Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2018

One Night Honeymoon

“Sayang, ada satu ayat surah Al-Baqarah yang artinya ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Begitu. Selama satu bulan pernikahan, alhamdulillah kita diberi kemudahan hidup, tapi perjalanan masih panjang sayang, Allah akan menguji kita, jadi harus tetap sabar dan semangat ya!”

Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Saat itu angin pantai Lombok Utara mengelus mesra udara sore; matahari perlahan bersembunyi. Aku dan kakak –panggilan untuk suamiku- memutuskan untuk kembali ke kamar hotel.

Hingga waktu menunjukkan pukul 18.46 waktu Indonesia Tengah. Aku baru saja meletakkan Al-Quran di atas meja dan sejenak mengistirahatkan badan di atas kasur; kakak masih asyik dengan tilawahnya. Saat itulah…. Aku seperti sedang dilanda mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Gempa berkekuatan 7.0 SR menghantam Lombok…. Allah, sungguh Engkau menguji kami dengan ketakutan yang luar biasa, walau mungkin bagiMu masih sedikit porsinya, seperti peringatan kakak tadi sore….”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

Izinkan aku mendokumentasikan cerita ini, kuusahakan tanpa bunga-bunga cerita yang hanya akan mengganggu hikmah sebenarnya dibalik kisah ini. Cerita aku dan suamiku dalam momen Honeymoon dengan pembuat scenario cerita terbaik, sang Maha Agung. Izinkan pula aku bercerita tentangmu kak, walau kakak pernah bilang padaku untuk tidak menceritakan keburukan dan kebaikanmu pada siapapun…maaf kak, untuk saat ini aku belum mampu. Kakak tahu sendiri aku tidak pandai mengucapkan terima kasih dalam balutan romantisme kata dalam ucap, maka biarkan aku… mengucap syukur memilikimu, dalam deret-deret huruf yang tertulis, atas semua kebaikanmu. Kali ini saja.

***
Kakak memintaku untuk melakukan shalat istikharah sebelum booking hotel dan penerbangan ke Lombok. Padahal saat itu, kabar gempa di Lombok belum terdengar. Aku mengernyitkan kening, untuk apa? Kok lebay? Kakak bilang sambil bercanda shalat istikharah itu bukan cuma buat milih jodoh loh. Aku cuma terkekeh geli, ya aku paham, hanya saja aku tak terbiasa melakukannya untuk keputusan bepergian liburan. I did it anyway…and then we decided to book.

Mungkin banyak orang berpikir kami tidak waras karena kami tetap pergi ke Lombok di saat berita gempa sudah terdengar berkali-kali. Well, aku tak malu untuk mengakui bahwa kami tak rela uang booking pergi begitu saja, ditambah lagi kami belum berlibur sejak menikah karena harus langsung bekerja. Dengan meminta restu dari kedua orang tua dan modal nekat, kami pun berangkat.

Hingga sampai resort semua berjalan cukup lancar kecuali kami yang bangun telat saat hendak ke bandara. Rupanya kami lelah setelah bepergian ke Purwakarta hari sebelumnya. Dini hari itu pun diwarnai dengan ricuhnya aku menyiapkan dan memastikan packing sudah lengkap. Kami pun pergi mengendarai Go Car tanpa mandi dan sarapan terlebih dahulu. Who want to miss a flight, eh? Oh, or is it better that we just missed that flight on that day?

“Kok tamunya bule-bule semua ya, cuma kita yang orang Indo” kakak melihat sekeliling resort, tamu yang sedang berenang ataupun makan, semuanya bule. Resort kami terletak di daerah Tanjung, Lombok Utara, kurang lebih 2,5 jam dari kota Mataram. Lokasinya bukan di kota; pinggir pantai dengan kanan-kiri jalan rerimbunan pohon-pohon. Sesuatu yang mungkin bagi turis sangatlah menarik.

“Iya yah..bener kata kakak mungkin, bule-bule pada lagi libur summer” Ouch, atau mungkin orang-orang Indonesia lebih waras dari kami untuk tidak menjadikan Lombok destinasi liburan di saat itu?

“Udah yuk ah, duduk di sana. Kita evaluasi perjalanan kita sebulan ini” kakak menunjuk tempat duduk di pinggir pantai. Kami pun asyik bercengkerama.

Hingga obrolan diakhiri dengan satu ayat Al-Baqarah yang terus terngiang di telingaku hingga aku menulis cerita ini. ”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

“Aaaaa, astaghfirullah!”

“Keluar sayang!”

Kami berlari sebisa kami.

Praaang!

Buuuk!

Kami jatuh di rerumputan basah di samping bangunan kamar-kamar. Tepat saat listrik padam. Sekeliling gelap. Tangan kakak masih memelukku erat. Aku hanya menangis dengan nafas memburu. Aku pasrah. Aku pasrah jika bangunan jatuh dan menimpa kami. Aku pasrah dalam tangis.

“Kalian ga apa-apa?”

Entah rasa syukur seperti apa yang menyelimuti aku saat itu. Setitik senter HP muncul, membangunkan kesadaranku bahwa kami tidak tertimpa reruntuhan gedung. Seorang karyawan resort –sebut saja Mas Iwan- menghampiri kami yang terjatuh. Kakak menuntunku, aku hanya bisa memeluknya sambil menangis, memohon-mohon untuk pulang ke Jakarta saat itu juga.

“Is everyone okay? Does it often happen? This earthquake?” Rombongan turis berhamburan keluar, ada yang hanya mengenakan handuk; yang pasti kebanyakan keluar tanpa alas kaki dan barang apapun. Aku? Kepalaku terasa dingin tersapu angin malam…

“Kak, aku ga pake hijab” kataku masih dalam isak tangis. Kakak mencoba kembali ke kamar tapi mas Iwan melarang karena khawatir ada gempa susulan. Beberapa menit dilalui dalam kekalutan. Kakak memutuskan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang penting, termasuk hijabku.

