“Sayang, ada satu ayat surah Al-Baqarah yang artinya ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Begitu. Selama satu bulan pernikahan, alhamdulillah kita diberi kemudahan hidup, tapi perjalanan masih panjang sayang, Allah akan menguji kita, jadi harus tetap sabar dan semangat ya!”
Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Saat itu angin pantai Lombok Utara mengelus mesra udara sore; matahari perlahan bersembunyi. Aku dan kakak –panggilan untuk suamiku- memutuskan untuk kembali ke kamar hotel.
Hingga waktu menunjukkan pukul 18.46 waktu Indonesia Tengah. Aku baru saja meletakkan Al-Quran di atas meja dan sejenak mengistirahatkan badan di atas kasur; kakak masih asyik dengan tilawahnya. Saat itulah…. Aku seperti sedang dilanda mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Gempa berkekuatan 7.0 SR menghantam Lombok…. Allah, sungguh Engkau menguji kami dengan ketakutan yang luar biasa, walau mungkin bagiMu masih sedikit porsinya, seperti peringatan kakak tadi sore….”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”
***
Izinkan aku mendokumentasikan cerita ini, kuusahakan tanpa bunga-bunga cerita yang hanya akan mengganggu hikmah sebenarnya dibalik kisah ini. Cerita aku dan suamiku dalam momen Honeymoon dengan pembuat scenario cerita terbaik, sang Maha Agung. Izinkan pula aku bercerita tentangmu kak, walau kakak pernah bilang padaku untuk tidak menceritakan keburukan dan kebaikanmu pada siapapun…maaf kak, untuk saat ini aku belum mampu. Kakak tahu sendiri aku tidak pandai mengucapkan terima kasih dalam balutan romantisme kata dalam ucap, maka biarkan aku… mengucap syukur memilikimu, dalam deret-deret huruf yang tertulis, atas semua kebaikanmu. Kali ini saja.
***
Kakak memintaku untuk melakukan shalat istikharah sebelum booking hotel dan penerbangan ke Lombok. Padahal saat itu, kabar gempa di Lombok belum terdengar. Aku mengernyitkan kening, untuk apa? Kok lebay? Kakak bilang sambil bercanda shalat istikharah itu bukan cuma buat milih jodoh loh. Aku cuma terkekeh geli, ya aku paham, hanya saja aku tak terbiasa melakukannya untuk keputusan bepergian liburan. I did it anyway…and then we decided to book.
Mungkin banyak orang berpikir kami tidak waras karena kami tetap pergi ke Lombok di saat berita gempa sudah terdengar berkali-kali. Well, aku tak malu untuk mengakui bahwa kami tak rela uang booking pergi begitu saja, ditambah lagi kami belum berlibur sejak menikah karena harus langsung bekerja. Dengan meminta restu dari kedua orang tua dan modal nekat, kami pun berangkat.
Hingga sampai resort semua berjalan cukup lancar kecuali kami yang bangun telat saat hendak ke bandara. Rupanya kami lelah setelah bepergian ke Purwakarta hari sebelumnya. Dini hari itu pun diwarnai dengan ricuhnya aku menyiapkan dan memastikan packing sudah lengkap. Kami pun pergi mengendarai Go Car tanpa mandi dan sarapan terlebih dahulu. Who want to miss a flight, eh? Oh, or is it better that we just missed that flight on that day?
“Kok tamunya bule-bule semua ya, cuma kita yang orang Indo” kakak melihat sekeliling resort, tamu yang sedang berenang ataupun makan, semuanya bule. Resort kami terletak di daerah Tanjung, Lombok Utara, kurang lebih 2,5 jam dari kota Mataram. Lokasinya bukan di kota; pinggir pantai dengan kanan-kiri jalan rerimbunan pohon-pohon. Sesuatu yang mungkin bagi turis sangatlah menarik.
“Iya yah..bener kata kakak mungkin, bule-bule pada lagi libur summer” Ouch, atau mungkin orang-orang Indonesia lebih waras dari kami untuk tidak menjadikan Lombok destinasi liburan di saat itu?
“Udah yuk ah, duduk di sana. Kita evaluasi perjalanan kita sebulan ini” kakak menunjuk tempat duduk di pinggir pantai. Kami pun asyik bercengkerama.
Hingga obrolan diakhiri dengan satu ayat Al-Baqarah yang terus terngiang di telingaku hingga aku menulis cerita ini. ”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”
***
“Aaaaa, astaghfirullah!”
“Keluar sayang!”
Kami berlari sebisa kami.
Praaang!
Buuuk!
Kami jatuh di rerumputan basah di samping bangunan kamar-kamar. Tepat saat listrik padam. Sekeliling gelap. Tangan kakak masih memelukku erat. Aku hanya menangis dengan nafas memburu. Aku pasrah. Aku pasrah jika bangunan jatuh dan menimpa kami. Aku pasrah dalam tangis.
“Kalian ga apa-apa?”
Entah rasa syukur seperti apa yang menyelimuti aku saat itu. Setitik senter HP muncul, membangunkan kesadaranku bahwa kami tidak tertimpa reruntuhan gedung. Seorang karyawan resort –sebut saja Mas Iwan- menghampiri kami yang terjatuh. Kakak menuntunku, aku hanya bisa memeluknya sambil menangis, memohon-mohon untuk pulang ke Jakarta saat itu juga.
“Is everyone okay? Does it often happen? This earthquake?” Rombongan turis berhamburan keluar, ada yang hanya mengenakan handuk; yang pasti kebanyakan keluar tanpa alas kaki dan barang apapun. Aku? Kepalaku terasa dingin tersapu angin malam…
“Kak, aku ga pake hijab” kataku masih dalam isak tangis. Kakak mencoba kembali ke kamar tapi mas Iwan melarang karena khawatir ada gempa susulan. Beberapa menit dilalui dalam kekalutan. Kakak memutuskan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang penting, termasuk hijabku.
Sorotan senter HP Mas Iwan memperlihatkan sepotong demi sepotong bangunan resort. Bulu kudukku terangkat. Aku memang pernah beberapa kali menyaksikan runtuhan bangunan akibat gempa lewat televisi. Aku pun pernah membayangkan bagaimana rasanya gempa besar melalui imajinasi liar hasil membaca novel. Apatah semua itu ketika aku merasakannya langsung, aku merasa ajal sedekat itu… Plafon kamar berjatuhan, beberapa tiang hancur, gelas-gelas pecah, air kolam masuk ke dalam kamar. Untung saja bangunan tidak roboh…selalu ada rasa syukur terselip saat itu.
“Mas Iwan, ini kelanjutannya bagaimana? Ada mobil ga mas buat ke bandara?” Aku berkata cepat, masih dalam sisa tangis yang mulai mereda.
“Ada tempat aman mas?” Kakak bertanya tanpa ada getaran di suaranya. Ah, aku bingung kenapa kakak sebegitu tenangnya. Apa aku bertingkah berlebihan atau memang kakak tidak ingin membuat panikku bertambah?
Mas Iwan bingung. Karyawan resort yang lain entah ke mana. Ia mengajak kami ke halaman resort; motor-motor sewaan berjatuhan, kami pun membantu Mas Iwan mengangkat motor-motor itu dengan bantuan senter HP. Seketika kepalaku pusing, sekelebat pikiran akan tsunami muncul. Aku menangis lagi. Nafasku semakin memburu ketika mendengar derap langkah kencang mendekat. Belasan karyawan berlari cepat menuju motor yang sedang kami berdirikan. Nafas mereka cepat, wajah meraka panik.
“Ada apa? Ada apa?” Aku berusaha mengontrol nafasku.
Seorang karyawan perempuan dengan wajah pucat berusaha menjawab “ki…ta di…suruh lari…air…surut…”
Aku panik bukan main.
“Mau ikut saya?” Mas Iwan seketika bertanya pada kami. Nada khawatir tidak bisa ia sembunyikan.
Aku dan kakak tidak punya pilihan lain. Kami duduk di motor bertiga, motor melaju sangat cepat, meninggalkan turis di belakang. Aku masih dapat mendengar beberapa dari mereka memohon dengan paniknya “can we go with you!?”. Ah, mungkin aku berdosa tidak memikirkan mereka…aku hanya fokus pada motor yang aku tumpangi. Aku tak tahu nasib mereka bagaimana. “Mas Iwan tenang aja mas jangan panik” Kakak mencoba menenangkan Mas Iwan, riding a motorcycle in panic isn’t a good idea, right.
Motor tetap melaju cepat. Aku merasa seperti dikejar gelombang ombak dalam gelap. Kalimat dzikir tak lepas dari mulutku selama perjalanan yang entah berapa km itu. Bangunan di kanan kiri kami hancur, kami melihat beberapa warga dipinggir jalan bertengkar, entah meributkan apa. Kondisi itu menambah pikiran kalutku, pikiran buruk akan tsunami… MasyaAllah, bagaimana bisa aku yang sering memuji pantai sebagai tempat paling menenangkan, pemicu inspirasi, dan tempat kontemplasi favoritku, kini menjadi musuhku.
It still felt like a dream, and yes I did hope it was only a dream. Yet it wasn’t.
