Rabu, 20 April 2016

Farmasi dan Perempuan


Jurusan farmasi sepertinya menjadi incaran kaum hawa. Tanyakan pada sahabat perempuanmu di farmasi, berapa dari mereka yang baru tahu bahwa jurusan ini didominasi oleh perempuan setelah ia masuk ke dalamnya. Tanyakan apakah mereka menyesal masuk ke jurusan ini, karena jawabannya akan terdiri dari ‘tidak’ karena farmasi menyenangkan dan menantang dan ‘ya’ karena farmasi miskin kaum adam. Ga deng, canda.

Menjadi mahasiswi farmasi, mau tak mau bergelut dengan kebaperan di atas rata-rata karena perasaan lunak wanita, perbedaan standar banjir air mata, sikap bocah yang merajalela walau usia menua, tapi banyak juga yang dewasa, hanya saja, sepertinya peran logika kurang ada.

Menjadi mahasiswa farmasi, mau tak mau menjadi tumbal kemanjaan sekaligus kemalasan perempuan. Mulai dari menjadi ketua segala kelas, ahli menyalakan proyektor, hingga menjadi andalan segala kebutuhan logistik.

Saya masih ingat kala itu, teman saya dari jurusan teknik X menawarkan saya membawakan tas yang padahal dari fisiknya terlihat tas itu tidak berat sama sekali. Saya spontan berkata “apaan sih?”. Saya lupa, kampus saya penuh dengan laki-laki yang terdidik bahwa kaum adam harus membawakan tas wanita. Ga deng, maksudnya harus peka dengan beban perempuan. Apalagi saat itu, lagi masa-masanya ospek jurusan di mana semua laki-laki berubah menjadi tukang ojeg yang bahkan tak perlu dipanggil dan dibayar sudah menawarkan jok belakang motor; berubah menjadi tukang kuli sukarela yang mungkin kalau diminta membuat candi prambanan tadingan pun akan legowo saja. Hehe.

Terbayang seperti apa ospek jurusan farmasi? Mungkin akan terlihat merepotkan ketika membayangkan secuil laki-laki harus mengantar bolak-balik teman perempuannya ke rumah hingga harus tumpuk empat. Mungkin akan terlihat menggemaskan ketika para lelaki mencoba membawa tas teman perempuannya, ya di lengan kanan ada 3, lengan kiri ada 2, di leher 2, bahkan di kaki? Ini hanya contoh ekstrem. Lol. No, they don’t do that. Lelaki farmasi mungkin dituntut untuk melakukan segala aktivitas secara efektif dan efisien tanpa harus membebani perempuan.

Memang, ada apa dengan perempuan?

An-Nisa ayat 34 berbunyi (eits, mainnya udah ayat aja, gpp ya hitung-hitung nambah ilmu agama, bukan bahasan berat kok, selow ae)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

Agama pun mengajarkan betapa pentingnya peran seorang lelaki, khususnya dalam hal memimpin. Memimpin ini kemudian diinterpretasikan dalam segi tanggung jawab, mengayomi, dan melindungi perempuan. Sementara perempuan dinobatkan sebagai seorang yang layaknya dilindungi serta sebagai madrasah utama anak-anak, penjamin lahirnya generasi emas masa depan #tsah.

Norma dan sosial pun berperan. Warga Asia dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda terkait perempuan sampai Raden Ajeng Kartini pun terinspirasi oleh sahabatnya di Belanda dalam melihat peran perempuan. Terbitlah terang, emansipasi wanita di Indonesia muncul ke permukaan. Waktu berjalan, affirmative action dielu-elukan, hingga muncul juga paham feminisme. Entahlah sejarahnya seperti apa (lagi malas browsing sis), intinya perempuan hari ini sudah mendapatkan hak dan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun, mungkin karena kentalnya ajaran Islam di Indonesia serta norma penghuni dunia belahan timur kebanyakan, kultur laki-laki adalah pelindung wanita masih sangat kuat.

Secara ilmiahnya, laki-laki memiliki kodrat yang memang condong sebagai orang yang mampu untuk melindungi perempuan. Fisik yang cenderung lebih kuat, ambang baper yang berbeda dengan wanita, duh yah pokoknya tahu kan maksudnya apa. Lelaki memang dikodratkan demikian.