Sorotan senter HP Mas Iwan memperlihatkan sepotong demi sepotong bangunan resort. Bulu kudukku terangkat. Aku memang pernah beberapa kali menyaksikan runtuhan bangunan akibat gempa lewat televisi. Aku pun pernah membayangkan bagaimana rasanya gempa besar melalui imajinasi liar hasil membaca novel. Apatah semua itu ketika aku merasakannya langsung, aku merasa ajal sedekat itu… Plafon kamar berjatuhan, beberapa tiang hancur, gelas-gelas pecah, air kolam masuk ke dalam kamar. Untung saja bangunan tidak roboh…selalu ada rasa syukur terselip saat itu.

“Mas Iwan, ini kelanjutannya bagaimana? Ada mobil ga mas buat ke bandara?” Aku berkata cepat, masih dalam sisa tangis yang mulai mereda.

“Ada tempat aman mas?” Kakak bertanya tanpa ada getaran di suaranya. Ah, aku bingung kenapa kakak sebegitu tenangnya. Apa aku bertingkah berlebihan atau memang kakak tidak ingin membuat panikku bertambah?

Mas Iwan bingung. Karyawan resort yang lain entah ke mana. Ia mengajak kami ke halaman resort; motor-motor sewaan berjatuhan, kami pun membantu Mas Iwan mengangkat motor-motor itu dengan bantuan senter HP. Seketika kepalaku pusing, sekelebat pikiran akan tsunami muncul. Aku menangis lagi. Nafasku semakin memburu ketika mendengar derap langkah kencang mendekat. Belasan karyawan berlari cepat menuju motor yang sedang kami berdirikan. Nafas mereka cepat, wajah meraka panik.

“Ada apa? Ada apa?” Aku berusaha mengontrol nafasku.

Seorang karyawan perempuan dengan wajah pucat berusaha menjawab “ki…ta di…suruh lari…air…surut…”

Aku panik bukan main.

“Mau ikut saya?” Mas Iwan seketika bertanya pada kami. Nada khawatir tidak bisa ia sembunyikan.

Aku dan kakak tidak punya pilihan lain. Kami duduk di motor bertiga, motor melaju sangat cepat, meninggalkan turis di belakang. Aku masih dapat mendengar beberapa dari mereka memohon dengan paniknya “can we go with you!?”. Ah, mungkin aku berdosa tidak memikirkan mereka…aku hanya fokus pada motor yang aku tumpangi. Aku tak tahu nasib mereka bagaimana. “Mas Iwan tenang aja mas jangan panik” Kakak mencoba menenangkan Mas Iwan, riding a motorcycle in panic isn’t a good idea, right.

Motor tetap melaju cepat. Aku merasa seperti dikejar gelombang ombak dalam gelap. Kalimat dzikir tak lepas dari mulutku selama perjalanan yang entah berapa km itu. Bangunan di kanan kiri kami hancur, kami melihat beberapa warga dipinggir jalan bertengkar, entah meributkan apa. Kondisi itu menambah pikiran kalutku, pikiran buruk akan tsunami… MasyaAllah, bagaimana bisa aku yang sering memuji pantai sebagai tempat paling menenangkan, pemicu inspirasi, dan tempat kontemplasi favoritku, kini menjadi musuhku.


It still felt like a dream, and yes I did hope it was only a dream. Yet it wasn’t.


“Di sini saja, lebih aman” Mas Iwan menurunkan kami di lapangan rumput sebrang masjid yang agak hancur. Warga desa sudah banyak yang berkumpul di sana, beberapa membawa terpal dan lampu emergensi. Raungan istigfar dan takbir bergema, membuat suasana terasa semakin mencekam. Bumi kembali bergetar… teriakan takbir semakin kencang. Aku menangis lagi.

Keluarga mas Iwan segera menyambut kami dengan hangat. Entah apa yang membuat mereka tenang, mereka mempersilakan aku dan kakak untuk duduk di terpal, kami diberi air minum dan diminta duduk menenangkan diri. Dalam kondisi gempa yang muncul setiap 15 – 30 menit sekali, kakak mencoba menenangkanku. Aku tak sudi sedetikpun berjarak dengannya saat itu.

Aku mengecek HP, Ah ada sinyal. Aku menelepon orang tuaku. Aku menangis keras, berusaha memberi kabar dan meminta pertolongan. Dengan sinyal naik turun, kami berusaha mengirimkan update kondisi kami. Aku dapat mendengar tangisan Umi di seberang telepon sementara Abah mulai sibuk menghubungi relasi di Mataram untuk segera menjemput kami.

Notifikasi DM mulai berdatangan, aku melirik sekilas, teman-temanku mulai menghubungi dan menanyakan kondisiku. Aku sempat mengangkat telepon dari sahabatku namun aku hanya bisa menangis dan memohon doanya. Telepon lain berdatangan.

“Kalau kondisi kamu masih belum tenang, jangan diangkat dulu, angkat yang dari Umi aja” aku pun mengikuti saran kakak.

***

“Di sini saja!”
“BMKG bilang berpotensi tsunami, kita harus ke tempat tinggi!”

It was just a short conversation. Aku tak yakin apa yang warga perdebatkan karena mereka menggunakan bahasa daerah, yang kutangkap, mereka beradu pendapat soal tempat paling aman menghindari tsunami. Beberapa menit berlalu, masih dengan teriakan takbir yang keras saat bumi kembali bergetar. Akhirnya, pengungsian kami dipindahkan.

***

SD Sokong 3, Pukul 19.30 WITA

Setidaknya tempat ini diyakini lebih aman oleh warga desa. Banyak warga dari desa lain berdatangan ke tempat ini, membawa terpal dan lampu.

“Sini mbak sini, duduk di sini, ini ada selimut, tidur aja mbak”

Hal lain yang harus aku syukuri saat itu, bertemu dengan keluarga Mas Iwan yang sangat membantu kami. Mereka bahkan enggan berbagi selimut dan terpal dengan kami. Aku diberikan space luas untuk tidur dan satu selimut tebal, sedangkam mereka berdesakan dengan space seadanya.

“Ini tamu dari Jakarta ini, kasihan” ucap seorang Kakek yang termasuk keluarga Mas Iwan saat warga desa terlihat bingung melihat rupa kami. Siapa dua orang yang sejak tadi dibawa-bawa si kakek? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

SD Sokong 3, Pukul 20.30 WITA
Tanah bergetar.