“Di sini saja, lebih aman” Mas Iwan menurunkan kami di lapangan rumput sebrang masjid yang agak hancur. Warga desa sudah banyak yang berkumpul di sana, beberapa membawa terpal dan lampu emergensi. Raungan istigfar dan takbir bergema, membuat suasana terasa semakin mencekam. Bumi kembali bergetar… teriakan takbir semakin kencang. Aku menangis lagi.
Keluarga mas Iwan segera menyambut kami dengan hangat. Entah apa yang membuat mereka tenang, mereka mempersilakan aku dan kakak untuk duduk di terpal, kami diberi air minum dan diminta duduk menenangkan diri. Dalam kondisi gempa yang muncul setiap 15 – 30 menit sekali, kakak mencoba menenangkanku. Aku tak sudi sedetikpun berjarak dengannya saat itu.
Aku mengecek HP, Ah ada sinyal. Aku menelepon orang tuaku. Aku menangis keras, berusaha memberi kabar dan meminta pertolongan. Dengan sinyal naik turun, kami berusaha mengirimkan update kondisi kami. Aku dapat mendengar tangisan Umi di seberang telepon sementara Abah mulai sibuk menghubungi relasi di Mataram untuk segera menjemput kami.
Notifikasi DM mulai berdatangan, aku melirik sekilas, teman-temanku mulai menghubungi dan menanyakan kondisiku. Aku sempat mengangkat telepon dari sahabatku namun aku hanya bisa menangis dan memohon doanya. Telepon lain berdatangan.
“Kalau kondisi kamu masih belum tenang, jangan diangkat dulu, angkat yang dari Umi aja” aku pun mengikuti saran kakak.
***
“Di sini saja!”
“BMKG bilang berpotensi tsunami, kita harus ke tempat tinggi!”
It was just a short conversation. Aku tak yakin apa yang warga perdebatkan karena mereka menggunakan bahasa daerah, yang kutangkap, mereka beradu pendapat soal tempat paling aman menghindari tsunami. Beberapa menit berlalu, masih dengan teriakan takbir yang keras saat bumi kembali bergetar. Akhirnya, pengungsian kami dipindahkan.
***
SD Sokong 3, Pukul 19.30 WITA
Setidaknya tempat ini diyakini lebih aman oleh warga desa. Banyak warga dari desa lain berdatangan ke tempat ini, membawa terpal dan lampu.
“Sini mbak sini, duduk di sini, ini ada selimut, tidur aja mbak”
Hal lain yang harus aku syukuri saat itu, bertemu dengan keluarga Mas Iwan yang sangat membantu kami. Mereka bahkan enggan berbagi selimut dan terpal dengan kami. Aku diberikan space luas untuk tidur dan satu selimut tebal, sedangkam mereka berdesakan dengan space seadanya.
“Ini tamu dari Jakarta ini, kasihan” ucap seorang Kakek yang termasuk keluarga Mas Iwan saat warga desa terlihat bingung melihat rupa kami. Siapa dua orang yang sejak tadi dibawa-bawa si kakek? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.
SD Sokong 3, Pukul 20.30 WITA
Tanah bergetar.
“Senter-senter!!!” Kata inilah yang selalu diteriakkan setiap kali gempa datang. Dengan sigap para pemuda yang memegang senter mengarahkan senternya ke pohon dan bangunan SD, memastikan keduanya tidak tumbang dan rubuh, jika ada tanda demikian maka warga harus siap menghindar.
“Jen, peringatan potensi Tsunami udah dicabut sama BMKG” hatiku berdesir antara kepanikan dan kelegaan membaca pesan whatsapp. Citra, sahabatku, memberi tahuku berita yang ia dapat dari Twitter. Kakak segera memberi tahu beberapa warga desa agar mereka tenang.
Bytheway, thank you for all of your attention and help sahabat-sahabatku…barakallah:’)
SD Sokong 3, Pukul 20.45 WITA
Percuma, ketenangan itu hanya sesaat. Bumi Lombok kembali bergoyang. Aku kembali berpikir Tsunami akan datang.
Tanah terbelah. Jalanan aspal sudah sejak tadi saling berbenturan, terangkat dan retak, membuat kendaraan bermotor sulit lewat.
SD Sokong 3, Pukul 21.00 WITA
Warga terbangun kembali karena guncangan, diiringi takbir dan istigfar. Mungkin di jam ini lah alur jalan Mataram-Tanjung tertutup oleh longsor.
“Air..air!”
Jantungku terasa akan lepas dari tempatnya.
Tsunami??
Aku pusing seketika, rasanya akan pingsan saat itu juga. Aku melihat wajah kakak, ia tenang, tetap memelukku.
“Ah dasar bikin kaget! Ternyata ada air minum yang datang!”
Seorang warga mengumpat sedikit kesal melihat pemuda berhamburan membagikan air mineral ke warga. Aku membuang nafas. Keparnoanku dan beberapa warga sudah semakin menjadi-jadi.
SD Sokong 3, Pukul 22.15 WITA
Gempa masih berlanjut. Ini adalah waktu yang paling lambat berjalan selama hidupku. Setiap kali terbangun karena gempa, angka di HP menunjukkan pukul segitu-segitu saja. Umi dan Abah masih berusaha menghubungi relasinya di Mataram, meminta tolong untuk menjemput kami.
SD Sokong 3, Pukul 23.15 WITA
Bumi masih diguncang.
Abah meminta aku dan kakak bergantian menyalakan HP untuk menghemat baterai. Kakak tidak henti-hentinya ditelepon oleh teman Abah, memastikan kondisi dan berusaha mencari jalan keluar untuk ke Mataram, tempat yang setidaknya lebih aman. Jalanan gelap, gempa masih tak bersahabat. Melengos keluar dari tempat pengungsian bukan ide yang bagus.
Aku tidak peduli. Aku mencoba mengontak travel yang rencananya akan kami gunakan esok hari ke Senggigi. Aku meminta travel menjemput lebih awal, jam 5 pagi. Awalnya driver pihak travel menyanggupi, ah, mungkin mereka belum tahu kondisi Tanjung seperti apa. Benar saja, tidak ada 2 menit kemudian, pihak travel menghubungi bahwa driver tidak bisa menjemput karena terkena musibah.
Tidak ada solusi.
SD Sokong 3, Pukul 01.00 WITA
Irama guncangan dan dzikir beriringan. Aku masih mencoba terlelap di bawah selimut. Beberapa warga desa mulai pasrah dan memilih tetap tidur walau guncangan datang. Beberapa masih tetap terbangun dan beristigfar, termasuk aku.
“Ada hikmahnya kita ada di sini” suara kakak sayup-sayup terdengar di telingaku
Aku melihat wajah kakak dalam kegelapan. Anggukan kepalaku sepertinya cukup menjelaskan bahwa aku setuju bahwa ini adalah peringatan dari Allah.
“Lihat ke atas deh” kakak melanjutkan, aku mendongak ke langit
“Kita bisa lihat bintang banyak banget, dan indah… di Jakarta mana bisa lihat ini” deretan kata itu dibisikkan syahdu di telingaku.
Saat itu rasanya aku ingin mendengus kesal, bagaimana kakak memikirkan hal itu di situasi genting begini. Tapi justru yang muncul dari wajahku adalah sesimpul senyum. Rupanya kakak ingin mencairkan suasana agar aku tidak cemas lewat kreasi andalannya, ‘mencoba membuat suasana romantis di manapun kami berada’. Biasanya aku menimpali dengan “apasih” atau ekspresi kesal karena aku tak suka digombali atau terjebak dalam suasana romantis. Tapi saat itu, sesimpul senyum aku berikan. Iya, indah. Aku bergumam pelan.
Tetap saja, gugusan bintang indah tak cukup ampuh membuatku tenang dan berpikir jernih. Aku mulai mengada-ada. Ah bisakah Abah mengirim helikopter saja ke sini?
Did I forget that I wasn’t a billionaire?
SD Sokong 3, Pukul 02.00 WITA
Ini nomor supir yang akan jemput
Kalimat Abah di whatsapp memberikan secercah harapan.
Namun sinyal Indosatku hilang. Sialnya, provider aku dan kakak sama.
SD Sokong 3, Pukul 02.30 WITA
Tangan dan kaki kakak dingin seperti es, aku bisa merasakannya sedikit gemetaran. Mas Iwan meminta kakak tidur di sebelahku alih-alih menjadikan pahanya bantalku untuk tidur. Kakak menurut.
Maafkan aku kak, bahkan di saat seperti ini egoku masih saja bermain.
SD Sokong 3, Pukul 05.00 WITA
Kami shalat subuh seadanya. Tayamum, di atas terpal kotor, mengenakan baju penuh debu dari lapangan SD.
“Yuk almatsurat” ujar kakak setelah shalat. Ternyata di kondisi seperti ini kakak tak melupakan ritual harian kami, ah, justru semakin ingat pastinya. Bukankah kondisi seperti ini yang membuat manusia semakin dekat denganMu, wahai penguasa alam? Engkau mendengar jerit kami memohon ampun melalui rentetan istighfar, memujiMu lewat teriakan takbir yang bertenaga, memohon dengan pasrah melalui lantunan doa tak berujung dengan tetes air mata yang tak kering-kering? Allah, terima kasih, Engkau rupanya merindukan kami.
