Tampilkan postingan dengan label impression. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label impression. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Juli 2018

Dear pride,

Awalnya saya ingin membuat tulisan opini yang sedikit ilmiah dengan menyertakan penelitian-penelitian psikologi or whatever related to scientific research, turns out I got houseworks to do, so well, mungkin opini sederhana melalui emotional thought might be useful as well, mumpung lagi ada mood buat nulis.

Berawal dari dua buah organisasi nasional yang saya ikuti saat kuliah. Saya menyadari penuh betapa tingkat pendidikan di Indonesia memiliki gap kualitas yang cukup jauh. Beberapa indikator yang bisa kita lihat secara objektif adalah akreditasi dan jumlah lulusan yang diterima di lapangan pekerjaan bonafid, atau jumlah ‘orang sukses’ yang berasal dari lulusan universitas tersebut. Indikator subjektif yang bisa kita lihat adalah pola pikir. Saya tidak bilang bahwa lulusan universitas ternama semuanya memiliki pola pikir yang make sense dan sophisticated, but well, boleh saya bilang mereka cenderung berpikiran terbuka? Ini bisa saja bukan soal popularitas sekolahnya, simply karena sekolah tersebut ada di tengah kota dan mahasiswanya sudah banyak terpapar dengan banyak akses pendidikan dan budaya yang universitas di daerah tidak bisa dapat. Efek input juga berperan, sekolah yang sudah kepalang populer akan dikerubungi oleh pelajar-pelajar yang memang sedari awal sudah ‘bagus’. Yah, banyak faktornya. But my point is, the quality gap does exist.

Then come this pride of having a status of “graduates from great university”. Kita pun terjebak dalam penjara self-worth. Kita merasa lebih baik dari universitas ABCD. We boast our chest as we walk, duh.

Itu baru bicara soal nama sekolah. Bagaimana dengan pride akan tingkat pendidikan? Bagaimana dengan pride akan sebuah profesi pekerjaan?
I’m going to get to my point. Mari bicara soal profesi kesehatan. Profesi yang baru saya geluti kurang dari setahun, mungkin akan banyak bias opini di dalamnya karena saya masih anak bawang untuk urusan ini, but to write doesn’t have to wait to be experienced right? Hehe

Berawal dari komentar sederhana,

“Ah, yang lanjut sekolah Apoteker itu cuma yang punya duit aja” – well, for your information, yes sekolah profesi memang mahal. Satu semester bisa ada yang puluhan juta, apalagi sekolah swasta.

“Kerjaan Apoteker enak ya, cuma gitu doang” kata profkes x, --- well for your information, yes, ada beberapa kerjaan kita yang emang ‘cuma gitu doang’

“Kasian itu TTK (tenaga teknis kefarmasian) kerjaannya, capek banget” --- frankly speaking, saya akui memang capek. Selama orientasi 2 bulan saya bekerja seperti mereka, stressfull? Sangat. Ditambah dengan profkes x dan y yang terkesan “nyuruh2” dan complain mulu. Baper? Iya gue baper. Bapernya tuh kayak gini: “Lu siapa nyuruh2 gue? Lu bukan atasan gue woy!” hehe

dan komentar lainnya yang kalau ditulis jadi panjang kayak kereta.

Okol Vs Akal
Terkait pekerjaan. Ketika ada yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang” saya cuma bisa tersenyum dan bilang “tuntutan kita memang belum besar karena pekerjaan kefarmasian di rumah sakit masih sangat berkembang (and that makes me so worthless)” and that’s true. Sampai akhirnya saya dimutasi ke ruangan lain dan melakukan banyak pekerjaan teknis yang bikin baper, haha. Gada lagi yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang”, karena memang kerjaan saya agak bikin pusing (dan pekerjaan ini bisa jadi akan bertahan sampe saya usia 30-40 tahun karena carreer path farmasi klinis ga banyak). Still, I feel worthless because it just something that I didn’t expect I would do as a pharmacist. Expectation kills, I know.

Apa yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana saya bisa bekerja more into critical thinking rather than physical or technical thing. Dari segi pendidikan dan ranah pekerjaan pun basically makes sense. Ranah teknis adalah ranah teknisi atau orang lapangan, misalnya bagian operator atau service mesin di sebuah perusahaan menjadi tugas lulusan SMK Mesin atau Vokasi (cmiiw). Supervisornya, yang berpikir soal design, konsep dan sebagainya diarahkan pada lulusan S1 yang notabene saat kuliah diajarkan lebih pada konsep besar ketimbang teknis lapangan. Mungkin bahasa strukturnya adalah atasan dan bawahan, but lets say, kita bekerja memang sesuai ranahnya saja; self-worth kita masing-masing, harganya sama.

Seniority and Quality
Senioritas. Saya muak dengan istilah ini haha. Sesimpel ada yang beranggapan “kalau di jalan, yang muda harus nyapa duluan” aja saya kesal hahaha *lah w baper. Please, sopan santun doesnt mean the younger harus nunduk-nunduk sampe mentok lantai buat menghormati yang tua and then yang tua bisa pasang muka jutek dengan bibir mencong-mencong. Sorry to say, gue ga lagi ospek SMP atau SMA. Hehe, ini hiperbola biar lucu aja, you know what I mean lah :p

Senioritas juga menjadi ajang naik jabatan. Yang kerjanya sudah lama disekolahin duluan supaya grade naik jabatan jadi proper dan objektif, ga peduli mereka punya kemampuan dan potensi seperti apa. Tapi saya yakin, perusahaan pemerintah yang baik ga melulu melihat lama kerja, pasti ada indikator lainnya hehe

Bicara soal kualitas, saya tidak memungkiri bagaimana sekolah profesi tercinta kita ini dijadikan lahan bisnis. Konsumen mereka adalah para senior yang diharuskan melanjutkan sekolah namun apa daya kemampuan mereka sudah tidak mumpuni untuk bisa ke sekolah negeri dengan harga yang lebih terjangkau atau mendapatkan beasiswa prestasi. Ya gimana, saya aja yang masih fresh graduate mumet buat belajar lagi, bagaimana mereka yang sudah senior? Alhasil sekolah swasta dengan kualitas seadanya dan biaya mahal menjadi target mereka. Muncullah anggapan “yang lanjut sekolah yang punya duit aja (belum tentu kompeten- red)”. Still, mau apapun underlying motivationnya, mau bagaimanapun hasilnya, tingkat pendidikan masih dilihat sebagai indikator objektif untuk naik jabatan (mainly di perusahaan punya pemerintah, probably).

To me, it is good to have such objective indicator. Tinggal kitanya yang mau memanfaatkan kesempatan itu dengan baik atau tidak, dengan etika elegan atau dengan pride yang berlebihan hehe. Dan saya berdoa, semoga sekolah-sekolah profesi makin baik kualitasnya, jadi bisa membimbing mahasiswanya buat jadi lulusan yang oke pisan. Aamiin.

Kekeluargaan Vs Profesionalisme
Ada yang menarik dengan profesi saya ini. Apoteker bekerja tim dengan TTK atau panjangannya adalah Tenaga Teknis Kefarmasian yang dulu biasa orang sebut asisten apoteker. I like TTK better as a term karena pola mindsetnya akan berbeda, TTK akan berpikir bahwa mereka melakukan pekerjaan teknis rather than jadi an obvious subordinate-nya Apoteker (apapula istilah saya ini), which will create a better team work, hopefully. Lucuknya, ada banyak rumah sakit yang TTKnya diminta panggil Apoteker dengan sapaan Ibu dan Bapak (regardless their age) rather than calling out their names kaya di tempat kerja saya sekarang. Ada positif-negatifnya dari segi Psikologis. Dengan sapaan ibu-bapak menurut saya suasana professional jadi lebih terbangun, contoh kecilnya, Apoteker muda tidak segan untuk meminta tolong pada TTK senior sesuai kewenangannya. Positifnya panggil nama, kekeluargaan jadi lebih terbangun, gap atasan-bawahan jadi lebih minim. Nah negatifnya? Pikir sendiri aja ya hehe. Intinya, mau panggil nama, ibu-bapak, nenek-kakek, bro-sis, bebeb dsb, ketika bekerja tentu kita harus professional, jangan kebanyakan baper minta dihormati karena kita senior yang akhirnya merusak kinerja kita. Yet, kekeluargaan juga harus dibangun, because team work won’t work out well without comfort from each other hehe. Ngomong gampang emang hehe.

Back to my point, self-worth kita berharga sama ketika kita menunjukkan kinerja terbaik kita sesuai kewenangan yang seharusnya, regardless our age, our position, education level, etc etc.