“Senter-senter!!!” Kata inilah yang selalu diteriakkan setiap kali gempa datang. Dengan sigap para pemuda yang memegang senter mengarahkan senternya ke pohon dan bangunan SD, memastikan keduanya tidak tumbang dan rubuh, jika ada tanda demikian maka warga harus siap menghindar.

“Jen, peringatan potensi Tsunami udah dicabut sama BMKG” hatiku berdesir antara kepanikan dan kelegaan membaca pesan whatsapp. Citra, sahabatku, memberi tahuku berita yang ia dapat dari Twitter. Kakak segera memberi tahu beberapa warga desa agar mereka tenang.

Bytheway, thank you for all of your attention and help sahabat-sahabatku…barakallah:’)

SD Sokong 3, Pukul 20.45 WITA
Percuma, ketenangan itu hanya sesaat. Bumi Lombok kembali bergoyang. Aku kembali berpikir Tsunami akan datang.

Tanah terbelah. Jalanan aspal sudah sejak tadi saling berbenturan, terangkat dan retak, membuat kendaraan bermotor sulit lewat.

SD Sokong 3, Pukul 21.00 WITA
Warga terbangun kembali karena guncangan, diiringi takbir dan istigfar. Mungkin di jam ini lah alur jalan Mataram-Tanjung tertutup oleh longsor.

“Air..air!”

Jantungku terasa akan lepas dari tempatnya.

Tsunami??

Aku pusing seketika, rasanya akan pingsan saat itu juga. Aku melihat wajah kakak, ia tenang, tetap memelukku.

“Ah dasar bikin kaget! Ternyata ada air minum yang datang!”

Seorang warga mengumpat sedikit kesal melihat pemuda berhamburan membagikan air mineral ke warga. Aku membuang nafas. Keparnoanku dan beberapa warga sudah semakin menjadi-jadi.


SD Sokong 3, Pukul 22.15 WITA

Gempa masih berlanjut. Ini adalah waktu yang paling lambat berjalan selama hidupku. Setiap kali terbangun karena gempa, angka di HP menunjukkan pukul segitu-segitu saja. Umi dan Abah masih berusaha menghubungi relasinya di Mataram, meminta tolong untuk menjemput kami.

SD Sokong 3, Pukul 23.15 WITA
Bumi masih diguncang.
Abah meminta aku dan kakak bergantian menyalakan HP untuk menghemat baterai. Kakak tidak henti-hentinya ditelepon oleh teman Abah, memastikan kondisi dan berusaha mencari jalan keluar untuk ke Mataram, tempat yang setidaknya lebih aman. Jalanan gelap, gempa masih tak bersahabat. Melengos keluar dari tempat pengungsian bukan ide yang bagus.

Aku tidak peduli. Aku mencoba mengontak travel yang rencananya akan kami gunakan esok hari ke Senggigi. Aku meminta travel menjemput lebih awal, jam 5 pagi. Awalnya driver pihak travel menyanggupi, ah, mungkin mereka belum tahu kondisi Tanjung seperti apa. Benar saja, tidak ada 2 menit kemudian, pihak travel menghubungi bahwa driver tidak bisa menjemput karena terkena musibah.

Tidak ada solusi.

SD Sokong 3, Pukul 01.00 WITA
Irama guncangan dan dzikir beriringan. Aku masih mencoba terlelap di bawah selimut. Beberapa warga desa mulai pasrah dan memilih tetap tidur walau guncangan datang. Beberapa masih tetap terbangun dan beristigfar, termasuk aku.

“Ada hikmahnya kita ada di sini” suara kakak sayup-sayup terdengar di telingaku

Aku melihat wajah kakak dalam kegelapan. Anggukan kepalaku sepertinya cukup menjelaskan bahwa aku setuju bahwa ini adalah peringatan dari Allah.

“Lihat ke atas deh” kakak melanjutkan, aku mendongak ke langit

“Kita bisa lihat bintang banyak banget, dan indah… di Jakarta mana bisa lihat ini” deretan kata itu dibisikkan syahdu di telingaku.

Saat itu rasanya aku ingin mendengus kesal, bagaimana kakak memikirkan hal itu di situasi genting begini. Tapi justru yang muncul dari wajahku adalah sesimpul senyum. Rupanya kakak ingin mencairkan suasana agar aku tidak cemas lewat kreasi andalannya, ‘mencoba membuat suasana romantis di manapun kami berada’. Biasanya aku menimpali dengan “apasih” atau ekspresi kesal karena aku tak suka digombali atau terjebak dalam suasana romantis. Tapi saat itu, sesimpul senyum aku berikan. Iya, indah. Aku bergumam pelan.

Tetap saja, gugusan bintang indah tak cukup ampuh membuatku tenang dan berpikir jernih. Aku mulai mengada-ada. Ah bisakah Abah mengirim helikopter saja ke sini?
Did I forget that I wasn’t a billionaire?

SD Sokong 3, Pukul 02.00 WITA
Ini nomor supir yang akan jemput

Kalimat Abah di whatsapp memberikan secercah harapan.

Namun sinyal Indosatku hilang. Sialnya, provider aku dan kakak sama.

SD Sokong 3, Pukul 02.30 WITA

Tangan dan kaki kakak dingin seperti es, aku bisa merasakannya sedikit gemetaran. Mas Iwan meminta kakak tidur di sebelahku alih-alih menjadikan pahanya bantalku untuk tidur. Kakak menurut.

Maafkan aku kak, bahkan di saat seperti ini egoku masih saja bermain.

SD Sokong 3, Pukul 05.00 WITA
Kami shalat subuh seadanya. Tayamum, di atas terpal kotor, mengenakan baju penuh debu dari lapangan SD.

“Yuk almatsurat” ujar kakak setelah shalat. Ternyata di kondisi seperti ini kakak tak melupakan ritual harian kami, ah, justru semakin ingat pastinya. Bukankah kondisi seperti ini yang membuat manusia semakin dekat denganMu, wahai penguasa alam? Engkau mendengar jerit kami memohon ampun melalui rentetan istighfar, memujiMu lewat teriakan takbir yang bertenaga, memohon dengan pasrah melalui lantunan doa tak berujung dengan tetes air mata yang tak kering-kering? Allah, terima kasih, Engkau rupanya merindukan kami.