Lombok Utara sebagai pusat gempa di Lombok, pukul 08.00 WITA
Tercatat jumlah gempa susulan sebanyak 132 gempa.
***
“Ka, ayo pinjam HP warga. Telepon Pak Rama” . Matahari sempurna naik ke atas, gempa-gempa kecil masih terasa. Aku mendesak kakak untuk cepat menghubungi Pak Rama, supir teman Abah yang akan menjemput kami. Warga tetap memperingati untuk tidak pergi sekarang karena kabar longsor menutupi jalan ke Mataram, tapi kami tetap berusaha menghubungi Pak Rama.
Untungnya beberapa warga menggunakan provider dengan sinyal cukup bagus. Telepon pertama diangkat, kami mengelus dada bersyukur. Kakek –keluarga mas Iwan- memberi arahan kepada Pak Rama di mana harus menjemput. Allah memang Maha Penolong. Posisi Pak Rama ada di Senggigi, jalan Senggigi-Tanjung aman dari longsor.
Kami menunggu dengan cemas.
“Kak, tilawah kak…” Aku memohon. Wajahku sepertinya sudah tidak keruan. Berantakan seperti hatiku yang meracau terus ingin segera meninggalkan Lombok. Setidaknya, lantunan ayat dari kakak sedikit membuatku merasa tenang dan aman.
“Mas, mbak, ini kopernya” Tiba-tiba Mas Iwan datang membawa koper besar kami dari kamar hotel. Aku tak henti-hentinya bingung dengan Mas Iwan ini. Bagaimana pula dia bisa sebaik itu pada kami dikala keluarganya pun membutuhkan perhatian darinya? Aku dan kakak sudah tidak peduli pada koper kami tapi mas Iwan peduli, ah, barakallah mas.
Kami mencoba menghubungi Pak Rama kembali, telepon direject. SMS tidak dibalas. Aku cemas….kakak masih dengan wajah tenangnya. Tangannya tidak pernah lepas dari tanganku.
Kakak sigap memperhatikan jalan, mencoba mengira-ngira dengan instingnya mana mobil Pak Rama yang lewat. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil Fortuner berhenti di depan masjid, kakak langsung berlari ke arah mobil itu….terlihat seorang Bapak keluar dari mobil…. waktu pengungsian kami pun berakhir….
***
Mataram ternyata sama, berisikan orang-orang yang berkumpul di lapangan terbuka, namun setidaknya suasana kota dan bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri sedikit membuatku bisa bernafas lega. Kami disambut oleh teman Abah, diberikan makan, dipersilakan bersih-bersih, tidur sebentar, dan dicarikan tiket. Kami pasrah ketika tahu tiket hari ini ke Jakarta sudah habis, aku pun berencana membujuk kakak untuk membeli tiket dengan tujuan apapun, yang penting keluar dari Lombok. Alhamdulillah, setelah mencoba mencari ke agen travel teman Abah, kami pun berhasil membeli tiket untuk berangkat malam harinya.
Bandara ramai. Antrian panjang di loket tiket mengular hingga ujung pintu bandara, kebanyakan dari mereka adalah turis. Yah, semua orang sepertinya tak sabar untuk pergi meninggalkan Lombok. Aku masih belum tenang, traumaku masih ada. Tiap kali menyentuh benda bergetar aku panik, padahal itu hanya kursi yang terdorong oleh orang yang duduk di sebelahku. Pikiranku masih saja buruk, Bagaimana kalau ada gempa di sini? Dengan ruangan pengap penuh orang, bagaimana bisa lari? Ah, aku hanya bisa melihat wajah kakak yang tenang, berusaha mencari ketenangan darinya.
Semua penerbangan sepertinya delay. Penerbanganku sendiri delay 2 jam, pukul 21.15 pesawatku take off; beberapa menit kemudian, setelah 12 jam Lombok terlelap, ia dilanda gempa kembali….
***
Percayalah, aku seringkali memaki-maki Jakarta; penat akan kemacetan dan cuaca panasnya, risih dengan suasana kotanya yang terasa tidak aman. Tapi saat itu, Jakarta terasa nyaman sekali. Tidak pernah senyaman itu sebelumnya. Umi dan Abah berhamburan memelukku.
“Makasih Bah, Mi, udah bantu banyak buat jemput…” aku cuma bisa berkata satu kalimat itu, satu kalimat dengan makna syukur yang mendalam, satu kalimat yang jika saja aku pandai berkata-kata mungkin rentetan paragraf manis sudah menyerbu orang tuaku, satu kalimat yang kuharap menjadi doa agar Allah membalas kebaikan mereka.
***
EPILOG
Seorang sahabat pernah bilang padaku “Ris, kamu tuh hidup di permukaan, sedangkan orang lain di bawah kamu tuh lagi megap-megap minta pertolongan”. Yah, itu yang selalu ia ucapkan ketika aku selalu takjub dan bergidik ngeri mendengarkan kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain. Menurutnya aku jarang terpapar dengan kondisi ‘susah’ sehingga mendengar kisah sulit orang lain aku mudah tercengang. Atau mungkin aku kurang merasa. Berbagai musibah sudah sering kulihat lewat media sosial ataupun layar televisi tapi rasanya hati hanya sedikit berempati. Ketika sahabat sendiri mengalami, barulah aku mulai merasa, ah apalagi diri sendiri yang mengalami langsung. Mungkin Allah sedang mencoba memoles hatiku untuk bisa lebih merasa…selain mengingatkanku akan dosa-dosa, tentunya.
Dan Allah mungkin sedang mengabulkan doaku dengan caranya yang unik dan cantik. Doaku untuk bisa lebih mencintai kakak, mensyukuri nikmat, dan menjadi lebih dekat dengan sang Maha Pencipta. Bukankah muhasabah diri terbaik adalah dengan mengingat mati? Mengingat potongan memori saat aku merasa reruntuhan gedung akan jatuh menimpaku atau saat aku merasa seperti dikejar gelombang ombak yang tinggi.
Kak, terima kasih. Thank you for everything, from the first time we met until a very sweet honeymoon we have in Lombok, (and of course until forever). It was only one day yet it will be a long-life time to remember. No, I wont tell people of what I thank for in detail and obvious way, I know you wont like it. That’s why I made this story. Hope you aren’t mad.
Tidak ada yang lebih romantis dari cara Allah mempersatukan dua hamba dan menumbuhkan cinta di antara keduanya, apapun caraNya…
Uhibbuka fillah, kak
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Minggu, 12 Agustus 2018
Sabtu, 13 Agustus 2016
Sampai Jumpa Ismafarsi!
Ternyata rasa benci yang katanya ‘benar-benar cinta’ itu terjadi pada saya. Rasa benci akan organisasi ini tumbuh menjadi rasa cinta yang begitu abstrak. Abstrak karena sampai saat ini saya tidak dapat mendeskripsikan rasanya.
Berawal dari rasa tidak suka akan satu kegiatannya, ternyata orang seperti saya yang cenderung tidak suka tantangan ini bisa juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi kala itu. Rasa penasaran kenapa kegiatan itu tidak membuat saya puas. Kegiatan ke-2 yang saya ikuti cukup membuat mata saya berbinar, entah karena kegiatannya yang memang luar biasa atau ekspektasi saya yang terlalu rendah setelah melewati ketidakpuasan. Singkat cerita, dari kegiatan ke-2, rasa puas itu masih bercampur dengan rasa tidak suka, bahkan benci. Benci karena merasa buang-buang waktu mendengarkan persidangan yang sarat perdebatan jumlah menit untuk ke toilet atau adu kusir hal-hal yang tak subtansial, benci karena melihat orang-orang yang telat masuk forum, benci karena melihat arogansi warna warni almamater, benci karena teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang membuat tarikan nafas panjang, benci karena orang-orangnya yang ramai di ruang persidangan namun sepi ketika turun ke lapangan. Benci karena di sini tempat saya mengenal apa itu kepentingan.
Jangan salah. Alasan keterlibatan saya menjadi pengurus tidak seutuhnya karena ingin memperbaiki keadaan, ingin memajukan organisasi, atau hal mulia lainnya melihat betapa tidak nyamannya saya saat itu akan organisasi ini. Ada hal-hal manusiawi yang turut menggandeng alasan normatif itu, alasan yang menurut saya pada akhirnya menjadi latar belakang kejenuhan, kemalasan, dan pesimistis seseorang dalam prosesnya. Karena bagaimanapun, alasan awal saya terlibat adalah karena ‘bujukan’ seorang teman. Saya teringat pesan whatsapp dari seorang teman kala itu, pesan yang membuat saya marah sampai akhirnya saya memutuskan untuk terlibat di kepengurusan ini. Haha well im laughing at myself now, how shallow I was. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat saya tidak pernah menyesal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut dirinya ‘kabinet Luar Biasa’. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari organisasi ini, dari anggotanya, dan dari tiap individu pengurusnya.