Kolaborasi Interprofesi (the title is so lame, I know)
Saya sempet baper di awal kerja, kenapa? Pertama, secara struktur dan pekerjaan saya merasa ga sesuai dengan yang digadang-gadang permenkes, (tp sy masih belum berani bahas ini). Kedua, kok ya kesannya kerjaan saya jadi kaya bawahannya profkes x dan y, seenak udel banget nyuruh-nyuruh, atasan-bawahan yang baik aja kalo nyuruh pake etika, lah ini? Point kedua, saya tahu kenapa. Kalau kata Pak siapa ya lupa, Farmasi itu rantai terakhir pelayanan, jadi harus sabar-sabar kena complain dari berbagai arah, diteriakin minta ini itu dsb, karena instruksi dokter tidak akan terlaksana oleh perawat kalau farmasi belum memberi obat (ujungnya sebut nama profesinya juga lol).

Jadi ingat meme di Instagram, ada percakapan pasien dan farmasi, pasien complain “my medicine is only one kind, why it takes so long?” terus farmasinya blg “because youre not the only one living in this world” yah semacam itulah, kasarnya “yang berobat dan ngantri obat kan bukan elu doang” wkwk.

Memang setiap pekerjaan pasti ada baper-baper jenis begini, yang begini harus disikapi secara professional. Saya yakin setiap dari kita tidak suka direndahkan, dan manifestasi merendahkan orang lain bisa dilihat dari etika seseorang berkomunikasi. Jadi yuk sama-sama perbaiki etika kita berkomunikasi, simply dengan menyelipkan kata tolong dan maaf itu sudah menjadi kata ajaib yang akan membangun team work yang baik, ye gak? Secara struktur professional pada umumnya, setiap profesi kesehatan pada dasarnya bukan atasan dan bawahan, tapi saya aware, jenjang dan durasi pendidikan, jenis pekerjaan kita dan rantai pelayanan somehow membuat diri kita seakan lupa bahwa kita adalah partner kerja, jadi harus pandai-pandai menempatkan diri. Sama-sama belajar yah.

Organisasi Profesi, you’ll be my savior!
Saya sempat terlibat dalam keorganisasian mahasiswa kesehatan lingkup nasional. Saya melihat bagaimana tanpa disadari, arogansi profesi muncul dari setiap ormawa kesehatan. Tidak jauh berbeda, organisasi profesi pun demikian. Setiap dari mereka seolah bersaing untuk membela hak profesinya. Terkadang saya meragukan pembelaan hak dari masing-masing organisasi, apa iya hal yang mereka tuntut benar adalah hak meraka? Apa sudah cukup objektif dan sesuai dengan self-worth masing-masing profesi? Karena biasanya berujung pada tujuan insentif, remunerasi, dsb, yah intinya kesejahteraan dan pengakuan. Semua aja ingin diakui sebagai profesi yang punya daya tawar tinggi untuk dihormati dan digaji tinggi, huft. Kalau sudah turun ke ranah kebijakan begini saya masih butuh banyak belajar. Yaudah gausah bicara ini dulu, biarkan saja yang berkompeten bicara soal kebijakan masing-masing profesi, tugas saya sekarang adalah melaksanakan amanah dari kebijakan yang dibuat, menuntuk hak dan melaksanakan kewajiban dari aturan yang sudah ada (kalau mampu ya kasi saran dan kritik utk kebijakannya). Untukku dan yang di luar sana, semangat menuntut hak dan melaksanakan kewajiban!

EPILOG
Mungkin terkesan tulisan saya isinya cuma baper-baper ga jelas. But well, gini loh, saya tidak bicara soal pride karena sebuah tingkat pendidikan atau nama universitas saya atau nama profesi saya, saya bicara soal self-worth based on job domain and competence. Pride dan dignity adalah dua hal yang berbeda. We talk pride as boasting because we are more successful or better than others, I talk dignity; dignity doesn’t see success nor failure, our self-worth is doing the best we can do based on our authority, sesuai yang seharusnya, sesuai dengan amanah undang-undang, sesuai dengan sumpah jabatan profesi, jikapun tingkat pendidikan perlu dipertimbangkan in some context, yah sesuaikan pula dengan itu, dan tak lupa sesuai pula dengan potensi diri. Intinya adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. I am looking for my self-worth –which is to me, isn’t a sin- its an emotional incentive I should get as my job is impactful, therefore, it’s valuable. hehe

Sabtu, 13 Agustus 2016

Sampai Jumpa Ismafarsi!

Ternyata rasa benci yang katanya ‘benar-benar cinta’ itu terjadi pada saya. Rasa benci akan organisasi ini tumbuh menjadi rasa cinta yang begitu abstrak. Abstrak karena sampai saat ini saya tidak dapat mendeskripsikan rasanya.

Berawal dari rasa tidak suka akan satu kegiatannya, ternyata orang seperti saya yang cenderung tidak suka tantangan ini bisa juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi kala itu. Rasa penasaran kenapa kegiatan itu tidak membuat saya puas. Kegiatan ke-2 yang saya ikuti cukup membuat mata saya berbinar, entah karena kegiatannya yang memang luar biasa atau ekspektasi saya yang terlalu rendah setelah melewati ketidakpuasan. Singkat cerita, dari kegiatan ke-2, rasa puas itu masih bercampur dengan rasa tidak suka, bahkan benci. Benci karena merasa buang-buang waktu mendengarkan persidangan yang sarat perdebatan jumlah menit untuk ke toilet atau adu kusir hal-hal yang tak subtansial, benci karena melihat orang-orang yang telat masuk forum, benci karena melihat arogansi warna warni almamater, benci karena teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang membuat tarikan nafas panjang, benci karena orang-orangnya yang ramai di ruang persidangan namun sepi ketika turun ke lapangan. Benci karena di sini tempat saya mengenal apa itu kepentingan.

Jangan salah. Alasan keterlibatan saya menjadi pengurus tidak seutuhnya karena ingin memperbaiki keadaan, ingin memajukan organisasi, atau hal mulia lainnya melihat betapa tidak nyamannya saya saat itu akan organisasi ini. Ada hal-hal manusiawi yang turut menggandeng alasan normatif itu, alasan yang menurut saya pada akhirnya menjadi latar belakang kejenuhan, kemalasan, dan pesimistis seseorang dalam prosesnya. Karena bagaimanapun, alasan awal saya terlibat adalah karena ‘bujukan’ seorang teman. Saya teringat pesan whatsapp dari seorang teman kala itu, pesan yang membuat saya marah sampai akhirnya saya memutuskan untuk terlibat di kepengurusan ini. Haha well im laughing at myself now, how shallow I was. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat saya tidak pernah menyesal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut dirinya ‘kabinet Luar Biasa’. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari organisasi ini, dari anggotanya, dan dari tiap individu pengurusnya.

Empat event nasional

Kabinet ini bisa jadi mulai dari nol. Proses satu-nol-satu-nol sepertinya menjadi ritual tiap periodisasi kepengurusan. Periode 2 tahun yang membuat kabinet sebelumnya telah menjadi 1, kemudian kabinet selanjutnya terpaksa harus memulai dari nol karena periode 2 tahun menyulitkan proses regenerasi dan bimbingan. How are you gonna guarantee your little sisters to continue your struggle while you know they have to graduate on time? How are you gonna trust your little brother to finish what you start while you know they still need lots of time to learn? Semoga 1-0-1-0 ini hanya asumsi, karena jika benar terjadi, organisasi ini benar-benar jalan di tempat.

Kebingungan periodisasi ini pula yang telah menjadi bahasan rutin di persidangan. Kurang lebih tiga periode membahas apakah organisasi ini perlu mengganti periode 2 tahunnya menjadi 1 tahun, bahasan yang penuh adu akal dan okol bukan hanya di meja persidangan namun juga menjadi konsumsi kajian adik-adik selanjutnya di lembaga eksekutif mahasiswa (LEM). Berbagai alasan dikemukakan mulai dari pendapat subjektif hingga yang berlandaskan pada perbandingan dengan ormawa kesehatan lain, pro dan kontra mencuat dengan tak jarang suara-suara bernada tinggi terlibat didalamnya. Sampai akhirnya saat kabinet Luar Biasa hendak berdiri, suatu perjanjian dicetuskan untuk memberhentikan pembahasan ini dengan keputusan akhir tetap 2 tahun. Tiga periode pembahasan ini pada akhirnya membuahkan suatu kesepakatan yang ‘terkesan sia-sia’ hehehe.

Rapat Kerja Nasional 2015. Hari ini hari di mana saya teringat ketika mendownload arahan sekjen terpilih, arahan yang berlembar-lembar itu mampu membuat pundak saya turun ke bawah disertai dengan helaan nafas tegas disertai dengan makian… “Anjaayy, lo kira 2 tahun ini gue bakal ngadain proker segini banyak? Lo kira hidup gue cuma buat ismafarsi?!” haha. Saya pribadi hanya mampu merumuskan sedikit proker dari puluhan konsep yang ditawarkan oleh sekjen ‘kurang kerjaan’ ini.

Proker ditetapkan dan saat itulah kabinet Luar Biasa mulai bekerja secara legal.

