Rabu, 17 Februari 2016

Menikahlah, Nak

“Rina, itu mana teh buat tamu?!”

Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,

“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”

Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.

“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.

“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.

“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”

“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”

Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.

“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”

***

Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.

“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”

Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.

Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.

“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.

Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”

“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.

“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.

Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.

Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?

***

“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”

Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.

“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.

“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”

Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.

Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.


“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”

Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.

“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.

“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”

“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.

“Girl! Get a life!”

***

Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.

Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.

“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.


Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.

“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.

“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.

Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.

“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.

“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.

“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.

“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.

“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”

Aku terdiam.

***

Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.

“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.

“Ibu gagal mendidikmu.”

Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.

Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.

“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”

Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.

“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.

“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”

Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…

Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”

Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.

“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.

Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.

“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,

“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,

“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”

Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.

“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”

Aku pun menurut.







1 komentar: