Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2018

One Night Honeymoon

“Sayang, ada satu ayat surah Al-Baqarah yang artinya ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Begitu. Selama satu bulan pernikahan, alhamdulillah kita diberi kemudahan hidup, tapi perjalanan masih panjang sayang, Allah akan menguji kita, jadi harus tetap sabar dan semangat ya!”

Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Saat itu angin pantai Lombok Utara mengelus mesra udara sore; matahari perlahan bersembunyi. Aku dan kakak –panggilan untuk suamiku- memutuskan untuk kembali ke kamar hotel.

Hingga waktu menunjukkan pukul 18.46 waktu Indonesia Tengah. Aku baru saja meletakkan Al-Quran di atas meja dan sejenak mengistirahatkan badan di atas kasur; kakak masih asyik dengan tilawahnya. Saat itulah…. Aku seperti sedang dilanda mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Gempa berkekuatan 7.0 SR menghantam Lombok…. Allah, sungguh Engkau menguji kami dengan ketakutan yang luar biasa, walau mungkin bagiMu masih sedikit porsinya, seperti peringatan kakak tadi sore….”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

Izinkan aku mendokumentasikan cerita ini, kuusahakan tanpa bunga-bunga cerita yang hanya akan mengganggu hikmah sebenarnya dibalik kisah ini. Cerita aku dan suamiku dalam momen Honeymoon dengan pembuat scenario cerita terbaik, sang Maha Agung. Izinkan pula aku bercerita tentangmu kak, walau kakak pernah bilang padaku untuk tidak menceritakan keburukan dan kebaikanmu pada siapapun…maaf kak, untuk saat ini aku belum mampu. Kakak tahu sendiri aku tidak pandai mengucapkan terima kasih dalam balutan romantisme kata dalam ucap, maka biarkan aku… mengucap syukur memilikimu, dalam deret-deret huruf yang tertulis, atas semua kebaikanmu. Kali ini saja.

***
Kakak memintaku untuk melakukan shalat istikharah sebelum booking hotel dan penerbangan ke Lombok. Padahal saat itu, kabar gempa di Lombok belum terdengar. Aku mengernyitkan kening, untuk apa? Kok lebay? Kakak bilang sambil bercanda shalat istikharah itu bukan cuma buat milih jodoh loh. Aku cuma terkekeh geli, ya aku paham, hanya saja aku tak terbiasa melakukannya untuk keputusan bepergian liburan. I did it anyway…and then we decided to book.

Mungkin banyak orang berpikir kami tidak waras karena kami tetap pergi ke Lombok di saat berita gempa sudah terdengar berkali-kali. Well, aku tak malu untuk mengakui bahwa kami tak rela uang booking pergi begitu saja, ditambah lagi kami belum berlibur sejak menikah karena harus langsung bekerja. Dengan meminta restu dari kedua orang tua dan modal nekat, kami pun berangkat.

Hingga sampai resort semua berjalan cukup lancar kecuali kami yang bangun telat saat hendak ke bandara. Rupanya kami lelah setelah bepergian ke Purwakarta hari sebelumnya. Dini hari itu pun diwarnai dengan ricuhnya aku menyiapkan dan memastikan packing sudah lengkap. Kami pun pergi mengendarai Go Car tanpa mandi dan sarapan terlebih dahulu. Who want to miss a flight, eh? Oh, or is it better that we just missed that flight on that day?

“Kok tamunya bule-bule semua ya, cuma kita yang orang Indo” kakak melihat sekeliling resort, tamu yang sedang berenang ataupun makan, semuanya bule. Resort kami terletak di daerah Tanjung, Lombok Utara, kurang lebih 2,5 jam dari kota Mataram. Lokasinya bukan di kota; pinggir pantai dengan kanan-kiri jalan rerimbunan pohon-pohon. Sesuatu yang mungkin bagi turis sangatlah menarik.

“Iya yah..bener kata kakak mungkin, bule-bule pada lagi libur summer” Ouch, atau mungkin orang-orang Indonesia lebih waras dari kami untuk tidak menjadikan Lombok destinasi liburan di saat itu?

“Udah yuk ah, duduk di sana. Kita evaluasi perjalanan kita sebulan ini” kakak menunjuk tempat duduk di pinggir pantai. Kami pun asyik bercengkerama.

Hingga obrolan diakhiri dengan satu ayat Al-Baqarah yang terus terngiang di telingaku hingga aku menulis cerita ini. ”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

“Aaaaa, astaghfirullah!”

“Keluar sayang!”

Kami berlari sebisa kami.

Praaang!

Buuuk!

Kami jatuh di rerumputan basah di samping bangunan kamar-kamar. Tepat saat listrik padam. Sekeliling gelap. Tangan kakak masih memelukku erat. Aku hanya menangis dengan nafas memburu. Aku pasrah. Aku pasrah jika bangunan jatuh dan menimpa kami. Aku pasrah dalam tangis.

“Kalian ga apa-apa?”

Entah rasa syukur seperti apa yang menyelimuti aku saat itu. Setitik senter HP muncul, membangunkan kesadaranku bahwa kami tidak tertimpa reruntuhan gedung. Seorang karyawan resort –sebut saja Mas Iwan- menghampiri kami yang terjatuh. Kakak menuntunku, aku hanya bisa memeluknya sambil menangis, memohon-mohon untuk pulang ke Jakarta saat itu juga.

“Is everyone okay? Does it often happen? This earthquake?” Rombongan turis berhamburan keluar, ada yang hanya mengenakan handuk; yang pasti kebanyakan keluar tanpa alas kaki dan barang apapun. Aku? Kepalaku terasa dingin tersapu angin malam…

“Kak, aku ga pake hijab” kataku masih dalam isak tangis. Kakak mencoba kembali ke kamar tapi mas Iwan melarang karena khawatir ada gempa susulan. Beberapa menit dilalui dalam kekalutan. Kakak memutuskan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang penting, termasuk hijabku.

Sorotan senter HP Mas Iwan memperlihatkan sepotong demi sepotong bangunan resort. Bulu kudukku terangkat. Aku memang pernah beberapa kali menyaksikan runtuhan bangunan akibat gempa lewat televisi. Aku pun pernah membayangkan bagaimana rasanya gempa besar melalui imajinasi liar hasil membaca novel. Apatah semua itu ketika aku merasakannya langsung, aku merasa ajal sedekat itu… Plafon kamar berjatuhan, beberapa tiang hancur, gelas-gelas pecah, air kolam masuk ke dalam kamar. Untung saja bangunan tidak roboh…selalu ada rasa syukur terselip saat itu.

“Mas Iwan, ini kelanjutannya bagaimana? Ada mobil ga mas buat ke bandara?” Aku berkata cepat, masih dalam sisa tangis yang mulai mereda.

“Ada tempat aman mas?” Kakak bertanya tanpa ada getaran di suaranya. Ah, aku bingung kenapa kakak sebegitu tenangnya. Apa aku bertingkah berlebihan atau memang kakak tidak ingin membuat panikku bertambah?