PIMFI 2015. Sebuah event keilmiahan nasional yang menjadi program kerja divisi saya. Saya kira saya telah belajar banyak dari seorang kakak, saya kira saya sudah cukup siap berperan sesuai tupoksi, mengarahkan dan mengembangkan orang lain, dsb. Ternyata tidak. Saya tidak cukup jeli dalam membaca keadaan, mungkin. Banyak komplain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada panitia, namun memang banyak hal yang harus dievaluasi di sini. Kesalahan terbesar berasal dari diri ini, dan sungguh saya banyak belajar. Apapun dinamika yang ada saat itu, semoga kebermanfaatannya tetap terasa bagi semua pihak :”)Dan tentunya apresiasi terbesar saya dkk kepada panitia yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengadakan acara ini :)

Latihan Kepemimpinan 3 (IPLF) Nasional dan Pramunas 2016. Satu event nasional yang dahulu membuat saya tertarik akan organisasi ini. Rasa cinta dan benci yang bercampur. Namun kala itu saya tidak hadir karena harus menemani orang tua yang sakit. Cukuplah senyum saya terkirim untuk kawan di sana yang mengabarkan bahwa perubahan AD/ART akan dilakukan tiap 3 periode, sebuah keputusan yang berisiko bagi saya, namun saya kira itu menjadi keputusan terbaik melihat forum perubahan AD/ART selalu membuat diri ini gemas untuk melempar meja (canda deng). Di event nasional ini, proses kaderisasi bagi kader yang akan melanjutkan perjuangan kami mulai terasa lebih intensif. Bytheway, jika mengingat LK3 dahulu di zaman saya, hal yang membuat saya tertarik dengan organisasi ini salah satunya karena peserta LK3 yang buat mata saya melotot. Ternyata anak farmasi yang biasa saya lihat berteman dengan benda mati di lab bisa juga berbicara soal realita sosial :p

Munas 2016. Event nasional terakhir. Laporan pertanggungjawaban ditunggu oleh anggota. Tebak apa yang terjadi? 11 Lembaga Eksekutif Mahasiswa menolak laporan pertanggungjawaban Sekjen Kabinet Luar Biasa karena kami yang melanggar konstitusi, yaitu banyak dari kami yang telah lulus S1 sebelum LPJ. Now what do you say? Lets not discuss about it haha

Di Munas pula, hati kami meracau. Panik, cemas, dan menyesal bercampur melihat pemilihan Sekjen baru dan Badan Pengawas. Walau akhirnya kami hanya patut untuk tersenyum dan bersyukur. Biarlah racauan itu jadi bahan kontemplasi tentang kesalahan-kesalahan yang dulu kami perbuat.

Kami yang Katanya ‘Luar Biasa’

Dua tahun. Keputusan munas 2014 untuk tetap menjadikan kepengurusan ini 2 tahun sepertinya memberikan peluang dinamika untuk bermain lebih kreatif. Mahasiswa farmasi yang dikenal tak peka politik sepertinya belajar berpolitik lewat organisasi menyebalkan ini. Saya selalu merasa tak nyaman kalau sudah bicara strategi, berspekulasi mengenai kepentingan-kepentingan golongan, atau semacamnya. Saya selalu menundukkan kepala dan kadang mengeluh berkepanjangan kalau konflik sudah terlihat di depan mata. I sometime feel torturing over this phlegmatic-introvert trait I have lol. Then I learn to like what I dislike. Fake it till you make it.

Kabinet ini diajarkan pula untuk beraudiensi akan isu-isu kefarmasian dan kesehatan. Sempat beberapa kali saya dan kawan-kawan mendatangi stakeholder untuk membicarakan suatu isu dan meminta tuntutan, beberapa kali pula saya (mungkin kami) dibingungkan dengan siapa yang benar siapa yang salah, beberapa kali pula kami diterima dan ditolak, beberapa kali pula saya merasa sekedar belajar berbicara dan mendengarkan daripada melakukan aksi nyata…..duh. Tapi saya percaya, beberapa orang kawan benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan, termasuk pemimpin kabinet ini yang harus rela dibenci karena mengambil tindakan yang tidak disukai orang. Toh, katanya pemimpin yang baik adalah mereka yang mengambil keputusan yang tepat, bukan keputusan yang orang suka. Pada akhirnya, sebaik apapun pemimpin, akan memiliki musuh dalam perjalanan hidupnya. Mungkin kami belajar untuk melawan retorika dengan retorika, kami belajar bersilat lidah tanpa kehilangan bijak, yang pasti kami belajar berlapang dada saat kami kalah dan tidak disukai orang.

Kabinet ini pun mengajarkan kami untuk berkarya. Pemimpin kami yang disegani ini ternyata tahu apa yang ia lakukan; dibalik sifat menyebalkannya (haha peace dho) I think he succeeded to convince us over our potential, setidaknya jika bukan karena dia, dia rela memberikan waktu bagi kami untuk kami menggali potensi. Dimulai dari mengikuti lomba dengan modus mencari uang untuk mengikuti kegiatan2 organisasi, menjadi pembicara sana-sini dalam rangka menginspirasi, mengikuti event2 dan komunitas, mengadakan penelitian sampai presentasi internasional, dsb. Namun sungguh, ini semua harus jadi bahan evaluasi, apakah selama ini beberapa dari kita lebih sibuk mengupgrade diri daripada memberi? Semoga tidak.

Pun, kabinet ini mengajarkan kami untuk mengerjakan segalanya dengan cinta, mengajarkan pula arti sebuah kesabaran. Jika saya ditanya apa hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, itu adalah konsisten dalam kebaikan. Kami tentu pernah merasakan jenuh berkepanjangan, rasa malas yang seperti tiada ujungnya, rasa kesal setiap kali Sekjen sudah membuka kata ‘apa kabar’ lewat whatsapp, karena kami tahu pertanyaan kabar itu hanya basa-basi dibalik permintaan tolong mengerjakan tugas hahaha. Kami belajar mencintai pekerjaan kami dengan segala fluktuasi semangat yang ada. Kami belajar untuk istiqamah.

Oh ya, kabinet ini tidak hanya berbicara soal program kerja, namun juga arti sebuah keluarga #yeah #yuhu. Selalu menyenangkan bersama dengan para pengurus yang terus berjuang mencoba menembus batasan diri. For some, maybe this family is only another inner circles, for some this family is everything, for some this family is all priority. But whatever it is, kami tahu kami belajar banyak tentang rasa peduli di tengah-tengah hubungan jarak jauh, kami belajar menjalin chemistry di tengah kesulitan bertemu, kami belajar membaca karakter dan mendalami perbedaan. Hingga akhir kepengurusan ini pun, kami akan terus belajar. Belajar berdamai dengan rindu yang diciptakan oleh jarak, belajar bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat, belajar menjalin persaudaraan yang semoga tak akan pernah lekang oleh waktu dan jarak.

Well, masih banyak yang kami dapat dari kabinet yang katanya Luar Biasa ini.

Ah, kata siapa kami luar biasa?

Apakah kabinet ini luar biasa karena telah mengadakan event internasional pertama kalinya secara mandiri? Apakah karena kabinet ini berhasil meraih gelar Best Association dari organisasi internasional? Apakah karena para pengurusnya yang menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya masing-masing? Apakah karena kabinet ini telah berusaha menciptakan tata cara sidang yang lebih efektif? Apakah karena kabinet ini menjalankan semua prokernya? Apakah karena kabinet ini mengkawal isu kesehatan lebih banyak dari biasanya? Apakah karena kabinet ini memiliki sekjen yang disegani banyak orang? Atau apa? Ah…mungkin karena ekspektasi anggota dan kami yang terlalu rendah di awal kepengurusan sehingga pencapaian yang biasa jadi terlihat luar biasa; mungkin karena kami kebetulan menjadi pengurus di era media social merajalela, sehingga segala kegiatan yang dilakukan muncul ke permukaan dan dilihat banyak orang; atau… mungkin karena memang organisasi ini kekurangan kader-kader mumpuni dengan standar luar biasa yang tak ada apa-apanya. Entah, yang pasti, kami akan terus percaya, perjuangan kabinet ini harus dilanjutkan, jika kami sudah menjadikan organisasi ini 1, maka yang selanjutnya harus mampu menjadikan ia 2, 3, dst.

Saya tidak perlu berbicara kegiatan dan prestasi apa yang dilakukan kabinet ini. Biarlah anggota menilai seberapa besar manfaat yang mereka peroleh di bawah kepengurusan kami, biarlah kami menilai sendiri sudah seberapa besar usaha kami dan seberapa lurus niat kami, biarlah anggota dan kami sadar akan dirinya sendiri tentang kontribusi dan kepekaan social yang kami berikan. Terima kasih untuk semua elemen dari terpilihnya Sekjen di 2014 hingga Munas 2016 yang telah banyak membantu menebar manfaat sebagai satu Ismafarsi yuhuu

Namun sesungguhnya, semua ini adalah evaluasi. Apa yang terjadi di Munas sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman pribadi bagi saya yang terus berpikir apakah selama ini saya di sini hanya sibuk mengupgrade diri dan sering lupa arti kebermanfaatan yang sebenarnya. Pengalaman kami pula di sini untuk melihat ke belakang, apakah kami berhasil menciptakan kader-kader yang diharapkan? In fact, air mata bahagia dan haru bercampur dengan air mata sesal dan sedih, sungguh, kami berharap Ismafarsi ke depannya akan lebih baik.

