public health so people can live longer. Just for giving a depiction that our work is important :p
For some students like me, studying pharmacy often stress us out. Some people assume that the study is almost the same like medical students, I would not say so though, but basically every university students have their own difficulty, right? I’m having a hard time in understanding organic chemistry and medicine analysis, but the main difficulty is integrating all the sciences and knowledge from all the classes we are having and we have had. To me, having a professor say “How you couldn’t answer such question? You’ve learned this in class x last semester” almost induce a heart attack. Lol. Yes, students are to integrate all the classes. Pharmacy students are to connect the dots of Human physiology to immunity to pathophysiology to pharmacology and so on. It is hard, but nothing like we can’t do it :)
Anyway. The sentences below do not really have things to do with the main point I concern about, but it may implicitly relate …wkwk just for having fun
Pharmacy students –im talking in ITB, mainly the clinical pharmacy- like taking notes. We would say “Wait sir! We’re not finished yet taking notes!” even though the professor already said “I’ll give you the presentation”, but quite a lot students will keep taking notes.
We tag chairs for our close friends. Whenever the class dismiss, we would shout “Tag in yak!” then the fastest one will have their pencil case, books, and bags, even a sheet of tissue on many tables. The stuffs they put on seem to say “don’t sit over here, its my friends’!” :p
We ‘shhutt’ people outside the class if they made noise. The ‘shhutt’ is not like what you might think, it’s pretty annoying because we do the ‘shhutt’ all together, you would want to listen. Haha
We have this cute book cover for our lab journal and report. We have strawberry cover, pink color cover, polkadot, dolls and bear. But well we also have batik cover and newspaper; these guys probably do not quite understand cuteness. Wkwk just kidding.
We love taking pictures. We take pictures in labs, class, streets, and everywhere. We love asking our lab assistant to take pictures with us especially after the labs done. We take picture of our first medicines, we arranged all the bottles and pills, we take pictures and upload them.
We shout happy to the assistants that give us good grade and frown for the not-good grade.
We make a line group to every work group assignments we have. We meet up directly to give part, we discuss the assignment on line afterward.
We volunteer for doing some public health events. We do blood drive; free health check up; pharmacy goes to village; medical team in lots of ITB events, probably.
We are broaden network to all pharmacist students and pharmacists through external activities, national and international
We join many competitions to improve our pharmacy skills, we win some, lose some
We do tutorials whenever the test come closer
We have these bundles as our study guide
We try to do every homework the professor gives
We study, we have fun, we care, we have fun, we're depressed, we have fun.
But yes. I bet all of us are curious how actually the real work field would look like. How we can even ‘talk’ to other health professionals? Though the interprofessional education has been aroused as a prior issue for years, but it still is an issue -.- if you know what I mean. How to manage Pharmacies, how to build pharmacies? What is needed? Will we actually make medicines with all the cool technologies? We compound and dispense in a lab scale, are we really gonna produce an enormous amount of drugs?? Are we gonna make a deal with doctors to use our product? Are we really gonna stay in the pharmacies for giving counselling? Are we gonna frequently check the illicit product and ban the counterfeit drugs? Are we gonna invent new drugs for untreated diseases? Will we make health policy? Will the drugs we make are just right? How to do the work??? Are we gonna go straight?
The idealism still probably tight us up, we dream of being a great pharmacist, we dream high. I want to be this and that. But sometimes we forget, have we done many good things? Have all the efforts enough to make us achieve all we want?
The depression we are through is not an indicator of how far we run and how deep we dig.
We haven’t done anything for public, we haven’t done anything to show our awareness to public health, we haven’t done anything to make our parents proud, we haven’t give any problem solving to what Indonesia undergoes, we just haven’t done anything. Let’s not be satisfied, yet.
Is it right what the professor said that the students quality fall down as new years come? Take our mirror.
#WorldPharmacistDay
#takeamirror
Rabu, 27 Agustus 2014
WC Publication Part 1
Sorry, I have no time yet to include my opinions here. I just took some random notes that probably useful to share with you all, then we can discuss over this if you're interested :) Part 2 will be coming soon.
Workshop 1: PCE (Patient Counseling Event)
Speaker: Eric
PRINSIPLES: short, concise, private, good flow
1. Introduction
•Introduce yourself
•State the need for a counsel or offer help
•Time factor
•Privacy
2. Information gathering – Therapy Counseling
Clarify therapy for proper drug counsel
1. Drug interaction
2. Contraindication
3. Indication
4. Special instructions
5. Adverse effect: common, rare
Questions might be:
1. Who is it for?
2. What did the doctor say, diagnosis, signs, and symptoms (confirm indication)
3. Allergies, other medical conditions, other met/otc/herbals (confirm safety)
4. Other info: weight, compliance issue, smoking, alcohol consumption, recreational drugs, pregnant/breastfeeding
How to ask?
- Open ended questions
- Ask professionally preface question with the reason for asking. Relate therapy to questions. Use also sympathetic words
Drug Information
Name
Interaction
Dosage
Side effects
Instruction Monitoring – what they should expect
Medical condition information
• Disease state
• Nature of condition and progression
• Signs and symptoms
Adherence, safety, and efficacy
Monitoring points
- What to expect, when to expect, and action point
- Allows for realistic expectations
- Action points: follow up with doctor? Change regiment?
- Monitoring points for improvements and side effect, interaction
Monitoring points improve adherence and clinical outcomes
- Gives realistic expectation of results
- Empowers patient self-monitoring
- Differentiation between side effects and disease signs
- Relate adherence to ‘silent conditions’ ie. Diabetes, blood pressure
Non-drug therapy recommendation comprehensive care ie. Cough and cold : hand washing
Other points
- Drug interaction: counsel on monitoring points. Eg. What to do, what could happen, how to handle
- Storage of medications or pharmaceutics concern
- Unmeet needs
- Missed dose
3. Conclusion
• Address patients’ questions and concerns
• Repeat key points
• Ask patient to repeat back main points
• Call or schedule follow up
• Thank
Communication
Body language 60%
Verbal cue 30%
Verbal content 10%
Facial expression Eye contact, body posture/language, motion and gesture
Medial Jargons Tailor your counsel to the education and demographic background of your patient (ie. Blood pressure vs hypertention)
Empathy vs simphathy “in the person shoes” vs feeling sorry for your patient
Listening do not talk over your patient, allow them to express concern
Workshop 2: Pharmaceutical Care and Cognitive Pharmaceutical Services
Speaker: Ema Paulino
If time really heals all wounds, then pharmacist would sell tons of clock
International issue pharmacist do not want to involve in health thingy, there should be a multidisciplinary education before getting to practices, not separately study and graduated; most countries do not have this inter professional education.
‘Strength’ of Pharmacy is it does have science curriculum, others healthcare professional do not have it.
USA this year stops selling tobacco in drug store; noticing the paradox among pharmacy roles and what they sell
Clinical and Community Pharmacy becomes problem for most of countries but the problem level would be different. For example, problem in Portugal is that the commitment of Pharmacists for giving counselling do not emerge yet though the system has developed; each pharmacist has to have private counseling room or table while Indonesia doesn’t have that system yet.
Portugal is the first country that do needle exchange for drug users along with condom to prevent HIV/AIDS. The pharmacists also has authority to administer immunization and injected drugs like USA and other Europe countries.
Pharmacist ideally has documents about the patient’s information and things related to medication so that they could monitor patients, unfortunately many pharmacists do not document the information.
Future pharmacist are expected to be paid for the impact of what they have done through process and outcome indicator. For instance the indicator would be reducing amputation for diabetes patients less than 20%, if it is achieved, the pharmacist will be paid. Others example would be percentage of blood pressure measurement in past 6 months, if pharmacist meet the parameter they get paid. CAPITATION
In USA, they were about to do the new system if patients returned to hospital within 30 days after discharged, the money back to government. But hospitals do not accept it so the hospital collaborate with community pharmacists to follow up or monitor the patients.
Inter professional Education has been a hot issue among health students and professionals. Before we talk about IPE, it will be better if we also talk to the pharmacists first as our partner that involve in hospital, industries, and retail pharmacies.
Portugal also has a problem what so called pharmacy crisis that pharmacists are still being profit-oriented. Even some pharmacies serve ear-piercing and hair band!Employers ideally has to fund the fees for pharmacists training kind of thing to improve the work of pharmacists.
Be connecting to pharmacists that have the same motivation with us!
Workshop 1: PCE (Patient Counseling Event)
Speaker: Eric
PRINSIPLES: short, concise, private, good flow
1. Introduction
•Introduce yourself
•State the need for a counsel or offer help
•Time factor
•Privacy
2. Information gathering – Therapy Counseling
Clarify therapy for proper drug counsel
1. Drug interaction
2. Contraindication
3. Indication
4. Special instructions
5. Adverse effect: common, rare
Questions might be:
1. Who is it for?
2. What did the doctor say, diagnosis, signs, and symptoms (confirm indication)
3. Allergies, other medical conditions, other met/otc/herbals (confirm safety)
4. Other info: weight, compliance issue, smoking, alcohol consumption, recreational drugs, pregnant/breastfeeding
How to ask?
- Open ended questions
- Ask professionally preface question with the reason for asking. Relate therapy to questions. Use also sympathetic words
Drug Information
Name
Interaction
Dosage
Side effects
Instruction Monitoring – what they should expect
Medical condition information
• Disease state
• Nature of condition and progression
• Signs and symptoms
Adherence, safety, and efficacy
Monitoring points
- What to expect, when to expect, and action point
- Allows for realistic expectations
- Action points: follow up with doctor? Change regiment?
- Monitoring points for improvements and side effect, interaction
Monitoring points improve adherence and clinical outcomes
- Gives realistic expectation of results
- Empowers patient self-monitoring
- Differentiation between side effects and disease signs
- Relate adherence to ‘silent conditions’ ie. Diabetes, blood pressure
Non-drug therapy recommendation comprehensive care ie. Cough and cold : hand washing
Other points
- Drug interaction: counsel on monitoring points. Eg. What to do, what could happen, how to handle
- Storage of medications or pharmaceutics concern
- Unmeet needs
- Missed dose
3. Conclusion
• Address patients’ questions and concerns
• Repeat key points
• Ask patient to repeat back main points
• Call or schedule follow up
• Thank
Communication
Body language 60%
Verbal cue 30%
Verbal content 10%
Facial expression Eye contact, body posture/language, motion and gesture
Medial Jargons Tailor your counsel to the education and demographic background of your patient (ie. Blood pressure vs hypertention)
Empathy vs simphathy “in the person shoes” vs feeling sorry for your patient
Listening do not talk over your patient, allow them to express concern
Workshop 2: Pharmaceutical Care and Cognitive Pharmaceutical Services
Speaker: Ema Paulino
If time really heals all wounds, then pharmacist would sell tons of clock
International issue pharmacist do not want to involve in health thingy, there should be a multidisciplinary education before getting to practices, not separately study and graduated; most countries do not have this inter professional education.
‘Strength’ of Pharmacy is it does have science curriculum, others healthcare professional do not have it.
USA this year stops selling tobacco in drug store; noticing the paradox among pharmacy roles and what they sell
Clinical and Community Pharmacy becomes problem for most of countries but the problem level would be different. For example, problem in Portugal is that the commitment of Pharmacists for giving counselling do not emerge yet though the system has developed; each pharmacist has to have private counseling room or table while Indonesia doesn’t have that system yet.
Portugal is the first country that do needle exchange for drug users along with condom to prevent HIV/AIDS. The pharmacists also has authority to administer immunization and injected drugs like USA and other Europe countries.
Pharmacist ideally has documents about the patient’s information and things related to medication so that they could monitor patients, unfortunately many pharmacists do not document the information.
Future pharmacist are expected to be paid for the impact of what they have done through process and outcome indicator. For instance the indicator would be reducing amputation for diabetes patients less than 20%, if it is achieved, the pharmacist will be paid. Others example would be percentage of blood pressure measurement in past 6 months, if pharmacist meet the parameter they get paid. CAPITATION
In USA, they were about to do the new system if patients returned to hospital within 30 days after discharged, the money back to government. But hospitals do not accept it so the hospital collaborate with community pharmacists to follow up or monitor the patients.
Inter professional Education has been a hot issue among health students and professionals. Before we talk about IPE, it will be better if we also talk to the pharmacists first as our partner that involve in hospital, industries, and retail pharmacies.
Portugal also has a problem what so called pharmacy crisis that pharmacists are still being profit-oriented. Even some pharmacies serve ear-piercing and hair band!Employers ideally has to fund the fees for pharmacists training kind of thing to improve the work of pharmacists.
Be connecting to pharmacists that have the same motivation with us!
Senin, 28 Juli 2014
ready for another journey!
Yay im excited! Tonight im going to Porto, Portugal! Well, im afraid though. My pharmaceutical knowledge kind of not that good compare to other people, i gueess. And im only about to be a junior after i didnt feel my sophomore year gave me bunches of knowledges. My brain still kinda empty yet the participants will be those who already step into senior even 5th years.
I also lack of preparation on GA and competition. Lack of understanding the bundles, i wish the former official delegates gave me instruction what to do and what not to do according to last year experience. But naah theres nothing like it. Its okay, well
Bismillah. Hopefully this journey will bring many goods! Hopefully ill be back with full charges brain and nice experiences. Just dont make my attention bends, God, I want to learn this pharmacy thing, the social-pharmacy, broaden networks by making friends, discuss with them on purpose of searching recommendation for my country's good health. Aaand vacation for a bonus prize. Yayness goodluck to me and my friends!
By the way, i never write about delegation i experienced in ISMAFARSI, ill tell you later on my blog. Itd be fun to compare and contrast to this delegation of IPSF world congress ill be going. Yuhuu
I also lack of preparation on GA and competition. Lack of understanding the bundles, i wish the former official delegates gave me instruction what to do and what not to do according to last year experience. But naah theres nothing like it. Its okay, well
Bismillah. Hopefully this journey will bring many goods! Hopefully ill be back with full charges brain and nice experiences. Just dont make my attention bends, God, I want to learn this pharmacy thing, the social-pharmacy, broaden networks by making friends, discuss with them on purpose of searching recommendation for my country's good health. Aaand vacation for a bonus prize. Yayness goodluck to me and my friends!
By the way, i never write about delegation i experienced in ISMAFARSI, ill tell you later on my blog. Itd be fun to compare and contrast to this delegation of IPSF world congress ill be going. Yuhuu
Sabtu, 26 Juli 2014
Another 'Love' Post
Pernah jatuh cinta?
Wajahnya muncul tiap malam sampai-sampai kamu bergumam “jangan-jangan gue dipelet”. Minta teman dekat untuk cari tahu, ke-GR-an karena ditanya-tanya terus. Berpikir panjang kapan harus bicara dari hati ke hati? When is the right time to confess everything? Apalagi cewek, kebingungan harus bilang suka bagaimana, hanya bisa berharap “dude, come move and tell me!”. I won’t tell further how it feels and how we react as normal human being when we fall in love. Just...coba ingat berapa banyak perbuatan bodoh yang kamu lakukan? Dan tersenyumlah.
Mungkin sekarang kamu lagi GR karena merasa diperhatikan lebih oleh seseorang?
Tapi, pernah terbayang ga, kalau ternyata ada yang diam-diam melukis kamu di setiap kanvas yang dia punya, menggambar setiap tingkah kamu di buku catatannya lewat tulisan, tidak pernah terlihat melirikmu tiap kali ketemu, hanya memandang punggungmu di kala orang sekitar sibuk; tidak pernah terlihat dari sms atau gaya bicaranya bahwa dia sedang suka kamu?
Kamu tidak akan pernah sadar sampai orang yang saya maksud di atas benar-benar mendatangimu karena tidak kuasa menahan segala rasa itu. Finally when the confession comes to you, kamu punya dua kemungkinan respon: terkejut dan/atau tertawa.
Terkejut bagai dapat durian runtuh setelah merasa pungguk merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa mangap seraya hati bilang “Man, Ive been admiring you since ever! Ive never known you have the same feeling, you never showed it up!”