Mas Iwan bingung. Karyawan resort yang lain entah ke mana. Ia mengajak kami ke halaman resort; motor-motor sewaan berjatuhan, kami pun membantu Mas Iwan mengangkat motor-motor itu dengan bantuan senter HP. Seketika kepalaku pusing, sekelebat pikiran akan tsunami muncul. Aku menangis lagi. Nafasku semakin memburu ketika mendengar derap langkah kencang mendekat. Belasan karyawan berlari cepat menuju motor yang sedang kami berdirikan. Nafas mereka cepat, wajah meraka panik.

“Ada apa? Ada apa?” Aku berusaha mengontrol nafasku.

Seorang karyawan perempuan dengan wajah pucat berusaha menjawab “ki…ta di…suruh lari…air…surut…”

Aku panik bukan main.

“Mau ikut saya?” Mas Iwan seketika bertanya pada kami. Nada khawatir tidak bisa ia sembunyikan.

Aku dan kakak tidak punya pilihan lain. Kami duduk di motor bertiga, motor melaju sangat cepat, meninggalkan turis di belakang. Aku masih dapat mendengar beberapa dari mereka memohon dengan paniknya “can we go with you!?”. Ah, mungkin aku berdosa tidak memikirkan mereka…aku hanya fokus pada motor yang aku tumpangi. Aku tak tahu nasib mereka bagaimana. “Mas Iwan tenang aja mas jangan panik” Kakak mencoba menenangkan Mas Iwan, riding a motorcycle in panic isn’t a good idea, right.

Motor tetap melaju cepat. Aku merasa seperti dikejar gelombang ombak dalam gelap. Kalimat dzikir tak lepas dari mulutku selama perjalanan yang entah berapa km itu. Bangunan di kanan kiri kami hancur, kami melihat beberapa warga dipinggir jalan bertengkar, entah meributkan apa. Kondisi itu menambah pikiran kalutku, pikiran buruk akan tsunami… MasyaAllah, bagaimana bisa aku yang sering memuji pantai sebagai tempat paling menenangkan, pemicu inspirasi, dan tempat kontemplasi favoritku, kini menjadi musuhku.


It still felt like a dream, and yes I did hope it was only a dream. Yet it wasn’t.


“Di sini saja, lebih aman” Mas Iwan menurunkan kami di lapangan rumput sebrang masjid yang agak hancur. Warga desa sudah banyak yang berkumpul di sana, beberapa membawa terpal dan lampu emergensi. Raungan istigfar dan takbir bergema, membuat suasana terasa semakin mencekam. Bumi kembali bergetar… teriakan takbir semakin kencang. Aku menangis lagi.

Keluarga mas Iwan segera menyambut kami dengan hangat. Entah apa yang membuat mereka tenang, mereka mempersilakan aku dan kakak untuk duduk di terpal, kami diberi air minum dan diminta duduk menenangkan diri. Dalam kondisi gempa yang muncul setiap 15 – 30 menit sekali, kakak mencoba menenangkanku. Aku tak sudi sedetikpun berjarak dengannya saat itu.

Aku mengecek HP, Ah ada sinyal. Aku menelepon orang tuaku. Aku menangis keras, berusaha memberi kabar dan meminta pertolongan. Dengan sinyal naik turun, kami berusaha mengirimkan update kondisi kami. Aku dapat mendengar tangisan Umi di seberang telepon sementara Abah mulai sibuk menghubungi relasi di Mataram untuk segera menjemput kami.

Notifikasi DM mulai berdatangan, aku melirik sekilas, teman-temanku mulai menghubungi dan menanyakan kondisiku. Aku sempat mengangkat telepon dari sahabatku namun aku hanya bisa menangis dan memohon doanya. Telepon lain berdatangan.

“Kalau kondisi kamu masih belum tenang, jangan diangkat dulu, angkat yang dari Umi aja” aku pun mengikuti saran kakak.

***

“Di sini saja!”
“BMKG bilang berpotensi tsunami, kita harus ke tempat tinggi!”

It was just a short conversation. Aku tak yakin apa yang warga perdebatkan karena mereka menggunakan bahasa daerah, yang kutangkap, mereka beradu pendapat soal tempat paling aman menghindari tsunami. Beberapa menit berlalu, masih dengan teriakan takbir yang keras saat bumi kembali bergetar. Akhirnya, pengungsian kami dipindahkan.

***

SD Sokong 3, Pukul 19.30 WITA

Setidaknya tempat ini diyakini lebih aman oleh warga desa. Banyak warga dari desa lain berdatangan ke tempat ini, membawa terpal dan lampu.

“Sini mbak sini, duduk di sini, ini ada selimut, tidur aja mbak”

Hal lain yang harus aku syukuri saat itu, bertemu dengan keluarga Mas Iwan yang sangat membantu kami. Mereka bahkan enggan berbagi selimut dan terpal dengan kami. Aku diberikan space luas untuk tidur dan satu selimut tebal, sedangkam mereka berdesakan dengan space seadanya.

“Ini tamu dari Jakarta ini, kasihan” ucap seorang Kakek yang termasuk keluarga Mas Iwan saat warga desa terlihat bingung melihat rupa kami. Siapa dua orang yang sejak tadi dibawa-bawa si kakek? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

SD Sokong 3, Pukul 20.30 WITA
Tanah bergetar.

“Senter-senter!!!” Kata inilah yang selalu diteriakkan setiap kali gempa datang. Dengan sigap para pemuda yang memegang senter mengarahkan senternya ke pohon dan bangunan SD, memastikan keduanya tidak tumbang dan rubuh, jika ada tanda demikian maka warga harus siap menghindar.

“Jen, peringatan potensi Tsunami udah dicabut sama BMKG” hatiku berdesir antara kepanikan dan kelegaan membaca pesan whatsapp. Citra, sahabatku, memberi tahuku berita yang ia dapat dari Twitter. Kakak segera memberi tahu beberapa warga desa agar mereka tenang.

Bytheway, thank you for all of your attention and help sahabat-sahabatku…barakallah:’)

SD Sokong 3, Pukul 20.45 WITA
Percuma, ketenangan itu hanya sesaat. Bumi Lombok kembali bergoyang. Aku kembali berpikir Tsunami akan datang.

Tanah terbelah. Jalanan aspal sudah sejak tadi saling berbenturan, terangkat dan retak, membuat kendaraan bermotor sulit lewat.

SD Sokong 3, Pukul 21.00 WITA
Warga terbangun kembali karena guncangan, diiringi takbir dan istigfar. Mungkin di jam ini lah alur jalan Mataram-Tanjung tertutup oleh longsor.

“Air..air!”

Jantungku terasa akan lepas dari tempatnya.

Tsunami??

Aku pusing seketika, rasanya akan pingsan saat itu juga. Aku melihat wajah kakak, ia tenang, tetap memelukku.

“Ah dasar bikin kaget! Ternyata ada air minum yang datang!”

Seorang warga mengumpat sedikit kesal melihat pemuda berhamburan membagikan air mineral ke warga. Aku membuang nafas. Keparnoanku dan beberapa warga sudah semakin menjadi-jadi.


SD Sokong 3, Pukul 22.15 WITA

Gempa masih berlanjut. Ini adalah waktu yang paling lambat berjalan selama hidupku. Setiap kali terbangun karena gempa, angka di HP menunjukkan pukul segitu-segitu saja. Umi dan Abah masih berusaha menghubungi relasinya di Mataram, meminta tolong untuk menjemput kami.