Sungguh, saya sebagai perempuan merasa sangat terhormat diberikan kedudukan seperti itu. Siapa perempuan yang tidak ingin dilindungi? Payung saja tidak cukup untuk menghalau badai dan jaket berlapis tak cukup ampuh menahan sengatan panas jika dibandingkan dengan seorang lelaki yang kuatnya melebihi tameng baja. *ini apaan sih*

Perempuan di sisi lain memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan berarti perempuan tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, bukan berarti perempuan harus bermanja-manja dan menggantungkan hidupnya penuh pada seorang lelaki, bukan berarti perempuan sah untuk mengeluh meminta menikah ketika beban kuliah dirasa berlimpah *lah*. Perempuan dan laki-laki memiliki porsi tanggung jawab dan kepemimpinan masing-masing sesuai dengan kodratnya.

Perempuan dan farmasi (ini judul dan konten kok agak ga nyambung ya). Menjadi perempuan yang kesehariannya dikelilingi oleh perempuan mungkin membuat tabiat anak farmasi berbeda? Entahlah. Mungkin. Bisa jadi. Namun yang saya rasakan sedikit banyak adalah soal keterlibatan perempuan untuk membangun himpunan. Posisi sekjen hingga ketua divisi yang kemudian didominasi oleh ciwi-ciwi haruslah menjadi momen pembelajaran yang luar biasa dalam menjadi seorang pemimpin. Menjadi anggota perempuan yang dipimpin lagi oleh perempuan kadang mungkin sulit, penuh toleransi dan bawa perasaan. Menyadari ketua himpunan yang sering adalah seorang laki2 (HMF pernah punya kahim cewek ga ya?), seharusnya dijadikan wadah kami untuk lebih mengerti peran perempuan. Jangan sampai jadi manusia yang hanya ingin dimengerti, namun harus juga memberi pengertian #yuhu. Menjadi penggerak himpunan harusnya bisa dijadikan alat untuk mengelola baper. Saya jadi teringat seorang pimpinan organisasi yang bilang bahwa saya bersifat passive agresive dalam memimpin, yah mungkin itu karena saya yang sudah sakit hati dan berniat profesional, tapi malah gagal karena baper sepertinya sulit untuk disembunyikan wkwk. Kan perempuan juga ingin dimengerti #nahloh.

Anyway, bukan hanya farmasi yang didominasi perempuan, beberapa jurusan lain pun ada. Semoga kondisi ini tidak mengurangi peran perempuan yang sebenarnya. Karena sejatinya perempuan hidup bukan hanya untuk mereview drama korea, bukan pula untuk sekedar bergosip ria dan belanja, bukan juga untuk menjustifikasi kebaperan-kebaperan yang ada, bukan juga untuk memamer2kan rupa yang jelita. Apa yang harus dilakukan perempuan jelas jauh lebih dari itu. Kalau kata akun Teh Jasmine, perempuan janga cuma modal cantik karena di tangannya lah kunci peradaban manusia. #tsah. Perempuan hari ini beruntung, tidak perlu repot2 memperjuangan haknya seperti di zaman kartini dulu. Sayang seribu sayang ketika perempuan hanya diam saja. Kuncinya adalah seimbang, memahami kodrat dan potensi perempuan. Kok ya saya ngomong kaya sudah paham benar tugas perempuan. Sambil sama2 belajar lah ya.

Terakhir, di hari kartini ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para sahabat lelaki di farmasi hehehe, khususnya untuk Femi, Yahya, dan Elkana, “cokiber”nya FKK. Para sahabat yang mengajarkan arti penting suplementer dan komplementer manusia. Sahabat yang tetap berusaha memposisikan diri mereka sebagai para pelindung wanita #ea. Para sahabat yang rela mendengar gosipan dan teriakan ciwi-ciwi walau dalam hati mungkin merasa tersiksa. Para sahabat yang sabar meladeni kebaperan dan kebocahan kami tanpa pernah menyalahkan perasaan yang menunggangi hati kami ini wkwk. Maaf jika kami kelewatan. Bimbing kami untuk menjadi perempuan yang sesuai kadarnya :p Semoga kita bisa saling peka dan peduli satu sama lain hingga nanti (duh baper mau pada lulus). Saya selalu ingat ketika menjadi peserta dan panitia ospek jurusan dengan kehadiran lelaki yang segelintir. Semoga kondisi tersebut yang tetap ada hingga sekarang, dapat mengajarkan para lelaki untuk tetap mengayomi tanpa memanjakan kami, memandirikan tanpa membebani kami :3

Yay. Selamat hari Kartini! Terbitkan terang secukupnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar