Rabu, 23 Desember 2015

Yes, Expectation Does Kill You.

Terkadang sulit menyampaikan sesuatu lewat bicara, so please allow me to ‘wording’ my thoughts.

Saya ingin berdiskusi tentang sebuah seni menerima.

People say ‘its not a sword that kill you, expectation does’.

I couldnt agree more. Expectation does kill you. Saya pernah membaca suatu ilmu psikologi terkait Expectation Violation yang intinya bahwa ada tiga hal yang akan terjadi ketika kita berekspektasi akan sesuatu. Realita akan ada di atas ekspektasi, di bawah, atau sesuai dengan ekspektasi. Reality vs Expectation, things that we always learn from 9gag lol. Reality sometimes violate our expectation. Im talking about positive expectation, suatu harapan yang ingin kita dapatkan. Ketika realita sesuai dengan ekspektasi, senyum kitapun mekar; ketika realita di atas ekpektasi, senyum mekar dan matapun berbinar; ketika realita di bawah ekspektasi kita pun tersenyum hambar dan menghindar. Ini menjadi salah satu alasan ketika kita melihat bahwa tak sedikit orang yang mudah memulai namun mudah juga untuk berhenti. See, it kills you. Ibarat antibiotik, ekspektasi itu sifatnya bakterisid, membunuh tanpa harus ada antibodi yang membantu, ah naon maksa, efek belum bisa move on dari uas #lah.

Expectation is violated often when we know weaknesses that we never thought it existed. O my god, weaknesses is the culprit. When expectation is violated, -saya berbicara mengenai suatu realita di bawah ekspektasi- we actually have two options, classical options but people sometimes forget about this. Mengubah atau menghindar. Letting ourself achieve our expectation or letting expectation kills us. Tentunya setiap orang berharap untuk bisa membiarkan dirinya mencapai ekspektasi. Menurut saya di sinilah kita harus belajar mengenai seni menerima. Seni menerima itu adalah dengan mengubah. Bukan dengan mencaci maki atau menghindari, bukan dengan tuding sana-sini atau menanam rasa benci, melainkan dengan klarifikasi dan menciptakan sebuah revolusi.

Ada masa ketika alis kita terangkat dan dahi kita mengkerut ketika mengetahui sifat asli teman kita. Well, weve been expecting our friends are diligent, above average, cool, wise, etc. Setelah kita mengenalnya lebih dalam, nah loh, banyak sekali kekurangan pada dirinya. Are you gonna blame them? Yah bisa jadi orang pacaran yang putus atau orang menikah yang bercerai karena tak bisa menerima kekurangan pasangannya.

‘Ah. Makanya jadi diri sendiri saja. Tak usah lah pencitraan, jaga image, self-branding, sok-sok menawarkan keadaan ideal, topeng, errgghh.’ Buat saya, menjadi diri sendiri bukan dengan mengelupas kulit sendiri, tanpa sadar memamerkan kekurangan demi kekurangan. Menjadi diri sendiri adalah dengan bersifat adil, menempatkan diri kita sesuai pada tempatnya, and its definitely different with being hypocrite. Klarifikasi dahulu sebelum kita berani menjudge orang lain. Jika memang orang itu salah, terimalah ia dengan membimbingnya menjadi lebih baik. Susah ya? Ya memang susah tapi bukan berarti tak bisa :’)

Masalahnya adalah pada diri kita yang terkadang sulit menerima kekurangan orang lain, hal yang sama ketika kita sulit menerima kekurangan suatu organisasi. We keep questioning, kenapa di setiap osjur ini kakak-kakak menawarkan keadaan ideal namun memberikan kami realita yang jauh dari ekspektasi. Itu mimpi kami dek, mimpi kami yang kami titipkan pada kalian. Klarifikasi terlebih dahulu sebelum kita memutuskan akan lari dari kenyataan. Klarifikasikan segala hal, mengapa hal ini terjadi? Mengapa hal itu terjadi? Setelah kita klarifikasi, terima lah. Terima apapun klarifikasi itu dan mainkan seninya. Menerima dengan membiarkan atau menerima dengan mengubahnya ke arah yang lebih baik. Terima kekurangan itu sebagai bahan refleksi dan evaluasi. Then run, run as far as you can, bukan berlari sendiri dan mencari hal lain yang sesuai dengan ekspektasi, namun berlarilah bersama kekurangan itu, let the weakness see the finish line you want, let the weakness learn from that.

Berdamailah dengan ekspektasi. Dont let it kills you and please never attempt to kill back. When we try to kill back, itu artinya kita pasrah dengan keadaan. Make peace and better change will emerge.

Aanndd, when expectation is about to kill us, ingatlah bahwa semua yang kita punya, semua yang kita lalui ini adalah titipan Tuhan yang akan dhisab di akhirat. If we choose tu run away, just think what would happen. Ah ya, hari ini maulid nabi. Jadikan juga hari maulid nabi ini sebagai ajang refleksi kita, untuk mencontoh role model terbaik dunia yang jiwa amanahnya tidak akan pernah tertandingi. Yuk shalawat.

One more thing, hati-hati juga ketika realita berada di atas ekspektasi kita, rasa puas yang berlebihan bisa saja membuat kita berhenti atau membelokan niat baik kita :) wallahualam.

#selfreminder






Tidak ada komentar:

Posting Komentar