SD Sokong 3, Pukul 23.15 WITA
Bumi masih diguncang.
Abah meminta aku dan kakak bergantian menyalakan HP untuk menghemat baterai. Kakak tidak henti-hentinya ditelepon oleh teman Abah, memastikan kondisi dan berusaha mencari jalan keluar untuk ke Mataram, tempat yang setidaknya lebih aman. Jalanan gelap, gempa masih tak bersahabat. Melengos keluar dari tempat pengungsian bukan ide yang bagus.

Aku tidak peduli. Aku mencoba mengontak travel yang rencananya akan kami gunakan esok hari ke Senggigi. Aku meminta travel menjemput lebih awal, jam 5 pagi. Awalnya driver pihak travel menyanggupi, ah, mungkin mereka belum tahu kondisi Tanjung seperti apa. Benar saja, tidak ada 2 menit kemudian, pihak travel menghubungi bahwa driver tidak bisa menjemput karena terkena musibah.

Tidak ada solusi.

SD Sokong 3, Pukul 01.00 WITA
Irama guncangan dan dzikir beriringan. Aku masih mencoba terlelap di bawah selimut. Beberapa warga desa mulai pasrah dan memilih tetap tidur walau guncangan datang. Beberapa masih tetap terbangun dan beristigfar, termasuk aku.

“Ada hikmahnya kita ada di sini” suara kakak sayup-sayup terdengar di telingaku

Aku melihat wajah kakak dalam kegelapan. Anggukan kepalaku sepertinya cukup menjelaskan bahwa aku setuju bahwa ini adalah peringatan dari Allah.

“Lihat ke atas deh” kakak melanjutkan, aku mendongak ke langit

“Kita bisa lihat bintang banyak banget, dan indah… di Jakarta mana bisa lihat ini” deretan kata itu dibisikkan syahdu di telingaku.

Saat itu rasanya aku ingin mendengus kesal, bagaimana kakak memikirkan hal itu di situasi genting begini. Tapi justru yang muncul dari wajahku adalah sesimpul senyum. Rupanya kakak ingin mencairkan suasana agar aku tidak cemas lewat kreasi andalannya, ‘mencoba membuat suasana romantis di manapun kami berada’. Biasanya aku menimpali dengan “apasih” atau ekspresi kesal karena aku tak suka digombali atau terjebak dalam suasana romantis. Tapi saat itu, sesimpul senyum aku berikan. Iya, indah. Aku bergumam pelan.

Tetap saja, gugusan bintang indah tak cukup ampuh membuatku tenang dan berpikir jernih. Aku mulai mengada-ada. Ah bisakah Abah mengirim helikopter saja ke sini?
Did I forget that I wasn’t a billionaire?

SD Sokong 3, Pukul 02.00 WITA
Ini nomor supir yang akan jemput

Kalimat Abah di whatsapp memberikan secercah harapan.

Namun sinyal Indosatku hilang. Sialnya, provider aku dan kakak sama.

SD Sokong 3, Pukul 02.30 WITA

Tangan dan kaki kakak dingin seperti es, aku bisa merasakannya sedikit gemetaran. Mas Iwan meminta kakak tidur di sebelahku alih-alih menjadikan pahanya bantalku untuk tidur. Kakak menurut.

Maafkan aku kak, bahkan di saat seperti ini egoku masih saja bermain.

SD Sokong 3, Pukul 05.00 WITA
Kami shalat subuh seadanya. Tayamum, di atas terpal kotor, mengenakan baju penuh debu dari lapangan SD.

“Yuk almatsurat” ujar kakak setelah shalat. Ternyata di kondisi seperti ini kakak tak melupakan ritual harian kami, ah, justru semakin ingat pastinya. Bukankah kondisi seperti ini yang membuat manusia semakin dekat denganMu, wahai penguasa alam? Engkau mendengar jerit kami memohon ampun melalui rentetan istighfar, memujiMu lewat teriakan takbir yang bertenaga, memohon dengan pasrah melalui lantunan doa tak berujung dengan tetes air mata yang tak kering-kering? Allah, terima kasih, Engkau rupanya merindukan kami.

Lombok Utara sebagai pusat gempa di Lombok, pukul 08.00 WITA
Tercatat jumlah gempa susulan sebanyak 132 gempa.

***

“Ka, ayo pinjam HP warga. Telepon Pak Rama” . Matahari sempurna naik ke atas, gempa-gempa kecil masih terasa. Aku mendesak kakak untuk cepat menghubungi Pak Rama, supir teman Abah yang akan menjemput kami. Warga tetap memperingati untuk tidak pergi sekarang karena kabar longsor menutupi jalan ke Mataram, tapi kami tetap berusaha menghubungi Pak Rama.

Untungnya beberapa warga menggunakan provider dengan sinyal cukup bagus. Telepon pertama diangkat, kami mengelus dada bersyukur. Kakek –keluarga mas Iwan- memberi arahan kepada Pak Rama di mana harus menjemput. Allah memang Maha Penolong. Posisi Pak Rama ada di Senggigi, jalan Senggigi-Tanjung aman dari longsor.

Kami menunggu dengan cemas.

“Kak, tilawah kak…” Aku memohon. Wajahku sepertinya sudah tidak keruan. Berantakan seperti hatiku yang meracau terus ingin segera meninggalkan Lombok. Setidaknya, lantunan ayat dari kakak sedikit membuatku merasa tenang dan aman.

“Mas, mbak, ini kopernya” Tiba-tiba Mas Iwan datang membawa koper besar kami dari kamar hotel. Aku tak henti-hentinya bingung dengan Mas Iwan ini. Bagaimana pula dia bisa sebaik itu pada kami dikala keluarganya pun membutuhkan perhatian darinya? Aku dan kakak sudah tidak peduli pada koper kami tapi mas Iwan peduli, ah, barakallah mas.

Kami mencoba menghubungi Pak Rama kembali, telepon direject. SMS tidak dibalas. Aku cemas….kakak masih dengan wajah tenangnya. Tangannya tidak pernah lepas dari tanganku.

Kakak sigap memperhatikan jalan, mencoba mengira-ngira dengan instingnya mana mobil Pak Rama yang lewat. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil Fortuner berhenti di depan masjid, kakak langsung berlari ke arah mobil itu….terlihat seorang Bapak keluar dari mobil…. waktu pengungsian kami pun berakhir….

***
Mataram ternyata sama, berisikan orang-orang yang berkumpul di lapangan terbuka, namun setidaknya suasana kota dan bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri sedikit membuatku bisa bernafas lega. Kami disambut oleh teman Abah, diberikan makan, dipersilakan bersih-bersih, tidur sebentar, dan dicarikan tiket. Kami pasrah ketika tahu tiket hari ini ke Jakarta sudah habis, aku pun berencana membujuk kakak untuk membeli tiket dengan tujuan apapun, yang penting keluar dari Lombok. Alhamdulillah, setelah mencoba mencari ke agen travel teman Abah, kami pun berhasil membeli tiket untuk berangkat malam harinya.