Lombok Utara sebagai pusat gempa di Lombok, pukul 08.00 WITA
Tercatat jumlah gempa susulan sebanyak 132 gempa.

***

“Ka, ayo pinjam HP warga. Telepon Pak Rama” . Matahari sempurna naik ke atas, gempa-gempa kecil masih terasa. Aku mendesak kakak untuk cepat menghubungi Pak Rama, supir teman Abah yang akan menjemput kami. Warga tetap memperingati untuk tidak pergi sekarang karena kabar longsor menutupi jalan ke Mataram, tapi kami tetap berusaha menghubungi Pak Rama.

Untungnya beberapa warga menggunakan provider dengan sinyal cukup bagus. Telepon pertama diangkat, kami mengelus dada bersyukur. Kakek –keluarga mas Iwan- memberi arahan kepada Pak Rama di mana harus menjemput. Allah memang Maha Penolong. Posisi Pak Rama ada di Senggigi, jalan Senggigi-Tanjung aman dari longsor.

Kami menunggu dengan cemas.

“Kak, tilawah kak…” Aku memohon. Wajahku sepertinya sudah tidak keruan. Berantakan seperti hatiku yang meracau terus ingin segera meninggalkan Lombok. Setidaknya, lantunan ayat dari kakak sedikit membuatku merasa tenang dan aman.

“Mas, mbak, ini kopernya” Tiba-tiba Mas Iwan datang membawa koper besar kami dari kamar hotel. Aku tak henti-hentinya bingung dengan Mas Iwan ini. Bagaimana pula dia bisa sebaik itu pada kami dikala keluarganya pun membutuhkan perhatian darinya? Aku dan kakak sudah tidak peduli pada koper kami tapi mas Iwan peduli, ah, barakallah mas.

Kami mencoba menghubungi Pak Rama kembali, telepon direject. SMS tidak dibalas. Aku cemas….kakak masih dengan wajah tenangnya. Tangannya tidak pernah lepas dari tanganku.

Kakak sigap memperhatikan jalan, mencoba mengira-ngira dengan instingnya mana mobil Pak Rama yang lewat. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil Fortuner berhenti di depan masjid, kakak langsung berlari ke arah mobil itu….terlihat seorang Bapak keluar dari mobil…. waktu pengungsian kami pun berakhir….

***
Mataram ternyata sama, berisikan orang-orang yang berkumpul di lapangan terbuka, namun setidaknya suasana kota dan bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri sedikit membuatku bisa bernafas lega. Kami disambut oleh teman Abah, diberikan makan, dipersilakan bersih-bersih, tidur sebentar, dan dicarikan tiket. Kami pasrah ketika tahu tiket hari ini ke Jakarta sudah habis, aku pun berencana membujuk kakak untuk membeli tiket dengan tujuan apapun, yang penting keluar dari Lombok. Alhamdulillah, setelah mencoba mencari ke agen travel teman Abah, kami pun berhasil membeli tiket untuk berangkat malam harinya.

Bandara ramai. Antrian panjang di loket tiket mengular hingga ujung pintu bandara, kebanyakan dari mereka adalah turis. Yah, semua orang sepertinya tak sabar untuk pergi meninggalkan Lombok. Aku masih belum tenang, traumaku masih ada. Tiap kali menyentuh benda bergetar aku panik, padahal itu hanya kursi yang terdorong oleh orang yang duduk di sebelahku. Pikiranku masih saja buruk, Bagaimana kalau ada gempa di sini? Dengan ruangan pengap penuh orang, bagaimana bisa lari? Ah, aku hanya bisa melihat wajah kakak yang tenang, berusaha mencari ketenangan darinya.

Semua penerbangan sepertinya delay. Penerbanganku sendiri delay 2 jam, pukul 21.15 pesawatku take off; beberapa menit kemudian, setelah 12 jam Lombok terlelap, ia dilanda gempa kembali….

***

Percayalah, aku seringkali memaki-maki Jakarta; penat akan kemacetan dan cuaca panasnya, risih dengan suasana kotanya yang terasa tidak aman. Tapi saat itu, Jakarta terasa nyaman sekali. Tidak pernah senyaman itu sebelumnya. Umi dan Abah berhamburan memelukku.

“Makasih Bah, Mi, udah bantu banyak buat jemput…” aku cuma bisa berkata satu kalimat itu, satu kalimat dengan makna syukur yang mendalam, satu kalimat yang jika saja aku pandai berkata-kata mungkin rentetan paragraf manis sudah menyerbu orang tuaku, satu kalimat yang kuharap menjadi doa agar Allah membalas kebaikan mereka.

***
EPILOG
Seorang sahabat pernah bilang padaku “Ris, kamu tuh hidup di permukaan, sedangkan orang lain di bawah kamu tuh lagi megap-megap minta pertolongan”. Yah, itu yang selalu ia ucapkan ketika aku selalu takjub dan bergidik ngeri mendengarkan kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain. Menurutnya aku jarang terpapar dengan kondisi ‘susah’ sehingga mendengar kisah sulit orang lain aku mudah tercengang. Atau mungkin aku kurang merasa. Berbagai musibah sudah sering kulihat lewat media sosial ataupun layar televisi tapi rasanya hati hanya sedikit berempati. Ketika sahabat sendiri mengalami, barulah aku mulai merasa, ah apalagi diri sendiri yang mengalami langsung. Mungkin Allah sedang mencoba memoles hatiku untuk bisa lebih merasa…selain mengingatkanku akan dosa-dosa, tentunya.

Dan Allah mungkin sedang mengabulkan doaku dengan caranya yang unik dan cantik. Doaku untuk bisa lebih mencintai kakak, mensyukuri nikmat, dan menjadi lebih dekat dengan sang Maha Pencipta. Bukankah muhasabah diri terbaik adalah dengan mengingat mati? Mengingat potongan memori saat aku merasa reruntuhan gedung akan jatuh menimpaku atau saat aku merasa seperti dikejar gelombang ombak yang tinggi.