Denny Fahmi, sekjen Ismafarsi terpilih 2016-2018, bukanlah Ridho Muhammad Sakti. Denny Fahmi adalah Denny Fahmi, biarlah ia memimpin dengan caranya sendiri. Lakukan yang terbaik dan jika suata saat kamu dan kabinet barumu terpaksa membuat kami kecewa, buat kami tetap percaya bahwa kamu dan kawan-kawanmu akan terus belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat :) semoga rasa percaya ini tidak akan pernah sia-sia.

Hehe.

Anyway, begitulah yang terjadi. Momen mengerjakan program kerja, memberi manfaat, bercanda-canda, cinlok-cinlok buta yang mungkin terjadi di balik cinta yang tak terucap (wkwkwk naon), konflik di mana-mana dan segala dinamika yang serius maupun yang tidak, semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan dibalik apapun alasan awal kita untuk terlibat. Untuk kalian adik-adik kami tersayang dari ujung sumatra hingga papua, ayo luruskan niat bersama untuk membuat organisasi ini lebih baik, bantu Sekjen baru Ismafarsi, ayo daftar jadi Staf Ahli! hehehe *yah ujungnya promosi

Saya selalu ingat kata seorang kakak bahwa ada empat tipe orang dalam suatu organisasi, pembelajar (tipe yang paling ideal), turis (ada karena ingin jalan-jalan, popularitas, memperkaya CV, dsb), sandera (ada karena terpaksa), teroris (ada untuk menghancurkan organisasi). Yah, tulisan ini adalah curhatan seorang sandera hahaha, seorang sandera yang terbawa bujukan untuk terlibat, seorang yang selama prosesnya selalu merasa pesimis dan cemas, namun saya mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang insyaAllah akan terus belajar untuk menikmati proses yang ada, hingga kita menjadi pembelajar. Jadi jangan pernah takut untuk terlibat, ayo daftar Staf Ahli! *promosi lagi* Yup, jika memang semangat di awal itu masih sedikit karena alasan-alasan tertentu, mungkin kita harus bersabar. Percikan api semangat di awal kepengurusan benar2 menjadi bara pada waktunya, salah satunya karena kehadiran keluarga ke-2 :) Dan bagi yang sudah bersemangat sejak awal, hati-hati dengan ekspektasi, terus jaga semangatnya :D Yay, semoga kabinet selanjutnya kaya akan orang-orang pembelajar.

Sampai jumpa Ismafarsi! Kami tunggu kabar baiknya!



Sabtu, 07 Mei 2016

Social Media and Self Disclosure

Social Media addiction is a phenomenon. A lot of people have and use it. I admit it that I’m one of the social media active users among 72 million users in indonesia that pretty much feel the benefits and harms.

The impact delivered from a somewhat-person’s random posts in a social media may be a great deal for some even many people. Massive publications are created through shares or like buttons that instantly disseminate information unselectively; not only formal information from an official social media account, but also personal information from an individual. People including me utilize this technology also as a tool to express personal things. The information then may build assumption, prejudice, variety of personal perceptions, or the softer one is a decent knowledge regardless what the motives and purpose that the people try to either obviously showing it or instead hiding it.

Natalya Bazarova in her journal has conducted a research involving a group of students that are told to input their Facebook updates consist of status, wall post, and private message to a survey website. She seeks for the students’ motives behind their updates. The data shows that most of the updates relate to the reason of social validation and to develop a relationship. Social validation here means an approval or support seeking of a concept and relationship development aim to manage or maintain a relationship. Some updates also relate to the fact that people use social media to express thoughts and release pent up feelings. As an active user, I don’t use social media solely for one motive. I believe other people too. Here I’m focusing to the utilization of underlying purpose that whether unconsciously or not planted on humans’ brain when they use social media. It is self-disclosure.

Self-disclosure means to reveal personal information to others. In other words, motives that I told you in previous paragraph which are from Bazarova’s research are packaged in an action called self-disclosure in a social media. So, is it good to actually give personal information in a social media?

In 1955, Joseph Luft and Harry Ingham developed a tool called Johari Window to demonstrate the importance of self-disclosure by doing an open communication to build trusts. It contains of four quadrants that one of the quadrant says an open area which means that you know about yourself, so do other people; this area is encouraged to be widen. They believe that by telling our traits, skills, attitudes, and knowledge to people, trust between each other will improve because each of us know what to do when we face certain kind of condition with somebody. Frankly, I don’t reject the theory, but what happen if we openly share ourselves publicly through social media? Johari Window doesn’t tell us how if it applies in a virtual world where public is so much public. Does it improve trust?

Let’s take an example of Instagram (IG). I notice that people can make it private in the setting feature IG provides but let’s be honest that we see a lot of people bravely show the pictures publicly as if telling people “hey, this is me and my life, take a peek!”. Many users eventually become popular because of their pictures posted, whether it shows the beauty of girl faces, controversial pictures, or sensational one. We disclose ourselves through pictures. Without knowing the underlying motivation, we know that people are what they post. Some people will prefer a less public social media like Path when you need to add a person as a friend before taking a look at their posts. But what is the point when you know that the friends you have in a social media are no longer your inner circles? Is this kind of self-disclosure really healthy? Does it really build trust or all the way around?

Honesty and openness has come to people around the world, not only western society. Social media then somehow facilitate the openness. For introverts mainly, they probably more comfort to express thoughts and feelings –to be open- through writing rather than talking directly; they may feel less afraid of people’s comment when they post pictures to tell story rather than speaking out loud to people. Social media then become their friends; tumblr, blog, line, twitter, many more. In reality, introverts sometimes struggle to tell who they are unless it’s a deep conversation with a small group of people. To me, it is not a mistake. Yet, is this kind of ‘honesty’ really healthy when bias is actually present without others know? Does the person act the same way in real life like she/he writes or post virtually?

Extroverts also utilize the idea of virtual sharing with other motives rather than only feeling comfort. Self-disclosure aims to build trust, and also building motivation as a motivator says that people need to do self-branding to motivate, that probably many high achievers-extroverts and some introverts do this. But the thing is how far this self-disclosure really motivates people? Encourage people to do goods instead of making people keep comparing someone’s life that will create an unhealthy jealousy? How this self-disclosure really help each other build healthy environment instead of creating prejudices and stereotyping? Whether it’s a good or bad trait that we share in social media, how this self-disclosure is not seen and not done too much?

The underlying motivations that are classified by Bazarova in her journal more and less tell on how we manage our attitude toward social media. The motives include identity clarification, relation development, social validation, social control and resource gain, self-expression and relief of distress, information sharing to benefit others, and information storage and entertainment. Basically, trust that is expected from a self-disclosure surely depend on what information we share regardless the motives. The motives are basically humane but that doesn’t necessarily lead to a justification of all more detail derivative motives. People themselves who know how much the social media addiction harm them and others; they actually know when they have used social media too much, substantially and technically.

Everyone knows, too much is never good.

#selfreminder




Sabtu, 23 April 2016

Hayo 23 April hari apa?

“Kita bisa jadi tahu banyak hal dari sekitar kita, namun buku membuat segalanya lebih terdefinisi.”

Mentor saya pernah berkata hal demikian. I was smiling that time, because yes I couldn’t agree more on that. I’m not that bookworm person walau banyak orang menganggap saya demikian. Mungkin karena kacamata tebal saya lol. Tapi saya sepakat. Buku memang membuat segalanya lebih terdefinisi. Hal yang terdefinisi memungkinkan seseorang menjadi lebih terbuka akan sesuatu, open minded, serta mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam menanggapi lingkungan sekitar. Membaca buku psikologi bagi saya adalah upaya menelanjangi karakter orang dengan cara yang bijak; membaca buku sejarah adalah upaya untuk belajar dari masa lalu melalui pandangan orang lain, menekan ego dan asumsi yang sering tak berdasar; membaca buku agama adalah upaya memperbaiki diri dan mencari kebenaran dibalik abstraknya arti ‘percaya’; membaca novel adalah upaya bersenang-senang tanpa harus takut kehilangan manfaat; membaca komik adalah cara mengistirahatkan otak dengan cara yang elegan #naon ini. Hehehe.

Indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001 which means in every 1000 Indonesians, we only have 1 person that love to read. I’m not judging you, saya sendiri masih sulit meluangkan waktu untuk membaca. But trust me, kata-kata klasik ‘buku adalah jendela ilmu’, well it is.

Contohnya ketika kita membaca buku psikologi.