Empat event nasional
Kabinet ini bisa jadi mulai dari nol. Proses satu-nol-satu-nol sepertinya menjadi ritual tiap periodisasi kepengurusan. Periode 2 tahun yang membuat kabinet sebelumnya telah menjadi 1, kemudian kabinet selanjutnya terpaksa harus memulai dari nol karena periode 2 tahun menyulitkan proses regenerasi dan bimbingan. How are you gonna guarantee your little sisters to continue your struggle while you know they have to graduate on time? How are you gonna trust your little brother to finish what you start while you know they still need lots of time to learn? Semoga 1-0-1-0 ini hanya asumsi, karena jika benar terjadi, organisasi ini benar-benar jalan di tempat.
Kebingungan periodisasi ini pula yang telah menjadi bahasan rutin di persidangan. Kurang lebih tiga periode membahas apakah organisasi ini perlu mengganti periode 2 tahunnya menjadi 1 tahun, bahasan yang penuh adu akal dan okol bukan hanya di meja persidangan namun juga menjadi konsumsi kajian adik-adik selanjutnya di lembaga eksekutif mahasiswa (LEM). Berbagai alasan dikemukakan mulai dari pendapat subjektif hingga yang berlandaskan pada perbandingan dengan ormawa kesehatan lain, pro dan kontra mencuat dengan tak jarang suara-suara bernada tinggi terlibat didalamnya. Sampai akhirnya saat kabinet Luar Biasa hendak berdiri, suatu perjanjian dicetuskan untuk memberhentikan pembahasan ini dengan keputusan akhir tetap 2 tahun. Tiga periode pembahasan ini pada akhirnya membuahkan suatu kesepakatan yang ‘terkesan sia-sia’ hehehe.
Rapat Kerja Nasional 2015. Hari ini hari di mana saya teringat ketika mendownload arahan sekjen terpilih, arahan yang berlembar-lembar itu mampu membuat pundak saya turun ke bawah disertai dengan helaan nafas tegas disertai dengan makian… “Anjaayy, lo kira 2 tahun ini gue bakal ngadain proker segini banyak? Lo kira hidup gue cuma buat ismafarsi?!” haha. Saya pribadi hanya mampu merumuskan sedikit proker dari puluhan konsep yang ditawarkan oleh sekjen ‘kurang kerjaan’ ini.
Proker ditetapkan dan saat itulah kabinet Luar Biasa mulai bekerja secara legal.
PIMFI 2015. Sebuah event keilmiahan nasional yang menjadi program kerja divisi saya. Saya kira saya telah belajar banyak dari seorang kakak, saya kira saya sudah cukup siap berperan sesuai tupoksi, mengarahkan dan mengembangkan orang lain, dsb. Ternyata tidak. Saya tidak cukup jeli dalam membaca keadaan, mungkin. Banyak komplain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada panitia, namun memang banyak hal yang harus dievaluasi di sini. Kesalahan terbesar berasal dari diri ini, dan sungguh saya banyak belajar. Apapun dinamika yang ada saat itu, semoga kebermanfaatannya tetap terasa bagi semua pihak :”)Dan tentunya apresiasi terbesar saya dkk kepada panitia yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengadakan acara ini :)
Latihan Kepemimpinan 3 (IPLF) Nasional dan Pramunas 2016. Satu event nasional yang dahulu membuat saya tertarik akan organisasi ini. Rasa cinta dan benci yang bercampur. Namun kala itu saya tidak hadir karena harus menemani orang tua yang sakit. Cukuplah senyum saya terkirim untuk kawan di sana yang mengabarkan bahwa perubahan AD/ART akan dilakukan tiap 3 periode, sebuah keputusan yang berisiko bagi saya, namun saya kira itu menjadi keputusan terbaik melihat forum perubahan AD/ART selalu membuat diri ini gemas untuk melempar meja (canda deng). Di event nasional ini, proses kaderisasi bagi kader yang akan melanjutkan perjuangan kami mulai terasa lebih intensif. Bytheway, jika mengingat LK3 dahulu di zaman saya, hal yang membuat saya tertarik dengan organisasi ini salah satunya karena peserta LK3 yang buat mata saya melotot. Ternyata anak farmasi yang biasa saya lihat berteman dengan benda mati di lab bisa juga berbicara soal realita sosial :p
Munas 2016. Event nasional terakhir. Laporan pertanggungjawaban ditunggu oleh anggota. Tebak apa yang terjadi? 11 Lembaga Eksekutif Mahasiswa menolak laporan pertanggungjawaban Sekjen Kabinet Luar Biasa karena kami yang melanggar konstitusi, yaitu banyak dari kami yang telah lulus S1 sebelum LPJ. Now what do you say? Lets not discuss about it haha
Di Munas pula, hati kami meracau. Panik, cemas, dan menyesal bercampur melihat pemilihan Sekjen baru dan Badan Pengawas. Walau akhirnya kami hanya patut untuk tersenyum dan bersyukur. Biarlah racauan itu jadi bahan kontemplasi tentang kesalahan-kesalahan yang dulu kami perbuat.
Kami yang Katanya ‘Luar Biasa’
Dua tahun. Keputusan munas 2014 untuk tetap menjadikan kepengurusan ini 2 tahun sepertinya memberikan peluang dinamika untuk bermain lebih kreatif. Mahasiswa farmasi yang dikenal tak peka politik sepertinya belajar berpolitik lewat organisasi menyebalkan ini. Saya selalu merasa tak nyaman kalau sudah bicara strategi, berspekulasi mengenai kepentingan-kepentingan golongan, atau semacamnya. Saya selalu menundukkan kepala dan kadang mengeluh berkepanjangan kalau konflik sudah terlihat di depan mata. I sometime feel torturing over this phlegmatic-introvert trait I have lol. Then I learn to like what I dislike. Fake it till you make it.
Kabinet ini diajarkan pula untuk beraudiensi akan isu-isu kefarmasian dan kesehatan. Sempat beberapa kali saya dan kawan-kawan mendatangi stakeholder untuk membicarakan suatu isu dan meminta tuntutan, beberapa kali pula saya (mungkin kami) dibingungkan dengan siapa yang benar siapa yang salah, beberapa kali pula kami diterima dan ditolak, beberapa kali pula saya merasa sekedar belajar berbicara dan mendengarkan daripada melakukan aksi nyata…..duh. Tapi saya percaya, beberapa orang kawan benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan, termasuk pemimpin kabinet ini yang harus rela dibenci karena mengambil tindakan yang tidak disukai orang. Toh, katanya pemimpin yang baik adalah mereka yang mengambil keputusan yang tepat, bukan keputusan yang orang suka. Pada akhirnya, sebaik apapun pemimpin, akan memiliki musuh dalam perjalanan hidupnya. Mungkin kami belajar untuk melawan retorika dengan retorika, kami belajar bersilat lidah tanpa kehilangan bijak, yang pasti kami belajar berlapang dada saat kami kalah dan tidak disukai orang.
Kabinet ini pun mengajarkan kami untuk berkarya. Pemimpin kami yang disegani ini ternyata tahu apa yang ia lakukan; dibalik sifat menyebalkannya (haha peace dho) I think he succeeded to convince us over our potential, setidaknya jika bukan karena dia, dia rela memberikan waktu bagi kami untuk kami menggali potensi. Dimulai dari mengikuti lomba dengan modus mencari uang untuk mengikuti kegiatan2 organisasi, menjadi pembicara sana-sini dalam rangka menginspirasi, mengikuti event2 dan komunitas, mengadakan penelitian sampai presentasi internasional, dsb. Namun sungguh, ini semua harus jadi bahan evaluasi, apakah selama ini beberapa dari kita lebih sibuk mengupgrade diri daripada memberi? Semoga tidak.
Pun, kabinet ini mengajarkan kami untuk mengerjakan segalanya dengan cinta, mengajarkan pula arti sebuah kesabaran. Jika saya ditanya apa hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, itu adalah konsisten dalam kebaikan. Kami tentu pernah merasakan jenuh berkepanjangan, rasa malas yang seperti tiada ujungnya, rasa kesal setiap kali Sekjen sudah membuka kata ‘apa kabar’ lewat whatsapp, karena kami tahu pertanyaan kabar itu hanya basa-basi dibalik permintaan tolong mengerjakan tugas hahaha. Kami belajar mencintai pekerjaan kami dengan segala fluktuasi semangat yang ada. Kami belajar untuk istiqamah.
Oh ya, kabinet ini tidak hanya berbicara soal program kerja, namun juga arti sebuah keluarga #yeah #yuhu. Selalu menyenangkan bersama dengan para pengurus yang terus berjuang mencoba menembus batasan diri. For some, maybe this family is only another inner circles, for some this family is everything, for some this family is all priority. But whatever it is, kami tahu kami belajar banyak tentang rasa peduli di tengah-tengah hubungan jarak jauh, kami belajar menjalin chemistry di tengah kesulitan bertemu, kami belajar membaca karakter dan mendalami perbedaan. Hingga akhir kepengurusan ini pun, kami akan terus belajar. Belajar berdamai dengan rindu yang diciptakan oleh jarak, belajar bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat, belajar menjalin persaudaraan yang semoga tak akan pernah lekang oleh waktu dan jarak.
Well, masih banyak yang kami dapat dari kabinet yang katanya Luar Biasa ini.
Ah, kata siapa kami luar biasa?