Kak, terima kasih. Thank you for everything, from the first time we met until a very sweet honeymoon we have in Lombok, (and of course until forever). It was only one day yet it will be a long-life time to remember. No, I wont tell people of what I thank for in detail and obvious way, I know you wont like it. That’s why I made this story. Hope you aren’t mad.

Tidak ada yang lebih romantis dari cara Allah mempersatukan dua hamba dan menumbuhkan cinta di antara keduanya, apapun caraNya…

Uhibbuka fillah, kak








Rabu, 17 Februari 2016

Menikahlah, Nak

“Rina, itu mana teh buat tamu?!”

Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,

“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”

Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.

“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.

“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.

“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”

“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”

Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.

“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”

***

Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.

“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”

Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.

Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.

“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.

Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”

“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.

“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.

Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.

Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?

***

“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”

Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.

“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.

“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”

Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.

Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.


“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”

Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.

“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.

“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”

“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.

“Girl! Get a life!”

***

Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.

Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.

“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.


Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.

“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.

“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.

Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.

“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.

“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.

“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.

“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.

“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”

Aku terdiam.

***

Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.

“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.

“Ibu gagal mendidikmu.”

Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.

Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.

“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”

Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.

“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.

“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”

Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…

Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”

Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.

“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.

Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.

“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,

“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,

“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”

Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.

“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”

Aku pun menurut.







Jumat, 20 November 2015

Rekam Medis

Hari Minggu selalu identik dengan langit yang cerah. Langit yang biru terang, awannya putih menggumpal indah, setidaknya bagi Resa. Walau kenyataannya mendung menyergap, hari Minggu akan tetap terang di mata Resa.

Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.

Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.

Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.

Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.

“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.

***

Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.

Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.

Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.

“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.

***

Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.

“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.


Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.

“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.

Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.

Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.

Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.

***

Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.

***

Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu



Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.

***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!

Kamis, 16 Juli 2015

Cinta

I was just playing with my and my friends' pieces of love story. Sometimes what we laugh in a drama actually happen to us though we might not notice it. I notice some "apa deh" statements in this short story, but anyway, just want to cheer up many friends whose life never stop seeking their love one. Friends who always share their story about love and marriage, just put in mind, God is indeed the best planner ever. Cheers :p


Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.

Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.

“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.

“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.

Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.

“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.

“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.

“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.

***

Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.

“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.

“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.

Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.

Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.

***

Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.

Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.

“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”

Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.

“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.

“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.

***

Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.

Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat

Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang

Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,


Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.

“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.

“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.

Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.

Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.

“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.

Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?

“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?

Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.

“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.

***

Oktober, 2012.

Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.

Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu

Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu

Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu

Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku

Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita


Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.

Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.

***

April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.

“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.

“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.

“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.

***

April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.

“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.

Jumat, 16 Januari 2015

The Dream Team - Buricak Burinong

Ninis membuka buku doanya. Khidmat ia melafalkan huruf-huruf hijaiyah yang mengantarkannya pada ketenangan, walau mungkin sesaat. Risni duduk tegap di kursi, mulutnya berkomat-kamit mencoba membuang bayangan orang tua yang sempat cemas berlebihan hingga menyuruhnya membatalkan perjalanan. Kejadian jatuhnya salah satu maskapai penerbangan Indonesia pekan kemarin membuat cemas para penumpang kendaraan terbang ini, bahkan bagi orang-orang yang sudah sering bepergian jauh. Sepatah kata doa yang biasanya dilisankan berubah menjadi deretan panjang huruf-huruf arab. Pesawat pun melesat, suara-suara mesin dan gerakan badan pesawat seolah terdengar kasar dan mengkhawatirkan bagi penumpang; entah karena burung besar ini yang tak lihai bergerak atau hanya sekedar paranoia.

***

“Ada wifi ga?” Galuh menengok ke arah Eldi yang sedang menyalakan handphonenya, sementara matanya fokus pada koper yang dicarinya di baggage claim.
“ada..ada…” Risni menimpali, ia pun tak sabar mengaktifkan whatsapp dan segera memberi kabar orang tuanya bahwa ia telah sampai dengan selamat.

Suasana yang terasa sama namun berbeda menyambut kedatangan enam belas orang mahasiswa Farmasi ITB beserta tiga dosen yang mendampingi. Alfabet lurus dan kaku di papan-papan bandara seketika berganti dengan tulisan-tulisan keriting yang sering dikaitkan dengan mie goreng oleh sekelompok mahasiswa dan dosen yang menamai diri mereka sebagai the Dream Team to Chiang Mai. Perbedaan yang kerap kali membuat resah tim ini selain barisan huruf keriting adalah ketiadaan internet yang menjadikan mereka para fakir wifi. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej pun menyambut mereka dengan senyum dan wajah ramah berbalut kacamata bulat melalui foto-fotonya yang tersebar di seantero bandara, jalanan, dan bangunan.
“Thai respect their king.” Nadia bergumam, senyumnya menjadi awal aktivitas fangirling terhadap suasana dan cerita kerajaan.

Membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit bagi kelompok pelajar pertukaran ini untuk menjejak Chiang Mai dari Bandara Don Mueang Bangkok. Seorang wanita dan pria yang menangani hubungan internasional Chiang Mai University menjemput dan mempersilakan mereka untuk menaiki transpotasi unik yang disebut Red Truck, sebuah mobil losbak yang diberi atap, dinding, dan kursi duduk menyamping. Setibanya di Chiang Mai Flora Hotel, the Dream Team memasuki kamar masing-masing dan bersiap untuk mencicipi makan malam pertama di negeri yang bangsanya memuji the White Elephant.



Minggu pagi dihabiskan dengan mengunjungi Elephant Camp yang menghadirkan gajah-gajah cerdas yang pandai melukis dan bermain bola. Rombongan mahasiswa dan dosen ini pun sempat mengunjungi Orchid and Butterfly Park, tempat yang menjadi favorit Ibu Lia, salah satu dosen yang menggemari bunga Anggrek.