In daily life we see many people with their own caharacters. Kadang kita melihat orang yang pendiam lantas kita tidak mau berteman dengannya, merasa “lo ga asik ah!” padahal she’s just being introvert with her own power. Susan Cain dalam bukunya menulis “I have seen firsthand how difficult it is for introverts to take stock of their own talents, and how powerful it is when finally they do.” Dalam bukunya pun Ia mengenalkan tentang Extrovert Ideal and stuff like that. Buat saya, membaca buku itu memberi definisi baru tentang karakter manusia yang pada dasarnya will help us to socialize. It helps us to accept people and help people to build their character in the right way. Because we know some terms. Terms define everything.

Atau ketika kita membaca novel.

Banyak novel yang memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian sehari-hari dengan berbagai peran di dalamnya. Kadang kita merasakan apa yang ada di dalam cerita dan memiliki asumsi tersendiri tentang suatu kejadian. Namun ketika melihat berbagai pendapat orang lain melalui peran yang dimainkan, rasanya kita bisa lebih pandai memaknai hidup. Haha.

Membaca buku agama?

Well, just be honest to ourselves. Kadang kita masih sering bertanya hal-hal kecil seperti jamak-qashar sholat yang benar seperti apa.

Membaca buku pelajaran?

Wkwk ini juga harus kok. Saya masih belajar banget buat yang ini. But here I talk more to books outside our field. Kalau hanya baca buku sesuai bidang kita, I guess its going to be hard to survive the world. Hahaha. Ekstremnya begitu. Sama seperti dengan blending with variety of people. Kalau kita hanya berteman dengan orang-orang yang sejenis dengan kita, gimana kita mau berkembang? Jika kita cuma bergaul dengan orang-orang pintar yang hobi baca farmakope tiap hari, we’re going to be a freak nerd that doesn’t have any other capability and doesn’t have wider value to others. Padahal untuk survive, we need skills more than we think.

Ilmu pengetahuan yang kita dapat dari sebuah bacaan dapat menyerap di otak kita sebagai sebuah fakta hingga pemahaman. Hal-hal yang masih membuat kita buta, membaca buku akan membuka mata kita. Hal-hal yang kita sudah tahu dasarnya, akan memperluas lagi wawasan kita. Hal-hal yang sudah kita tahu banyak, mungkin kita butuh suatu buku untuk membantu kita membuat segalanya jadi lebih terdefinisi dan terstruktur. Eventually, everything makes sense for us.

Membuat sesuatu menjadi lebih tertanam di otak harus lebih dari sekedar mendatangi seminar, browsing artikel, atau berdiskusi dengan orang lain. Books come to explain things comprehensively. Dari buku, seminar, dan berdiskusi, its going to be the perfect combination to, hopefully, create a real action toward our understanding. Hehe

Giving time to read is not easy, I know. Saya baru saja baca ini kemarin di akun line Metagraf, and I guess we can try this out to practice.

1. Borrow more books that you can read. Atau bisa juga beli buku sebanyak-banyaknya. Saya suka gatal kalau lihat buku masih banyak yang tersusun dan masih dalam plastik. Somehow akan ada urge buat baca. Bisa juga pinjam sama teman yang tipenya kasi deadline waktu pinjam, supaya termotivasi. Atau pinjam buku ke perpus dengan deadline juga.
2. Read more than one book at a time. Ini baru saya praktikan semester ini. Its not that bad though. Cukup efektif dalam eskalasi menambah pengetahuan wkwk. Hanya harus dijatah waktunya, misal baca novel di sela menunggu, baca buku lain sebelum tidur.
3. Set a goal per reading session. Yah misal setiap hari minimal harus baca 50 halaman.
4. Ignore what you ‘should’ be reading. Haha ini lagi saya coba banget. Biasanya saya baca buku-buku mainstream yang memang direkomendasikan orang, bukan atas dasar rasa ingin tahu diri sendiri. Tapi katanya, kita akan lebih termotivasi untuk membaca yang sesuai interest dan kita nikmati!
5. Practice speed-reading. Baca scanning gitu ya. It needs a lot of practice.
6. Read digitally across all your mobile devices. Untuk efektivitas dan efisiensi ini bagus banget. We can ready anytime and anywhere. Sayangnya mata saya cepat lelah kalau baca di smartphone lama-lama -.-
7. Read before going to bed. Menurut saya, ini cara yang paling ga buat merasa bersalah. Terkadang kita merasa bersalah membaca buku ketika tugas kuliah sedang menumpuk. Membaca di siang hari terus keasikan hingga lupa mengerjakan tugas. Well, read before going to bed will be the right choice, after we did all of our works.

Nah, semoga bermanfaat ya. Semoga kita bisa sama-sama sedikit-sedikit meluangkan waktu untuk membaca. Soal bacaan apa yang harus dibaca, mmmm, to me, We are what we read :)

Hayo 23 April hari apa?

Happy World Book Day!

Rabu, 23 Desember 2015

Yes, Expectation Does Kill You.

Terkadang sulit menyampaikan sesuatu lewat bicara, so please allow me to ‘wording’ my thoughts.

Saya ingin berdiskusi tentang sebuah seni menerima.

People say ‘its not a sword that kill you, expectation does’.

I couldnt agree more. Expectation does kill you. Saya pernah membaca suatu ilmu psikologi terkait Expectation Violation yang intinya bahwa ada tiga hal yang akan terjadi ketika kita berekspektasi akan sesuatu. Realita akan ada di atas ekspektasi, di bawah, atau sesuai dengan ekspektasi. Reality vs Expectation, things that we always learn from 9gag lol. Reality sometimes violate our expectation. Im talking about positive expectation, suatu harapan yang ingin kita dapatkan. Ketika realita sesuai dengan ekspektasi, senyum kitapun mekar; ketika realita di atas ekpektasi, senyum mekar dan matapun berbinar; ketika realita di bawah ekspektasi kita pun tersenyum hambar dan menghindar. Ini menjadi salah satu alasan ketika kita melihat bahwa tak sedikit orang yang mudah memulai namun mudah juga untuk berhenti. See, it kills you. Ibarat antibiotik, ekspektasi itu sifatnya bakterisid, membunuh tanpa harus ada antibodi yang membantu, ah naon maksa, efek belum bisa move on dari uas #lah.

Expectation is violated often when we know weaknesses that we never thought it existed. O my god, weaknesses is the culprit. When expectation is violated, -saya berbicara mengenai suatu realita di bawah ekspektasi- we actually have two options, classical options but people sometimes forget about this. Mengubah atau menghindar. Letting ourself achieve our expectation or letting expectation kills us. Tentunya setiap orang berharap untuk bisa membiarkan dirinya mencapai ekspektasi. Menurut saya di sinilah kita harus belajar mengenai seni menerima. Seni menerima itu adalah dengan mengubah. Bukan dengan mencaci maki atau menghindari, bukan dengan tuding sana-sini atau menanam rasa benci, melainkan dengan klarifikasi dan menciptakan sebuah revolusi.

Ada masa ketika alis kita terangkat dan dahi kita mengkerut ketika mengetahui sifat asli teman kita. Well, weve been expecting our friends are diligent, above average, cool, wise, etc. Setelah kita mengenalnya lebih dalam, nah loh, banyak sekali kekurangan pada dirinya. Are you gonna blame them? Yah bisa jadi orang pacaran yang putus atau orang menikah yang bercerai karena tak bisa menerima kekurangan pasangannya.

‘Ah. Makanya jadi diri sendiri saja. Tak usah lah pencitraan, jaga image, self-branding, sok-sok menawarkan keadaan ideal, topeng, errgghh.’ Buat saya, menjadi diri sendiri bukan dengan mengelupas kulit sendiri, tanpa sadar memamerkan kekurangan demi kekurangan. Menjadi diri sendiri adalah dengan bersifat adil, menempatkan diri kita sesuai pada tempatnya, and its definitely different with being hypocrite. Klarifikasi dahulu sebelum kita berani menjudge orang lain. Jika memang orang itu salah, terimalah ia dengan membimbingnya menjadi lebih baik. Susah ya? Ya memang susah tapi bukan berarti tak bisa :’)

Masalahnya adalah pada diri kita yang terkadang sulit menerima kekurangan orang lain, hal yang sama ketika kita sulit menerima kekurangan suatu organisasi. We keep questioning, kenapa di setiap osjur ini kakak-kakak menawarkan keadaan ideal namun memberikan kami realita yang jauh dari ekspektasi. Itu mimpi kami dek, mimpi kami yang kami titipkan pada kalian. Klarifikasi terlebih dahulu sebelum kita memutuskan akan lari dari kenyataan. Klarifikasikan segala hal, mengapa hal ini terjadi? Mengapa hal itu terjadi? Setelah kita klarifikasi, terima lah. Terima apapun klarifikasi itu dan mainkan seninya. Menerima dengan membiarkan atau menerima dengan mengubahnya ke arah yang lebih baik. Terima kekurangan itu sebagai bahan refleksi dan evaluasi. Then run, run as far as you can, bukan berlari sendiri dan mencari hal lain yang sesuai dengan ekspektasi, namun berlarilah bersama kekurangan itu, let the weakness see the finish line you want, let the weakness learn from that.