Tertawa bagai dikelitiki bulu ayam setelah pungguk tak pernah merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa tertawa seraya hati bilang “Dude, we’ve been friends since ever! You know my type...” Friendzone.
Atau terkejut sekaligus tertawa “Well, you know, I actually never notice you because you’re just not my type.” Atau “Why? Don’t you think I will not like you because....we’re ‘different’?”
Mungkin kamu tak enak hati untuk jawaban yang ke 2 dan 3, but hey somehow life could be that hurt. It is just a period of that stupid moment that guy probably repeated over, sorry to say. Love is blind, remember?
Atau...kamu terkejut atau tertawa karena memang tidak pernah punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, because he just didnt show it up. Tiba-tiba confess tanpa prolog yang kamu sebut, PDKT. Wah, kalau begini, hati-hati, jangan-jangan nanti kamu suka hanya sebatas karena diperhatikan dan ingin diperhatikan? You gotta think the future, be realistic.
Cinta katanya tak pernah salah. Yah bagaimana mau menyalahkan hal tak berwujud? But hey let’s try to accept love in a right way.
Naturally, we will be craving for attention. Tapi sebenarnya yang lebih kita butuhkan bukan atensi yang dibuat-buat atau atensi tak beralasan. What I see nowadays, with all ‘jomblo’ propaganda all over social media, tanpa sadar kita punya keinginan untuk punya pacar; jangan sampai ketika kesempatan itu datang, we don’t really think twice to accept the love. If you know what I mean..
Cinta diam-diam bagi saya terlihat lebih elegan. But really, I don’t need that stupid thing guys do like painting the girl’s face you like on your bedroom wall, for instance. Everyone will probably pardon the falling in love stupidity. But okay, whenever you passed the stupid phase, cobalah untuk berkaca dari kejadian itu.
Cinta diam-diam terlihat lebih elegan, tapi bukan berarti harus selamanya diam. PDKT itu memang penting kok, but it should be in the right time, just like what I said, jangan sampai kamu suka hanya karena sebatas ingin diperhatikan tanpa alasan lebih yang menyangkut hidup kamu ke depan.
Jangan sampai kamu suka hanya karena cinta bicara tanpa melihat ‘segala perbedaan’ yang tidak bisa dielakkan, entah pakai PDKT atau diam-diam.
Well, karena katanya cinta buta. Dia tidak punya mata apalagi otak untuk berpikir objektif dan realistis. Kalau begitu, buatlah cinta diam-diam itu dalam bentuk kagummu terhadapnya dan sampaikanlah kagum itu lewat doa. Tuhan yang akan menunjukkan segalanya.
Tidak perlu terburu-buru. Berdoalah untuk dia. Insya Allah ada orang di luar sana yang juga diam-diam mendoakan kamu :)
Wajahnya muncul tiap malam sampai-sampai kamu bergumam “jangan-jangan gue dipelet”. Minta teman dekat untuk cari tahu, ke-GR-an karena ditanya-tanya terus. Berpikir panjang kapan harus bicara dari hati ke hati? When is the right time to confess everything? Apalagi cewek, kebingungan harus bilang suka bagaimana, hanya bisa berharap “dude, come move and tell me!”. I won’t tell further how it feels and how we react as normal human being when we fall in love. Just...coba ingat berapa banyak perbuatan bodoh yang kamu lakukan? Dan tersenyumlah.
Mungkin sekarang kamu lagi GR karena merasa diperhatikan lebih oleh seseorang?
Tapi, pernah terbayang ga, kalau ternyata ada yang diam-diam melukis kamu di setiap kanvas yang dia punya, menggambar setiap tingkah kamu di buku catatannya lewat tulisan, tidak pernah terlihat melirikmu tiap kali ketemu, hanya memandang punggungmu di kala orang sekitar sibuk; tidak pernah terlihat dari sms atau gaya bicaranya bahwa dia sedang suka kamu?
Kamu tidak akan pernah sadar sampai orang yang saya maksud di atas benar-benar mendatangimu karena tidak kuasa menahan segala rasa itu. Finally when the confession comes to you, kamu punya dua kemungkinan respon: terkejut dan/atau tertawa.
Terkejut bagai dapat durian runtuh setelah merasa pungguk merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa mangap seraya hati bilang “Man, Ive been admiring you since ever! Ive never known you have the same feeling, you never showed it up!”
Tertawa bagai dikelitiki bulu ayam setelah pungguk tak pernah merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa tertawa seraya hati bilang “Dude, we’ve been friends since ever! You know my type...” Friendzone.
Atau terkejut sekaligus tertawa “Well, you know, I actually never notice you because you’re just not my type.” Atau “Why? Don’t you think I will not like you because....we’re ‘different’?”
Mungkin kamu tak enak hati untuk jawaban yang ke 2 dan 3, but hey somehow life could be that hurt. It is just a period of that stupid moment that guy probably repeated over, sorry to say. Love is blind, remember?
Atau...kamu terkejut atau tertawa karena memang tidak pernah punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, because he just didnt show it up. Tiba-tiba confess tanpa prolog yang kamu sebut, PDKT. Wah, kalau begini, hati-hati, jangan-jangan nanti kamu suka hanya sebatas karena diperhatikan dan ingin diperhatikan? You gotta think the future, be realistic.
Cinta katanya tak pernah salah. Yah bagaimana mau menyalahkan hal tak berwujud? But hey let’s try to accept love in a right way.
Naturally, we will be craving for attention. Tapi sebenarnya yang lebih kita butuhkan bukan atensi yang dibuat-buat atau atensi tak beralasan. What I see nowadays, with all ‘jomblo’ propaganda all over social media, tanpa sadar kita punya keinginan untuk punya pacar; jangan sampai ketika kesempatan itu datang, we don’t really think twice to accept the love. If you know what I mean..
Cinta diam-diam bagi saya terlihat lebih elegan. But really, I don’t need that stupid thing guys do like painting the girl’s face you like on your bedroom wall, for instance. Everyone will probably pardon the falling in love stupidity. But okay, whenever you passed the stupid phase, cobalah untuk berkaca dari kejadian itu.
Cinta diam-diam terlihat lebih elegan, tapi bukan berarti harus selamanya diam. PDKT itu memang penting kok, but it should be in the right time, just like what I said, jangan sampai kamu suka hanya karena sebatas ingin diperhatikan tanpa alasan lebih yang menyangkut hidup kamu ke depan.
Jangan sampai kamu suka hanya karena cinta bicara tanpa melihat ‘segala perbedaan’ yang tidak bisa dielakkan, entah pakai PDKT atau diam-diam.
Well, karena katanya cinta buta. Dia tidak punya mata apalagi otak untuk berpikir objektif dan realistis. Kalau begitu, buatlah cinta diam-diam itu dalam bentuk kagummu terhadapnya dan sampaikanlah kagum itu lewat doa. Tuhan yang akan menunjukkan segalanya.
Tidak perlu terburu-buru. Berdoalah untuk dia. Insya Allah ada orang di luar sana yang juga diam-diam mendoakan kamu :)
Selasa, 15 Juli 2014
Sebut Saja Sosial-Kefarmasian
Mahasiswa farmasi adalah kader profesi kesehatan yang kelak akan menempati posisinya masing-masing –yang diharapkan- mencapai cita-cita masa depan sesuai dengan ilmu yang didapatnya. Dalam hal ini, perwujudan cita-cita tersebut secara real dapat berupa apoteker di industri, di rumah sakit, BPOM, sarjana farmasi di apotek, teknisi dan asisten apoteker, dll. Namun, peran serta apoteker dalam dunia kesehatan seyogyanya tidak terbatas pada ranah sains saja melainkan turut turun tangan dalam kebijakan kesehatan dan pengabdian masyarakat –saya tidak tahu sebutannya apa, mari kita sebut ‘sosial-kefarmasian’-. Sosial-kefarmasian ini diyakini penulis dapat mencapai tujuan taraf kesehatan Indonesia yang baik dan merata di segala bidang dan tempat.
Sangat disayangkan ketika kepedulian mahasiswa kini terfokus pada aspek sains saja. Siapa yang akan mengangkat isu farmasi di DPR nanti? Siapa yang akan memperbaiki sistem pendidikan farmasi? Siapa yang akan mensosialisasikan program farmasi kepada masyarakat kelas bawah? Siapa yang akan menjamin kesejahteraan apoteker kelak? Siapa yang bisa mengubah angka 20% apoteker yang ada di apotek menjadi 100%? Siapa yang akan memperjuangkan keterlibatan apoteker dalam sistem kesehatan yang baru? Siapa yang bisa memperjuangkan Undang-undang kefarmasian sesuai dengan ilmu farmasi dan kebutuhan masyarakat? Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan ilmu farmakokinetika? Anatomi fisiologi manusia? Farmasi Fisika? Silakan jawab sendiri.
Beban akademik kemudian berdiri di depan barisan membelakangi kepedulian. Potensi sosial-kefarmasian yang dimiliki mahasiswa kesehatan kemudian tanpa sadar terkubur oleh rasa acuh tak acuh itu. Potensi berpikir kritis terkalahkan oleh seorang yang lebih tau banyak fakta namun tak sarat analisis; potensi ide kreatif dan inovatif termakan oleh seorang yang kebetulan punya jejaring namun miskin gagasan; padahal jika saja kita mau peduli dan meluangkan waktu, potensi itu akan tergali dalam.
Lantas muncul passion yang bersisian dengan beban akademik di depan barisan. Passion dijadikan tameng penolakan sosial-kefarmasian padahal ketika ditanya balik passion kamu apa, masih geleng-geleng kepala. Tahukan kita akan seni ‘mencoba’ dan ‘menggali potensi yang terkubur’ dalam menemukan passion?
Pun kemalasan. Ia bisa jadi tameng paling kuat yang menahan rasa peduli. Bentuk tameng itu sebenarnya banyak, tameng yang hanya mengubur potensi semakin dalam, bahkan Hedonisme dan perkembangan teknologi smartphones masuk list tameng di mata saya yang akhirnya menumbuhkan kemalasan -.- (silakan berpikir apa hubungannya).
Kalau semua memakai alasan akademik, passion, dan kemalasan, lantas siapa yang peduli?
Inikah sebab kenapa derajat kesehatan Indonesia meningkat lamban?
Inikah sebab kenapa kesejahteraan apoteker Indonesia terpusat pada pemilik industri?
Mudah-mudahan tulisan ini hanya asumsi :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apoteker saat ini sedang diragukan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa?
1.Sebagian apoteker di apotek hanya mengkapitalisasikan ijasah (baca:menggadaikan)
2.Sebagian apoteker di apotek melakukan praktek kefarmasian secara paruh waktu, bahkan seperseribu paruh waktu (hanya 20% apoteker yang stand by di apotek)
3.Apoteker di apotek lebih terlibat pada kegiatan “profesi dagang” yakni jual beli obat ketimbang praktek kefarmasian
4.Apa sebenarnya tugas apoteker di RS dalam penyampaian informasi obat? Masih belum jelas
5.Masyarakat masih bingung apa sebenarnya fungsi apoteker yang sebenarnya
Sumber: handout seminar kefarmasian, UII Juni 2014
Jadi, ketika kita meminta untuk dilibatkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, jangan heran dengan pernyataan “Memang apoteker ada di masyarakat?”
Mari kita tengok definisi berikut:
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pharmacist DOES counseling but we don’t look like doing it.
Muncullah Uji Kompetensi skala nasional yang saya dengar soal-soalnya akan lebih condong pada pharmaceutical care. Kemudian mahasiswa farmasi yang berada di peminatan industri lantas complain, kalau begitu UKN kita pasti kecil dong nilainya? Apakah ini salah satu usaha untuk mengoptimalkan peran apoteker di bidang klinik? Kalau memang iya, saya merasa metode ini tidak sesuai.
Gagasan pelaksanan UKN sebenarnya bagus, nanti saya akan cerita di lain tulisan.
Intinya, ini hanya sebagian contoh permasalahan kefarmasian. Masih banyak lagi terkait dengan industri farmasi yang kongkalikong, kurikulum pendidikan farmasi yang tidak merata, permasalahan UU kefarmasian, regulasi untuk APA, obat palsu, dll.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah keterlibatan mahasiswa akan memengaruhi isu-isu ini?
Saya teringat teman saya yang sekarang menjabat sebagai Sekjen ISMAFARSI, dia pernah melakukan audiensi dengan menteri kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, mengenai keterlibatan apoteker pada JKN. Apa kata beliau? “Urusan itu biarlah kami, pemerintah yang mengurus, kalian mahasiswa tugasnya belajar, mempersiapkan diri menjadi apoteker yang baik (dengan perubahan redaksi)”
Teringat selayang pertanyaan yang saya ajukan pada mantan ketua BEM UI, Faldo Maldini, “Seberapa besar mahasiswa didengar pemerintah?” walaupun saya kurang puas dengan jawaban yang terlontar dari beliau, namun saya dapat poin yang disampaikan soal ‘proses berusaha’.
Jikalau kita sebagai mahasiswa merasa pemerintah menutup telinga, ingatlah bahwa mahasiswa tak kerja sendiri, apalagi kasusnya dalam profesi kesehatan. IAI, APTFI, IYPG, HPEQ adalah wadah kita untuk memberikan aspirasi terkait dengan dunia kefarmasian dan/atau kesehatan. IAI telah banyak melakukan advokasi ke KEMENKES dan beberapanya diapprove. Jangan pernah merasa miskin kesempatan dalam berusaha.
Seorang mahasiswa keperawatan yang berkali-kali mendesak pemerintah lewat DIKTI, MTKI, dll terkait Uji Kompetensi yang terlambat pun merupakan usaha yang patut diapresiasi. Terlepas dari didengar atau tidaknya, Uji Kompetensi keperawatan pun pada akhirnya dilaksanakan. Mungkin masih ada lagi usaha-usaha advokasi yang dilakukan mahasiswa untuk memperjuangakan kebijakan kesehatan.
Proses berusaha jelas membangun kepribadian kita sebagai mahasiswa serta mempersiapkan diri kita dalam menghadapi dunia keprofesian kelak. “Best result comes from best preparation”. Jika kita mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang, menumpuk pengalaman dan pengetahuan, hasilnya insyaAllah akan luar biasa. Indonesia butuh kader-kader tenaga kefarmasian yang berkualitas dengan ide cemerlang dalam mengatur regulasi kesehatan, menciptakan sistem kesehatan yang tepat guna, merancang kurikulum farmasi, menegaskan peran apoteker sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Siapakah kader-kader itu?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Sangat disayangkan ketika kepedulian mahasiswa kini terfokus pada aspek sains saja. Siapa yang akan mengangkat isu farmasi di DPR nanti? Siapa yang akan memperbaiki sistem pendidikan farmasi? Siapa yang akan mensosialisasikan program farmasi kepada masyarakat kelas bawah? Siapa yang akan menjamin kesejahteraan apoteker kelak? Siapa yang bisa mengubah angka 20% apoteker yang ada di apotek menjadi 100%? Siapa yang akan memperjuangkan keterlibatan apoteker dalam sistem kesehatan yang baru? Siapa yang bisa memperjuangkan Undang-undang kefarmasian sesuai dengan ilmu farmasi dan kebutuhan masyarakat? Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan ilmu farmakokinetika? Anatomi fisiologi manusia? Farmasi Fisika? Silakan jawab sendiri.
Beban akademik kemudian berdiri di depan barisan membelakangi kepedulian. Potensi sosial-kefarmasian yang dimiliki mahasiswa kesehatan kemudian tanpa sadar terkubur oleh rasa acuh tak acuh itu. Potensi berpikir kritis terkalahkan oleh seorang yang lebih tau banyak fakta namun tak sarat analisis; potensi ide kreatif dan inovatif termakan oleh seorang yang kebetulan punya jejaring namun miskin gagasan; padahal jika saja kita mau peduli dan meluangkan waktu, potensi itu akan tergali dalam.