“Tarik Bu Lia, pegang…ayo pegang...kita harus pulang!” Bu Opi, dosen ceria nan lucu berteriak canda ke para mahasiswanya selepas selesai mengunjungi Orchid Park.
“Hahaha….” Gurih tawa terdengar dari mahasiswa yang menimpali guyonan Bu Opi. Tawa makin terdengar kencang sehabis menyantap makanan lezat khas Thailand, Tom Yum dan Pad Thai.

Rombongan kemudian beralih mengunjungi destinasi selanjutnya – Elephant Poopoo paper Park dan Kad Luang market – ditemani oleh perempuan ramah yang rela membagi waktuya bersama mereka, Poi, seorang staf humas dari Chiang Mai University.

***

“Di can che Jessica, yin dee tidai ruchak” Perkenalan demi perkenalan menggunakan Bahasa Thailand yang sebelumnya dipelajari bersama menjadi ice breaker tersendiri. Dekan Chiang Mai University tersenyum ramah, suasana formal namun cair menciptakan atmosfer ruangan yang hangat dan nyaman. Sambutan dan penjelasan singkat universitas diberikan dari kedua belah pihak, baik dari Dekan dan professor CMU maupun Pak Rahmat sebagai pihak dari ITB. Setelah sapa saling berbalas, rombongan melakukan tour ke Medicinal Plant Garden, Museum, and Herbarium CMU setelah sebelumya diadakan Guest Lecturer oleh Pak Rahmat dan Bu Lia.

“Wah selasih nih selasih…”
“Aah…Curcuma domestica..”
“Bagus ya tempat herbariumnya…”
“Ah mam, I saw a movie called Crazy Little Thing Called Love, they use this to whiten the skin” Di tengah keseriusan beberapa mahasiswa yang takjub melihat kerapihan museum herbarium, Ujang melontarkan kalimat yang membuat alis sang tour guide terangkat.
“No we don’t use it to whiten skin”
“But I saw it in the movie called Crazy Little Thing Called Love” Ujang kembali melempar argumennya, tak mau kalah. Namun yang tahu tetap yang tuannya, Ujang pun mengalah. Teman-temannya hanya tertawa melihat kelakuan ketua tim mereka.

Kegiatan selanjutnya adalah Hospital Visit. CMU memiliki rumah sakit sendiri, yaitu Chiang Mai Hospital yang letaknya tak jauh dari kampus. Berbagai presentasi disuguhkan oleh dua orang farmasis yang bekerja di rumah sakit tersebut. Mereka mempresentasikan berbagai hal khususnya pada sistem pendataan ADR (Adverse Drug Reaction) di RS tersebut. Sistem yang diberlakukan sedikit banyak membuat mulut mahasiswa farmasi ITB ini terbuka, karena negeri mereka yang belum begitu memiliki sistem yang baik terkait ADR. Namun mereka menyadari bahwa Rumah Sakit di Negara berkembang memang sedang dalam massanya berkembang, terdapat berbagai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang butuh diperbaiki atau dipertahankan. Tak dapat dipungkiri, Thailand dan Indonesia adalah dua Negara yang masih kental kesenjangan sosial di dalamnya. Tak cukup menjadikan satu rumah sakit sebagai cermin kualitas sistem kesehatan bangsa, seperti tak validnya memuji sistem pelayanan farmasi Indonesia hanya karena melihat pelayanan RS Santosa; atau mencemooh pelayanan kesehatan Indonesia karena melihat satu RS negeri yang lain sudah established. Sebagian dari mereka berandai untuk mengunjungi setiap rumah sakit yang ada; membandingkan dan menentukan sistem mana yang baik dan cocok untuk diadopsi secara massal dan menghilangkan gap tingkat kualitas pelayanan kesehatan dari Sabang sampai Merauke, yang mungkin menjadi salah satu rangkaian mimpi the Dream Team.

***

“Duh deg-degan pisan….da aku mah apa atuh…”
“Tenang, pharmacoustic bisa menutupi kehancuran tarian kita”
Wajah sembilan perempuan anggota the Dream Team gelisah. Ini kali pertama mereka menampilkan suatu tarian dengan durasi latihan yang sangat singkat. Tarian Aceh oleh perempuan yang dinamis, biasa disebut orang dengan Tari Saman padahal Tari Ratoh. Panggung itu berdiri tegak horizontal menghadap hamparan rumput hijau segar nan luas. Berbagai snack telah tersedia, mahasiswa CMU telah berkumpul ramai, siap menyaksikan penampilan tari dan lagu sebagai bentuk pengenalan budaya Indonesia. Eric dan Ujang berdiri di atas panggung menemani cuaca segar dan wajah-wajah ceria hari itu, wajah ceria yang berubah malu memerah karena tersipu dengan karisma dan ketampanan pemilik wajah Korea yang digandrungi gadis-gadis Thailand.

“Eric! They said you’re handsome!” Jessica menyampaikan bisikan tiga orang mahasiswi CMU yang kemudian salah tingkah ketika mendengar teriakan Jessica. Eric hanya memasang tampang dingin, ia kembali berceloteh bersama Ujang di atas panggung. Risni dan Erba tertawa kecil melihatnya.

“Let’s welcome, the Saman Dancer!!”

Musik dimulai, para penari dengan wajah setengah sumringah setengah gelisah memasuki pangung dengan gerakan tegas lagi menawan. Tangan-tangan mulai bergerak, telapak saling bertemu menggaungkan suara tepuk kompak dan padat. Telapak bertemu paha, kemudian telapak lagi, kemudian bahu, dan telapak lagi. Irama mencuat ke sudut-sudut lapangan, wajah yang gelisah ada yang berganti sumringah, pun adapula yang awalnya tersenyum lebar menjadi ciut tak keruan. Risni panik karena ikat kepalanya yang jatuh di tengah tarian, Ninis yang mulai kecut karena salah gerakan di awal tarian, wajah tegang Neli karena tangannya yang kadang bertabrakan tak tentu arah; semua itu bercampur dengan senyum dan dagu terangkat dari Galuh dan Alin, gerakan dinamis Nadia dan Jessica, serta senyum hangat dan ramah dari Yulia dan Erba. Sepjo merekam gerak demi gerak dalam bentuk dokumentasi tak bergerak. Jarinya lincah menekan tombol kamera detik demi detik mencoba menghasilkan jepretan candid yang sedap dilihat.