Bandara ramai. Antrian panjang di loket tiket mengular hingga ujung pintu bandara, kebanyakan dari mereka adalah turis. Yah, semua orang sepertinya tak sabar untuk pergi meninggalkan Lombok. Aku masih belum tenang, traumaku masih ada. Tiap kali menyentuh benda bergetar aku panik, padahal itu hanya kursi yang terdorong oleh orang yang duduk di sebelahku. Pikiranku masih saja buruk, Bagaimana kalau ada gempa di sini? Dengan ruangan pengap penuh orang, bagaimana bisa lari? Ah, aku hanya bisa melihat wajah kakak yang tenang, berusaha mencari ketenangan darinya.

Semua penerbangan sepertinya delay. Penerbanganku sendiri delay 2 jam, pukul 21.15 pesawatku take off; beberapa menit kemudian, setelah 12 jam Lombok terlelap, ia dilanda gempa kembali….

***

Percayalah, aku seringkali memaki-maki Jakarta; penat akan kemacetan dan cuaca panasnya, risih dengan suasana kotanya yang terasa tidak aman. Tapi saat itu, Jakarta terasa nyaman sekali. Tidak pernah senyaman itu sebelumnya. Umi dan Abah berhamburan memelukku.

“Makasih Bah, Mi, udah bantu banyak buat jemput…” aku cuma bisa berkata satu kalimat itu, satu kalimat dengan makna syukur yang mendalam, satu kalimat yang jika saja aku pandai berkata-kata mungkin rentetan paragraf manis sudah menyerbu orang tuaku, satu kalimat yang kuharap menjadi doa agar Allah membalas kebaikan mereka.

***
EPILOG
Seorang sahabat pernah bilang padaku “Ris, kamu tuh hidup di permukaan, sedangkan orang lain di bawah kamu tuh lagi megap-megap minta pertolongan”. Yah, itu yang selalu ia ucapkan ketika aku selalu takjub dan bergidik ngeri mendengarkan kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain. Menurutnya aku jarang terpapar dengan kondisi ‘susah’ sehingga mendengar kisah sulit orang lain aku mudah tercengang. Atau mungkin aku kurang merasa. Berbagai musibah sudah sering kulihat lewat media sosial ataupun layar televisi tapi rasanya hati hanya sedikit berempati. Ketika sahabat sendiri mengalami, barulah aku mulai merasa, ah apalagi diri sendiri yang mengalami langsung. Mungkin Allah sedang mencoba memoles hatiku untuk bisa lebih merasa…selain mengingatkanku akan dosa-dosa, tentunya.

Dan Allah mungkin sedang mengabulkan doaku dengan caranya yang unik dan cantik. Doaku untuk bisa lebih mencintai kakak, mensyukuri nikmat, dan menjadi lebih dekat dengan sang Maha Pencipta. Bukankah muhasabah diri terbaik adalah dengan mengingat mati? Mengingat potongan memori saat aku merasa reruntuhan gedung akan jatuh menimpaku atau saat aku merasa seperti dikejar gelombang ombak yang tinggi.

Kak, terima kasih. Thank you for everything, from the first time we met until a very sweet honeymoon we have in Lombok, (and of course until forever). It was only one day yet it will be a long-life time to remember. No, I wont tell people of what I thank for in detail and obvious way, I know you wont like it. That’s why I made this story. Hope you aren’t mad.

Tidak ada yang lebih romantis dari cara Allah mempersatukan dua hamba dan menumbuhkan cinta di antara keduanya, apapun caraNya…

Uhibbuka fillah, kak








Selasa, 05 Juli 2016

The judges are deciding! Hurry up before its too late!

A friend of mine shared this video of Khutbah by Nouman Ali Khan, a Muslim speaker that live in Dallas, Texas. Anyway, please read it through until finish! I know watching movie, sleeping, gossiping, or scrolling down Path, Instagram, or snapchating will be more interesting rather than reading through this, but please just give a little time for our mind to contemplate.

By the way, you can watch the video here if you want to: https://www.youtube.com/watch?v=DNC3y9rJI9c

Here’s pretty much a resume plus additional opinions.

Dalam video ini, beliau menjelaskan potongan ayat Surat Al-Hadid yang menceritakan mengenai apa yang terjadi di Hari Penghakiman (judgment day/yaumul akhir). The interesting part is that God does not compare the judgment day of a believer and disbeliever; instead, He compares believer and people who THINK that they are believer, orang-orang yang merasa bahwa mereka memiliki keyakinan, memiliki iman. I’m going to explain it in points so it’s easier to understand.

1. Pada ayat tersebut dijelaskan pada saat Hari Penghakiman, orang-orang yang memiliki keyakinan yang murni, ikhlas, dan tulus (we call it a believer that truly has a sincere faith) akan memiliki cahaya dari hati mereka dan dari tangan mereka. Cahaya ini akan digunakan sebagai obor penerang untuk berjalan menuju surga ketika mereka dibangkitkan. (In judgment day, everything is totally dark. The lights is vary, some people have very bright light, some people have dimmer light depends on how sincere the faith is, I guess)

2. While there are another group of people who does not have lights at all, ini lah sekumpulan orang yang merasa bahwa mereka memiliki iman, group of hypocrites. Orang-orang ini ketika dibangkitkan melihat dari kejauhan, cahaya-cahaya yang berjalan menuju surga. Then they scream out to the believers “wait for us! We need light, bring us with you!”

3. The believers replied “I’m not turning back, go get your own light, I’m heading to Jannah!” Karena sejatinya, di hari ini, seorang Ibu tidak akan peduli pada anaknya, seorang Kakak tidak akan peduli pada adiknya, you’re on your own business.

4. Ketika believer meminta orang-orang hipokrit ini untuk mencari cahaya sendiri, ini adalah kata-kata sarkas yang artinya meminta mereka kembali ke dunia untuk mendapatkan cahaya. You can’t get the light at the judgment day. Once you don’t have it, you won’t have it forever.

5. Para hipokrit tidak menyerah. Mereka mengejar cahaya tersebut, tapi Allah kemudian menurunkan sebuah dinding besar dan tinggi dengan satu pintu yang membatasi mereka, sementara dari belakang, hukuman mengejar mereka. Mereka berteriak “open up guys!! We used to be with you, we pray with you, we do goods with you, why are we not with you?!!” the very desperate screaming (please imagine ourselves in judgment day undergoing this, it must be torturing). Mereka sangat percaya diri bahwa dulu di dunia mereka termasuk dari orang-orang yang beriman, who have a sincere faith.

6. And the believer answers “yes you were with us in the world, but then you lose the light”. Apa yang membuat orang-orang hipokrit ini tidak memiliki cahaya untuk berjalan menuju Surga? People lose the light not in one night, it’s through a process.

What are the processes? It’s a spiral downward.

Step 1: YOU PUT YOURSELF IN FITNAH (TEMPTATION, TRIAL)
Kita terus menempatkan diri kita pada situasi di mana iman kita diuji. Situasi itu adalah lingkungan buruk. Some people may argue that as human being, it is necessary to blend with variety of people, to develop, to understand world from different point of views. Kemudian kita akan melakukan banyak justifikasi karena hati dan tubuh kita menyaru perlahan dengan lingkungan tanpa kita sadari bahwa banyak dosa yang kita lakukan. Justifikasi itu berkedok “well, we give benefits to them, we are doing dakwah though, I am not gonna be addicted, Im not gonna get the bad effects”. Padahal secara perlahan, kita membenarkan kebiasaan, jauh dari membiasakan kebenaran. Niat kita yang pada awalnya ingin mewarnai lingkungan, justru kita yang terwarnai. We’re not strong enough in holding our crayons. We think we are doing the right things.