Lantas muncul passion yang bersisian dengan beban akademik di depan barisan. Passion dijadikan tameng penolakan sosial-kefarmasian padahal ketika ditanya balik passion kamu apa, masih geleng-geleng kepala. Tahukan kita akan seni ‘mencoba’ dan ‘menggali potensi yang terkubur’ dalam menemukan passion?
Pun kemalasan. Ia bisa jadi tameng paling kuat yang menahan rasa peduli. Bentuk tameng itu sebenarnya banyak, tameng yang hanya mengubur potensi semakin dalam, bahkan Hedonisme dan perkembangan teknologi smartphones masuk list tameng di mata saya yang akhirnya menumbuhkan kemalasan -.- (silakan berpikir apa hubungannya).
Kalau semua memakai alasan akademik, passion, dan kemalasan, lantas siapa yang peduli?
Inikah sebab kenapa derajat kesehatan Indonesia meningkat lamban?
Inikah sebab kenapa kesejahteraan apoteker Indonesia terpusat pada pemilik industri?
Mudah-mudahan tulisan ini hanya asumsi :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apoteker saat ini sedang diragukan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa?
1.Sebagian apoteker di apotek hanya mengkapitalisasikan ijasah (baca:menggadaikan)
2.Sebagian apoteker di apotek melakukan praktek kefarmasian secara paruh waktu, bahkan seperseribu paruh waktu (hanya 20% apoteker yang stand by di apotek)
3.Apoteker di apotek lebih terlibat pada kegiatan “profesi dagang” yakni jual beli obat ketimbang praktek kefarmasian
4.Apa sebenarnya tugas apoteker di RS dalam penyampaian informasi obat? Masih belum jelas
5.Masyarakat masih bingung apa sebenarnya fungsi apoteker yang sebenarnya
Sumber: handout seminar kefarmasian, UII Juni 2014
Jadi, ketika kita meminta untuk dilibatkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, jangan heran dengan pernyataan “Memang apoteker ada di masyarakat?”
Mari kita tengok definisi berikut:
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pharmacist DOES counseling but we don’t look like doing it.
Muncullah Uji Kompetensi skala nasional yang saya dengar soal-soalnya akan lebih condong pada pharmaceutical care. Kemudian mahasiswa farmasi yang berada di peminatan industri lantas complain, kalau begitu UKN kita pasti kecil dong nilainya? Apakah ini salah satu usaha untuk mengoptimalkan peran apoteker di bidang klinik? Kalau memang iya, saya merasa metode ini tidak sesuai.
Gagasan pelaksanan UKN sebenarnya bagus, nanti saya akan cerita di lain tulisan.
Intinya, ini hanya sebagian contoh permasalahan kefarmasian. Masih banyak lagi terkait dengan industri farmasi yang kongkalikong, kurikulum pendidikan farmasi yang tidak merata, permasalahan UU kefarmasian, regulasi untuk APA, obat palsu, dll.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah keterlibatan mahasiswa akan memengaruhi isu-isu ini?
Saya teringat teman saya yang sekarang menjabat sebagai Sekjen ISMAFARSI, dia pernah melakukan audiensi dengan menteri kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, mengenai keterlibatan apoteker pada JKN. Apa kata beliau? “Urusan itu biarlah kami, pemerintah yang mengurus, kalian mahasiswa tugasnya belajar, mempersiapkan diri menjadi apoteker yang baik (dengan perubahan redaksi)”
Teringat selayang pertanyaan yang saya ajukan pada mantan ketua BEM UI, Faldo Maldini, “Seberapa besar mahasiswa didengar pemerintah?” walaupun saya kurang puas dengan jawaban yang terlontar dari beliau, namun saya dapat poin yang disampaikan soal ‘proses berusaha’.
Jikalau kita sebagai mahasiswa merasa pemerintah menutup telinga, ingatlah bahwa mahasiswa tak kerja sendiri, apalagi kasusnya dalam profesi kesehatan. IAI, APTFI, IYPG, HPEQ adalah wadah kita untuk memberikan aspirasi terkait dengan dunia kefarmasian dan/atau kesehatan. IAI telah banyak melakukan advokasi ke KEMENKES dan beberapanya diapprove. Jangan pernah merasa miskin kesempatan dalam berusaha.
Seorang mahasiswa keperawatan yang berkali-kali mendesak pemerintah lewat DIKTI, MTKI, dll terkait Uji Kompetensi yang terlambat pun merupakan usaha yang patut diapresiasi. Terlepas dari didengar atau tidaknya, Uji Kompetensi keperawatan pun pada akhirnya dilaksanakan. Mungkin masih ada lagi usaha-usaha advokasi yang dilakukan mahasiswa untuk memperjuangakan kebijakan kesehatan.
Proses berusaha jelas membangun kepribadian kita sebagai mahasiswa serta mempersiapkan diri kita dalam menghadapi dunia keprofesian kelak. “Best result comes from best preparation”. Jika kita mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang, menumpuk pengalaman dan pengetahuan, hasilnya insyaAllah akan luar biasa. Indonesia butuh kader-kader tenaga kefarmasian yang berkualitas dengan ide cemerlang dalam mengatur regulasi kesehatan, menciptakan sistem kesehatan yang tepat guna, merancang kurikulum farmasi, menegaskan peran apoteker sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Siapakah kader-kader itu?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Minggu, 06 Juli 2014
Optimalisasi HPEQ DIKTI dalam Penentuan Akreditasi dan Uji Kompetensi Profesi Kesehatan
Visi Indonesia Sehat yang mengacu pada MDGs (Millenium Development Goals) merupakan suatu manifestasi cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya. Pihak dunia pun menantang dengan diberlakukannya AEC (ASEAN Economic Community) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) 2015; tenaga kesehatan Indonesia jelas butuh persiapan menghadapi persaingan profesionalisme dengan negara lain. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah yang bersinergi dengan lembaga masyarakat dan Ormawa (Organisasi Mahasiswa) untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan diyakini harus memiliki profesionalisme yang tinggi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga melahirkan kualitas masyarakat yang sehat; tentunya mutu pelayanan kesehatan dalam menjalankan tindakan preventif, kuratif, ataupun rehabilitasi. Selain itu, upaya tersebut dilakukan sebagai jawaban atas keresahan masyarakat yang menjadi korban malpraktik pelayanan kesehatan. Maka dari itu, diperlukan suatu lembaga dan keterangan yang dapat menjamin bahwa tenaga profesi kesehatan layak dan siap untuk turun ke lapangan. Dalam mempersiapkan kader-kader profesi kesehatan yang layak dan profesional tentunya dibutuhkan mutu pendidikan yang memadai bagi mahasiswa kesehatan Indonesia sehingga Indonesia jelas membutuhkan suatu badan dan berbagai stakeholders yang menaungi perguruan tinggi dan prodi (program studi) kesehatan.
Profesionalisme adalah kualitas atau mutu; profesionalisme profesi kesehatan berarti kualitas atau mutu suatu profesi kesehatan yang meliputi kualitas seorang dokter, apoteker, bidan, dokter gigi, perawat, ahli gizi, ahli kesehatan masyarakat, dan ahli kesehatan lainnya. DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) telah melaksanakan proyek HPEQ (Health Professional Education Quality) sejak 2010 yang sebagian pendanaannya dibiayai Bank Dunia melalui pinjaman (Loan Agreement No 77370-ID). Tujuan diadakannya proyek ini adalah untuk memperkuat kualitas kebijakan pendidikan profesional di bidang kesehatan di Indonesia dengan memastikan kompetensi profesional kesehatan melalui akreditasi lembaga; mengembangkan prosedur dan standar uji kompetensi dan sertifikasi tenaga profesional kesehatan skala nasional; dan membangun kapasitas institusi untuk menerapkan standar akreditasi dan sertifikasi melalui hibah kompetisi peningkatan kualitas pendidikan dokter. Secara garis besar, proyek HPEQ ini diharapkan dapat meningkatkan layanan kesehatan melalui peningkatan kualitas penyedia jasa kesehatan; jasa kesehatan ini dikhususkan pada dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan; maka suatu prestasi besar jika optimalisasi HPEQ dapat menghasilkan peningkatan kualitas profesi kesehatan.
Terdapat ratusan prodi kesehatan yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia; prodi-prodi kesehatan ini tidak lain adalah tempat bagi calon-calon profesional kesehatan untuk belajar sampai kelak siap untuk melakukan praktik kesehatan. Lembaga Akreditasi seperti LAMPTKes dan LPUK telah menjalankan proses penilaian melalui akreditasi prodi kesehatan di perguruan tinggi Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari website HPEQ, terlihat bahwa akreditasi A hanya dimiliki oleh prodi dengan perguruan tinggi tertentu, sedangkan masih banyak yang menyandang nilai C. Selain itu terdapat beberapa akreditasi prodi kesehatan yang belum diakreditasi dan beberapa sudah kadaluarsa. Sebagai contoh, berdasarkan Data Akreditasi Program Studi Farmasi per April 2012, terdapat 40 prodi Farmasi dari 153 prodi yang masih menyandang nilai C; 58 prodi farmasi Strata 1 dan Diploma III yang belum diakreditasi; dan akreditasi 5 prodi farmasi sudah kadaluarsa. Terlepas dari data yang mungkin belum diperbaharui oleh pihak HPEQ, penulis berharap penilaian akreditasi bagi yang belum dan kadaluarsa akan segera dilaksanakan.
Akreditasi adalah “pengesahan pihak ketiga terkait dengan menunjukan kompetensi Lembaga penilaian kesesuaian untuk melaksanakan tugas-tugas penilaian kesesuaian tertentu.“(ISO / IEC 17000:2004). Akreditasi dibutuhkan untuk melihat kompetensi suatu lembaga sebagai usaha peningkatan mutu pendidikan bidang kesehatan. Melalui akreditasi, suatu perguruan tinggi akan berusaha meningkatkan kompetensinya demi menciptakan lulusan-lulusan yang membanggakan dan menjadi agen problem solver kesehatan di Indonesia. Urgensi ini membawa pada suatu keharusan akan adanya monitoring dan evaluasi dalam keberjalanan dan follow up proses akreditasi. Melalui optimalisasi proyek HPEQ, diharapakan proyek ini mampu mendorong lembaga akreditasi untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta stakeholders lainnya dalam memberikan solusi peningkatan mutu pendidikan perguruan tinggi yang belum maksimal. Hal tersebut dapat dilakukan melalui rekomendasi penyesuaian kurikulum, upaya peningkatan mutu SDM pengajar, pemberian fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar, serta bantuan finansial dalam kegiatan-kegiatan perguruan tinggi yang mendukung peningkatan mutu pendidikan. Dengan solusi-solusi tersebut, diharapkan mahasiswa memiliki ruang yang memadai dalam mengembangkan kemampuannya sebagai calon profesional kesehatan. Bagaimanapun sinergisitas stakeholders dalam proyek HPEQ ini sangatlah dibutuhkan.
Selain akreditasi, diharapkan proyek HPEQ pun akan ikut andil dalam manajemen pengadaan jurusan kesehatan di perguruan tinggi. Berdasarkan berita Kompas, Oktober 2013, jumlah Fakultas Kedokteran dinilai berlebih, yaitu 73 Fakultas Kedokteran; padahal jika melihat jumlah penduduk, Indonesia cukup memiliki 60 Fakultas Kedokteran. Fakta lain menunjukkan bahwa tidak semua fakultas kedokteran memenuhi standar pendidikan dan kompetensi; hasil uji kompetensi mahasiswa kedokteran di fakultas baru pun menunjukkan nilai yang rendah. Pengadaan prodi yang dinilai baru menjadi salah satu faktor penyebab hal ini terjadi karena bagaimanapun prodi baru harus melewati proses pengadaan fasilitas KBM serta proses membangun kepercayaan kepada masyarakat untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Proyek HPEQ dapat saja membuat suatu standar tertentu yang lebih ideal dalam pengadaan prodi baru yang sesuai dengan standar kompetensi profesional yang dibutuhkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih membutuhkan profesional kesehatan –apoteker, dll-, apalagi semenjak program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) diberlakukan. Oleh karena itu, pengadaan prodi kesehatan sebenarnya merupakan upaya penambahan SDM kesehatan, hanya saja perlu diiringi dengan peningkatan kualitas SDM itu sendiri, salah satu caranya yaitu melalui perbaikan manajemen pengadaan prodi kesehatan yang menjamin kesiapan prodi untuk melahirkan profesional kesehatan yang mumpuni serta memperhatikan penerimaan mahasiswa yang disesuaikan dengan jumlah dosen atau standar dan prasarana pendidikan yang dimiliki.
Optimalisasi HPEQ selanjutnya yaitu melalui perbaikan Uji Kompetensi mahasiswa kesehatan. Uji Kompetensi adalah tes wajib yang diberlakukan kepada mahasiswa kesehatan sebagai syarat kelulusan (exit exam). Hal ini disahkan melalui Poin 2 Surat edaran DIKTI No 704/e.e3/dt/2013 yang dikeluarkan pada 24 juli 2013. Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa Uji Kompetensi dilakukan secara nasional dan serantak, menjadi syarat kelulusan mahasiswa kesehatan, dilakukan 3 kali dalam satu tahun, yaitu Bulan Maret, Juni dan November setiap tahunnya. Pemerintah telah berhasil mengadakan Uji Kompetensi 2013 untuk bidang keperawatan dan kebidanan, sedangkan Uji Kompetensi Nasional apoteker baru akan dilaksanakan di tahun 2015. Sayangnya, timbul masalah pada pelaksanaan Uji Kompetensi 2014 bidang keperawatan dan kebidanan ini. Uji Kompetensi yang seharusnya dilaksanakan bulan Maret 2014 justru baru akan dilaksanakan bulan Juli mendatang. Hal ini jelas menimbulkan protes dari mahasiswa yang sudah menyelesaikan SKSnya dari bulan-bulan lalu namun belum dinyatakan lulus karena belum mengikuti Uji Kompetensi ini sehingga menghambat rencana pekerjaan mereka. Dengan adanya proyek HPEQ, sejatinya akan banyak mata yang mengawasi keberjalanan Uji Kompetensi ini. Sekali lagi sinergitas dan koordinasi sangatlah dibutuhkan, dalam hal ini koordinasi antara DIKTI dengan MTKI (Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia), UKBI (Uji Kompetensi Bidang Indonesia), KOPERTIS (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta), dll.
Terlepas dari pelaksanaan Uji Kompetensi skala nasional tersebut, perlu adanya kajian mengenai metode yang ditawarkan. Uji Kompetensi prodi keperawatan menggunakan metode CBT (Computer-Based Test), yaitu ujian online melalui komputer, sedangkan untuk mahasiswa kedokteran dilakukan OSCE (Objective Structured Clinical Examination), yaitu suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara obyektif dan terstruktur (mahasiswa berkeliling melalui beberapa station untuk diberi tugas/soal yang harus dilakukan/didemonstrasikan). Metode yang digunakan sepatutnya merupakan metode yang dapat menjamin kompetensi mahasiswa kesehatan untuk layak dikatakan lulus. Dalam artian, pelaksanaan Uji Kompetensi harus relevan dengan Standar Kompetensi yang diekspektasikan. Penulis melihat bahwa OSCE merupakan penilaian yang cukup objektif karena peserta Uji Kompetensi diharuskan mendemonstrasikan praktik klinik, sedangkan CBT tidak semerta-merta merupakan simulasi sehingga unsur objektifitasnya tidak sekuat OSCE. Diharapkan metode yang digunakan ke depannya merupakan metode dengan objektifitas yang tinggi.
Berbagai upaya yang dijalankan dalam proyek HPEQ tentunya telah mendapat apresiasi, kritik, dan saran. Proyek ini tidak akan berjalan optimal jika tidak ada pihak-pihak tertentu yang mengkritisi dan mengawasi keberjalanannya bahkan turut berpartisipasi dalam proyek secara langsung. Salah satu pihak tersebut adalah mahasiswa. HPEQ DIKTI membentuk HPEQ Student sebagai wadah mahasiswa kesehatan untuk ikut berpartisipasi mengejar tujuan Indonesia sehat. HPEQ Student telah melaksanakan program-program seperti NHC (Nusantara Health Collaborative) serta usaha kajian dan advokasi; hal ini merupakan kemajuan yang ada dalam lingkaran keterlibatan mahasiswa kesehatan Indonesia karena di sini mahasiswa dapat berkoordinasi langsung dengan pemerintah. Besar harapan mahasiswa agar keterlibatan ini memberikan porsi suara yang dapat memengaruhi kebijakan kesehatan Republik Indonesia.