“What a move!” Ujang dan Eric kembali ke atas panggung, menyambut selesainya tarian sementara penari-penari bernafas lega karena selesai melaksanakan tugas. Setelah penampilan tari, pharmacoustic pun maju ke atas panggung. Alunan gitar Wiji memecah suasana, note demi note seolah ikut menari di atas garis-garis penyangganya. Suaru merdu Afina, Eldi, dan Ica membuat rumput ikut membuai khidmat; kalau saja Mockingjay hadir, ia mungkin tak mampu meniru keindahan alunannya. Sampai pada lagu terakhir, mereka mengajak penonton untuk berjoget bersama dalam irama dangdut. Belum sempat Afina menarik salah satu dari penonton untuk bergoyang bersama, Bu Opi bersama salah seorang dosen CMU bergerak menuju panggung, mengangkat kedua jempol dan takzim bergerak mengayun bersama penonton yang tersihir untuk ikut bergoyang.

“Hahaha you guys were great!” Percakapan demi percakapan pun terjadi setelah penampilan selesai. Tidak ada yang lebih indah ketika pelangi mencoba melengkapi warnanya, menyatukan perbedaan yang ada; begitulah yang dirasakan Bu Opi ketika melihat mahasiswanya saling bercengkerama dan tertawa memamerkan gigi-giginya. Entah sudah berapa jabat tangan yang hadir di lapangan rumput ini, hitungan permutasi dan kombinasi mungkin tak mampu meyelesaikannya. Bulan seperti enggan muncul, ia masih rela memberikan tempatnya bagi matahari untuk menyediakan terang tanpa malam menggangu. Namun matahari butuh istirahat, pun the Dream Team, mereka kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak dan bersiap menuju Night Market bersama teman baru. Bulan kini muncul dengan percaya diri, rupanya malam tak menganggu kebersamaan.

***

Kunjungan CMU Main Campus dimulai di hari ke-tiga the Dream Team menginjakkan kakinya di Thailand.

“Can ra khun!” Bu Opi dengan karakter khasnya memanggil kelompok kecil Dream Team yang didampingi olehnya. Kelompok can ra khun balas berteriak. Begitu pula dengan Bu Lia yang kemudian mengikuti gelagat Bu Opi “Suay mak mak!” kelompok suay mak mak menimpali dengan teriakan yang tak kalah heboh. Kemudian hening datang sesaat, sampai Ica menyadarkan Pak Rahmat, “Bapak, ayo teriak….”. Tawa renyah pun terdengar mengisi Bus, Pak Rahmat kemudian berteriak “Fai mai ron!” “Yeaaayy!” teriakan kelompok Fai Mai Ron pun menyelesaikan ritual pemanggilan semangat kelompok-kelompok kecil the Dream Team.

Kunjungan dimulai dengan melihat tempat ibadah para Buddha di dalam kampus. Tempat ibadah yang memberikan ruang ketenangan tersendiri bagi penganutnya. Setelah itu rombongan mengunjungi Agriculture Exhibition yang diselenggarakan oleh fakultas pertanian; berbagai tanaman, binatang hasil kawin silang, serta pupuk unik dipertunjukkan. Tujuan terakhir kunjungan adalah sebuah danau yang indah dan berhawa sejuk. Tempat dan cuaca pun kembali mendukung pertemanan baru yang lain dengan mahasiswa-mahasiswi CMU. Danau ini murni dikelilingi oleh bukit tanpa gedung-gedung kampus, di atas bukit terdapat tempat bernama Doi Suthep yang menjadi tempat favorit mahasiswa CMU di awal tahun, yaitu adanya sebuah tradisi berjalan kaki dan berlari dari gerbang depan kampus ke Doi Suthep yang memakan waktu kurang lebih 5 jam.

“Do they have to walk there? How if somebody is sick or maybe they just don’t wanna go?” Nadia bertanya kepada Paipai seputar tradisi yang mungkin di kalangan mahasiswa Indonesia dikenal sebagai masa ospek.
“They don’t have to, if they were sick its okay; but yeah all students will go, because we are friends, you know…we walk together to the top, together with friends.” Risni yang mendengar jawaban tersebut menyimpulkan senyum, ia mengamini pemikiran Paipai yang menurutnya hal tersebut budaya unik dari kebanyaan warga Asia terkait jiwa kebersamaan dan persahabatan.

Danau sepertinya masih senang memperlihatkan keindahannya pada rombongan the Dream Team, namun mereka harus segera pergi ke Doi Suthep sebelum matahari hijrah ke belahan bumi lain. Pagoda emas yang indah menyambut rombongan. Yulia dan Eric pun segera melakukan persembahan sesuai dengan agama yang dianutnya, sementara yang lain sibuk mendokumentasikan salah satu momen berharga ini. Galuh dan Risni memerhatikan ritual persembahan yang dilakukan Yulia dan Eric. Diawali dengan menyalakan dupa, menundukan kepala, kemudian Yulia dan Eric mengelilingi pagoda sebanyak 7 kali sambil berdoa.

“Ka Eric pasti senang ya ke sini, kalau aku jadi kakak pasti senang!” Risni menghampiri Bu Lia dan Eric yang sedang duduk seusai ibadah sambil menunggu sesi foto-foto selesai.

“Bukan senang sih, tapi tenang. Iya tenang, bukan yang excited gitu, tapi tenang.”
Risni manggut-manggut. Memang sudah sepantasnya suatu tempat suci memberikan ketenangan bagi penganutnya, suatu pelajaran lain yang dapat diambil hikmahnya jika melihat masa sekarang di mana orang-orang terbutakan akan kesenangan saat pergi ke tanah suci dan tak begitu memedulikan rasa tenang dekat dengan Tuhan.