Well frankly speaking, to me, yes it is necessary to mingle with any kind of people. Yes it is right that way of dakwah is a lot. But we have to know our capacity. How convincing our capacity to mingle with certain kind of people or certain kind of events? Seberapa kuatkah kita untuk bertahan dalam suatu lingkungan tanpa membuat kita berbelok? How sure are we that our hands are strong enough to hold the crayons?

Step 2: YOU KEEP PROCRASTINATING TO CHANGE

Kita telah sadar bahwa lingkungan kita buruk, then we promise that we are going to be away from that. We said “I am going to change, I promise, next week I’m going to change.” Or “I might be like this now, but by the time Im going home from Hajj, you watch, im gonna change.” Kita terus mengulur waktu hingga tak sadar uban telah bertengger di rambut kita, keriput telah menggerogoti wajah cantik kita, bahkan cacing-cacing telah memakan kita. Kita menunda, tak sadar kita menoleransi diri sendiri. We think we are doing the right things.

It’s not necessarily avoiding us to enjoy the process of hijrah. But we gotta take it seriously whenever we decide to change. Nikmati proses tanpa dengan sengaja memperlambatnya.

Step 3: YOU DOUBT ISLAM
This is the most interesting part for me. So what happen is people start to feel guilty when they realize that they have been procrastinating. Ketika manusia sudah sampai pada tahap ini, syaitan datang dan membisikkan manusia, “why you have to feel guilty? Islam should make you feel guilty, this is haram, that is haram, it is sin, everything is sins. You’re not sure that Islam is true, anyway? Why you have to follow God of Islam?” then yes, we start asking ourselves “How do I know Islam is right? How do I know that Qoran is true?” That doubting of Islam brings us to a spiral downward that cause us to disobey Islam. Comes the material desire instead of desire to go to Jannah. Kita lebih memilih mengejar kebahagian dunia yang sudah pasti terasa dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang menurut kita belum jelas ada atau tidak, a false hope deceives us. We think we are doing the right things.

Well, to me, doubting an ideology is not a mistake. Adolescents normally somehow will undergo that kind of thing. James Marcia, a psychologist classifies Identity Statuses that I guess match this discussion though these aren’t necessarily related to specific topic:
• Identity Diffusion – the status in which the adolescent does not have a sense of having choices; he or she has not yet made (nor is attempting/willing to make) a commitment
• Identity Foreclosure – the status in which the adolescent seems willing to commit to some relevant roles, values, or goals for the future. Adolescents in this stage have not experienced an identity crisis. They tend to conform to the expectations of others regarding their future (e. g. allowing a parent to determine a career direction) As such, these individuals have not explored a range of options.
• Identity Moratorium – the status in which the adolescent is currently in a crisis, exploring various commitments and is ready to make choices, but has not made a commitment to these choices yet.
• Identity Achievement – the status in which adolescent has gone through an identity crisis and has made a commitment to a sense of identity (i.e. certain role or value) that he or she has chosen
(http://www.learning-theories.com/identity-status-theory-marcia.html)

Manusia ketika mempertanyakan kebenaran suatu ideologi, dapat berada di posisi Identity Moratorium, they would explore various commitments. But what happen is orang-orang yang meragukan Islam terkadang tak mau berusaha mencari kebenaran, ga ambil pusing, let me just enjoy my current life. Ada yang mungkin masih berada pada ID forclosure, memilih mengikuti mayoritas orang banyak atau mengikuti petuah yang diseniorkan (well pray a lot then, wish what we follow were a right track lol). Ada juga orang-orang yang mempertanyakan namun berdiskusi dengan orang yang sama-sama mempertanyakan dan kapasitasnya sama. Instead of asking the expert, people then make their own interpretation assuming that we are smart enough to understand stuffs. People are then becoming disbeliever; through a somewhat invisible process.

Then, this is why some people argue bahwa belajar agama itu penting. Belajar dengan orang yang lebih tahu dari kita untuk menghindari pemahaman-pemahaman yang salah.

###
Nouman Ali Khan kemudian bertanya: “where are you at?” di mana posisi kita? Apakah kita orang-orang yang menempatkan diri kita pada fitnah? Mengulur waktu untuk berubah? Atau meragukan Islam? yang pada akhirnya akan membuat kita menjadi hipokrit. Then the hypocrite’s position will be just the same as disbelievers.

We gotta know our capacity and our level of understanding, reevaluate our process of change, and search teachers to help us study to get out of confusion. The judges are deciding! Hurry up before its too late!

Remember Allah and we shall get the light.

#selfreminder #forustoremindeachother

Senin, 06 Juli 2015

orang tua bilang "kamu ga sopan", kita bilang "mah, itu wajar"

My mom and my hostmom are both very social persons, and yes they always ask me to make your faraway guests as your Kings and Queens. They want me to salam to everyone; your hospitality is number one. They also always encourage me to give and share. They basically want kids do that, every kids in the world. But whats happening now?

Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.

Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.

My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”

Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”

Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.

Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.

I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.

Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.

Sabtu, 04 Juli 2015

Thank you, dear!

Betapa luar biasanya berada di sekeliling orang-orang seperti kalian. Bukan cerita-cerita yang mengalir dari mulut sang ratu lebah yang ingin dihormati, bukan pula mimpi yang terajut rapi dari sang pangeran yang hanya berniat mencari sang kekasih, I can feel your sincerity. Ah…apalah semua hari-hari ini jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang sudah para tetua lewati, apalah semua benih-benih yang hendak tumbuh ini jika dibandingkan dengan kecambah yang para pengabdi negeri ini miliki, entah…yang kudapat ini mungkin belum seberapa jika dibandingkan dengan asam garam kehidupan para pekerja buruh, para pegawai swasta, pemiliki perusahaan, para professional, guru, orang tua dan kakek nenek kita, mungkin belum seberapa. But I can feel it, how a drop of ink can spread fast on certain papers.

Saya ingat ketika saya menghadiri sebuah seminar motivasi ketika saya SMP, sang motivator berkata “hidup di SMA itu tidak akan pernah terlupakan, sepakat?” peserta yang kebanyakan adalah anak SMA berseru ‘sepakat!’ kemudian menyimpulkan senyum malu-malu, entah mungkin mereka teringat kerja kerasnya belajar mengejar nilai, cerita persahabatan kepompongnya, atau teringat kisah asmara bodoh yang buat merah pipi pemiliknya. Saya kala itu tidak tersenyum, melainkan fokus memperhatikan kakak saya yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Alis saya terangkat.
Namun kemudian sang motivator tersenyum lebar seraya berkata “hmm…tunggu saja sampai kalian nanti kuliah” Alis saya semakin terangkat.