Apakah kabinet ini luar biasa karena telah mengadakan event internasional pertama kalinya secara mandiri? Apakah karena kabinet ini berhasil meraih gelar Best Association dari organisasi internasional? Apakah karena para pengurusnya yang menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya masing-masing? Apakah karena kabinet ini telah berusaha menciptakan tata cara sidang yang lebih efektif? Apakah karena kabinet ini menjalankan semua prokernya? Apakah karena kabinet ini mengkawal isu kesehatan lebih banyak dari biasanya? Apakah karena kabinet ini memiliki sekjen yang disegani banyak orang? Atau apa? Ah…mungkin karena ekspektasi anggota dan kami yang terlalu rendah di awal kepengurusan sehingga pencapaian yang biasa jadi terlihat luar biasa; mungkin karena kami kebetulan menjadi pengurus di era media social merajalela, sehingga segala kegiatan yang dilakukan muncul ke permukaan dan dilihat banyak orang; atau… mungkin karena memang organisasi ini kekurangan kader-kader mumpuni dengan standar luar biasa yang tak ada apa-apanya. Entah, yang pasti, kami akan terus percaya, perjuangan kabinet ini harus dilanjutkan, jika kami sudah menjadikan organisasi ini 1, maka yang selanjutnya harus mampu menjadikan ia 2, 3, dst.
Saya tidak perlu berbicara kegiatan dan prestasi apa yang dilakukan kabinet ini. Biarlah anggota menilai seberapa besar manfaat yang mereka peroleh di bawah kepengurusan kami, biarlah kami menilai sendiri sudah seberapa besar usaha kami dan seberapa lurus niat kami, biarlah anggota dan kami sadar akan dirinya sendiri tentang kontribusi dan kepekaan social yang kami berikan. Terima kasih untuk semua elemen dari terpilihnya Sekjen di 2014 hingga Munas 2016 yang telah banyak membantu menebar manfaat sebagai satu Ismafarsi yuhuu
Namun sesungguhnya, semua ini adalah evaluasi. Apa yang terjadi di Munas sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman pribadi bagi saya yang terus berpikir apakah selama ini saya di sini hanya sibuk mengupgrade diri dan sering lupa arti kebermanfaatan yang sebenarnya. Pengalaman kami pula di sini untuk melihat ke belakang, apakah kami berhasil menciptakan kader-kader yang diharapkan? In fact, air mata bahagia dan haru bercampur dengan air mata sesal dan sedih, sungguh, kami berharap Ismafarsi ke depannya akan lebih baik.
Denny Fahmi, sekjen Ismafarsi terpilih 2016-2018, bukanlah Ridho Muhammad Sakti. Denny Fahmi adalah Denny Fahmi, biarlah ia memimpin dengan caranya sendiri. Lakukan yang terbaik dan jika suata saat kamu dan kabinet barumu terpaksa membuat kami kecewa, buat kami tetap percaya bahwa kamu dan kawan-kawanmu akan terus belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat :) semoga rasa percaya ini tidak akan pernah sia-sia.
Hehe.
Anyway, begitulah yang terjadi. Momen mengerjakan program kerja, memberi manfaat, bercanda-canda, cinlok-cinlok buta yang mungkin terjadi di balik cinta yang tak terucap (wkwkwk naon), konflik di mana-mana dan segala dinamika yang serius maupun yang tidak, semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan dibalik apapun alasan awal kita untuk terlibat. Untuk kalian adik-adik kami tersayang dari ujung sumatra hingga papua, ayo luruskan niat bersama untuk membuat organisasi ini lebih baik, bantu Sekjen baru Ismafarsi, ayo daftar jadi Staf Ahli! hehehe *yah ujungnya promosi
Saya selalu ingat kata seorang kakak bahwa ada empat tipe orang dalam suatu organisasi, pembelajar (tipe yang paling ideal), turis (ada karena ingin jalan-jalan, popularitas, memperkaya CV, dsb), sandera (ada karena terpaksa), teroris (ada untuk menghancurkan organisasi). Yah, tulisan ini adalah curhatan seorang sandera hahaha, seorang sandera yang terbawa bujukan untuk terlibat, seorang yang selama prosesnya selalu merasa pesimis dan cemas, namun saya mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang insyaAllah akan terus belajar untuk menikmati proses yang ada, hingga kita menjadi pembelajar. Jadi jangan pernah takut untuk terlibat, ayo daftar Staf Ahli! *promosi lagi* Yup, jika memang semangat di awal itu masih sedikit karena alasan-alasan tertentu, mungkin kita harus bersabar. Percikan api semangat di awal kepengurusan benar2 menjadi bara pada waktunya, salah satunya karena kehadiran keluarga ke-2 :) Dan bagi yang sudah bersemangat sejak awal, hati-hati dengan ekspektasi, terus jaga semangatnya :D Yay, semoga kabinet selanjutnya kaya akan orang-orang pembelajar.
Sampai jumpa Ismafarsi! Kami tunggu kabar baiknya!
Berawal dari rasa tidak suka akan satu kegiatannya, ternyata orang seperti saya yang cenderung tidak suka tantangan ini bisa juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi kala itu. Rasa penasaran kenapa kegiatan itu tidak membuat saya puas. Kegiatan ke-2 yang saya ikuti cukup membuat mata saya berbinar, entah karena kegiatannya yang memang luar biasa atau ekspektasi saya yang terlalu rendah setelah melewati ketidakpuasan. Singkat cerita, dari kegiatan ke-2, rasa puas itu masih bercampur dengan rasa tidak suka, bahkan benci. Benci karena merasa buang-buang waktu mendengarkan persidangan yang sarat perdebatan jumlah menit untuk ke toilet atau adu kusir hal-hal yang tak subtansial, benci karena melihat orang-orang yang telat masuk forum, benci karena melihat arogansi warna warni almamater, benci karena teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang membuat tarikan nafas panjang, benci karena orang-orangnya yang ramai di ruang persidangan namun sepi ketika turun ke lapangan. Benci karena di sini tempat saya mengenal apa itu kepentingan.
Jangan salah. Alasan keterlibatan saya menjadi pengurus tidak seutuhnya karena ingin memperbaiki keadaan, ingin memajukan organisasi, atau hal mulia lainnya melihat betapa tidak nyamannya saya saat itu akan organisasi ini. Ada hal-hal manusiawi yang turut menggandeng alasan normatif itu, alasan yang menurut saya pada akhirnya menjadi latar belakang kejenuhan, kemalasan, dan pesimistis seseorang dalam prosesnya. Karena bagaimanapun, alasan awal saya terlibat adalah karena ‘bujukan’ seorang teman. Saya teringat pesan whatsapp dari seorang teman kala itu, pesan yang membuat saya marah sampai akhirnya saya memutuskan untuk terlibat di kepengurusan ini. Haha well im laughing at myself now, how shallow I was. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat saya tidak pernah menyesal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut dirinya ‘kabinet Luar Biasa’. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari organisasi ini, dari anggotanya, dan dari tiap individu pengurusnya.
Empat event nasional
Kabinet ini bisa jadi mulai dari nol. Proses satu-nol-satu-nol sepertinya menjadi ritual tiap periodisasi kepengurusan. Periode 2 tahun yang membuat kabinet sebelumnya telah menjadi 1, kemudian kabinet selanjutnya terpaksa harus memulai dari nol karena periode 2 tahun menyulitkan proses regenerasi dan bimbingan. How are you gonna guarantee your little sisters to continue your struggle while you know they have to graduate on time? How are you gonna trust your little brother to finish what you start while you know they still need lots of time to learn? Semoga 1-0-1-0 ini hanya asumsi, karena jika benar terjadi, organisasi ini benar-benar jalan di tempat.
Kebingungan periodisasi ini pula yang telah menjadi bahasan rutin di persidangan. Kurang lebih tiga periode membahas apakah organisasi ini perlu mengganti periode 2 tahunnya menjadi 1 tahun, bahasan yang penuh adu akal dan okol bukan hanya di meja persidangan namun juga menjadi konsumsi kajian adik-adik selanjutnya di lembaga eksekutif mahasiswa (LEM). Berbagai alasan dikemukakan mulai dari pendapat subjektif hingga yang berlandaskan pada perbandingan dengan ormawa kesehatan lain, pro dan kontra mencuat dengan tak jarang suara-suara bernada tinggi terlibat didalamnya. Sampai akhirnya saat kabinet Luar Biasa hendak berdiri, suatu perjanjian dicetuskan untuk memberhentikan pembahasan ini dengan keputusan akhir tetap 2 tahun. Tiga periode pembahasan ini pada akhirnya membuahkan suatu kesepakatan yang ‘terkesan sia-sia’ hehehe.
Rapat Kerja Nasional 2015. Hari ini hari di mana saya teringat ketika mendownload arahan sekjen terpilih, arahan yang berlembar-lembar itu mampu membuat pundak saya turun ke bawah disertai dengan helaan nafas tegas disertai dengan makian… “Anjaayy, lo kira 2 tahun ini gue bakal ngadain proker segini banyak? Lo kira hidup gue cuma buat ismafarsi?!” haha. Saya pribadi hanya mampu merumuskan sedikit proker dari puluhan konsep yang ditawarkan oleh sekjen ‘kurang kerjaan’ ini.