Proyek HPEQ DIKTI merupakan langkah awal untuk melatih profesionalisme profesi kesehatan. Eksistensi kader profesi kesehatan terhadap perkembangan dunia kesehatan dalam masa kini begitu fluktuasi; namun era global mengatakan bahwa tenaga kesehatan Indonesia butuh persiapan lebih matang lagi. Bukan hanya visi Indonesia sehat yang ditargetkan oleh bangsa Indonesia, namun AFTA 2015 dan AEC 2015 mau tidak mau memaksa Indonesia untuk mencapai MDGs secepat mungkin, dalam hal ini yaitu bidang kesehatannya. Optimalisasi HPEQ DIKTI dalam penentuan akreditasi dan pelaksanaan uji kompetensi yang memadai akan mempersiapkan kader profesi kesehatan dalam menjawab tantangan dunia dan mencapai visi Indonesia sehat. Menyadari bahwa fokus HPEQ tidak meliputi semua profesi kesehatan, penulis menghimbau pemerintah untuk memasukkan semua profesi kesehatan sebagai bentuk optimalisasi HPEQ dalam mempersiapkan kader profesi kesehatan yang menyeluruh. Tidak lupa perlunya sosialisasi mengenai isu-isu yang berhubungan dengan proyek HPEQ ini, seperti transparansi laporan Uji Kompetensi sebagai gambaran mahasiswa mengenai kualitas calon profesional kesehatan, sosialisasi Uji Kompetensi mahasiswa apoteker yang akan dilaksanakan, sosialisasi standar kompetensi, dan transparansi akreditasi. Dengan begitu diharapkan setiap mahasiswa kesehatan dapat mempersiapkan diri untuk menjadi profesional kesehatan yang mampu menjawab tantangan kesehatan Indonesia dan dunia.
Sumber Literatur:
Hardiyanti, Anggie, dkk. KAJIAN AWAL : TINGKAT PENGETAHUAN, PERSEPSI, DAN SIKAP MAHASISWA TERHADAP UJI KOMPETENSI PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN DI INDONESIA. HPEQ Student.
Achmad, Tri Hanggono, dkk. 2011. Panduan Penyelenggaran Ujian OSCE. DIKTI.
www.hpeq.dikti.go.id
http://www.kan.or.id/?page_id=86&lang=id
Jika Aku Menjadi Apoteker
Jika aku menjadi apoteker
Akan kuguncang dunia ini
dengan segala warna-warni lukisanku
‘Kan kutorehkan tinta-tinta pelangi pada kanvas persegi
Di bawah warnanya, tertangkap diriku
Menunjukkan tawa ekspresif tak berbunyi
Tersenyum simpul
Tegas bertanda
Bahwa hidupku secerah cipratan kuasku
Jika aku menjadi apoteker
Akan kubuat draf skenario
Kurekrut aktor-aktris berbakat
Untuk meracik dan memberi petuah kesehatan
Kubuat selayang film
Yang jauh dari kemasygulan
Tegas bertanda
Bahwa hidupku semulia teks percakapan itu
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan membuat sebuah novel
Tentang pengguna jas putih
Etalase tenggeran tangannya, tulisan cacing makanannya
Satu juta gajinya
Menolak si peminjam nama
Seorang muliawan
nan dermawan
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan menggaet calon presiden negeri ini
Seperti koala yang tak mau lepas dari bambunya
Aku mau menjadi mandataris
Duduk di gedung kementerian kesehatan
Mengelus mesra penduduk tahta tertinggi
Jika aku menjadi apoteker
Akan kutunjukkan senyum kambingku tanpa masker
Tak akan kuperawani senyawa-senyawa kimia itu
Aku mau sebagian kalian yang menjentiknya satu per satu
Sebagiannya ikut aku
Adakah kita yang peduli?
*terinspirasi dari Astiani yang ingin buat film tentang Apoteker so people will be interested to our job :p
Akan kuguncang dunia ini
dengan segala warna-warni lukisanku
‘Kan kutorehkan tinta-tinta pelangi pada kanvas persegi
Di bawah warnanya, tertangkap diriku
Menunjukkan tawa ekspresif tak berbunyi
Tersenyum simpul
Tegas bertanda
Bahwa hidupku secerah cipratan kuasku
Jika aku menjadi apoteker
Akan kubuat draf skenario
Kurekrut aktor-aktris berbakat
Untuk meracik dan memberi petuah kesehatan
Kubuat selayang film
Yang jauh dari kemasygulan
Tegas bertanda
Bahwa hidupku semulia teks percakapan itu
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan membuat sebuah novel
Tentang pengguna jas putih
Etalase tenggeran tangannya, tulisan cacing makanannya
Satu juta gajinya
Menolak si peminjam nama
Seorang muliawan
nan dermawan
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan menggaet calon presiden negeri ini
Seperti koala yang tak mau lepas dari bambunya
Aku mau menjadi mandataris
Duduk di gedung kementerian kesehatan
Mengelus mesra penduduk tahta tertinggi
Jika aku menjadi apoteker
Akan kutunjukkan senyum kambingku tanpa masker
Tak akan kuperawani senyawa-senyawa kimia itu
Aku mau sebagian kalian yang menjentiknya satu per satu
Sebagiannya ikut aku
Adakah kita yang peduli?
*terinspirasi dari Astiani yang ingin buat film tentang Apoteker so people will be interested to our job :p
Sabtu, 28 Juni 2014
Beasiswa Data Print
Dikutip dari web http://beasiswadataprint.com/
Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun keempat. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 hingga 2013, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa. Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2014 sebanyak 700 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint. Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini http://beasiswadataprint.com/
Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun keempat. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 hingga 2013, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa. Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2014 sebanyak 700 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint. Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini http://beasiswadataprint.com/
Sabtu, 31 Mei 2014
Legal tapi Lethal (World No Tobacco Day, 31 Mei 2014)
“Rata-rata setiap orang sudah tahu bahaya rokok, tapi tetap tidak mau berhenti; jadi sebenarnya di titik mana kita (khususnya sebagai mahasiswa kesehatan-red) harus bertindak?”
Sebuah pertanyaan dari kakak seniorku pada saat mengikuti Talkshow Forum Tobacco Control ISMAFARSI di UI pagi tadi. Yup, jadi sebenarnya kita harus apa untuk menekan angka perokok di Indonesia, sedangkan hampir setiap orang sejatinya mengetahui bahaya rokok?
Sejarah rokok diawali oleh suku Indian di Amerika yang mempergunakan rokok sebagai spek ritual. Kemudian berkembanglah sampai sekarang, sebagai yang katanya ‘penghilang stres’. Jika bermain angka, layaknya barang mainstream yang bukan bagian dari monopoli pasar, angka yang menunjukkan kematian akibat merokok sudah seperti barang yang disusun rapi dalam terpal penjual kaki lima. Banyak dan mudah ditemukan; apalagi zaman sekarang kita mengenal teknologi internet. 70% pria di Indonesia adalah perokok; dari totalnya yang mencapai 62.800.000, 70%nya mulai merokok sejak 19 tahun dan 12% sejak sekolah dasar. Jumlah perokok tiap tahun pun meningkat. +- 4,9 juta meninggal pada tahun 2000 dengan 50%nya adalah warga Negara berkembang, angka itu terus melonjak linear.
Lalu kenapa?
Ayo sama-sama kita review bahaya rokok yang kemungkinan besar teman-teman sudah tahu. Rokok mengandung 4000 senyawa kimia dengan 200 di antaranya beracun dan 43 lainnya adalah pemicu kanker; hampir tidak ada senyawa kimia yang bermanfaat di dalamnya; terdiri dari nikotin yang menyebabkan efek ketagihan –dan pengurangan nikotin tidak memengaruhi bahaya rokok-, tar yang dapat menempel di paru-paru dan menyebabkan kanker, serta CO yang mengurangi pengikatan O2 dalam darah.
Jika kita melihat sekeliling, yaitu keluarga dan teman, mungkin kelihatannya tidak terlihat bahwa rokok adalah barang berbahaya. Gue ga pernah liat temen atau keluarga gue meninggal karena merokok. Okay, mungkin belum. Karena pada kenyataannya, angka penelitian telah berbicara. Ya, penelitian menunjukkan bahwa rokok menyumbang angka kematian terbesar di dunia.
Lantas kenapa pemerintah diam?
Satu lagi hal yang mungkin sering teman dengar, yaitu permainan politik oleh industri rokok. Apa benar ada? Menurut pembicara talkshow FTC yang merupakan advokat regulasi rokok, dan seorang ibu berasal dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, ya memang ada permainan politik di dalamnya. Presiden SBY pun ternyata lebih memilih untuk menengokkan kepalanya kepada RUU Tembakau yang cenderung ramah terhadap industri rokok ketimbang menandatangani FCTC sebagai kontrol globalisai epidemi. Bisa jadi musim pilpres seperti ini pun secara tidak langsung akan memaksa Indonesia memalingkan mukanya barang sejenak dari FCTC ini, oh bahkan mungkin dalam waktu yang lama.
FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) merupakan traktat internasional pertama yang dibahas dalam forum WHO, berisi seluruh negara anggota PBB. FCTC berbasis data ilmiah yang menegaskan kembali hak semua orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal-pasal dalam FCTC pun menegaskan pentingnya strategi pengurangan permintaan terhadap produk tembakau sehingga fokusnya adalah mencegah orang merokok ketimbang mengobati kecanduan. Hal yang diregulasi dalam FCTC adalah supply reduction seperti penanganan penyelundupan tembakau serta demand reduction seperti peningkatan harga dan cukai tembakau, pelarangan iklan, dll. Sayangnya, negeri tercinta kita ini adalah satu Negara dari +-10 yang belum menandatangani FCTC. Siapa orang dibalik layar yang menyusun skenario nyata ini? Industri rokok.
Sumber kekayaan utama Indonesia bukan tembakau melainkan minyak bumi dan sebangsanya. Jadi, jangan pernah berdalih bahwa dengan merokok kita akan menolong Negara. Negeri ini sedang diinvasi oleh industri rokok yang berorientasi bisnis semata.
Kabar baik, pemerintah pusat telah mewajibkan pengadaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di setiap daerah. Namun otonomi yang dimiliki setiap daerah membatasi kewenangan pemerintah pusat untuk memaksa. Coba tengok daerah masing-masing, apakah sudah ada KTR? Tujuan KTR utamanya adalah melindungi perokok pasif sebagai secondhand smoke kill. Walaupun tidak dinilai dapat mengurangi perokok aktif, ini merupakan suatu progress dalam rangka melindungi hak orang banyak. Harapannya akan ada kebijakan lain dari pemerintah yang dapat secara signifikan mengurangi penggunaan rokok.
“Rata-rata setiap orang sudah tahu bahaya rokok, tapi tetap tidak mau berhenti; jadi sebenarnya di titik mana kita (khususnya sebagai mahasiswa kesehatan-red) harus bertindak?”
Pertama, mahasiswa harus mengubah mindset dan pandangannya tentang rokok dengan cara memperkuat data, jangan percaya dengan mitos-mitos yang berkaitan dengan keuntungan yang diperoleh dari merokok. Sekali lagi, data ini bukan lagi barang susah untuk didapat.
Kedua, jangan mau menerima beasiswa dari perusahaan rokok. Penerima beasiswa secara tidak langsung merupakan kader untuk menjadi agen dalam mempromosikan rokok. Mungkin kampusku sudah waktunya mengikuti jejak kampus sebelah untuk melarang kehadiran beasiswa perusahaan rokok.
Ketiga, penyuluhan bahaya rokok. Mungkin metode ini tidak lagi sesuai melihat bahwa sudah banyak orang mengetahui bahaya rokok, namun tidak semua mengetahui angka maka suguhi mereka dengan angka-angka sebagai salah satu usaha membuat mereka tercengang dan menjadikannya pertimbangan untuk berhenti merokok. Metode lain dapat pula menukar rokok dengan barang-barang seperti permen, susu, atau makanan lain sambil menyuluh. Metode visualisasi lewat video seperti video Thailand yang cukup terkenal itu pun bisa dicontoh, bahkan metode yang ditawarkan dalam video dapat menjadi masukan.
Keempat, bujuk orang-orang terdekat yang menyayangi kita untuk berhenti merokok, insyaAllah seseorang akan membuka porsi pertimbangan lebih besar untuk orang yang disayangnya.
Selanjutnya harapan lain,
Kelima, jika industri rokok menggunakan pergeseran strategi marketing dengan menampilkan orang-orang kekar dan tangguh di setiap iklan rokok sehingga berhasil memainkan psikologi manusia, diharapkan pemerintah dapat membuat iklan yang menampilkan bahaya rokok sebagai bentuk perlawanan.
Keenam, diharapkan adanya penelitian yang mengembangkan rokok elektronik dan sejenisnya yang dapat mengurangi efek bahaya rokok.
Ketujuh, besar harapan untukmu Indonesiaku agar menandatangani FCTC.
Kedelapan, siapapun kelak di antara kita yang akan mendudukan kursi-kursi pembuat kebijakan, pikirkanlah bahwa kesehatan bangsa ini merupakan faktor penting kesejahteraan dan keadilan umat manusia.
Halo sahabat kampusku khususnya, sedih setiap kali melihat kalian meneriakkan idealisme dan berbicara kemajuan dan kesejahteraan negara tapi kesehatan diri sendiri dan orang lain tidak diperhatikan, padahal kesehatan adalah faktor yang memengaruhi kesejahteraan negeri. Merokok bukan hak asasi manusia ketika hak asasi manusia adalah mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya dan mendapat lingkungan dengan udara bersih. Please stop saying that smoking is a right! IT IS NOT.
Sabtu, 17 Mei 2014
Living a Life Too Simply?
Gea diam tak bergeming. Pandangan matanya lurus ke depan, pikirannya merayapi saraf-saraf di lobus otaknya. Matanya basah namun tak ada air yang mengalir, menangis tak terlihat walaupun kelenjar lakrimalnya sedang bekerja. Hatinya sudah berbulan-bulan tak tenang. Pikirannya tak kunjung selesai melancong mencari hal yang bisa membuat ia mengerti masalahnya. Ia tak bergerak.
“Gea, we should increase the dosage, shouldn’t we?” Yang diajak bicara diam.
“The patient drives me crazy, you’re not gonna believe this, his serotonin may drop until its limit! Gotta search for another potent antidepressant, what’d you think?”
“Gea, excuse me?” Gea masih diam.
“Well, you know what, I guess this prescription is so suitable for you, I’ll give you the one more expensive if you want to, might be more convenient.” Gerard melambai-lambaikan secarik kertas resep di depan mata Gea, Gea mengerjapkan matanya tersadar.
“Hey pretty girl, would you, please?” Gerard memberi isyarat dengan gerakan tangannya, membujuk sopan Gea untuk kembali bekerja.
“Meet me up after work if you needed a friend to talk to.” Sesungging senyum tulus terlihat dari bibir Gerard, Gea membalas senyum hambar.
Gerard adalah partner terbaik bagi siapapun. Seorang farmasis pekerja keras, telaten, perhatian, dan profesional. Gerard tahu bahwa masalah pribadi tidak sebaiknya di bawa ke meja kerja, namun ia mengetahui dengan pasti bahwa ia harus menjadi pendengar yang baik bagi partner kerjanya yang dilanda masalah.. Sedangkan Gea, gadis ini menjalani hidup yang standar. Terlalu cerdas tidak, bodoh pun tidak. Punya kelebihan yang banyak tidak, kekurangan bermakna pun tidak. Cantik tidak, jelek pun tidak. Dia hanya gadis biasa yang kebetulan punya berbagai kesempatan.