Begitu puas dengan momen dokumentasi, rombongan the Dream Team menyempatkan untuk membeli souvenir dan kemudian meluncur kembali ke hotel untuk bersiap menyantap makan malam bersama teman-teman CMU. Di dalam bus, sesi foto tetap berlanjut; Eldi melihat hasil jepretan selfie Alin bersama Eldi. “Ih…warnanya berisik, meuni buricak burinong, hinyai pisan…renceum”. Jessica dan Galuh yang duduk di belakang keduanya tertawa puas mendengar istilah-istilah aneh yang diucapkan Eldi. Tawa berlanjut hingga seisi bus menyadari keunikan istilah buricak burinong yang merupakan Bahasa sunda dengan arti “warna blink-blink atau warna yang ramai”. Momen tawa tersebut menjadi cikal bakal dicetuskannya nama baru bagi the Dream Team menjadi tim Buricak Burinong.

***

Bintang menambah penerang lampu-lampu Restoran Tradisional Khantoke Ban Pi Huen Nong Lanna Cultural and Thai Nostalgic. Makanan yang disajikan, penampilan, serta kedatangan teman-teman CMU menjadikan tempat ini cozy dan homy. Lagi, tawa canda terdengar seusai makan. Suasana kemudian bertambah ramai ketika Yulia mandapati surat misterius di dalam sepatunya berisi nomor telepon dan permintaan nomor telepon Yulia dalam Bahasa Thailand.

“The guy is the old guy, o my god, look at the handwriting, pretty sure he is an old guy around 40s” Rombongan Buricak Burinong dan CMU tertawa mendengar celetukan Paipai yang kemudian diamini Alisa. Terkejut, tertawa, dan ngeri menjadi satu bagi Yulia. Candaan-candaan seram lagi menggelikan menghantui Yulia namun hal tersebut menjadikan malam semakin seru. Jarum pendek jam menunjukkan angka 21.15, kebersamaan tersebut terpaksa harus ditunda. Penundaan yang bisa jadi akan sangat lama, tidak ada yang tahu kapan palu diketuk untuk membuka kembali penundaan ini. Jabat tangan di hari pertama ketika kedua rombongan saling bertemu berganti menjadi pelukan haru. Bagi mereka yang didominasi introvert tentu masih membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk ikut merasakan pelukan erat lagi haru; namun farewell is farewell, perpisahan tetaplah sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan orang. Sedih kelak akan berganti rindu, rindu kelak akan terobati dengan pertemuan yang entah kapan akan terjadi lagi. It is not a good bye, it’s see you later.

***

Raja Thailand Bhumibol Adulyadej kembali menyambut rombongan tim Buricak Burinong di ibu kota tanah Gajah, Bangkok. Kunjungan selanjutnya adalah Fakultas Farmasi Universitas Mahidol, top rank university di Thailand. Sambil menunggu faculty tour, Sepjo menginisiasi permainan favoritnya yang kemudian menjadi permainan favorit tim ini, “permainan plesetan kata”, sebuah permainan yang lama-kelamaan ikut mengundang Bu Opi, Bu Lia, dan Pak Rahmat turut serta; sebuah permainan sederhana yang dapat mengubah busur bibir melengkung ke bawah bahkan terbuka lebar, sebuah permainan sederhana yang menjadi salah satu momen tawa bersama teman dan dosen yang mereka sayangi.

Setelah penyambutan singkat oleh humas hubungan internasional Fakultas Farmasi MU, rombongan dibawa mengelilingi laboratorium. Berbagai ruangan dan alat laboratorium ditunjukkan. Ruangan simulasi konseling, DIC (Drug Information Center), CAPQ (Center of Analysis for Product Quality), dll sedikit banyak membelalakan mata mereka, terhanyut iri dengan beberapa fasilitas yang tidak dimiliki ITB. Database tanaman herbal yang diupdate setiap hari melalui jurnal-jurnal seluruh dunia, alat-alat yang sudah ISO, ruangan-ruangan baru yang memadai, semuanya menginspirasi mereka.

***

Esok hari tiba. Hari terakhir tim Buricak Burinong mencicipi udara Thailand. Waktu yang sangat singkat dan sangat berarti bagi mereka. Hari ini dimanfaatkan dengan baik oleh mereka dengan berjalan-jalan mengitari sebagian kecil tanah Bangkok, yaitu mengunjungi Grand Palace dan shopping center. Hari demi hari selalu dilewati dengan senyuman, tawa, syukur, dan rasa bahagia dalam bentuk yang berbeda-beda. Tim dengan karakter orang-orang yang berbeda tidak melebur menjadi gradasi dengan warna baru, namun membiarkan warna tersebut apa adanya membentuk lintasan-lintasan terpadu seperti pelangi. Pelangi yang telah ada kemudian mencoba menambah warna dengan menemui orang-orang baru di negeri lain; sepertinya sinar cahaya tampak harus mau direpotkan dengan penambahan gelombang dan frekuensi baru. Pelangi pun telah menunjukkan warna tanah airnya melalui pengenalan budaya tari, lagu, dan hospitality.

Pun pelangi telah belajar banyak hal mengenai cara dunia mengajar melalui berbagai kunjungan yang didatangi; dunia mempermainkan hati dan pikiran dalam memotivasi sekaligus mengingatkan orang-orang di dalamnya untuk bersyukur. Boleh jadi ada universitas dan rumah sakit yang jauh lebih baik di negeri orang, tapi tidak sedikit di negeri sendiri yang jauh tidak lebih beruntung. Seperti pepatah yang mengatakan, Melihat ke atas untuk motivasi, melihat ke bawah untuk bersyukur. Begitulah arogansi dan pesimisme dilenyapkan dalam waktu yang bersamaan untuk menjaga homeostasis kehidupan. Tim Buricak Burinong menjadi salah satu dari banyak pemuda yang bahunya dibebani amanah negeri. Berbagi akan menjadi modal awal, bergerak akan menjadi investasi yang luar biasa. Semoga pelangi ini tak hanya muncul ketika hujan usai.

“Travel is not about the time and distance covered, but it’s about what we can gain from time and covered distance”

Terima kasih Ibu Opi, Ibu Lia, dan Pak Rahmat. Terima kasih Sekolah Farmasi ITB. Terima kasih geng Buricak Burinog. Thanks for the really short days of episodes yet very gripping! :D