Berdamailah dengan ekspektasi. Dont let it kills you and please never attempt to kill back. When we try to kill back, itu artinya kita pasrah dengan keadaan. Make peace and better change will emerge.

Aanndd, when expectation is about to kill us, ingatlah bahwa semua yang kita punya, semua yang kita lalui ini adalah titipan Tuhan yang akan dhisab di akhirat. If we choose tu run away, just think what would happen. Ah ya, hari ini maulid nabi. Jadikan juga hari maulid nabi ini sebagai ajang refleksi kita, untuk mencontoh role model terbaik dunia yang jiwa amanahnya tidak akan pernah tertandingi. Yuk shalawat.

One more thing, hati-hati juga ketika realita berada di atas ekspektasi kita, rasa puas yang berlebihan bisa saja membuat kita berhenti atau membelokan niat baik kita :) wallahualam.

#selfreminder






Senin, 06 Juli 2015

orang tua bilang "kamu ga sopan", kita bilang "mah, itu wajar"

My mom and my hostmom are both very social persons, and yes they always ask me to make your faraway guests as your Kings and Queens. They want me to salam to everyone; your hospitality is number one. They also always encourage me to give and share. They basically want kids do that, every kids in the world. But whats happening now?

Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.

Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.

My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”

Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”

Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.

Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.

I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.

Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.

Rabu, 28 Januari 2015

Halo ISMAFARSI

Never thought before that I wanted to be part of you,

Bukan, ini bukan tulisan perpisahan.

Rasanya waktu berjalan sangat cepat, rasanya baru kemarin gue angkat tangan di kegiatan LK 2 Priangan dan menyatakan “Sejujurnya, saya tidak tahu apa2 soal ISMAFARSI, saya merasa dijudge di sini”

Baru kemarin kesan pertama gue ketika melihat sosok Poppy yang dewasa lagi keibuan berbicara di forum; memberikan saran solutif yang buat gue angguk-angguk kepala. Baru kemarin rasanya alis gue sedikit terangkat ketika mendengar Saiful dengan kritisnya berbicara pakai embel-embel ‘jebolan mentoring’ yang somehow setiap liat dia, jadi keingat tagline ‘jebolan mentoring’nya. Haha. Baru kemarin rasanya melihat Ifa penuh semangat mencurahkan rasa ingin tahunya akan ISMAFARSI. Baru kemarin ya. Duh bukan, this is not a good bye-prolog.

Never thought before that I wanted to be part of you until that day in Malang…

I saw a different ‘landscape’, felt a different atmosphere, smelt something challenge (wait, this was so not me).

Iya. Pengurus ISMAFARSI Bersinar di LK3 kemudian dengan pandainya mengambil hati gue, it was like “Man, you guys are way too cool! You offer service, a devotion, a rare dedication.” Sampai tercetus lah sedikit keinginan itu, untuk menjadi seperti mereka.

Ingat sekali waktu itu gue duduk di depan; tak sengaja menyisakan satu tempat duduk kosong tak berpenghuni yang tau-tau diisi cowok berjaket-kuning. Perkenalan kami dimulai dengan cerita mengalir dari cowok berjakun itu (jakun?); cerita dirinya bertemu dengan Menteri Kesehatan, dirinya yang suka menulis karya tulis ilmiah, dirinya yang menjadi konseptor ILC (aha! Found an intercept), dan lain-lain. Yah, siapa yang tidak kagum dengan sosok ini? Sosok yang sekarang menjadi seorang pemimpin ISMAFARSI. Cie elah.

Belum berhenti kepala gue manggut-manggut, kemudian gue disuguhi presentasi dari Mas Yoce, Jaya, Apri, Aris, dll. I was like “this guys really know what theyre doing”.

Sampai PRAMUNAS. The proud transform into sympathy. Sun seemed to hide, give its turn to the cloudy bloody day to come in charge #halah. I have my own perception toward this organization, the different one from yesterday, somehow the desire to be the chairpersons kind of gone. Kind of. “Girl, welcome to Indonesia” they say.

Singkat cerita, orang-orang yang gue temui di Malang lah yang kemudian sedikit banyak mengubah persepsi gue tentang Farmasi itu sendiri. Thanks to LK3, latihan kepemimpinan yang menjadi turning point gue (after the one I had in ITB) dalam melihat status dan peran mahasiswa, khususnya mahasiswa Farmasi. Momen berbeda yang membuka gue akan keberagaman Indonesia dari sudut pandang yang baru, quite a lot different compare to AFS orientation or any national program I attended for several times. It was a gripping moment after all despite the creepy pramunas :)

Tiba di event Nasional ke dua gue. Ridho a.k.a cowok berjaket kuning mencalonkan diri sebagai Sekjen ISMAFARSI. Yup, he was chosen. Tibalah masa itu, masa-masa bingung daftar SA atau nggak. Masa yang diiringi dengan berbagai pertimbangan luar biasa sampai air mata menjadi bagian dari skenario di masa itu hahaha ya sori lebay. Pertimbangan akademik, mimpi-mimpi 2014, dan amanah lain di kampus (karena gue bukan tipe orang yang senang nemplok sana sini – prinsip gue daripada ada kemungkinan ga total di satu, better ga usah cari amanah lain-) jadi pertimbangan utama. Gue yang biasanya sangat jarang bersapa dengan Priangan Ranger, mau gamau meminta pertimbangan mereka. Berkali-kali chat dengan Bang Jaya lumayan ada pencerahan; chat dengan Saiful, gada pencerahan karena dia pun sama-sama bingung daftar atau ngga. Chat dengan Ifa hampir setiap hari, duh bikin galau luar biasa. Ngobrol dengan kakak, dia bilang “kalau ngabisin duit orang tua, ga usah.” Galaunya nyampe ke hati bagian dalam (?). Ngobrol dengan teman-teman unit dan jurusan baru kemudian gue memutuskan untuk tidak mendaftar karena alasan yang buat gue manggut seribu manggut. Ah, the universe seemed not supporting. Ngobrol lagi dengan Ifa, she said something ‘jleb’ yang kemudian mengubah keputusan gue untuk daftar. Ngobrol lagi dengan Saiful, he said “ni, ini tuh D U A T A H U N” dan kata-kata pesimis lainnya, gue akhirnya memutuskan utk tidak mendaftar. Besoknya, seseorang tiba-tiba ngewhatsapp gue, and out of nowhere, mungkin dia punya kekuatan merasuki pikiran gue, I eventually enrolled. Duh. Oke maaf curhat.

UPGRADING. Mungkin momen ini jadi salah satu momen yang buat semangat gue bertambah; ditambah dengan rakernas, semangat gue mulai memercikan api, walau sering selama rakernas padam lagi karena merasa terbebani. Namun kehadiran teman-teman hebat yang tidak pernah sebelumnya terpikirkan akan berada di sekeliling kalian, memberikan koleksi warna baru di kehidupan gue, percikan api itu perlahan membesar #tsah. I saw you girls and guys have your own true color. Apri yang lucu nan kebapak-an, azai yang suka tiba-tiba crack the ice, faisal yang kalem-kalem gila dan pekerja keras, ghicha yang rajin dan super ngegemesin, ifa yang …(ah da kita mah punya alur cerita sendiri yang panjaaang :)), ipul yang bisa diandalkan di mana-mana, jo yang solutif dan tenang, khansa yang cuek-cuek peduli dan suka ngebully ghicha, memel yang murah senyum dan selalu bisa diandalkan dalam menangkap momen, poppy yang keibuan, solutif, dan ngefans berat sama ipul, qonita yang super ramah dan senyumnya bikin gemes, ridho yang mengayomi dan selalu positif, silvy yang telaten dan grecep apalagi masalah perduitan, tor yang kalem-kalem ramah, za yang selow dan selalu senyum, fio yang pekerja keras dan pecinta damai (?), bang Sabda yang tegas dan diem-diem iseng, zura yang selalu menyapa dan membaur, Ashar yang baik hati dan tekun, iam yang selalu positif, ngegemesin dan jago masak, aris…though our last meeting was in LK 3 so I haven’t known you really well, I know you also have that unique color, I know youre that diligent and hard worker guy! (Hope we can meet in another chance :))

Anyway, bisa jadi gue salah membaca warna kalian, friendship is all about time, right? We will know each other deeper, expected thing might exist yet unexpected moment may happen, gada yang tahu ke depannya kaya apa, friction and love may be coming together with us along the way, it is life. We still have one and a half year, gue secara pribadi meminta bimbingan teman-teman semua, karena bisa jadi ketika alasan lain masih dicoba dibangun untuk mencintai peran ini, setidaknya cinta gue ke kalian akan mempercepat alasan-alasan lain muncul dan bisa buat gue tetap bertahan menjalani peran ahaha.