Gea berjalan tertatih menuju ruang konseling, ia melewati lorong penuh dengan figura bertuliskan Pharmacist of the Month. Wajah Gerard jelas terpampang di barisan figura tersebut. Dinding ruangan konseling itu berwarna hijau pekat, lebih pekat dari zat pewarna Green FCF. Seorang pasien duduk di kursi menanti farmasisnya dengan sabar, ia tersenyum dan menyapa ramah sang farmasis. Gea melakukan kegiatan rutinnya, memberikan informasi obat kepada pasien. Pasien itu penderita depresi berat, Gea merekomendasikan suatu terapi penenang namun sang pasien menampik.
“Often my depression is healed just by doing or seeing anything I like. I was so unstable before I came in to this room, but when I opened the room’s door and I saw this green wall, which is my favorite color, I feel so calm and happy. Or when I talk to my grandkids, God, it’s a whole lifetime healer!” Gea tersenyum. Ia mengangguk lantas melanjutkan konseling tanpa menyinggung terapi yang ia rekomendasikan sebelumnya. Selesai memberikan konseling, Gea kembali diam, kali ini di meja kerjanya. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang ia dapat setelah memberikan konseling? Apakah dia senang? Tidak. Itu semua hanya formalitas, tuntutan pekerjaan. Senyumnya, gaya bahasa, dan gerak-geriknya hanyalah SOP yang diberikan atasan. Gea tidak pernah tahu kenapa ia harus mengikuti SOP tersebut. Mungkin ia memiliki penyakit kelainan neurotransmitter yang membuahkan respon seperti itu.
***
“Ahh gue bingung banget…jurusan apa ya? Gue suka konseling tapi bukannya di Indonesia farmasis ga kasih konseling ke pasien? Gue kerja di mana dong?”
“Yah rezeki sudah diatur Tuhan, Farma. Lagipula, Tuhan mana rela ga kasih kerja buat kamu wong nama kamu saja sudah mengindikasikan kalau kamu cinta Farmasi haha.” Farma nyengir. Mahasiswi tingkat satu dengan gaya khas anak metropolitan ini masih saja belum menentukan pilihan jurusannya, ingin fokus pharmaceutical care atau industrial oriented.
“Eh, Gea! Lu 100 persen banget sama pilihan lu? Sesuai sama tujuan lu di masa depan? Sudah kaji efek sampingnya? Gue dengar hati lo sendiri kontraindikasi tuh sama farmasi.” Farma beralih kepada Gea, menanyakan perihal pilihan jurusannya.
“Heh, gue tahu nama lo kefarmasi-farmasian, tapi gausah sok-sok farmasis gitu, maksa tau!”
“Haha ya maaf, serius nih gue nanya!”
“Iya, sudah pasti. Gue selalu menjalani sesuatu tanpa rasa kok, bingung tidak, bahagia tidak, jalanin aja mau apapun jurusannya, ini juga hasil tang-ting-tung milihnya. Gue hidup kaya air aja deh, ga usah tuh buat-buat tujuan hahaha”
“Hati-hati Gea, menjalani sesuatu tanpa motivasi bisa-bisa ke depannya lo menyesal, setidaknya pilih jurusan yang mendekati rasa bahagia lo di masa depan. Belajar hanya formalitas karena lo mahasiswa, tapi lo tidak merasakannya? Memang kebahagiaan tidak akan semudah mendapatkan suatu titel, tapi kebahagian lah yang membuat seseorang merasakan makna hidup.” Farma pun menutup percakapan itu sambil lalu.
Sangat terasa percakapan itu. Bahagia ya, Gea tidak pernah menemukannya sampai saat ini. Apa yang ia lakukan murni karena ia sudah terlanjur basah. Ditempatkan di SMA Farmasi, Sekolah Farmasi Universitas Negeri Bandung, lantas banyak rumah sakit luar negeri kenalan orang tuanya merekrut Gea bekerja. Gea memang tidak pernah punya tujuan. Dia tidak pernah protes jika orang tua menyuruhnya melakukan ini dan itu termasuk memilihkan sekolah dan pekerjaan. Bukan karena orang tuanya yang keras kepala, memang Gea yang tidak pernah merangkai mimpi untuk dirinya sendiri. Orang lain lah yang merangkai mimpi namun Gea yang mendapatkannya. Jika orang lain mendesain mimpinya secara sadar, Gea melakukannya di bawah alam sadar seperti benar-benar sedang tidur. Dia tidak membutuhkan usaha yang bermakna ketika ia mendapatkan sesuatu. Dikala orang lain terihat membutuhkan setumpuk morfin untuk berhenti panik, Gea bahkan tak membutuhkan aspirin.
“Mungkin Tuhan menciptakan Gea karena Ia lelah dengan semua makhlukNya yang tamak terhadap penawaran dunia. Tuhan lelah dengan manusia-manusia yang sibuk menempelkan mimpinya di dinding kamar lantas lupa akan kewajiban yang Tuhan mandatkan. Tuhan lelah dengan semua dunia penuh kompetisi dan kecurangan ini. Mahasiswa lulusan Universitas Negeri Bandung yang berbondong-bondong berebut mencari pekerjaan, mengusungkan dada pada saat recruitment interview, berani menawarkan harga tinggi tidak tahu diri. Oh, dan teman-teman kamu itu, sibuk mencari beasiswa luar negeri untuk mendapatkan harga hidup bukan untuk memperbaiki dirinya yang sebenarnya serba kekurangan.”
Gea tersenyum pahit mendengar ucapan sepupu kesayangannya itu. Lelah terhadap manusia yang bermimpi sampai lupa satu kewajiban yang Tuhan mandatkan? Memang Gea ingat? Kerja di luar negeri untuk memperbaiki diri? Memang Gea begitu? Gea memilih untuk diam. Ia membuka buku-buku Farmasi yang selalu menemaninya selama lima tahun terakhir. Bulan depan Gea wisuda apoteker.
“Jadi, kamu sudah pasti ke Amerika di Rumah Sakit kenalan Papa Mama? Rumah Sakit mana yang beruntung mendapatkan tang-ting-tung kamu?” sepupu Gea bertanya menelisik.
“Kali ini Mama yang pilih kok, Rumah Sakit di daerah Ohio.”
***
“Gea! Gile luuuu! Lanjut ke Amerika yaa!” Farma memeluk erat sahabatnya itu. Yang dipeluk hanya tersenyum.
“Keren lu! Gue sudah usaha mati-matian belajar tiap malam sampai pagi, ikut organisasi ini-itu biar CV oke, buat network kemana-mana, tapi kerjaan sekarang masih aja belum nyamperin. Elu, belajar standar, organisasi standar, apa-apa standar tapi sukses duluan! Haha, no offense friend!” Farma gamblang mengutarakan kekecewaannya yang tidak dapat kerjaan.
“Haha ya mana gue tahu, gue ga pernah mimpi buat lanjut ke Amerika, kebetulan aja ada kenalan Mama” Gea sangat menyadari hal itu, selama ini apa yang dia dapatkan karena kebetulan.
Farma nyengir. Ia tahu Tuhan sudah menarik garis takdir ke destinasi akhir masing-masing. Terkadang Tuhan menggambar garis yang berkelok-kelok, terkadang Tuhan hanya membuat garis lurus sampai destinasi akhir. Setiap orang punya jalan suksesnya masing-masing. Yang penting gue bangga dan bahagia dengan usaha yang gue lakukan, ujar Farma dalam hati.
***
Kantin rumah sakit sepi, siapa yang akan ke mari di tengah malam begini.
“I don’t believe in his famous extraordinary quote –well at least it’s what people say- I mean, come on, how do I live my astonishing life? It’s all pure luck! I did not do anything, an inch of walking toward effort? Never! I don’t prepare, I just flow….like water.”
Gea membanting tubuhnya ke atas kursi menghadap Gerard seraya meletakkan sebuah buku kasar dan mengomel setengah berteriak. Sekuriti rumah sakit menengok, Gea hanya tersenyum minta maaf.
“Since when you read Roman Literature?”
“Just trying to drain times until it’s dried.”
“Luck is what happens when preparation meets opportunity, quotes attributed to Roman philosopher Seneca, reminds us that we make our own luck.” Gerard mengucapkan potongan kalimat yang ditunjuk Gea.
“Luck isn’t made. It’s just her, a Fortune Goddess created it” Gea berkata datar, tidak bermaksud memercayai kehadiran Dewi Fortuna, hanya ucapan refleks semata. Gerard menatapnya penuh perhatian, pancaran mata Gea seolah diterima retina Gerard sebagai sinyal cahaya yang diterjemahkan ke dalam bahasa hati.
“You are not happy, are you? You feel everything is flat. You had never through even a single hard time.”
“You’re blessed Gerard. What is it when you read someone’s palm? Palmistry? I would name what you do as an Eyeistry.” Gea mencoba bercanda di kala ia menahan helaan nafas berat yang sejak tadi protes ingin keluar. Apa yang dikatakan Gerard benar, Gea tidak bahagia dan menganggap hidupnya selalu datar.
“So why flat?” Gerard menanggapinya dengan senyuman namun berusaha mengarahkan arah pembicaraan ke suasana serius.
“I have got everything Gerard. Everything. Good work, cool car, loyal friends, awesome parents, stunning boyfriend, but somehow they color my life in black and white. I wasn’t sad, I was okay with them, but now it seems not okay. I’m just….I’m not happy. People is that easy to be happy just by seeing their favorite color, really?”
“Don’t you want a better work? A bigger salary? A… cooler car? A… more cute boyfriend, like me?” Gerard tersenyum menggoda, Gea tau itu hanya guyonan Gerard.
“I don’t know, think I have enough yet I’m not happy.”
Gerard berdiri dan meraih tangan Gea menjauh dari kantin dan keluar rumah sakit. Mereka berjalan cukup jauh sampai di pertengahan kota yang sepi karena waktu telah menunjukkan pukul 00.40.
“Look. Have you ever talked to them?” Gerard menunjuk pada sekumpulan tuna wisma. Gea bingung. Untuk apa dia berbicara dengan mereka?
“You’re not happy because you never try to appreciate what you have done. That’s first. Praise yourself, Gea. Luck is indeed an effort meeting opportunity. Rarely appreciating? Because you don’t dream. You’ve been living your life too simply. Look at them! Those homeless people may flow like water as well, what makes it different, God gives you more and lots opportunities, even too many, as a space for doing effort. Second, you’re too fast to feel enough. God is tired of people being lazy yet God is tired too of people being too ambitious. He created you to warn those kinds of people. Warn them! Get that adrenaline into your every blood vessel. Go talk to the homeless, beggar, handicapped kids, as well as your ambitious colleagues who never feel enough. You will know why people could be that unlucky and at the same time you will know why people just can’t get enough. Be grateful, then go out and talk to anybody! Soon you will create your own life motivation what so called a dream.”
Gea terdiam.
“The poor might teach you how to feel enough, the never-enough-people might teach you how to feel not enough. You will be that grateful ambitious girl who chases your dream and dream to make people’s dream come true at the same time. By the time you achieve the dreams, you’ll be the happiest girl in the world.”
Kebahagian lah yang membuat seseorang merasakan makna hidup
Selasa, 06 Mei 2014
Yaudah Yuk
Iya gue tahu, harusnya gue sekarang baca slides epidem buat UAS, tapi lagi butuh refreshing dari segala kepusingan ini, sebentar aja ☺
Apa sih masalah mahasiswa? Mungkin ga akan jauh dari ini; gabisa mengikuti pelajaran, merasa salah jurusan, IP turun, gabisa bagi waktu antara belajar dan organisasi, gabisa menghilangkan rasa malas, galau harus jadi BP di himpunan atau unit, galau belum dapat pacar, dicuekin sama kecengan, digalakkin sama senior, kesal sama anggota yang ga kooperatif, orang tua dianggap ga mengerti anaknya yang aktivis, dsb seputar itu.
Pernah dengar kalimat ini?
“Respon kita terhadap masalah menentukan kualitas hidup kita”
Baru saja tmn gue mengingatkan ini ketika makan siang tadi. Mungkin yang dia maksud bukan ini, tapi kata-kata dia mengingatkan gue akan kalimat di atas.
Well, pembaca sudah tahu kan arah tulisan ini akan kemana?
Tulisan ini bukan untuk menggurui teman-teman sekalian, ini pelajaran untuk gue sendiri. Pelajaran bagaimana kita merespon suatu masalah. Gue sendiri ga peduli ketika gue menganggap sesuatu sebagai masalah tetapi teman gue tidak menganggapnya demikian ataupun sebaliknya. Terserah. Menurut gue yang terpenting adalah bagaimana meresponnya.
Mungkin buat gue sakit punggung sedikit saja adalah masalah, rasanya ingin langsung pergi ke dokter, khawatir, kasarnya, “gimana kalau ternyata sakit ini nyambung ke saraf x,y,z,a,dbsk,ska, terus gue mati?” walaupun kalimat kutip tersebut ga gue ucapkan, tapi perasaan mungkin berkata demikian. Sebagian orang akan berpikir gue berlebihan.
Mungkin buat gue “slides kuliah yang masih ada 5 bab lagi dan belum dibaca sedangkan besok UAS” menjadi beban tidak henti-hentinya. Gue mengeluh, teriak guling-guling di atas kasur, langsung sms mamah “Maaf ya mah kalau IP aku turun”. Sebagian orang akan berpikir gue berlebihan.
Mungkin buat sebagian orang, ga punya pacar adalah bencana yang menancap hati, menusuk pikiran, dan menghantam beban di badan. Mereka tak henti-hentinya ikut segala kegiatan dengan dalih mencari pengalaman, padahal niat utama mencari jodoh. Mengeluh dan mengkode di berbagai medsos “HP sepi…”
Begitulah. Setiap orang punya berbagai pilihan respon ketika ia mencap sesuatu menjadi masalah. Diam dan menangis, mengeluh, bercerita, menyelesaikan, dan/atau berdoa.
Lantas memang bagaimana seharusnya merespon? Bukankah mengeluh dan menangis adalah obat mujarab menghilangkan depresi?
Okay. Gue bukan psikolog, tapi gue punya pandangan bahwa mengeluh (dan bercerita) dan menangis memang obat mujarab ketika kita sedang depresi menghadapi masalah. Namun kebanyakan dari kita ya mengeluh tiada akhir, tanya saja pada diri sendiri apakah kualitas hidup kita akan bagus ketika kita banyak mengeluh?
Kita lupa sesuatu. Bandingkan seberapa sering kita menceritakan masalah kita ke teman dengan ke Tuhan? Jangan bilang kita sudah curhat ke Allah kalau hanya ucapan istigfar di mulut. Jangan bilang kita sudah meminta petunjuk Allah kalau kita hanya berdoa setelah shalat magrib. Jangan bilang kita sudah mencoba mencari ketenangan kalau kita hanya membaca 1 lembar Al-Qur’an. Bandingkan berapa jam yang kita habiskan untuk menceritakan masalah kita kepada teman?
Buat saja pie diagram. Bagi pie tersebut dengan semua kegiatan kita setiap harinya. Lalu lihatlah pie ‘ibadah’.
Jangan protes kalau selama ini segala sesuatu di mata kita adalah masalah. Lantas kembali mengeluh, kapan selesainya?
Okay. Gue bukan psikolog, tapi gue punya pandangan bahwa mengeluh (dan bercerita) dan menangis memang obat mujarab ketika kita sedang depresi menghadapi masalah. Yang biasanya bercerita kepada teman selama satu jam, karena masalah banyak, cerita pun menjadi berhari-hari. Setiap habis bercerita pun merasa tenang, tapi masalah itu muncul lagi karena tidak pernah diselesaikan, lantas cerita lagi.
Yang biasanya shalat 5 waktu dan berdoa setiap kalinya, kenapa tidak pernah ditingkatkan dengan melaksanakan sunnah rutin?