Si polos Risni menghabiskan masa SMPnya dengan mendengarkan cerita-cerita sang kakak. Ya, saya adalah salah satu penggemar berat kakak saya, walaupun saya yakin beliau tidak tahu sampai sekarang. Kisahnya selalu membuat saya tak sabar masuk SMA, betapa seru…dan anehnya…. cerita-cerita beliau. Cerita ketika beliau bertengkar dengan sahabat baiknya, cerita ketika bersama-sama main mendaki gunung, kisah teman-temannya yang selalu membicarakan soal pernikahan, nasihatnya tentang pakaian baik seorang wanita, permintaannya padaku agar ikut mentoring ketika nanti SMA, keberaniannya dan menurutku dulu…keanehan dia dan teman-temannya yang berani turun ke jalan, berdemo dengan membawa spanduk dan memakai ikat kepala, berorasi di depan gedung DPR serta kebingungan dan tawa saya yang muncrat keluar karena selalu mendengar takbir dikumandangkan dengan lantang setiap kali saya diajak acara keagamaan olehnya. Cerita kakaklah yang menjadi sebuah scene di SMA yang saya bayangkan…

Ternyata, masa SMAku berbeda dengannya. Si polos Risni tak mengalami apa yang dialami kakaknya. Ketika itu saya berpikir, zaman mungkin berubah? Haha. Saya pun kemudian hanya mengikuti alur air yang entah saat itu saya tidak tahu akan bawa saya kemana. Yang pasti, saya dahulu selalu mempertanyakan “mana kisah-kisah yang diceritakan oleh kakak? Di mana?” Dari sini lah saya belajar bahwa memang, ekspektansi bisa menjadi moodbreaker sepanjang masa. Now if you didnt get what you want, are you gonna give up?

Kakak saya tidak lagi bercerita banyak tentang masa kuliahnya ketika saya SMA, mungkin karena jarak yang memaksa kami untuk jarang bertemu dan berkomunikasi. Tapi beliau dan teman-temannya tetap menjadi cerminan scene masa depan yang saya bayangkan. Ah…jadi, kalimat “kakak adalah contoh bagi adiknya” itu benar adanya, setidaknya, saya mengamini hal itu.

Ternyata, begini ya hidup di masa perkuliahan? Saya sedikit banyak mengalami apa yang kakak saya alami, namun dengan cara dan jalur yang cukup jauh berbeda. Kalau saya ingat ketika saya menghadiri seminar motivasi dulu, saya sepertinya mengerti senyuman lebar pembicara yang berucap “tunggu ketika kalian nanti kuliah” haha kok lucu. Well…

Duh, saya sebenarnya mau nulis apa sih :’)

Entah…akhir-akhir ini, grateful feels like tighten me in every second of life. Betapa, tidak selamanya ekspektasi membunuh keinginan kita untuk berjalan bahkan berlari. Betapa masih banyak orang yang peduli dengan kita dan tak pernah lelah membantu memperbaiki diri kita, bukan semata untuk mengejar apa yang kita inginkan, namun apa yang terbaik untuk kita. Entah sudah berapa hal yang terjadi, sudah berapa orang yang menegur, sudah berapa orang yang memukul pundak, sudah berapa kejadian yang membuat saya berpikir bahwa life is too beautiful. Pembelajaran-pembelajaran yang saya sadar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang lain sudah dapatkan ternyata di mata saya sangat berharga, yes I learn how to feel normative words.

Mendengar memang terkadang lebih indah daripada mengucapkannya, mengamati ternyata bisa lebih nikmat daripada melakukannya. I do learn a lot from you guys. Orang-orang yang berada di sekeliling saya, terima kasih telah memunculkan scene yang pernah kakak saya alami haha, terima kasih telah menjadi kalian yang membenci saya, mencintai saya, menghormati, mengucilkan, mengagumi, mengkhianati dan lain sebagainya. Apalah saya berkata seperti ini, sudah seperti orang tua yang merasakan asam garam kehidupan setumpuk puluhan meter dan mencoba mengambil gula di tengah garam. Ini hanya rasa syukur yang ingin saya bagi dan pesan untuk selalu berhati-hati, bahwa hidup kita yang masih muda ini…masih panjang ya…entah akan ada pelajaran-pelajaran apa lagi yang mungkin akan membuat kita makin membuka mata dan pikiran yang kemudian akan menjadi pedang bermata dua. Are we going to be able to deal with it atau justru kejadian di depan akan mengubah kita kepada hal yang tidak baik. Haha seperti saya yang labil, sampai teman-teman tarik ulur untuk mencoba memperbaiki diri ini yang serba kekurangan. Pelajaran-pelajaran yang terkadang buat bingung untuk bersikap memaksa saya untuk selalu sadar kalimat If youre confused what people want you to do, just do what God wants you to do. Terima kasih kalian yang selalu memberi tausiyah, yang selalu mengingatkan, yang selalu tahu kapan saya turun, kemudian mencoba mengajak saya bertemu tatap muka untuk menegur langsung kesalahan yang telah saya perbuat, yang selalu bersusah payah mengajak saya bertemu hanya untuk bilang “jangan lupa hafalannya, jangan lupa amalannya”, bukan…itu bukan hanya…itu kata mutiara yang begitu luar biasa. Terima kasih :’) *efek tak terasa sudah tingkat empat ya, jen?*

Terima kasih telah membantu saya mengejar ekpektasi. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.


Kamis, 11 Desember 2014

A fake bliss

Aku bermimpi, aku bermimpi aku merangkak sampai Surga. Peluh membasahi dahi dan sekujur tubuhku, kala itu tak henti-hentinya nanar mataku menatap tempat perhentian terakhir ini. Betapa bangganya aku. Betapa senangnya aku. Bahkan seseorang yang bersanding nama Izrail tak kerap meninggalkan jejaknya di beranda kamarku, tak kurasakan nadiku terputus. Aku seperti disuntikkan opium dan dibanjur air hujan yang bening.

Ternyata aku sedang berdiri di gurun pasir. Surga itu tak lebih dari fatamorgana. Pohon rindang yang kupandangi ternyata kaktus yang berduri. Air yang kuraup seketika berubah menjadi butir-butir pasir berbalur Kristal yang tak bisa diserap ususku. Kursi berlian di depanku adalah kayu yang terseok dari jalanan yang entah ratusan kilometer jauhnya.

Maafkan aku yang selama ini diam. Aku tidak bisa bicara dan tidak bisa menengadah karena mulutku dan tangkanku terbekap. Jarum detik jam terlihat lebih pendek, aku pikir aku masih punya banyak waktu untuk membuka tali bekap ini.

Aku menangis.

Aku berharap aku melihat si kecil Ismail yang mengeluarkan air dari goyangan kakinya. Aku berharap bertemu dengan Adam dan Hawa yang mau membagikan buah khuldinya. Aku berharap berpapasan dengan pasukan Quraisy yang membawa bekal perang.

Aku menangis,

Tak satupun dari mereka kutemui.

Aku melukai diriku, berharap ku bangun dari mimpi buruk yang membakar tubuhku. Aku mencakar pasir dan melempar sumpah serapah.

Aku terkungkung dalam mimpiku. Keringatku menguap mendidih dengan api matahari. Kulitku kering tersapu panas dan hujan pasir. Nafasku tersengal.

Maafkan aku yang akan menjadi diam.