Proker ditetapkan dan saat itulah kabinet Luar Biasa mulai bekerja secara legal.
PIMFI 2015. Sebuah event keilmiahan nasional yang menjadi program kerja divisi saya. Saya kira saya telah belajar banyak dari seorang kakak, saya kira saya sudah cukup siap berperan sesuai tupoksi, mengarahkan dan mengembangkan orang lain, dsb. Ternyata tidak. Saya tidak cukup jeli dalam membaca keadaan, mungkin. Banyak komplain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada panitia, namun memang banyak hal yang harus dievaluasi di sini. Kesalahan terbesar berasal dari diri ini, dan sungguh saya banyak belajar. Apapun dinamika yang ada saat itu, semoga kebermanfaatannya tetap terasa bagi semua pihak :”)Dan tentunya apresiasi terbesar saya dkk kepada panitia yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengadakan acara ini :)
Latihan Kepemimpinan 3 (IPLF) Nasional dan Pramunas 2016. Satu event nasional yang dahulu membuat saya tertarik akan organisasi ini. Rasa cinta dan benci yang bercampur. Namun kala itu saya tidak hadir karena harus menemani orang tua yang sakit. Cukuplah senyum saya terkirim untuk kawan di sana yang mengabarkan bahwa perubahan AD/ART akan dilakukan tiap 3 periode, sebuah keputusan yang berisiko bagi saya, namun saya kira itu menjadi keputusan terbaik melihat forum perubahan AD/ART selalu membuat diri ini gemas untuk melempar meja (canda deng). Di event nasional ini, proses kaderisasi bagi kader yang akan melanjutkan perjuangan kami mulai terasa lebih intensif. Bytheway, jika mengingat LK3 dahulu di zaman saya, hal yang membuat saya tertarik dengan organisasi ini salah satunya karena peserta LK3 yang buat mata saya melotot. Ternyata anak farmasi yang biasa saya lihat berteman dengan benda mati di lab bisa juga berbicara soal realita sosial :p
Munas 2016. Event nasional terakhir. Laporan pertanggungjawaban ditunggu oleh anggota. Tebak apa yang terjadi? 11 Lembaga Eksekutif Mahasiswa menolak laporan pertanggungjawaban Sekjen Kabinet Luar Biasa karena kami yang melanggar konstitusi, yaitu banyak dari kami yang telah lulus S1 sebelum LPJ. Now what do you say? Lets not discuss about it haha
Di Munas pula, hati kami meracau. Panik, cemas, dan menyesal bercampur melihat pemilihan Sekjen baru dan Badan Pengawas. Walau akhirnya kami hanya patut untuk tersenyum dan bersyukur. Biarlah racauan itu jadi bahan kontemplasi tentang kesalahan-kesalahan yang dulu kami perbuat.
Kami yang Katanya ‘Luar Biasa’
Dua tahun. Keputusan munas 2014 untuk tetap menjadikan kepengurusan ini 2 tahun sepertinya memberikan peluang dinamika untuk bermain lebih kreatif. Mahasiswa farmasi yang dikenal tak peka politik sepertinya belajar berpolitik lewat organisasi menyebalkan ini. Saya selalu merasa tak nyaman kalau sudah bicara strategi, berspekulasi mengenai kepentingan-kepentingan golongan, atau semacamnya. Saya selalu menundukkan kepala dan kadang mengeluh berkepanjangan kalau konflik sudah terlihat di depan mata. I sometime feel torturing over this phlegmatic-introvert trait I have lol. Then I learn to like what I dislike. Fake it till you make it.
Kabinet ini diajarkan pula untuk beraudiensi akan isu-isu kefarmasian dan kesehatan. Sempat beberapa kali saya dan kawan-kawan mendatangi stakeholder untuk membicarakan suatu isu dan meminta tuntutan, beberapa kali pula saya (mungkin kami) dibingungkan dengan siapa yang benar siapa yang salah, beberapa kali pula kami diterima dan ditolak, beberapa kali pula saya merasa sekedar belajar berbicara dan mendengarkan daripada melakukan aksi nyata…..duh. Tapi saya percaya, beberapa orang kawan benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan, termasuk pemimpin kabinet ini yang harus rela dibenci karena mengambil tindakan yang tidak disukai orang. Toh, katanya pemimpin yang baik adalah mereka yang mengambil keputusan yang tepat, bukan keputusan yang orang suka. Pada akhirnya, sebaik apapun pemimpin, akan memiliki musuh dalam perjalanan hidupnya. Mungkin kami belajar untuk melawan retorika dengan retorika, kami belajar bersilat lidah tanpa kehilangan bijak, yang pasti kami belajar berlapang dada saat kami kalah dan tidak disukai orang.
Kabinet ini pun mengajarkan kami untuk berkarya. Pemimpin kami yang disegani ini ternyata tahu apa yang ia lakukan; dibalik sifat menyebalkannya (haha peace dho) I think he succeeded to convince us over our potential, setidaknya jika bukan karena dia, dia rela memberikan waktu bagi kami untuk kami menggali potensi. Dimulai dari mengikuti lomba dengan modus mencari uang untuk mengikuti kegiatan2 organisasi, menjadi pembicara sana-sini dalam rangka menginspirasi, mengikuti event2 dan komunitas, mengadakan penelitian sampai presentasi internasional, dsb. Namun sungguh, ini semua harus jadi bahan evaluasi, apakah selama ini beberapa dari kita lebih sibuk mengupgrade diri daripada memberi? Semoga tidak.
Pun, kabinet ini mengajarkan kami untuk mengerjakan segalanya dengan cinta, mengajarkan pula arti sebuah kesabaran. Jika saya ditanya apa hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, itu adalah konsisten dalam kebaikan. Kami tentu pernah merasakan jenuh berkepanjangan, rasa malas yang seperti tiada ujungnya, rasa kesal setiap kali Sekjen sudah membuka kata ‘apa kabar’ lewat whatsapp, karena kami tahu pertanyaan kabar itu hanya basa-basi dibalik permintaan tolong mengerjakan tugas hahaha. Kami belajar mencintai pekerjaan kami dengan segala fluktuasi semangat yang ada. Kami belajar untuk istiqamah.
Oh ya, kabinet ini tidak hanya berbicara soal program kerja, namun juga arti sebuah keluarga #yeah #yuhu. Selalu menyenangkan bersama dengan para pengurus yang terus berjuang mencoba menembus batasan diri. For some, maybe this family is only another inner circles, for some this family is everything, for some this family is all priority. But whatever it is, kami tahu kami belajar banyak tentang rasa peduli di tengah-tengah hubungan jarak jauh, kami belajar menjalin chemistry di tengah kesulitan bertemu, kami belajar membaca karakter dan mendalami perbedaan. Hingga akhir kepengurusan ini pun, kami akan terus belajar. Belajar berdamai dengan rindu yang diciptakan oleh jarak, belajar bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat, belajar menjalin persaudaraan yang semoga tak akan pernah lekang oleh waktu dan jarak.
Well, masih banyak yang kami dapat dari kabinet yang katanya Luar Biasa ini.
Ah, kata siapa kami luar biasa?
Apakah kabinet ini luar biasa karena telah mengadakan event internasional pertama kalinya secara mandiri? Apakah karena kabinet ini berhasil meraih gelar Best Association dari organisasi internasional? Apakah karena para pengurusnya yang menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya masing-masing? Apakah karena kabinet ini telah berusaha menciptakan tata cara sidang yang lebih efektif? Apakah karena kabinet ini menjalankan semua prokernya? Apakah karena kabinet ini mengkawal isu kesehatan lebih banyak dari biasanya? Apakah karena kabinet ini memiliki sekjen yang disegani banyak orang? Atau apa? Ah…mungkin karena ekspektasi anggota dan kami yang terlalu rendah di awal kepengurusan sehingga pencapaian yang biasa jadi terlihat luar biasa; mungkin karena kami kebetulan menjadi pengurus di era media social merajalela, sehingga segala kegiatan yang dilakukan muncul ke permukaan dan dilihat banyak orang; atau… mungkin karena memang organisasi ini kekurangan kader-kader mumpuni dengan standar luar biasa yang tak ada apa-apanya. Entah, yang pasti, kami akan terus percaya, perjuangan kabinet ini harus dilanjutkan, jika kami sudah menjadikan organisasi ini 1, maka yang selanjutnya harus mampu menjadikan ia 2, 3, dst.
Saya tidak perlu berbicara kegiatan dan prestasi apa yang dilakukan kabinet ini. Biarlah anggota menilai seberapa besar manfaat yang mereka peroleh di bawah kepengurusan kami, biarlah kami menilai sendiri sudah seberapa besar usaha kami dan seberapa lurus niat kami, biarlah anggota dan kami sadar akan dirinya sendiri tentang kontribusi dan kepekaan social yang kami berikan. Terima kasih untuk semua elemen dari terpilihnya Sekjen di 2014 hingga Munas 2016 yang telah banyak membantu menebar manfaat sebagai satu Ismafarsi yuhuu
Namun sesungguhnya, semua ini adalah evaluasi. Apa yang terjadi di Munas sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman pribadi bagi saya yang terus berpikir apakah selama ini saya di sini hanya sibuk mengupgrade diri dan sering lupa arti kebermanfaatan yang sebenarnya. Pengalaman kami pula di sini untuk melihat ke belakang, apakah kami berhasil menciptakan kader-kader yang diharapkan? In fact, air mata bahagia dan haru bercampur dengan air mata sesal dan sedih, sungguh, kami berharap Ismafarsi ke depannya akan lebih baik.