“Mengerjakan amalan-amalan sunnah secara rutin, walau amalannya sedikit, itu lebih baik dan terasa pengaruh perubahannya di hati daripada amalannya banyak tetapi tidak rutin”
Tuhanlah yang memberikan segala ketenangan dan kebijakan bagi kita dalam menghadapi suatu masalah yang akan berakhir pada penyelesaian yang luar biasa. Itulah respon yang InsyaAllah akan menentukan kualitas hidup kita menuju ke arah yang lebih baik.
Apa sih masalah mahasiswa? Mungkin ga akan jauh dari ini; gabisa mengikuti pelajaran, merasa salah jurusan, IP turun, gabisa bagi waktu antara belajar dan organisasi, gabisa menghilangkan rasa malas, galau harus jadi BP di himpunan atau unit, galau belum dapat pacar, dicuekin sama kecengan, digalakkin sama senior, kesal sama anggota yang ga kooperatif, orang tua dianggap ga mengerti anaknya yang aktivis, dsb seputar itu.
Yaudah yuk cerita sama Allah.
Apa sih masalah mahasiswa? Mungkin ga akan jauh dari ini; gabisa mengikuti pelajaran, merasa salah jurusan, IP turun, gabisa bagi waktu antara belajar dan organisasi, gabisa menghilangkan rasa malas, galau harus jadi BP di himpunan atau unit, galau belum dapat pacar, dicuekin sama kecengan, digalakkin sama senior, kesal sama anggota yang ga kooperatif, orang tua dianggap ga mengerti anaknya yang aktivis, dsb seputar itu.
Pernah dengar kalimat ini?
“Respon kita terhadap masalah menentukan kualitas hidup kita”
Baru saja tmn gue mengingatkan ini ketika makan siang tadi. Mungkin yang dia maksud bukan ini, tapi kata-kata dia mengingatkan gue akan kalimat di atas.
Well, pembaca sudah tahu kan arah tulisan ini akan kemana?
Tulisan ini bukan untuk menggurui teman-teman sekalian, ini pelajaran untuk gue sendiri. Pelajaran bagaimana kita merespon suatu masalah. Gue sendiri ga peduli ketika gue menganggap sesuatu sebagai masalah tetapi teman gue tidak menganggapnya demikian ataupun sebaliknya. Terserah. Menurut gue yang terpenting adalah bagaimana meresponnya.
Mungkin buat gue sakit punggung sedikit saja adalah masalah, rasanya ingin langsung pergi ke dokter, khawatir, kasarnya, “gimana kalau ternyata sakit ini nyambung ke saraf x,y,z,a,dbsk,ska, terus gue mati?” walaupun kalimat kutip tersebut ga gue ucapkan, tapi perasaan mungkin berkata demikian. Sebagian orang akan berpikir gue berlebihan.
Mungkin buat gue “slides kuliah yang masih ada 5 bab lagi dan belum dibaca sedangkan besok UAS” menjadi beban tidak henti-hentinya. Gue mengeluh, teriak guling-guling di atas kasur, langsung sms mamah “Maaf ya mah kalau IP aku turun”. Sebagian orang akan berpikir gue berlebihan.
Mungkin buat sebagian orang, ga punya pacar adalah bencana yang menancap hati, menusuk pikiran, dan menghantam beban di badan. Mereka tak henti-hentinya ikut segala kegiatan dengan dalih mencari pengalaman, padahal niat utama mencari jodoh. Mengeluh dan mengkode di berbagai medsos “HP sepi…”
Begitulah. Setiap orang punya berbagai pilihan respon ketika ia mencap sesuatu menjadi masalah. Diam dan menangis, mengeluh, bercerita, menyelesaikan, dan/atau berdoa.
Lantas memang bagaimana seharusnya merespon? Bukankah mengeluh dan menangis adalah obat mujarab menghilangkan depresi?
Okay. Gue bukan psikolog, tapi gue punya pandangan bahwa mengeluh (dan bercerita) dan menangis memang obat mujarab ketika kita sedang depresi menghadapi masalah. Namun kebanyakan dari kita ya mengeluh tiada akhir, tanya saja pada diri sendiri apakah kualitas hidup kita akan bagus ketika kita banyak mengeluh?
Kita lupa sesuatu. Bandingkan seberapa sering kita menceritakan masalah kita ke teman dengan ke Tuhan? Jangan bilang kita sudah curhat ke Allah kalau hanya ucapan istigfar di mulut. Jangan bilang kita sudah meminta petunjuk Allah kalau kita hanya berdoa setelah shalat magrib. Jangan bilang kita sudah mencoba mencari ketenangan kalau kita hanya membaca 1 lembar Al-Qur’an. Bandingkan berapa jam yang kita habiskan untuk menceritakan masalah kita kepada teman?
Buat saja pie diagram. Bagi pie tersebut dengan semua kegiatan kita setiap harinya. Lalu lihatlah pie ‘ibadah’.
Jangan protes kalau selama ini segala sesuatu di mata kita adalah masalah. Lantas kembali mengeluh, kapan selesainya?
Okay. Gue bukan psikolog, tapi gue punya pandangan bahwa mengeluh (dan bercerita) dan menangis memang obat mujarab ketika kita sedang depresi menghadapi masalah. Yang biasanya bercerita kepada teman selama satu jam, karena masalah banyak, cerita pun menjadi berhari-hari. Setiap habis bercerita pun merasa tenang, tapi masalah itu muncul lagi karena tidak pernah diselesaikan, lantas cerita lagi.
Yang biasanya shalat 5 waktu dan berdoa setiap kalinya, kenapa tidak pernah ditingkatkan dengan melaksanakan sunnah rutin?
“Mengerjakan amalan-amalan sunnah secara rutin, walau amalannya sedikit, itu lebih baik dan terasa pengaruh perubahannya di hati daripada amalannya banyak tetapi tidak rutin”
Tuhanlah yang memberikan segala ketenangan dan kebijakan bagi kita dalam menghadapi suatu masalah yang akan berakhir pada penyelesaian yang luar biasa. Itulah respon yang InsyaAllah akan menentukan kualitas hidup kita menuju ke arah yang lebih baik.
Apa sih masalah mahasiswa? Mungkin ga akan jauh dari ini; gabisa mengikuti pelajaran, merasa salah jurusan, IP turun, gabisa bagi waktu antara belajar dan organisasi, gabisa menghilangkan rasa malas, galau harus jadi BP di himpunan atau unit, galau belum dapat pacar, dicuekin sama kecengan, digalakkin sama senior, kesal sama anggota yang ga kooperatif, orang tua dianggap ga mengerti anaknya yang aktivis, dsb seputar itu.
Yaudah yuk cerita sama Allah.
Jumat, 25 April 2014
Kartinistraat
Mei berjalan cepat. Baginya waktu adalah lawan, lawan yang selalu siap menghunuskan pedangnya ketika setumpuk pekerjaan dikejar deadline. Sedikit saja Mei telat, ia akan menyesal dan mengeluh sepanjang waktu seperti seorang pelancong yang ditinggal kereta. Setapak jalan di Amsterdam jadi saksi bisu sepanjang karir Mei; seperti jalan tersebut yang tak kenal lelah diinjak heels tajamnya, Mei pun tak pernah lelah bekerja pagi, siang, dan malam demi mendapat puncak karir yang ia idam-idamkan sejak masih duduk di bangku sekolah. Tangga karir yang tidak mudah ia jejaki, satu per satu anak tangga ia lewati, tidak sedikit tajamnya duri menghambat ambisi perempuan penyuka warna biru ini. Perempuan berusia 27 tahun yang sangat telaten dan tekun mengejar cita-cita. Tak heran jika ia lantas menuai padi berisi ketika panennya tiba dan terbang secepat roket ketika hitungan mundur bergema, melesat dengan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang sudah lebih dahulu berada di perusahaan yang sama. Mei disekolahkan di playgroup hingga universitas yang menjanjikan. Fasilitas tersebut ia gunakan dengan sangat baik, tak ada secuilpun waktu ia habiskan percuma. Buku-buku ekonomi dan manajemen di rumahnya berbaris rapi membentuk tumpukan setinggi langit-langit. Tiada waktu tanpa menyentuh buku-buku itu, tiada batasan waktu baginya merancang strategi perusahaan idaman sampai mau tidak mau ibunya menyuruh Mei tidur.
Mei dipromosikan menjadi General Manager. Sangatlah muda bagi Mei menduduki posisi ini untuk perusahaan parlente yang namanya bak jutaan jerami menumpuk jarum. Perusahaan yang sudah kebal dengan segala strategi marketing perusahaan lain yang berani menusuk dari belakang.
“Mei, istirahatlah. Kantung matamu sudah kaya agar-agar basi itu…” Alida, teman Mei yang sama-sama berasal dari Indonesia menghampiri Mei yang sedang menari-narikan jemarinya di atas keyboard komputer, menyuruh Mei beristirahat seraya meledeknya bercanda. Mei mendengus kesal, kembali meletakkan tangannya ke badan mouse dan mulai menggerak-gerakaan kursor tanpa memedulikan Alida. Alida hanya bisa menaikkan alisnya bingung.
Terdengar panggilan. Mei mendongak, menarik nafas panjang dan berusaha mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri. Alida melihat temannya berjalan sempoyongan menuju ruangan si bos, ia hanya mampu berdecak dan menggelengkan kepala.
***
Tiga tahun silam Belinda menginjak usia 5 tahun.
Indonesia sedang tersanjung. Negeri ini dipuji karena memiliki seorang pahlawan yang membela hak kaum wanita. Wanita ini berhasil mengizinkan pikiran para wanita untuk mendarat tepat pada hak mereka, yaitu mengenyam pendidikan seperti pria di zamannya. Setiap tahunnya, berita-berita di televisi menampilkan sosok wanita ini dengan karya terkenalnya, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
Belinda mengerjap-ngerjapkan mata, retinanya menangkap cahaya dan tulisan pada televisi di depannya, syaraf matanya mengantar tulisan tersebut untuk diterjemahkan di bagian otak yang bertugas. Mata bening itu tak berhenti melihat televisi. Sekejap pikirannya melayang pada Ibunda yang melahirkannya.
“Ayah, kata nenek, Bunda itu perempuan cerdas, apa karena itu Bunda tidak mau ikut menengok nenek ke sini? Karena Bunda tidak sanggup hidup dengan nenek lagi?” Pria itu menurunkan koran yang dibacanya, mengalihkan pandangan ke layar televisi lantas menangkap maksud dari buah hatinya. Pria itu tersenyum miris dan berusaha mencari penjelasan kalimat di televisi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 5 tahun.
“Bunda memang cerdas, Inda. Nenek moyang itu bukan nenek Inda, tapi orang yang hidup di zaman dahulu, makanya perempuan cerdas seperti Bunda pasti tidak mau hidup di waktu dahulu, kan dulu tidak sekeren dan semaju sekarang. Bunda tidak bisa menengok nenek karena Bunda sedang sibuk, sayang.” Kata terakhirnya keluar begitu saja, realita yang memang terjadi terucap dari mulut seorang suami yang lelah menasehati istrinya. Ia bingung, takut akan pertanyaan macam-macam dari Belinda yang mungkin saja sulit ia jawab. Namun Belinda yang akrab disapa Inda hanya bisa termangu diam, entah mengerti atau tidak ucapan Ayahnya. Yang pasti semenjak itu, Belinda memutuskan untuk menyukai Ibu Kartini, baginya ia seperti Bunda yang kata nenek, Bunda adalah wanita paling cerdas yang pernah ada di dunia, Bunda yang selalu tertidur di tumpukan buku-buku, Bunda yang tidak pernah berhenti bermimpi meraih cita-citanya. Kata nenek, Bunda sedang sibuk membuat banyak hadiah untuk Inda dengan segala kecerdasan yang Bunda miliki. Mata beningnya kembali ke layar televisi, kali ini mata Ayahnya ikut menyoroti tayangan tentang Ibu Kartini itu.
Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenernya kejam.
Berbagai kutipan karya Kartini diperdengarkan kepada penyimak. Ayah si kecil itu menarik nafas panjang, telinganya lamat-lamat dibisikkan kembali oleh pertengkaran dengan istrinya.
“Mas, ini sudah zamannya emansipasi wanita toh mas…aku sebagai perempuan punya hak untuk mengejar mimpi aku menjadi pemimpin perusahaan, tak ada salahnya perempuan bekerja banting tulang.”
“Mas ga pernah larang kamu untuk kejar mimpi kamu, mas hanya minta kamu untuk santai sedikit saja, jangan lembur tiap malam…waktu tidak akan protes jika kamu bersantai sedikit. Ia akan sabar menunggu kamu menuju mimpi yang kamu idam-idamkan. Inda butuh kamu, sayang.” Mei selalu kembali berputar pada argumen yang sama. Menurutnya perempuan punya hak besar menentukan pilihannya sendiri dalam berkarir, tentunya di zaman di mana emansipasi wanita dielu-elukan. Mei selalu percaya bahwa wanita dengan karir hebat adalah wanita terhormat yang telah berani menantang kerasnya zaman.
***
Keluar dari ruangan bosnya, timbul teriakan tercekat di tenggorokan Mei. Kesenangan menggerogotinya sampai udara di dalam paru-parunya enggan keluar. Alida yang melihat gerak-gerik rekannya bertanya menelisik, yang ditanya hanya menyodorkan surat, surat keputusan resmi promosi posisi General Manager.
“Hm, habis ini ke tangga paling atas ya?” Alida menyebut istilah direktur utama kesukaan Mei tanpa senyum sedikit pun. Alida tahu persis keadaan suami Mei yang terus-menerus memintanya mengurangi jam kerja, tahu pula situasi si kecil Belinda yang ‘dibohongi’ neneknya bahwa Mei sedang sibuk membuat hadiah untuk Belinda. Alida memasang wajah prihatin pada Mei. Mei mendengus sinis, memilih untuk tidak menjawab dan kembali ke meja kerjanya. Sebelum sempat ia duduk, telepon berdering, dari suaminya. Suaminya menelepon dari Indonesia tempat Mei dibesarkan. Mei mengangkat telepon malas, ia sudah bisa mengira akhir dari pembicaraan di telepon ini pasti berujung pada pertengkaran, Mei pun urung memberi kabar gembira yang mungkin kabar buruk bagi suaminya.
“Mei, apa kabar?”
“Baik, mas.”
“Kamu ingat kan besok hari apa?”
“Mm eh? Kamis?”
“Hari ulang tahun Inda, Mei. Bisakah kamu memesan tiket sekarang dan menyempatkan untuk ke Indonesia? Lagipula nenek sedang sakit, dia menanyakan kamu terus”
“Aduh mas, aku sibuk. Bilang sama Inda aku akan kirim hadiah ulang tahun untuknya. Tentu aku ingat ulang tahun Inda.” Mei tahu dirinya berbohong.
Percakapan itu terus berjalan. Suami Mei tak bosan-bosan membujuk Mei untuk datang ke Indonesia; ritual suami dan anaknya untuk berkunjung ke rumah nenek setiap kali Belinda berulang tahun. Dan benar saja, kedua suami-istri itu mulai beradu pendapat. Alhasil ketika mulai memainkan nada tinggi, Mei memutus telepon, terlalu lelah untuk berdebat.
Bayangan itu telah ada di pikiran Mei, perasaan yang tertimbun jauh di benaknya sekarang muncul malu-malu ke permukaan. Tinggal sedikit lagi ia mengangkat kakinya, menuju tangga karir teratas. Kebijakan perusahaan sebentar lagi akan dipegangnya. Tak cukup bulatan awan sebesar meja kerjanya untuk merancang satu demi satu strategi implementasi kebijakan di kepala cerdasnya. Ia tidak akan berhenti bekerja, ia akan lebih sibuk dari sebelumnya.
Dua puluh satu April 2014. Hari ini Inda menginjak usia 8 tahun.