Aku akan mengunjungiMu di balik fatamorgana yang Kau tunjukkan. Tak apa jika harus merangkak. Aku tak tahu diri jika aku meminta dua kaki ini mengayuh pedal di kaki bumi untuk mengantarku ke Surga. Harga diriku tak layak untuk membayar kendaraan yang Kau tawarkan. Semai dosaku dahulu telah menjadi bibit yang tak berhenti tumbuh hingga puncak langit. Kau menyaksikan itu. Tunggu aku yang sedang merangkak mengejarMu.

Rabu, 01 Januari 2014

Bukan soal Pluralismenya

Gue bukan orang yang mudah mengkritisi sesuatu dengan baik, kadang pikiran gue aneh sendiri, yang orang lain ga pikirkan, dan kadang dasar yang gue ambil adalah simpulan sendiri yang mungkin orang jarang setuju (kalimat ini pun hanya asumsi gue, bukan berdasar fakta data ataupun empiris haha). Pikiran macam gini yang buat gue takut speak up dan takut bertindak.

Anyway, selalu terjadi. Tiap kali gue mendapati suatu kalimat atau kejadian, gue cenderung mengkaitkannya dengan banyak hal dan cenderung GA menerima satu keburukan (menurut gue) seseorang dibalik sejuta kebaikannya. Misal, si A pinter,baik,kece, gue suka. Tapi dia merokok. Akhirnya, gue ga suka. Contoh lain, dia teriak-teriak soal idealisme, kontribusilah yang banyak ke masyarakat, dll, tapi dia kalo datang rapat selalu lelet. Cap gue ke dia langsung jelek. Sampailah tiba pada suatu pemikiran gue, “gue gasuka orang lelet, gasuka orang nyontek, gasuka orang korupsi, tapi kenapa gue masih aja gabisa belajar yang bener? Gabisa nurut sm org tua?gabisa shalat yang khusyuk? Gabisa ini dan gabisa itu?” Intinya. Semua orang itu munafik di mata gue haha termasuk gue, gue cenderung melihat kesempurnaan pada seseorang, tapi diri gue sendiri masih jauh dari sempurna. Oke, jgn sempurna deh, limit mendekati ideal. Selama liburan, gue mikirin itu. Pemikiran yang aneh dan ga manusiawi. Menuntut seseorang dan diri sendiri untuk ga bersifat paradoks dengan melihat aspek sekecil apapun.

Hal yang paling gue pikirkan semenjak liburan ini adalah persoalan kebaikan vs ajaran agama. Gue mulai berpikir, gue selama ini mengkritisi segala hal, diskusi dengan orang-orang tertentu berkaitan dengan banyak hal, tidak setuju dengan ini dan itu, menganjurkan ini dan itu, melakukan kebaikan ini dan itu dan lain sebagainya. Tapi persoalan agama jarang gue sentuh. Sulit merangkai katanya, yang pasti gue merasakan urgensi belajar agama sekarang. Berpikir kritis itu penting. Soal hal apa yang harus dikritisi itu jangan pilih2. Semuanya harus dikritisi kalau mau jadi manusia yang adil dan ideal, cuma soal porsi kritisnya aja yang disesuaikan. Dan lagi, agama itu menyangkut ideologi seseorang, ideologi yang nantinya jadi patokan lo untuk melaksanakan dan mengkritisi segala sesuatu. Gue mikir gini berdasar dari kata-kata gue di awal. Ga ngerti ya? Ga dapat korelasinya? Maaf gue kesulitan menyampaikan apa yang ada di pikiran gue sekarang.

Lantas muncul pertanyaan? Kenapa agama? Kenapa ga pilih ga beragama aja, simple, gada aturan lo dalam melakukan apapun ke depannya. Nah hal itu juga perlu dikritisi, mulai dengan cara mengkritisi agama dulu. Bukan hanya agama gue aja yang sekarang, tapi agama lain juga. Lantas setelah itu, silakan putuskan apa yang bakal lo lakukan.

Kenapa sih gue??

Oke. Gue habis baca buku tentang pluralisme. Kebhinekaan. Hal yang kompleks kalau kita sudah menyentuh ragam dengan berbagai variabelnya. Bukan soal pluralismenya, tapi soal bahwa banyak hal yang harus gue pelajari.

Pemikiran yang kadang terlintas di banyak mind orang adalah “hm gue Islam karena orang tua gue islam, mungkin kalo gue kristen, agama gue sekarang kristen” nah loh. Itu maksud gue. Tuhan memberi kita akal bukan hanya untuk memikirkan cos 45 + cos 60 sama dengan sekian kan, tapi juga untuk digunakan tentang segala aspek kehidupan.

Di buku yang gue baca itu, diceritakan mengenai penafsiran Al-Quran dengan berbagai metode yang gue ngerti konsepnya tapi ga ngerti bagaimana menerapkannya; penafsiran al-Quran itu berguna untuk mengetahui respon Al-Qur’an terhadap pluralisme agama. Sejauh ini, respon gue terhadap pluralisme agama bisa dibilang inklusif dan sangat toleran, apalagi semenjak exchange year gue di USA. Ada seseorang yang bilang dalam diarynya “Bagaimana mungkin gue menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk masuk neraka” (Farid Esack). Gue bisa bilang begitu untuk semua orang-orang baik di USA selama masa exchange gue. Mereka hanya korban status keluarga toh, sama seperti gue yang kebetulan ditakdirkan lahir di keluarga Islam dimana Allah menjanjikan surga untuk kaum muslim. Oh bukan, mereka dan gue bukan korban, gue yang bisa dibilang beruntung oleh umat muslim bahwa gue dilahirkan di keluarga Islam. Gue dan mereka sama-sama salah karena sama-sama tidak mengkaji agama-agama (jikapun gue berada di posisi mereka).

Toleransi. Batasnya sampai mana? Al-Qur’an lah yang menentukan. Maka dari itu, tafsir Al-Quran sangat dibutuhkan. Pada buku yang gue baca disebutkan sebuah penafsiran al-Quran secara totalitas, tidak parsial. Dalam menafsirkan al-Qur’an harus melihat segala sisi, asbabun nuzulnya, keadaaan zaman diturunkan al-Qur’annya, psikologi dari pada penafsirnya, etika dan moral, perkembangan zaman, gramatikal, dll. Semua itu sangat kualitatif; entah karena gue terbiasa dengan kehidupan orang-orang kampus yang menuntut data kuantitatif atau bagaimana, hal tersebut menjadi bias di mata gue. Bagaimana harus percaya dengan data kualitatif tersebut? Itu yang harus gue pelajari.

Sekarang, kalau gue sudah bisa menerima tafsir tersebut, muncul lagi pertanyaan, siapa yang menjamin Al-Qur’an itu orisinil? Jawabannya Allah. Lagi. Kualitatif. Jawaban tersebut bisa diterima keyakinan tapi sulit diterima rasio. Gue butuh mempelajari sejarah Al-Qur’an.

Banyak yang harus dipelajari. Kalau sudah belajar Islam dengan benar, barulah siap untuk compare and contrast dengan agama lain katanya begitu,harus kuat iman dulu sebelum mempelajari agama lain; tapi bukannya kalau seperti itu jadi cenderung subjektif ya ke agama sendiri? Karena pada akhirnya keyakinanlah yang membuat seseorang beragama. Dan keyakinan itu kualitatif. Haha silakan mau bilang gue aneh dan berpikiran pendek. Kalau ada komentar, silakan komentar.