Denny Fahmi, sekjen Ismafarsi terpilih 2016-2018, bukanlah Ridho Muhammad Sakti. Denny Fahmi adalah Denny Fahmi, biarlah ia memimpin dengan caranya sendiri. Lakukan yang terbaik dan jika suata saat kamu dan kabinet barumu terpaksa membuat kami kecewa, buat kami tetap percaya bahwa kamu dan kawan-kawanmu akan terus belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat :) semoga rasa percaya ini tidak akan pernah sia-sia.
Hehe.
Anyway, begitulah yang terjadi. Momen mengerjakan program kerja, memberi manfaat, bercanda-canda, cinlok-cinlok buta yang mungkin terjadi di balik cinta yang tak terucap (wkwkwk naon), konflik di mana-mana dan segala dinamika yang serius maupun yang tidak, semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan dibalik apapun alasan awal kita untuk terlibat. Untuk kalian adik-adik kami tersayang dari ujung sumatra hingga papua, ayo luruskan niat bersama untuk membuat organisasi ini lebih baik, bantu Sekjen baru Ismafarsi, ayo daftar jadi Staf Ahli! hehehe *yah ujungnya promosi
Saya selalu ingat kata seorang kakak bahwa ada empat tipe orang dalam suatu organisasi, pembelajar (tipe yang paling ideal), turis (ada karena ingin jalan-jalan, popularitas, memperkaya CV, dsb), sandera (ada karena terpaksa), teroris (ada untuk menghancurkan organisasi). Yah, tulisan ini adalah curhatan seorang sandera hahaha, seorang sandera yang terbawa bujukan untuk terlibat, seorang yang selama prosesnya selalu merasa pesimis dan cemas, namun saya mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang insyaAllah akan terus belajar untuk menikmati proses yang ada, hingga kita menjadi pembelajar. Jadi jangan pernah takut untuk terlibat, ayo daftar Staf Ahli! *promosi lagi* Yup, jika memang semangat di awal itu masih sedikit karena alasan-alasan tertentu, mungkin kita harus bersabar. Percikan api semangat di awal kepengurusan benar2 menjadi bara pada waktunya, salah satunya karena kehadiran keluarga ke-2 :) Dan bagi yang sudah bersemangat sejak awal, hati-hati dengan ekspektasi, terus jaga semangatnya :D Yay, semoga kabinet selanjutnya kaya akan orang-orang pembelajar.
Sampai jumpa Ismafarsi! Kami tunggu kabar baiknya!
Rabu, 20 April 2016
Farmasi dan Perempuan
Jurusan farmasi sepertinya menjadi incaran kaum hawa. Tanyakan pada sahabat perempuanmu di farmasi, berapa dari mereka yang baru tahu bahwa jurusan ini didominasi oleh perempuan setelah ia masuk ke dalamnya. Tanyakan apakah mereka menyesal masuk ke jurusan ini, karena jawabannya akan terdiri dari ‘tidak’ karena farmasi menyenangkan dan menantang dan ‘ya’ karena farmasi miskin kaum adam. Ga deng, canda.
Menjadi mahasiswi farmasi, mau tak mau bergelut dengan kebaperan di atas rata-rata karena perasaan lunak wanita, perbedaan standar banjir air mata, sikap bocah yang merajalela walau usia menua, tapi banyak juga yang dewasa, hanya saja, sepertinya peran logika kurang ada.
Menjadi mahasiswa farmasi, mau tak mau menjadi tumbal kemanjaan sekaligus kemalasan perempuan. Mulai dari menjadi ketua segala kelas, ahli menyalakan proyektor, hingga menjadi andalan segala kebutuhan logistik.
Saya masih ingat kala itu, teman saya dari jurusan teknik X menawarkan saya membawakan tas yang padahal dari fisiknya terlihat tas itu tidak berat sama sekali. Saya spontan berkata “apaan sih?”. Saya lupa, kampus saya penuh dengan laki-laki yang terdidik bahwa kaum adam harus membawakan tas wanita. Ga deng, maksudnya harus peka dengan beban perempuan. Apalagi saat itu, lagi masa-masanya ospek jurusan di mana semua laki-laki berubah menjadi tukang ojeg yang bahkan tak perlu dipanggil dan dibayar sudah menawarkan jok belakang motor; berubah menjadi tukang kuli sukarela yang mungkin kalau diminta membuat candi prambanan tadingan pun akan legowo saja. Hehe.
Terbayang seperti apa ospek jurusan farmasi? Mungkin akan terlihat merepotkan ketika membayangkan secuil laki-laki harus mengantar bolak-balik teman perempuannya ke rumah hingga harus tumpuk empat. Mungkin akan terlihat menggemaskan ketika para lelaki mencoba membawa tas teman perempuannya, ya di lengan kanan ada 3, lengan kiri ada 2, di leher 2, bahkan di kaki? Ini hanya contoh ekstrem. Lol. No, they don’t do that. Lelaki farmasi mungkin dituntut untuk melakukan segala aktivitas secara efektif dan efisien tanpa harus membebani perempuan.
Memang, ada apa dengan perempuan?
An-Nisa ayat 34 berbunyi (eits, mainnya udah ayat aja, gpp ya hitung-hitung nambah ilmu agama, bukan bahasan berat kok, selow ae)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”
Agama pun mengajarkan betapa pentingnya peran seorang lelaki, khususnya dalam hal memimpin. Memimpin ini kemudian diinterpretasikan dalam segi tanggung jawab, mengayomi, dan melindungi perempuan. Sementara perempuan dinobatkan sebagai seorang yang layaknya dilindungi serta sebagai madrasah utama anak-anak, penjamin lahirnya generasi emas masa depan #tsah.
Norma dan sosial pun berperan. Warga Asia dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda terkait perempuan sampai Raden Ajeng Kartini pun terinspirasi oleh sahabatnya di Belanda dalam melihat peran perempuan. Terbitlah terang, emansipasi wanita di Indonesia muncul ke permukaan. Waktu berjalan, affirmative action dielu-elukan, hingga muncul juga paham feminisme. Entahlah sejarahnya seperti apa (lagi malas browsing sis), intinya perempuan hari ini sudah mendapatkan hak dan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun, mungkin karena kentalnya ajaran Islam di Indonesia serta norma penghuni dunia belahan timur kebanyakan, kultur laki-laki adalah pelindung wanita masih sangat kuat.
Secara ilmiahnya, laki-laki memiliki kodrat yang memang condong sebagai orang yang mampu untuk melindungi perempuan. Fisik yang cenderung lebih kuat, ambang baper yang berbeda dengan wanita, duh yah pokoknya tahu kan maksudnya apa. Lelaki memang dikodratkan demikian.
Sungguh, saya sebagai perempuan merasa sangat terhormat diberikan kedudukan seperti itu. Siapa perempuan yang tidak ingin dilindungi? Payung saja tidak cukup untuk menghalau badai dan jaket berlapis tak cukup ampuh menahan sengatan panas jika dibandingkan dengan seorang lelaki yang kuatnya melebihi tameng baja. *ini apaan sih*
Perempuan di sisi lain memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan berarti perempuan tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, bukan berarti perempuan harus bermanja-manja dan menggantungkan hidupnya penuh pada seorang lelaki, bukan berarti perempuan sah untuk mengeluh meminta menikah ketika beban kuliah dirasa berlimpah *lah*. Perempuan dan laki-laki memiliki porsi tanggung jawab dan kepemimpinan masing-masing sesuai dengan kodratnya.
Perempuan dan farmasi (ini judul dan konten kok agak ga nyambung ya). Menjadi perempuan yang kesehariannya dikelilingi oleh perempuan mungkin membuat tabiat anak farmasi berbeda? Entahlah. Mungkin. Bisa jadi. Namun yang saya rasakan sedikit banyak adalah soal keterlibatan perempuan untuk membangun himpunan. Posisi sekjen hingga ketua divisi yang kemudian didominasi oleh ciwi-ciwi haruslah menjadi momen pembelajaran yang luar biasa dalam menjadi seorang pemimpin. Menjadi anggota perempuan yang dipimpin lagi oleh perempuan kadang mungkin sulit, penuh toleransi dan bawa perasaan. Menyadari ketua himpunan yang sering adalah seorang laki2 (HMF pernah punya kahim cewek ga ya?), seharusnya dijadikan wadah kami untuk lebih mengerti peran perempuan. Jangan sampai jadi manusia yang hanya ingin dimengerti, namun harus juga memberi pengertian #yuhu. Menjadi penggerak himpunan harusnya bisa dijadikan alat untuk mengelola baper. Saya jadi teringat seorang pimpinan organisasi yang bilang bahwa saya bersifat passive agresive dalam memimpin, yah mungkin itu karena saya yang sudah sakit hati dan berniat profesional, tapi malah gagal karena baper sepertinya sulit untuk disembunyikan wkwk. Kan perempuan juga ingin dimengerti #nahloh.