Mei meraih mug birunya. Ia tertegun lama. Bertahun-tahun ia berlari mengejar mimpinya, terasa bahwa jantung yang membantunya berlari mulai protes, rangka tubuhnya yang selalu menopangnya ketika berlari mulai berteriak, hati yang mengiringi perasaannya ketika sampai pada checkpoint arena mulai gelisah, mereka semua bertanya, buat apa kami bantu Anda berlari? Pikirannya kosong, Mei tidak tahu mengapa ia melakukan ini semua selain karena ia menginginkan kehormatan dan harga diri. Matanya tertuju pada pintu kamar Belinda. Ia melangkah pelan, membuka pintu sambil haru,
“Dear Ibu Kartini, Inda dengar dari Ayah kalo Ibu adalah contoh bagi semua perempuan. Ibu mengizinkan semua perempuan termasuk Bunda untuk bersekolah dan bekerja, tapi Inda tahu, Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda untuk jauh dari Inda, Inda tahu Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda, tidak lagi bersama menengok nenek di Indonesia, tidak mengizinkan Bunda tidak lagi memasak untuk Inda atau bercerita apapun untuk Inda. Inda sayang Bunda. Inda juga sayang Ibu Kartini, Inda minta kado ulang tahun dari Ibu, Inda mau Ibu Kartini muncul di mimpi Bunda dan beritahu Bunda kalau Ibu Kartini ingin Bunda tidak bekerja lama sampai lupa sama Inda ☹”
Hati Mei kini sebiru warna mugnya. Air matanya menetes perlahan, menyisakan tinta-tinta yang berdifusi meleber di atas kertas. Kertas yang ia temukan di balik bantal Belinda. Pemilik bantal itu terpisah ribuan kilometer darinya namun Belinda seolah tahu hati Bunda. Belinda enggan beranjak dari tempat tidur neneknya menuju pesta ulang tahun, menangis tersedu, ia menyesali Bunda yang tidak pernah hadir dalam ulang tahunnya. Namun di hati kecil anak mungil itu, entah mengapa terselip rasa bahagia. Belinda tersenyum, hari itu ia yakin Bunda sudah selesai membungkus hadiah-hadiah yang nenek bilang.
Mei meratapi dirinya di depan kaca, business attire yang ia gunakan membuat ia terlihat elegan, elok, dan berwibawa. Hatinya meracau. Dahulu Kartini tidak butuh pakaian ini untuk terlihat elegan, dahulu Kartini tidak perlu tertatih menaiki tangga karir untuk terlihat elok, pancaran itu telah ada pada dirinya yang cerdas secara batiniah. Niat tulus untuk menegakkan hak kaum wanita dan tekad kuat untuk mengizinkan wanita mengecap pendidikan adalah sumber pancaran segala wibawanya. Apalah artinya teori Maslow jika seseorang mengejar kebutuhan self esteem tanpa benar-benar berhasil melewati kebutuhan tujuan dan cintanya. Ambisi yang telah membutakannya melalui proses berkarir yang tak pernah ia tahu apa maknanya sehingga cinta untuk seorang anak lenyap begitu saja. Benar kata Freud dalam teori psikologinya, semua yang Mei lakukan adalah kendali alam bawah sadar. Kendali yang muncul dan bertransformasi menjadi ambisi luar biasa yang mengalahkan cinta tulus seorang Ibu, berbeda dengan Kartini yang mampu berdamai dengan ambisi.
***
Jalan setapak di Amsterdam itu tidak pernah lelah dan sakit dijejaki oleh Mei, tidak peduli seberapa tajam heels yang Mei gunakan. Mei menggenggam erat surat di tangannya. Ia melangkah pelan, sorot matanya redup, dilihatnya plang jalan berwarna hijau di tikungan jalan setapak. Sudah lama ia menyadari nama jalan itu, nama yang diambil dari seorang warga Negara Indonesia yang membangun sekolah wanita dibantu oleh Belanda. Namun tak pernah sedetikpun ia berpikir maksud seseorang tersebut dalam memperjuangkan hak kaum wanita. Hak seorang wanita untuk berkarir namun tidak lepas dari kewajibannya sebagai seorang Ibu. Jalan ini memang menjadi saksi bisu Mei akan seseorang yang kecewa terhadap satu wanita yang salah kaprah. Seseorang yang terlampau sedih akan wanita yang sewenang-wenang menyalahartikan hak pendidikan dan hak kebebasan. Mei membuka surat promosi yang tidak ia tandatangani, menatapnya penuh arti lantas mantap melangkah menuju kantor perusahaan tempat ia bekerja, meninggalkan jalan setapak yang setiap hari ia lewati, jalan setapak yang kini dan nanti akan selalu menjadi saksi bisu perjalanan karirnya, jalan dengan plang hijau bertuliskan “Kartinistraat”.
Mei dipromosikan menjadi General Manager. Sangatlah muda bagi Mei menduduki posisi ini untuk perusahaan parlente yang namanya bak jutaan jerami menumpuk jarum. Perusahaan yang sudah kebal dengan segala strategi marketing perusahaan lain yang berani menusuk dari belakang.
“Mei, istirahatlah. Kantung matamu sudah kaya agar-agar basi itu…” Alida, teman Mei yang sama-sama berasal dari Indonesia menghampiri Mei yang sedang menari-narikan jemarinya di atas keyboard komputer, menyuruh Mei beristirahat seraya meledeknya bercanda. Mei mendengus kesal, kembali meletakkan tangannya ke badan mouse dan mulai menggerak-gerakaan kursor tanpa memedulikan Alida. Alida hanya bisa menaikkan alisnya bingung.
Terdengar panggilan. Mei mendongak, menarik nafas panjang dan berusaha mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri. Alida melihat temannya berjalan sempoyongan menuju ruangan si bos, ia hanya mampu berdecak dan menggelengkan kepala.
***
Tiga tahun silam Belinda menginjak usia 5 tahun.
Indonesia sedang tersanjung. Negeri ini dipuji karena memiliki seorang pahlawan yang membela hak kaum wanita. Wanita ini berhasil mengizinkan pikiran para wanita untuk mendarat tepat pada hak mereka, yaitu mengenyam pendidikan seperti pria di zamannya. Setiap tahunnya, berita-berita di televisi menampilkan sosok wanita ini dengan karya terkenalnya, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
Belinda mengerjap-ngerjapkan mata, retinanya menangkap cahaya dan tulisan pada televisi di depannya, syaraf matanya mengantar tulisan tersebut untuk diterjemahkan di bagian otak yang bertugas. Mata bening itu tak berhenti melihat televisi. Sekejap pikirannya melayang pada Ibunda yang melahirkannya.
“Ayah, kata nenek, Bunda itu perempuan cerdas, apa karena itu Bunda tidak mau ikut menengok nenek ke sini? Karena Bunda tidak sanggup hidup dengan nenek lagi?” Pria itu menurunkan koran yang dibacanya, mengalihkan pandangan ke layar televisi lantas menangkap maksud dari buah hatinya. Pria itu tersenyum miris dan berusaha mencari penjelasan kalimat di televisi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 5 tahun.
“Bunda memang cerdas, Inda. Nenek moyang itu bukan nenek Inda, tapi orang yang hidup di zaman dahulu, makanya perempuan cerdas seperti Bunda pasti tidak mau hidup di waktu dahulu, kan dulu tidak sekeren dan semaju sekarang. Bunda tidak bisa menengok nenek karena Bunda sedang sibuk, sayang.” Kata terakhirnya keluar begitu saja, realita yang memang terjadi terucap dari mulut seorang suami yang lelah menasehati istrinya. Ia bingung, takut akan pertanyaan macam-macam dari Belinda yang mungkin saja sulit ia jawab. Namun Belinda yang akrab disapa Inda hanya bisa termangu diam, entah mengerti atau tidak ucapan Ayahnya. Yang pasti semenjak itu, Belinda memutuskan untuk menyukai Ibu Kartini, baginya ia seperti Bunda yang kata nenek, Bunda adalah wanita paling cerdas yang pernah ada di dunia, Bunda yang selalu tertidur di tumpukan buku-buku, Bunda yang tidak pernah berhenti bermimpi meraih cita-citanya. Kata nenek, Bunda sedang sibuk membuat banyak hadiah untuk Inda dengan segala kecerdasan yang Bunda miliki. Mata beningnya kembali ke layar televisi, kali ini mata Ayahnya ikut menyoroti tayangan tentang Ibu Kartini itu.
Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenernya kejam.
Berbagai kutipan karya Kartini diperdengarkan kepada penyimak. Ayah si kecil itu menarik nafas panjang, telinganya lamat-lamat dibisikkan kembali oleh pertengkaran dengan istrinya.
“Mas, ini sudah zamannya emansipasi wanita toh mas…aku sebagai perempuan punya hak untuk mengejar mimpi aku menjadi pemimpin perusahaan, tak ada salahnya perempuan bekerja banting tulang.”
“Mas ga pernah larang kamu untuk kejar mimpi kamu, mas hanya minta kamu untuk santai sedikit saja, jangan lembur tiap malam…waktu tidak akan protes jika kamu bersantai sedikit. Ia akan sabar menunggu kamu menuju mimpi yang kamu idam-idamkan. Inda butuh kamu, sayang.” Mei selalu kembali berputar pada argumen yang sama. Menurutnya perempuan punya hak besar menentukan pilihannya sendiri dalam berkarir, tentunya di zaman di mana emansipasi wanita dielu-elukan. Mei selalu percaya bahwa wanita dengan karir hebat adalah wanita terhormat yang telah berani menantang kerasnya zaman.
***
Keluar dari ruangan bosnya, timbul teriakan tercekat di tenggorokan Mei. Kesenangan menggerogotinya sampai udara di dalam paru-parunya enggan keluar. Alida yang melihat gerak-gerik rekannya bertanya menelisik, yang ditanya hanya menyodorkan surat, surat keputusan resmi promosi posisi General Manager.
“Hm, habis ini ke tangga paling atas ya?” Alida menyebut istilah direktur utama kesukaan Mei tanpa senyum sedikit pun. Alida tahu persis keadaan suami Mei yang terus-menerus memintanya mengurangi jam kerja, tahu pula situasi si kecil Belinda yang ‘dibohongi’ neneknya bahwa Mei sedang sibuk membuat hadiah untuk Belinda. Alida memasang wajah prihatin pada Mei. Mei mendengus sinis, memilih untuk tidak menjawab dan kembali ke meja kerjanya. Sebelum sempat ia duduk, telepon berdering, dari suaminya. Suaminya menelepon dari Indonesia tempat Mei dibesarkan. Mei mengangkat telepon malas, ia sudah bisa mengira akhir dari pembicaraan di telepon ini pasti berujung pada pertengkaran, Mei pun urung memberi kabar gembira yang mungkin kabar buruk bagi suaminya.
“Mei, apa kabar?”
“Baik, mas.”
“Kamu ingat kan besok hari apa?”
“Mm eh? Kamis?”
“Hari ulang tahun Inda, Mei. Bisakah kamu memesan tiket sekarang dan menyempatkan untuk ke Indonesia? Lagipula nenek sedang sakit, dia menanyakan kamu terus”
“Aduh mas, aku sibuk. Bilang sama Inda aku akan kirim hadiah ulang tahun untuknya. Tentu aku ingat ulang tahun Inda.” Mei tahu dirinya berbohong.
Percakapan itu terus berjalan. Suami Mei tak bosan-bosan membujuk Mei untuk datang ke Indonesia; ritual suami dan anaknya untuk berkunjung ke rumah nenek setiap kali Belinda berulang tahun. Dan benar saja, kedua suami-istri itu mulai beradu pendapat. Alhasil ketika mulai memainkan nada tinggi, Mei memutus telepon, terlalu lelah untuk berdebat.
Bayangan itu telah ada di pikiran Mei, perasaan yang tertimbun jauh di benaknya sekarang muncul malu-malu ke permukaan. Tinggal sedikit lagi ia mengangkat kakinya, menuju tangga karir teratas. Kebijakan perusahaan sebentar lagi akan dipegangnya. Tak cukup bulatan awan sebesar meja kerjanya untuk merancang satu demi satu strategi implementasi kebijakan di kepala cerdasnya. Ia tidak akan berhenti bekerja, ia akan lebih sibuk dari sebelumnya.
Dua puluh satu April 2014. Hari ini Inda menginjak usia 8 tahun.
Mei meraih mug birunya. Ia tertegun lama. Bertahun-tahun ia berlari mengejar mimpinya, terasa bahwa jantung yang membantunya berlari mulai protes, rangka tubuhnya yang selalu menopangnya ketika berlari mulai berteriak, hati yang mengiringi perasaannya ketika sampai pada checkpoint arena mulai gelisah, mereka semua bertanya, buat apa kami bantu Anda berlari? Pikirannya kosong, Mei tidak tahu mengapa ia melakukan ini semua selain karena ia menginginkan kehormatan dan harga diri. Matanya tertuju pada pintu kamar Belinda. Ia melangkah pelan, membuka pintu sambil haru,
“Dear Ibu Kartini, Inda dengar dari Ayah kalo Ibu adalah contoh bagi semua perempuan. Ibu mengizinkan semua perempuan termasuk Bunda untuk bersekolah dan bekerja, tapi Inda tahu, Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda untuk jauh dari Inda, Inda tahu Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda, tidak lagi bersama menengok nenek di Indonesia, tidak mengizinkan Bunda tidak lagi memasak untuk Inda atau bercerita apapun untuk Inda. Inda sayang Bunda. Inda juga sayang Ibu Kartini, Inda minta kado ulang tahun dari Ibu, Inda mau Ibu Kartini muncul di mimpi Bunda dan beritahu Bunda kalau Ibu Kartini ingin Bunda tidak bekerja lama sampai lupa sama Inda ☹”
Hati Mei kini sebiru warna mugnya. Air matanya menetes perlahan, menyisakan tinta-tinta yang berdifusi meleber di atas kertas. Kertas yang ia temukan di balik bantal Belinda. Pemilik bantal itu terpisah ribuan kilometer darinya namun Belinda seolah tahu hati Bunda. Belinda enggan beranjak dari tempat tidur neneknya menuju pesta ulang tahun, menangis tersedu, ia menyesali Bunda yang tidak pernah hadir dalam ulang tahunnya. Namun di hati kecil anak mungil itu, entah mengapa terselip rasa bahagia. Belinda tersenyum, hari itu ia yakin Bunda sudah selesai membungkus hadiah-hadiah yang nenek bilang.
Mei meratapi dirinya di depan kaca, business attire yang ia gunakan membuat ia terlihat elegan, elok, dan berwibawa. Hatinya meracau. Dahulu Kartini tidak butuh pakaian ini untuk terlihat elegan, dahulu Kartini tidak perlu tertatih menaiki tangga karir untuk terlihat elok, pancaran itu telah ada pada dirinya yang cerdas secara batiniah. Niat tulus untuk menegakkan hak kaum wanita dan tekad kuat untuk mengizinkan wanita mengecap pendidikan adalah sumber pancaran segala wibawanya. Apalah artinya teori Maslow jika seseorang mengejar kebutuhan self esteem tanpa benar-benar berhasil melewati kebutuhan tujuan dan cintanya. Ambisi yang telah membutakannya melalui proses berkarir yang tak pernah ia tahu apa maknanya sehingga cinta untuk seorang anak lenyap begitu saja. Benar kata Freud dalam teori psikologinya, semua yang Mei lakukan adalah kendali alam bawah sadar. Kendali yang muncul dan bertransformasi menjadi ambisi luar biasa yang mengalahkan cinta tulus seorang Ibu, berbeda dengan Kartini yang mampu berdamai dengan ambisi.
***
Jalan setapak di Amsterdam itu tidak pernah lelah dan sakit dijejaki oleh Mei, tidak peduli seberapa tajam heels yang Mei gunakan. Mei menggenggam erat surat di tangannya. Ia melangkah pelan, sorot matanya redup, dilihatnya plang jalan berwarna hijau di tikungan jalan setapak. Sudah lama ia menyadari nama jalan itu, nama yang diambil dari seorang warga Negara Indonesia yang membangun sekolah wanita dibantu oleh Belanda. Namun tak pernah sedetikpun ia berpikir maksud seseorang tersebut dalam memperjuangkan hak kaum wanita. Hak seorang wanita untuk berkarir namun tidak lepas dari kewajibannya sebagai seorang Ibu. Jalan ini memang menjadi saksi bisu Mei akan seseorang yang kecewa terhadap satu wanita yang salah kaprah. Seseorang yang terlampau sedih akan wanita yang sewenang-wenang menyalahartikan hak pendidikan dan hak kebebasan. Mei membuka surat promosi yang tidak ia tandatangani, menatapnya penuh arti lantas mantap melangkah menuju kantor perusahaan tempat ia bekerja, meninggalkan jalan setapak yang setiap hari ia lewati, jalan setapak yang kini dan nanti akan selalu menjadi saksi bisu perjalanan karirnya, jalan dengan plang hijau bertuliskan “Kartinistraat”.