Sorry for the melancholic sentences wkwk Coba teman-teman ingat lagi awal mula keterlibatan teman-teman di ISMAFARSI, tujuan awal kita, niat kita, semuanya yang sampai membawa kita sampai sini. God indeed planned all of it since we don’t know when. Well, It is obviously not a going-away story. Ini salam pembuka dariku, salam untuk menciptakan semangat dari percikan api menjadi bara, untuk ISMAFARSI luar biasa. Halo ISMAFARSI :)

Minggu, 06 Juli 2014

Jika Aku Menjadi Apoteker

Jika aku menjadi apoteker
Akan kuguncang dunia ini
dengan segala warna-warni lukisanku
‘Kan kutorehkan tinta-tinta pelangi pada kanvas persegi
Di bawah warnanya, tertangkap diriku
Menunjukkan tawa ekspresif tak berbunyi
Tersenyum simpul

Tegas bertanda
Bahwa hidupku secerah cipratan kuasku

Jika aku menjadi apoteker
Akan kubuat draf skenario
Kurekrut aktor-aktris berbakat
Untuk meracik dan memberi petuah kesehatan
Kubuat selayang film
Yang jauh dari kemasygulan

Tegas bertanda
Bahwa hidupku semulia teks percakapan itu

Jika aku menjadi apoteker
Aku akan membuat sebuah novel
Tentang pengguna jas putih
Etalase tenggeran tangannya, tulisan cacing makanannya
Satu juta gajinya
Menolak si peminjam nama
Seorang muliawan
nan dermawan

Jika aku menjadi apoteker
Aku akan menggaet calon presiden negeri ini
Seperti koala yang tak mau lepas dari bambunya
Aku mau menjadi mandataris
Duduk di gedung kementerian kesehatan
Mengelus mesra penduduk tahta tertinggi

Jika aku menjadi apoteker
Akan kutunjukkan senyum kambingku tanpa masker
Tak akan kuperawani senyawa-senyawa kimia itu
Aku mau sebagian kalian yang menjentiknya satu per satu
Sebagiannya ikut aku

Adakah kita yang peduli?

*terinspirasi dari Astiani yang ingin buat film tentang Apoteker so people will be interested to our job :p

Minggu, 06 April 2014

ga cuma FKK

It is fun to have a small class with 39 people in it. Feel like going back to high school, you got classmates that you can remember the names and the characters for the rest of your life!

We got only 3 boys. They all come in handy ^^

We also have line group, whatsapp group, and fb group like any major would have. And...we got stereotype.

They said...FKK stands for Fakultas Kebelet Kawin. Oh man. Really.

LOL. I remember my sister said that college life somehow will full with people talking about marriage. But come on, you got life in ITB whose students' majority are guys, are you going to talk about marriage with them? Of course not.

BUT IN PHARMACY, you would do that. Why not? Girls are all around. In a class, in a hallways, in a canteen, in himpunan, in everywhere. When girls gather, they talk much. When girls sit together, they would laugh at something unimportant, comment how people dress up, gesturing dislike to anyone she dislikes, and of course talk about guys.
So...the stereotype, is it true? You think?

They also name FKK as Fakultas Ketawa Ketiwi, which to me is the loveliest stereotype. HAHA. I know it is. It's not a stereotype, it's fact. I love how Windha comment in line group, how Irka sings like a crazy lovely girl, how Femi would make fun of Esa, how Asti scolded everyone, how Beti laughs with her doll cheek, How Modi talks in sweet funny accent, how Lea walks with a bitter smile, how Silmi behaves like Pou, how Zahra and Ima Princess being sampis, how Tien sells delicious molen, how Toto sells yummy naskun, how a calm Ninu plays cookierun, how Bhekti becomes excited, how Yahya becomes contaminated *lah*, how Prima suddenly 'toa' in the middle of the class, how Amyra becomes husbanded *?* and how everyone has their own way to express their happiness. They're just them!

Hereby I attached my love to you and some messages to get love stickers.
We are small in amount, it should be easy to remember each other's names and characters, it should be easy to actually notice who absent in class, it should be easy to notice who is sad in class, it should be easy to notice who confused while doing assignments, so it's not hard helping each other eventhough wasn't asked.

It should be easy to remember faces and names by the time we're invited to a reunion. So it's not hard to actually asking how each other's doing later after we graduate.

Yet the amount of people should not be the reason to not ask everyone. We got friends to remind us. So, it should be easy to ask how Hygeiaarda's doing later after we graduate :)


Selasa, 11 Maret 2014

Monumen Toilet

Minggu kemarin, 3 Maret 2014 saya dan teman-teman Debust ITB (Ka Ucup, Wayan, dan Ka Dika) mengunjungi dua desa di daerah Pontang, Serang-Banten sebagai salah satu proker Debust, yaitu Community Development.Sudah sejak 2011 kalau saya tidak salah, pembangunan toilet dan sanitasi air di Desa Sukamanah digalakkan, pembangunan ini adalah hasil dari perlombaan seorang alumni Debust ITB bernama kang Alven yang memenangkan Technopreuner Bank Mandiri. Kemudian beliau mengamanahkan Debust ITB untuk turun dalam pembangunan ini khusus di bidang sosialisasi air bersih.

Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.

Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.

.........

Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.

Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.

Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?


Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.

Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.

"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"

Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.

"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.

"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"

Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.

Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.

"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.

Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...

Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.

Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.

"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"

Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.

Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.

Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)

Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.

Rabu, 01 Januari 2014

Bukan soal Pluralismenya

Gue bukan orang yang mudah mengkritisi sesuatu dengan baik, kadang pikiran gue aneh sendiri, yang orang lain ga pikirkan, dan kadang dasar yang gue ambil adalah simpulan sendiri yang mungkin orang jarang setuju (kalimat ini pun hanya asumsi gue, bukan berdasar fakta data ataupun empiris haha). Pikiran macam gini yang buat gue takut speak up dan takut bertindak.

Anyway, selalu terjadi. Tiap kali gue mendapati suatu kalimat atau kejadian, gue cenderung mengkaitkannya dengan banyak hal dan cenderung GA menerima satu keburukan (menurut gue) seseorang dibalik sejuta kebaikannya. Misal, si A pinter,baik,kece, gue suka. Tapi dia merokok. Akhirnya, gue ga suka. Contoh lain, dia teriak-teriak soal idealisme, kontribusilah yang banyak ke masyarakat, dll, tapi dia kalo datang rapat selalu lelet. Cap gue ke dia langsung jelek. Sampailah tiba pada suatu pemikiran gue, “gue gasuka orang lelet, gasuka orang nyontek, gasuka orang korupsi, tapi kenapa gue masih aja gabisa belajar yang bener? Gabisa nurut sm org tua?gabisa shalat yang khusyuk? Gabisa ini dan gabisa itu?” Intinya. Semua orang itu munafik di mata gue haha termasuk gue, gue cenderung melihat kesempurnaan pada seseorang, tapi diri gue sendiri masih jauh dari sempurna. Oke, jgn sempurna deh, limit mendekati ideal. Selama liburan, gue mikirin itu. Pemikiran yang aneh dan ga manusiawi. Menuntut seseorang dan diri sendiri untuk ga bersifat paradoks dengan melihat aspek sekecil apapun.

Hal yang paling gue pikirkan semenjak liburan ini adalah persoalan kebaikan vs ajaran agama. Gue mulai berpikir, gue selama ini mengkritisi segala hal, diskusi dengan orang-orang tertentu berkaitan dengan banyak hal, tidak setuju dengan ini dan itu, menganjurkan ini dan itu, melakukan kebaikan ini dan itu dan lain sebagainya. Tapi persoalan agama jarang gue sentuh. Sulit merangkai katanya, yang pasti gue merasakan urgensi belajar agama sekarang. Berpikir kritis itu penting. Soal hal apa yang harus dikritisi itu jangan pilih2. Semuanya harus dikritisi kalau mau jadi manusia yang adil dan ideal, cuma soal porsi kritisnya aja yang disesuaikan. Dan lagi, agama itu menyangkut ideologi seseorang, ideologi yang nantinya jadi patokan lo untuk melaksanakan dan mengkritisi segala sesuatu. Gue mikir gini berdasar dari kata-kata gue di awal. Ga ngerti ya? Ga dapat korelasinya? Maaf gue kesulitan menyampaikan apa yang ada di pikiran gue sekarang.

Lantas muncul pertanyaan? Kenapa agama? Kenapa ga pilih ga beragama aja, simple, gada aturan lo dalam melakukan apapun ke depannya. Nah hal itu juga perlu dikritisi, mulai dengan cara mengkritisi agama dulu. Bukan hanya agama gue aja yang sekarang, tapi agama lain juga. Lantas setelah itu, silakan putuskan apa yang bakal lo lakukan.

Kenapa sih gue??

Oke. Gue habis baca buku tentang pluralisme. Kebhinekaan. Hal yang kompleks kalau kita sudah menyentuh ragam dengan berbagai variabelnya. Bukan soal pluralismenya, tapi soal bahwa banyak hal yang harus gue pelajari.