Anyway, bukan hanya farmasi yang didominasi perempuan, beberapa jurusan lain pun ada. Semoga kondisi ini tidak mengurangi peran perempuan yang sebenarnya. Karena sejatinya perempuan hidup bukan hanya untuk mereview drama korea, bukan pula untuk sekedar bergosip ria dan belanja, bukan juga untuk menjustifikasi kebaperan-kebaperan yang ada, bukan juga untuk memamer2kan rupa yang jelita. Apa yang harus dilakukan perempuan jelas jauh lebih dari itu. Kalau kata akun Teh Jasmine, perempuan janga cuma modal cantik karena di tangannya lah kunci peradaban manusia. #tsah. Perempuan hari ini beruntung, tidak perlu repot2 memperjuangan haknya seperti di zaman kartini dulu. Sayang seribu sayang ketika perempuan hanya diam saja. Kuncinya adalah seimbang, memahami kodrat dan potensi perempuan. Kok ya saya ngomong kaya sudah paham benar tugas perempuan. Sambil sama2 belajar lah ya.
Terakhir, di hari kartini ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para sahabat lelaki di farmasi hehehe, khususnya untuk Femi, Yahya, dan Elkana, “cokiber”nya FKK. Para sahabat yang mengajarkan arti penting suplementer dan komplementer manusia. Sahabat yang tetap berusaha memposisikan diri mereka sebagai para pelindung wanita #ea. Para sahabat yang rela mendengar gosipan dan teriakan ciwi-ciwi walau dalam hati mungkin merasa tersiksa. Para sahabat yang sabar meladeni kebaperan dan kebocahan kami tanpa pernah menyalahkan perasaan yang menunggangi hati kami ini wkwk. Maaf jika kami kelewatan. Bimbing kami untuk menjadi perempuan yang sesuai kadarnya :p Semoga kita bisa saling peka dan peduli satu sama lain hingga nanti (duh baper mau pada lulus). Saya selalu ingat ketika menjadi peserta dan panitia ospek jurusan dengan kehadiran lelaki yang segelintir. Semoga kondisi tersebut yang tetap ada hingga sekarang, dapat mengajarkan para lelaki untuk tetap mengayomi tanpa memanjakan kami, memandirikan tanpa membebani kami :3
Yay. Selamat hari Kartini! Terbitkan terang secukupnya!
Rabu, 17 Februari 2016
Menikahlah, Nak
“Rina, itu mana teh buat tamu?!”
Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,
“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”
Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.
“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.
“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.
“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”
“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”
Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”
***
Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.
“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”
Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.
Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.
“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.
Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”
“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.
“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.
Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.
Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?
***
“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”
Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.
“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.
“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”
Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.
Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.
“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”
Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.
“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.
“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”
“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.
“Girl! Get a life!”
***
Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.
Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.
Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.
“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.
“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.
Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.
“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.
“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.
“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.
“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.
“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”
Aku terdiam.
***
Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.
“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.
“Ibu gagal mendidikmu.”
Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.
Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.
“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”
Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.
“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.
“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”
Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…
Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”
Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.
“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.
Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.
“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,
“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,
“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”
Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.
“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”
Aku pun menurut.
Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,
“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”
Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.
“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.
“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.
“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”
“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”
Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”
***
Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.
“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”
Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.
Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.
“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.
Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”
“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.
“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.
Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.
Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?
***
“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”
Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.
“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.
“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”
Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.
Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.
“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”
Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.
“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.
“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”
“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.
“Girl! Get a life!”
***
Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.
Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.
Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.
“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.
“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.
Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.
“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.
“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.
“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.
“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.
“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”
Aku terdiam.
***
Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.
“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.
“Ibu gagal mendidikmu.”
Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.
Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.
“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”
Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.
“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.
“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”
Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…
Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”
Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.
“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.
Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.
“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,
“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,
“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”
Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.
“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”
Aku pun menurut.
Jumat, 20 November 2015
Rekam Medis
Hari Minggu selalu identik dengan langit yang cerah. Langit yang biru terang, awannya putih menggumpal indah, setidaknya bagi Resa. Walau kenyataannya mendung menyergap, hari Minggu akan tetap terang di mata Resa.
Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.
Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.
Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.
Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.
“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.
***
Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.
Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.
Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.
“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.
***
Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.
“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.
Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.
“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.
Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.
Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.
Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.
***
Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.
***
Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu
Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.
***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!
Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.
Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.
Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.
Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.
“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.
***
Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.
Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.
Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.
“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.
***
Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.
“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.
Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.
“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.
Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.
Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.
Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.
***
Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.
***
Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu
Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.
***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!
Selasa, 27 Oktober 2015
Untuk Ummi #2
Sudah lama aku tak membuat puisi
Terakhir kali ternyata untuk Ummi,
Saat itu dua puluh dua Desember
Hari ini dua puluh tujuh Oktober
Sudah setengah abad lebih tanganmu membelaiku halus
Masih halus tangan itu di kepalaku
Walau sudah kurasakan getaran tangan yang kau coba sembunyikan
Sudah setengah abad lebih senyum dan tawamu yang bijak
Masih bijak raut wajahmu
Walau sudah kulihat keriputmu
Guratan wajah kerja keras dan sabarmu
Hari ini dua puluh tujuh Oktober 2015,
Dikala hingga detik ini mungkin maafku bisa dihitung
Maafmu entah sudah berapa kali kugantung
Maafmu karena belum memberikan yang terbaik untukku
Maafmu karena merasa belum membantuku
Sungguh,
Seharusnya maaf itu keluar dari mulutku
Bukan darimu
Seperti tiba-tiba saja usiamu berganti lagi
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang belum banyak memberi
Dan menjadi yang berbakti?
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang masih belum bisa berdiri sendiri
Dikala usiamu semakin dekat
Untuk menjadi tanggung jawab anak-anakmu
Setidaknya,
Izinkan aku menyampaikan sebuah doa pada Tuhan
Untuk selalu memberimu keberkahan dan kesehatan
Berikan aku waktu, untuk terus memperbaiki diri
Menjadi seorang anak yang engkau cari
Untuk Ummi #1
http://risnizen.blogspot.co.id/2014/12/untuk-ummi.html
Terakhir kali ternyata untuk Ummi,
Saat itu dua puluh dua Desember
Hari ini dua puluh tujuh Oktober
Sudah setengah abad lebih tanganmu membelaiku halus
Masih halus tangan itu di kepalaku
Walau sudah kurasakan getaran tangan yang kau coba sembunyikan
Sudah setengah abad lebih senyum dan tawamu yang bijak
Masih bijak raut wajahmu
Walau sudah kulihat keriputmu
Guratan wajah kerja keras dan sabarmu
Hari ini dua puluh tujuh Oktober 2015,
Dikala hingga detik ini mungkin maafku bisa dihitung
Maafmu entah sudah berapa kali kugantung
Maafmu karena belum memberikan yang terbaik untukku
Maafmu karena merasa belum membantuku
Sungguh,
Seharusnya maaf itu keluar dari mulutku
Bukan darimu
Seperti tiba-tiba saja usiamu berganti lagi
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang belum banyak memberi
Dan menjadi yang berbakti?
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang masih belum bisa berdiri sendiri
Dikala usiamu semakin dekat
Untuk menjadi tanggung jawab anak-anakmu
Setidaknya,
Izinkan aku menyampaikan sebuah doa pada Tuhan
Untuk selalu memberimu keberkahan dan kesehatan
Berikan aku waktu, untuk terus memperbaiki diri
Menjadi seorang anak yang engkau cari
Selayang pesan elektronik itu masih selalu ada setiap pagi
Siang dan malam hari
Pesan itu masih terus mengalir tak berhenti
“Jangan lupa berdzikir kepada Illahi”
Begitu kata Ummi
Dan pesan itulah yang akan terus kucari
Setiap hari
Barakallah, Ummi.
Untuk Ummi #1
http://risnizen.blogspot.co.id/2014/12/untuk-ummi.html
Kamis, 16 Juli 2015
Cinta
I was just playing with my and my friends' pieces of love story. Sometimes what we laugh in a drama actually happen to us though we might not notice it. I notice some "apa deh" statements in this short story, but anyway, just want to cheer up many friends whose life never stop seeking their love one. Friends who always share their story about love and marriage, just put in mind, God is indeed the best planner ever. Cheers :p
Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.
Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.
“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.
“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.
Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.
“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.
“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.
“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.
***
Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.
“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.
“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.
Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.
***
Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.
Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”
Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.
“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.
“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.
***
Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.
Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat
Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang
Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,
Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.
“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.
“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.
Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.
Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.
“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.
Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?
“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?
Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.
“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.
***
Oktober, 2012.
Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.
Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku
Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita
Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.
Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.
***
April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.
“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.
“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.
“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.
***
April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.
Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.
Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.
“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.
“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.
Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.
“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.
“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.
“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.
***
Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.
“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.
“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.
Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.
***
Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.
Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”
Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.
“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.
“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.
***
Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.
Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat
Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang
Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,
Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.
“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.
“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.
Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.
Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.
“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.
Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?
“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?
Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.
“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.
***
Oktober, 2012.
Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.
Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku
Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita
Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.
Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.
***
April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.
“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.
“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.
“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.
***
April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.
Langganan:
Postingan (Atom)