Kamis, 10 April 2014
Syukuran Wisuda
Halo. Saya mahasiswi ITB. Di kampus saya ada suatu budaya yang namanya Syukuran Wisuda, bahasa kerennya Graduation Party.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Cerita sedikit, syukuran wisuda di kampus saya berbentuk wishnight dan arak-arakan. Wishnight biasanya malam, diisi dengan kebanyakan hiburan dan persembahan, lalu makan dan ngobrol-ngobrol bersama, baik antar wisudawan atau dengan massa himpunan. Yang kedua adalah arak-arakan, para wisudawan diarak dari Sabuga ke gerbang depan ITB sambil menyanyikan lagu dan yel-yel, kemudian junior-juniornya memberikan persembahan berupa performance yang dilombakan se-kampus.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Berawal dari rasa tidak suka saya akan waktu libur saya yang terganggu. Tidak henti-hentinya orang tua saya bertanya "kapan pulang?" masa itu adalah masa syukwis Juli, masa pasca osjur, masa liburan kenaikan tingkat. Berawal dari rasa kesal saya bahwa saya merasa hak liburan saya diganggu, hak 'bertemu dengan orang tua' saya diambil alih, digantikan dengan menjadi orang yang disuruh-suruh di acara syukwis, bahasa kerennya, 'Event Organizer'. Entah karena masa itu adalah pasca osjur, akhirnya saya beranggapan kepanitiaan syukwis adalah kepanitian Event Organizer semata, dimana panitia memang sejatinya "melayani" senior himpunan. Saya tidak rela waktu saya dengan orang tua harus dikorbankan untuk melayani senior himpunan yang bahkan saya tidak kenal sama sekali, yang saya tidak tahu bahwa mereka benar-benar layak untuk diapresiasi atau tidak.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Kala itu saya memang merasa sebagai event organizer yang tidak digaji. Wisudawan menyuruh saya melakukan ini dan itu, wisudawan mau bentuk acara yang seperti ini dan seperti itu, ketika diarak, wisudawan mau saya bawakan barang-barangnya; bukan meminta tolong, hanya meminta. Ketika performance, saya selalu mempertanyakan urgensi performance selain pengembangan kreativitas.
Katanya, syukwis adalah bentuk rasa syukur para wisudawan yang akhirnya lulus dari kampus terbaik negeri ini. Saya setuju.
Katanya, syukwis adalah bentuk apresiasi dari junior kepada wisudawan yang telah lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
Katanya, syukwis adalah salah satu motivasi untuk junior agar belajar giat dan cepat lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
syukwis dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun.
kemudian muncul pertanyaan,
apakah rasaya syukur, apresiasi, dan motivasi harus diekspresikan dalam bentuk syukuran wisuda yang seperti di ITB ini?
Jawabannya tidak harus. Tapi bisa menjadi salah satunya.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Sampai suatu waktu saya menyadari suatu hal, bukan bentuk acara syukwisnya yang tidak saya suka, tapi ada poin tertentu yang menganggu saya.
Saya tidak suka syukwis jadi ajang suruh-suruh junior. Saya bukan EO dan saya sedang tidak osjur toh lol.
Saya lebih suka syukwis itu bentuknya pengabdian masyarakat, bukan hura-hura.
Saya ingin syukwis itu jadi ajang silaturahmi antar junior dan seniornya.
Saya ingin syukwis jadi salah satu fasilitas pengembangan diri, bukan tempatnya EO.
Saya tidak suka syukwis seolah mengganggu waktu saya dengan keluarga. Melayani banyak orang yang tidak saya kenal?
Sebenarnya keinginan saya di atas bisa diselesaikan dengan pikiran dan sikap saya sendiri.
Kenapa tidak pengabdian masyarakat? Jawabannya simple, setiap himpunan sudah punya kegiatan pengabdian masyarakat masing-masing, yah sekarang wisudawan kita mau senang-senang habis lulus ga boleh? Boleh kok.
Sisanya adalah harapan,
saya hanya berharap bahwa kakak-kakak wisudawan menjadikan syukwis ini memang benar-benar ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas kelulusannya.
saya hanya berharap saya dan teman-teman panitia memanfaatkan kepanitiaan ini dengan baik sebagai ajang pengembangan diri bukan kewajiban EO karena anggota himpunan.
saya hanya berharap adanya saling mengerti satu sama lain bahwa syukwis ini tidak usahlah megah dilaksanakan, sederhana namun bermakna saja. Ini tiga kali setahun loh, waktu kita setahun bukan hanya untuk mengurusi syukwis. Kenapa mau mengurus syukwis tapi baksos dll tidak mau?
saya hanya berharap, kakak-kakak wisudawan sehabis lulus benar-benar mengabdikan diri untuk Tuhan, orang tua, dan masyarakat, karena pada hakikatnya itulah tugas manusia beradab. kalau begini kan, junior tidak salah mengapresiasi kakak-kakak dengan menjadi panitia syukwis :)
Ini juga pesan masa depan untuk saya sendiri ketika diwisuda nanti.
Saya mungkin masih hijau untuk urusan beginian, maaf kalau menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Saya hanya ingin kita semua melaksanakan sesuatu punya tujuan yang jelas, bukan karena mengikuti budaya semata :)
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Cerita sedikit, syukuran wisuda di kampus saya berbentuk wishnight dan arak-arakan. Wishnight biasanya malam, diisi dengan kebanyakan hiburan dan persembahan, lalu makan dan ngobrol-ngobrol bersama, baik antar wisudawan atau dengan massa himpunan. Yang kedua adalah arak-arakan, para wisudawan diarak dari Sabuga ke gerbang depan ITB sambil menyanyikan lagu dan yel-yel, kemudian junior-juniornya memberikan persembahan berupa performance yang dilombakan se-kampus.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Berawal dari rasa tidak suka saya akan waktu libur saya yang terganggu. Tidak henti-hentinya orang tua saya bertanya "kapan pulang?" masa itu adalah masa syukwis Juli, masa pasca osjur, masa liburan kenaikan tingkat. Berawal dari rasa kesal saya bahwa saya merasa hak liburan saya diganggu, hak 'bertemu dengan orang tua' saya diambil alih, digantikan dengan menjadi orang yang disuruh-suruh di acara syukwis, bahasa kerennya, 'Event Organizer'. Entah karena masa itu adalah pasca osjur, akhirnya saya beranggapan kepanitiaan syukwis adalah kepanitian Event Organizer semata, dimana panitia memang sejatinya "melayani" senior himpunan. Saya tidak rela waktu saya dengan orang tua harus dikorbankan untuk melayani senior himpunan yang bahkan saya tidak kenal sama sekali, yang saya tidak tahu bahwa mereka benar-benar layak untuk diapresiasi atau tidak.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Kala itu saya memang merasa sebagai event organizer yang tidak digaji. Wisudawan menyuruh saya melakukan ini dan itu, wisudawan mau bentuk acara yang seperti ini dan seperti itu, ketika diarak, wisudawan mau saya bawakan barang-barangnya; bukan meminta tolong, hanya meminta. Ketika performance, saya selalu mempertanyakan urgensi performance selain pengembangan kreativitas.
Katanya, syukwis adalah bentuk rasa syukur para wisudawan yang akhirnya lulus dari kampus terbaik negeri ini. Saya setuju.
Katanya, syukwis adalah bentuk apresiasi dari junior kepada wisudawan yang telah lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
Katanya, syukwis adalah salah satu motivasi untuk junior agar belajar giat dan cepat lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
syukwis dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun.
kemudian muncul pertanyaan,
apakah rasaya syukur, apresiasi, dan motivasi harus diekspresikan dalam bentuk syukuran wisuda yang seperti di ITB ini?
Jawabannya tidak harus. Tapi bisa menjadi salah satunya.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Sampai suatu waktu saya menyadari suatu hal, bukan bentuk acara syukwisnya yang tidak saya suka, tapi ada poin tertentu yang menganggu saya.
Saya tidak suka syukwis jadi ajang suruh-suruh junior. Saya bukan EO dan saya sedang tidak osjur toh lol.
Saya lebih suka syukwis itu bentuknya pengabdian masyarakat, bukan hura-hura.
Saya ingin syukwis itu jadi ajang silaturahmi antar junior dan seniornya.
Saya ingin syukwis jadi salah satu fasilitas pengembangan diri, bukan tempatnya EO.
Saya tidak suka syukwis seolah mengganggu waktu saya dengan keluarga. Melayani banyak orang yang tidak saya kenal?
Sebenarnya keinginan saya di atas bisa diselesaikan dengan pikiran dan sikap saya sendiri.
Kenapa tidak pengabdian masyarakat? Jawabannya simple, setiap himpunan sudah punya kegiatan pengabdian masyarakat masing-masing, yah sekarang wisudawan kita mau senang-senang habis lulus ga boleh? Boleh kok.
Sisanya adalah harapan,
saya hanya berharap bahwa kakak-kakak wisudawan menjadikan syukwis ini memang benar-benar ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas kelulusannya.
saya hanya berharap saya dan teman-teman panitia memanfaatkan kepanitiaan ini dengan baik sebagai ajang pengembangan diri bukan kewajiban EO karena anggota himpunan.
saya hanya berharap adanya saling mengerti satu sama lain bahwa syukwis ini tidak usahlah megah dilaksanakan, sederhana namun bermakna saja. Ini tiga kali setahun loh, waktu kita setahun bukan hanya untuk mengurusi syukwis. Kenapa mau mengurus syukwis tapi baksos dll tidak mau?
saya hanya berharap, kakak-kakak wisudawan sehabis lulus benar-benar mengabdikan diri untuk Tuhan, orang tua, dan masyarakat, karena pada hakikatnya itulah tugas manusia beradab. kalau begini kan, junior tidak salah mengapresiasi kakak-kakak dengan menjadi panitia syukwis :)
Ini juga pesan masa depan untuk saya sendiri ketika diwisuda nanti.
Saya mungkin masih hijau untuk urusan beginian, maaf kalau menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Saya hanya ingin kita semua melaksanakan sesuatu punya tujuan yang jelas, bukan karena mengikuti budaya semata :)
Minggu, 06 April 2014
ga cuma FKK
It is fun to have a small class with 39 people in it. Feel like going back to high school, you got classmates that you can remember the names and the characters for the rest of your life!
We got only 3 boys. They all come in handy ^^
We also have line group, whatsapp group, and fb group like any major would have. And...we got stereotype.
They said...FKK stands for Fakultas Kebelet Kawin. Oh man. Really.
LOL. I remember my sister said that college life somehow will full with people talking about marriage. But come on, you got life in ITB whose students' majority are guys, are you going to talk about marriage with them? Of course not.
BUT IN PHARMACY, you would do that. Why not? Girls are all around. In a class, in a hallways, in a canteen, in himpunan, in everywhere. When girls gather, they talk much. When girls sit together, they would laugh at something unimportant, comment how people dress up, gesturing dislike to anyone she dislikes, and of course talk about guys.
So...the stereotype, is it true? You think?
They also name FKK as Fakultas Ketawa Ketiwi, which to me is the loveliest stereotype. HAHA. I know it is. It's not a stereotype, it's fact. I love how Windha comment in line group, how Irka sings like a crazy lovely girl, how Femi would make fun of Esa, how Asti scolded everyone, how Beti laughs with her doll cheek, How Modi talks in sweet funny accent, how Lea walks with a bitter smile, how Silmi behaves like Pou, how Zahra and Ima Princess being sampis, how Tien sells delicious molen, how Toto sells yummy naskun, how a calm Ninu plays cookierun, how Bhekti becomes excited, how Yahya becomes contaminated *lah*, how Prima suddenly 'toa' in the middle of the class, how Amyra becomes husbanded *?* and how everyone has their own way to express their happiness. They're just them!
Hereby I attached my love to you and some messages to get love stickers.
We are small in amount, it should be easy to remember each other's names and characters, it should be easy to actually notice who absent in class, it should be easy to notice who is sad in class, it should be easy to notice who confused while doing assignments, so it's not hard helping each other eventhough wasn't asked.
It should be easy to remember faces and names by the time we're invited to a reunion. So it's not hard to actually asking how each other's doing later after we graduate.
Yet the amount of people should not be the reason to not ask everyone. We got friends to remind us. So, it should be easy to ask how Hygeiaarda's doing later after we graduate :)
We got only 3 boys. They all come in handy ^^
We also have line group, whatsapp group, and fb group like any major would have. And...we got stereotype.
They said...FKK stands for Fakultas Kebelet Kawin. Oh man. Really.
LOL. I remember my sister said that college life somehow will full with people talking about marriage. But come on, you got life in ITB whose students' majority are guys, are you going to talk about marriage with them? Of course not.
BUT IN PHARMACY, you would do that. Why not? Girls are all around. In a class, in a hallways, in a canteen, in himpunan, in everywhere. When girls gather, they talk much. When girls sit together, they would laugh at something unimportant, comment how people dress up, gesturing dislike to anyone she dislikes, and of course talk about guys.
So...the stereotype, is it true? You think?
They also name FKK as Fakultas Ketawa Ketiwi, which to me is the loveliest stereotype. HAHA. I know it is. It's not a stereotype, it's fact. I love how Windha comment in line group, how Irka sings like a crazy lovely girl, how Femi would make fun of Esa, how Asti scolded everyone, how Beti laughs with her doll cheek, How Modi talks in sweet funny accent, how Lea walks with a bitter smile, how Silmi behaves like Pou, how Zahra and Ima Princess being sampis, how Tien sells delicious molen, how Toto sells yummy naskun, how a calm Ninu plays cookierun, how Bhekti becomes excited, how Yahya becomes contaminated *lah*, how Prima suddenly 'toa' in the middle of the class, how Amyra becomes husbanded *?* and how everyone has their own way to express their happiness. They're just them!
Hereby I attached my love to you and some messages to get love stickers.
We are small in amount, it should be easy to remember each other's names and characters, it should be easy to actually notice who absent in class, it should be easy to notice who is sad in class, it should be easy to notice who confused while doing assignments, so it's not hard helping each other eventhough wasn't asked.
It should be easy to remember faces and names by the time we're invited to a reunion. So it's not hard to actually asking how each other's doing later after we graduate.
Yet the amount of people should not be the reason to not ask everyone. We got friends to remind us. So, it should be easy to ask how Hygeiaarda's doing later after we graduate :)
Selasa, 11 Maret 2014
Monumen Toilet
Minggu kemarin, 3 Maret 2014 saya dan teman-teman Debust ITB (Ka Ucup, Wayan, dan Ka Dika) mengunjungi dua desa di daerah Pontang, Serang-Banten sebagai salah satu proker Debust, yaitu Community Development.Sudah sejak 2011 kalau saya tidak salah, pembangunan toilet dan sanitasi air di Desa Sukamanah digalakkan, pembangunan ini adalah hasil dari perlombaan seorang alumni Debust ITB bernama kang Alven yang memenangkan Technopreuner Bank Mandiri. Kemudian beliau mengamanahkan Debust ITB untuk turun dalam pembangunan ini khusus di bidang sosialisasi air bersih.
Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.
.........
Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.
Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.
Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?
Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.
Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.
"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"
Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.
"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.
"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"
Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.
Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.
"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.
Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...
Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.
Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.
"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"
Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.
Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.
Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)
Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.
Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.
.........
Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.
Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.
Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?
Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.
Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.
"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"
Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.
"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.
"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"
Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.
Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.
"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.
Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...
Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.
Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.
"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"
Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.
Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.
Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)
Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.
Langganan:
Postingan (Atom)