Pemikiran yang kadang terlintas di banyak mind orang adalah “hm gue Islam karena orang tua gue islam, mungkin kalo gue kristen, agama gue sekarang kristen” nah loh. Itu maksud gue. Tuhan memberi kita akal bukan hanya untuk memikirkan cos 45 + cos 60 sama dengan sekian kan, tapi juga untuk digunakan tentang segala aspek kehidupan.

Di buku yang gue baca itu, diceritakan mengenai penafsiran Al-Quran dengan berbagai metode yang gue ngerti konsepnya tapi ga ngerti bagaimana menerapkannya; penafsiran al-Quran itu berguna untuk mengetahui respon Al-Qur’an terhadap pluralisme agama. Sejauh ini, respon gue terhadap pluralisme agama bisa dibilang inklusif dan sangat toleran, apalagi semenjak exchange year gue di USA. Ada seseorang yang bilang dalam diarynya “Bagaimana mungkin gue menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk masuk neraka” (Farid Esack). Gue bisa bilang begitu untuk semua orang-orang baik di USA selama masa exchange gue. Mereka hanya korban status keluarga toh, sama seperti gue yang kebetulan ditakdirkan lahir di keluarga Islam dimana Allah menjanjikan surga untuk kaum muslim. Oh bukan, mereka dan gue bukan korban, gue yang bisa dibilang beruntung oleh umat muslim bahwa gue dilahirkan di keluarga Islam. Gue dan mereka sama-sama salah karena sama-sama tidak mengkaji agama-agama (jikapun gue berada di posisi mereka).

Toleransi. Batasnya sampai mana? Al-Qur’an lah yang menentukan. Maka dari itu, tafsir Al-Quran sangat dibutuhkan. Pada buku yang gue baca disebutkan sebuah penafsiran al-Quran secara totalitas, tidak parsial. Dalam menafsirkan al-Qur’an harus melihat segala sisi, asbabun nuzulnya, keadaaan zaman diturunkan al-Qur’annya, psikologi dari pada penafsirnya, etika dan moral, perkembangan zaman, gramatikal, dll. Semua itu sangat kualitatif; entah karena gue terbiasa dengan kehidupan orang-orang kampus yang menuntut data kuantitatif atau bagaimana, hal tersebut menjadi bias di mata gue. Bagaimana harus percaya dengan data kualitatif tersebut? Itu yang harus gue pelajari.

Sekarang, kalau gue sudah bisa menerima tafsir tersebut, muncul lagi pertanyaan, siapa yang menjamin Al-Qur’an itu orisinil? Jawabannya Allah. Lagi. Kualitatif. Jawaban tersebut bisa diterima keyakinan tapi sulit diterima rasio. Gue butuh mempelajari sejarah Al-Qur’an.

Banyak yang harus dipelajari. Kalau sudah belajar Islam dengan benar, barulah siap untuk compare and contrast dengan agama lain katanya begitu,harus kuat iman dulu sebelum mempelajari agama lain; tapi bukannya kalau seperti itu jadi cenderung subjektif ya ke agama sendiri? Karena pada akhirnya keyakinanlah yang membuat seseorang beragama. Dan keyakinan itu kualitatif. Haha silakan mau bilang gue aneh dan berpikiran pendek. Kalau ada komentar, silakan komentar.

Gue pernah buat cerita tentang Ayah dan Ibu yang mendidik anaknya cukup ekstrem. Ayah dan Ibunya membebaskan anaknya untuk memilih agama di kala dia sudah siap. Dari dia lahir dia ga dikasi status agama, Ayah dan Ibunya membiarkan dia mencari sendiri agama mana yang menurut dia benar. Ayahnya sering memindahkan dia dari satu negara ke negara lain agar semua lingkungan memengaruhinya, sebisa mungkin membuat keadaan di sekelilingnya netral sehingga objektif dalam menentukan pilihan. Haha. Kayanya kalau begitu konsistensi gue dalam beragama atau tidak akan sangat kaffah. Wk.

Anyway, itulah kegalauan gue di saat liburan ini. Gue berjanji pada diri gue untuk mendalami ajaran agama; entahlah hal itu akan terjadi atau tidak, yang pasti akan sangat menantang ;)

Jumat, 13 Agustus 2010

first day

well, maaf untuk menulis blog ini dalam bahasa. karena gue lagi stress jadi klo pake b.inggris kayaknya susah untuk berekspresi.haha

gue nulis first (second) entry ini random ya.hoho

yap. sekarang gue dah nyampe di Texas, tepatnya Kota Bellaire...letaknya di tengah2 Houston. First day gue di Texas itu 2 hr yg lalu, 11 Agustus 2010. Gue tiba di Houston dengan sambutan ramah dari liaisonku tercinta :) and i'm directly dibawa ke rumahnya.

Sampe rumah, gue lgsg ketakutan karena ada anjing disana haha
tapi ya akhirnya berjalan dg biasa walopun gue sempet nangis krn homesick (cpt homesick amat ya gue -.-)

hmm. oke, di sini gue melakukan hal yang gak biasa gue lakukan di rumah dan gak gue temukan di rumah.

besoknya gue orientasi chapter di rumah salah satu volunteer AFS. brg dg negara lainnya....dr New Zealand, Norwegia, Jepang, Thailand, Brazil, Jerman. dan kita para Asian menyadari bahwa kita jauh lebih pendek dan kecil dr mereka haha. Oya, sebelumnya gue orie internasional di DC dg negara India, Thailand, Egypt, Turki, Kenya, Arab Saudi. actually, gue pgn cerita byk soal orie ini tapi lagi males typing -.-
back to orie chapter. orientasi berjalan lancar..dan kita diajak jln2 keliling Houston. and it was AWESOME. yang paling bikin gue terperangah ketika kita dibawa ke lantai 50 sebuah gedung dan melihat keindahan kota Houston dari atas. WOW! I like it so much! Selebihnya kita liat2 tempat kayak salah satu sungai di sana, hardrock, texas culture store, park, and kita sempet nemu 2 org lagi parkour gitu haha
oya, gue inget komentar tmn gue yg dari new zealand. terjadi percakapan seperti ini:
A: hey Risni, do you want this chocolate? take this.
Gue: no thx. i'm fasting
A: ou you fasting. hm well. do you want to drink?
Gue:mm..actually i can't eat and drink anything.
A: WHAT??
Gue: yap. i'm fasting during 30 days. i just can eat and drink at night.
A: WHAT TIME?
Gue: 8 pm
A: GOD, really? it's funny! why u do that to yourself??!
demikianlah sekilas percakapan itu. kalo inget ekspresi dia gue jadi senyum2 sendiri hehe. dari situ akhirnya gue ma dia jadi ngomongin soal agama.hmm.

well, sorenya masing2 dr kita dijemput hostfam. and here i am now in texas! di rumah tercinta bersama hostmom tercinta dan bersama chili,chiko,riley, and smudge tercinta :)

hostmom gue took me ke grocery store and such store yg sekiranya gue butuh sesuatu utk dibeli, yap she's very nice mom. then beliau ngajak dinner di Thai Foods. oya...hostmom gue juga punya nasi di rumah. betapa senangnya gue T.T

byk hal2 yg buat gue surprise di sini. byk bgt.
salah satunya adalah ketika gue ke sekolah u/ pertama kalinya! (cuma untuk daftar)
kita dtg in time. blm ada org. alhasil kita dpt first line buat daftar. gue gatau ternyata ada tes b.inggris buat pelajar internasional dan hmm sebenernya tuh tes gampang bgt! gue yakin klo tesnya bukan oral dan gue baca gue bisa ngerjain semua itu! bukannya sombong tapi ini serius deh, tes oral ini dibawain sama imigran gitu kyknya dari India dan gue gak bisa nangkep b.inggrisnya...aksennya beda -.-
jadinya gue byk yg nol deh T.T dan gue mesti ikut tes tertulis hari senin nanti zzz

gue serada minder pas ngeliat students disana yang hmm..tinggi, besar, bule aaaaaa rasanya ingin kabur saat itu juga. gue disangka kelas 9 pula zzz. well then gue merasa situasi yang beda. bukan krn gue punya loker di sini tapi di indo nggak, dan bukan juga krn sistem sekolahnya yg beda. tapi krn org2 yg emg beda! apalagi waktu gue masuk cafetaria'y............hhhhhhhhhhhhh rasanya kayak SENDIRI bgt di tengah org2 mengobrol dan badan saya..kecil.

kelas wajib English and American History. dan gue ambil 6 kls pilihan termasuk drama dan gitar!! haha. gue gak pernah nyangka kalo gue bakal ambil kelas ini. tapi emg uda obsesi gue pingin bisa gitar...so here my start line. hb drama? gue rasa ini seru, jd gue ikut he
well sekolah bakal dimulai tgl 23. hmm. gue nervous. sangat.

ok. mungkin sampe sini dulu deh. wish me luck.

--RISNI :)