Gue pernah buat cerita tentang Ayah dan Ibu yang mendidik anaknya cukup ekstrem. Ayah dan Ibunya membebaskan anaknya untuk memilih agama di kala dia sudah siap. Dari dia lahir dia ga dikasi status agama, Ayah dan Ibunya membiarkan dia mencari sendiri agama mana yang menurut dia benar. Ayahnya sering memindahkan dia dari satu negara ke negara lain agar semua lingkungan memengaruhinya, sebisa mungkin membuat keadaan di sekelilingnya netral sehingga objektif dalam menentukan pilihan. Haha. Kayanya kalau begitu konsistensi gue dalam beragama atau tidak akan sangat kaffah. Wk.

Anyway, itulah kegalauan gue di saat liburan ini. Gue berjanji pada diri gue untuk mendalami ajaran agama; entahlah hal itu akan terjadi atau tidak, yang pasti akan sangat menantang ;)

Minggu, 29 Desember 2013

Why should be it?

I am one of those people who keep questioning "why Islam?". Despite all the time questioning, I am also one of those people who follow a trail of majorities and great people, within their influences of saying wisdom words and a mirror of a happy life of them. I am also one of those who walk like a snail while seeking truth, sleep like a bear whose sleep-time much in winter while seeking answers, think like normal human being though fear to speak up while hating other's arguments.  

None. None of what I did was an effort.  

So far, I found these four points are said by many people to be considered when choosing an ideology. I only agree on number four or may agree on number three.
1. Comfort makes faith: One would stay whenever he finds a cozy place to live. It just suits him. One would stay in a mosque because he feels comfy. He was born in Muslim family, the heart of a Muslim at least has been there, the habit and the ‘have-to-do' rules has been transferred by the nerves system of sensory to the effectors because the existence of stimuli in environment. The stimuli is religion lesson. The pleasant moment he undergoes success in getting rid of depression and suppression. Thus, comes that faith of believing in God of Islam.

One also would stay in Church because he feels comfy.

2. Human's ratio is not there yet: One would not believe that there would be a box who can display pictures, voices, and movements that what so called a television. A muslim is confused how Muhammad could go to the seventh sky in just a day, how Nuh could make such a big ship, how a could make b and c could make d. Simple answers: our ratio is just not there yet, like people eons ago whose ratio couldn't accept the invention of television.

A Christian is confused how Jesus born without mother and how they believe in trinity. Simple answers: their ratio is just not there yet.

3. Valid Histories
Tell me how to integrate histories and and how to convince that the histories are valid.

4. The most makes sense
This would be it. But people's senses are not the same. Choosing which religion is up to you, after all.

Now tell me why you - the most religious people in each religion - choose your religion. I want to do effort.

Minggu, 15 Desember 2013

that ideology comes second

Hi. Have you ever had a friend that never stop searching truth? Im kinda that person-wanna be. Ive been losing an ideology that once i had. That ideology comes second now. But too bad, everytime im about to learn and decide something related to it, obstacle smiles at me. Hi people there, convince me to stay commit on what is true. Give me some motivations. Religion.

Selasa, 30 Juli 2013

matter of flexibility?

So, guess imma start blogging again. Happens every time, I was about to start writing but then in the middle of writing, someone calls me, texts me or knocks my room door, or college homework attempts to persuade me do them. The worst one, I really have no idea what to write despite all my life's dynamic changes. Just didn't know how to start arranging words and occasions. Been a long time, think my fingers and brain getting stiff lol.

So a friend of mine just tagged me this fb note about mmmm a motivation? Yes, a motivation presented to his friends, he wanted me and others to write again, which is good. I threw a comment saying "Im focusing on my reading, I'll write after". Now, what am I reading? I'm reading this Middle East conflict, im reading MUN guide book, and probably I will have to read about international law. What to share? You want me to share the content, you'll have to read the lies and what so-called "filthy politic" in my write later - and of course my thought that is paradox with what im doing now- which is not recommended. Why? Lack of information and critical thinking still limit me to share and give opinions. That fears me to be vocal. Me still a baby. Or… let me just share my confusion about this..

I stick my handmade-life's goal poster on my bedroom wall, which sometimes make me excited on going to college and passionate about doing things related to my goals. Good things though, but then one day I noticed something. Friends see the poster, yes, because I stick it on. They would remember some words and points; they would observe and follow me; finally they'd be more than happy to see the future me could or instead, couldn't achieve the goals. The second one saddens me. How if I couldn't achieve all of them?

The goals made based on my passions, also made by consideration that outside comfort zone is your right spot to develop. The thing is I didn't consider my capability and the nature law, oh poor Risni now you're trapped by friends whose eyes on you. YES, I am saying that I think I cannot achieve the goals. What? Say it again? I'm coward? Well, say it loud because it is true. Having this fear of not succeed is overwhelming me. I'm kinda scared on trying and moving forward, recently.

Too comfort, just way too comfort in a zone.
I had this conversation with my friend:
Me : is it better to self-develop in comfort zone or out?
F : Have you settled enough in that comfort zone?
Me : Well, fluctuative…but at least I could say it is my comfort zone
F: Hm…you better go out, widen your comfort zone
Me : Ive tried for 2 years, it didn't work. What does it mean?
F : Can the comfort zone be widened or we just can't open the door toward changes?
Me : ………
Me : How exactly comfort zone be defined?
F : Place where you can go back. You feel comfortable. Accepted and Accepting
Me : ……..
Me : How if the changes in fact didn't suit my ideology? Well, okay, open minded but do we have to be open minded? Is it always beneficial to be an open minded girl?
F : So you wanna be open but limited, and you are searching for the limits?
Me : Maybe..

That's pretty much about it. It banged me. Trying to blend and adjust with any conditions indeed not that easy, to me. To reach my goals should be that ‘butterfly girl', you know.  So sad, though ive been accepted, doesn't mean ive accepted. If it what happened, me the one to blame like what F said cannot open the door toward changes. The fear of changes. It's getting serious lol. Some people may see me adaptable, some not. And that's me….. for a while. The comfort zone hampers me to make achievements. Incapability to be flexible in accepting anything.

I give you an example. I love research a lot, got this pleasure feeling when I know stuffs, so I join MUN. I passed some phases so far and had this role to be Israeli to talk about Iranian Nuclear Program. It worried me somehow since I and of course people know that ‘filthy politic' is happening around the world yet I was to talk in diplomacy. MUN teaches you to be other person haha. I would say that way.

Then it comes to the caucus phase. Overwhelmed. I feel terrible and nervous. Despite everything that I don't know yet, I read this book about Syria and it's multinational conflict. Again, that ‘filthy politic' I have to say in another rhetoric called Diplomacy. How that feeling to against your own opinion despite all facts and religion views? But people involved there think different…compare to me. You can name the people but just don't say it.  

It just one sample of ideology-contradicts.
Many occasions I couldn't manage in term of different paradigm.
Again, incapability to be flexible in accepting anything.
Well then, it hasn't been my comfort zone yet. Lets just see how I deal with it.
God speed.