Jumat, 16 Januari 2015

The Dream Team - Buricak Burinong

Ninis membuka buku doanya. Khidmat ia melafalkan huruf-huruf hijaiyah yang mengantarkannya pada ketenangan, walau mungkin sesaat. Risni duduk tegap di kursi, mulutnya berkomat-kamit mencoba membuang bayangan orang tua yang sempat cemas berlebihan hingga menyuruhnya membatalkan perjalanan. Kejadian jatuhnya salah satu maskapai penerbangan Indonesia pekan kemarin membuat cemas para penumpang kendaraan terbang ini, bahkan bagi orang-orang yang sudah sering bepergian jauh. Sepatah kata doa yang biasanya dilisankan berubah menjadi deretan panjang huruf-huruf arab. Pesawat pun melesat, suara-suara mesin dan gerakan badan pesawat seolah terdengar kasar dan mengkhawatirkan bagi penumpang; entah karena burung besar ini yang tak lihai bergerak atau hanya sekedar paranoia.

***

“Ada wifi ga?” Galuh menengok ke arah Eldi yang sedang menyalakan handphonenya, sementara matanya fokus pada koper yang dicarinya di baggage claim.
“ada..ada…” Risni menimpali, ia pun tak sabar mengaktifkan whatsapp dan segera memberi kabar orang tuanya bahwa ia telah sampai dengan selamat.

Suasana yang terasa sama namun berbeda menyambut kedatangan enam belas orang mahasiswa Farmasi ITB beserta tiga dosen yang mendampingi. Alfabet lurus dan kaku di papan-papan bandara seketika berganti dengan tulisan-tulisan keriting yang sering dikaitkan dengan mie goreng oleh sekelompok mahasiswa dan dosen yang menamai diri mereka sebagai the Dream Team to Chiang Mai. Perbedaan yang kerap kali membuat resah tim ini selain barisan huruf keriting adalah ketiadaan internet yang menjadikan mereka para fakir wifi. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej pun menyambut mereka dengan senyum dan wajah ramah berbalut kacamata bulat melalui foto-fotonya yang tersebar di seantero bandara, jalanan, dan bangunan.
“Thai respect their king.” Nadia bergumam, senyumnya menjadi awal aktivitas fangirling terhadap suasana dan cerita kerajaan.

Membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit bagi kelompok pelajar pertukaran ini untuk menjejak Chiang Mai dari Bandara Don Mueang Bangkok. Seorang wanita dan pria yang menangani hubungan internasional Chiang Mai University menjemput dan mempersilakan mereka untuk menaiki transpotasi unik yang disebut Red Truck, sebuah mobil losbak yang diberi atap, dinding, dan kursi duduk menyamping. Setibanya di Chiang Mai Flora Hotel, the Dream Team memasuki kamar masing-masing dan bersiap untuk mencicipi makan malam pertama di negeri yang bangsanya memuji the White Elephant.



Minggu pagi dihabiskan dengan mengunjungi Elephant Camp yang menghadirkan gajah-gajah cerdas yang pandai melukis dan bermain bola. Rombongan mahasiswa dan dosen ini pun sempat mengunjungi Orchid and Butterfly Park, tempat yang menjadi favorit Ibu Lia, salah satu dosen yang menggemari bunga Anggrek.

“Tarik Bu Lia, pegang…ayo pegang...kita harus pulang!” Bu Opi, dosen ceria nan lucu berteriak canda ke para mahasiswanya selepas selesai mengunjungi Orchid Park.
“Hahaha….” Gurih tawa terdengar dari mahasiswa yang menimpali guyonan Bu Opi. Tawa makin terdengar kencang sehabis menyantap makanan lezat khas Thailand, Tom Yum dan Pad Thai.

Rombongan kemudian beralih mengunjungi destinasi selanjutnya – Elephant Poopoo paper Park dan Kad Luang market – ditemani oleh perempuan ramah yang rela membagi waktuya bersama mereka, Poi, seorang staf humas dari Chiang Mai University.

***

“Di can che Jessica, yin dee tidai ruchak” Perkenalan demi perkenalan menggunakan Bahasa Thailand yang sebelumnya dipelajari bersama menjadi ice breaker tersendiri. Dekan Chiang Mai University tersenyum ramah, suasana formal namun cair menciptakan atmosfer ruangan yang hangat dan nyaman. Sambutan dan penjelasan singkat universitas diberikan dari kedua belah pihak, baik dari Dekan dan professor CMU maupun Pak Rahmat sebagai pihak dari ITB. Setelah sapa saling berbalas, rombongan melakukan tour ke Medicinal Plant Garden, Museum, and Herbarium CMU setelah sebelumya diadakan Guest Lecturer oleh Pak Rahmat dan Bu Lia.

“Wah selasih nih selasih…”
“Aah…Curcuma domestica..”
“Bagus ya tempat herbariumnya…”
“Ah mam, I saw a movie called Crazy Little Thing Called Love, they use this to whiten the skin” Di tengah keseriusan beberapa mahasiswa yang takjub melihat kerapihan museum herbarium, Ujang melontarkan kalimat yang membuat alis sang tour guide terangkat.
“No we don’t use it to whiten skin”
“But I saw it in the movie called Crazy Little Thing Called Love” Ujang kembali melempar argumennya, tak mau kalah. Namun yang tahu tetap yang tuannya, Ujang pun mengalah. Teman-temannya hanya tertawa melihat kelakuan ketua tim mereka.

Kegiatan selanjutnya adalah Hospital Visit. CMU memiliki rumah sakit sendiri, yaitu Chiang Mai Hospital yang letaknya tak jauh dari kampus. Berbagai presentasi disuguhkan oleh dua orang farmasis yang bekerja di rumah sakit tersebut. Mereka mempresentasikan berbagai hal khususnya pada sistem pendataan ADR (Adverse Drug Reaction) di RS tersebut. Sistem yang diberlakukan sedikit banyak membuat mulut mahasiswa farmasi ITB ini terbuka, karena negeri mereka yang belum begitu memiliki sistem yang baik terkait ADR. Namun mereka menyadari bahwa Rumah Sakit di Negara berkembang memang sedang dalam massanya berkembang, terdapat berbagai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang butuh diperbaiki atau dipertahankan. Tak dapat dipungkiri, Thailand dan Indonesia adalah dua Negara yang masih kental kesenjangan sosial di dalamnya. Tak cukup menjadikan satu rumah sakit sebagai cermin kualitas sistem kesehatan bangsa, seperti tak validnya memuji sistem pelayanan farmasi Indonesia hanya karena melihat pelayanan RS Santosa; atau mencemooh pelayanan kesehatan Indonesia karena melihat satu RS negeri yang lain sudah established. Sebagian dari mereka berandai untuk mengunjungi setiap rumah sakit yang ada; membandingkan dan menentukan sistem mana yang baik dan cocok untuk diadopsi secara massal dan menghilangkan gap tingkat kualitas pelayanan kesehatan dari Sabang sampai Merauke, yang mungkin menjadi salah satu rangkaian mimpi the Dream Team.

***

“Duh deg-degan pisan….da aku mah apa atuh…”
“Tenang, pharmacoustic bisa menutupi kehancuran tarian kita”
Wajah sembilan perempuan anggota the Dream Team gelisah. Ini kali pertama mereka menampilkan suatu tarian dengan durasi latihan yang sangat singkat. Tarian Aceh oleh perempuan yang dinamis, biasa disebut orang dengan Tari Saman padahal Tari Ratoh. Panggung itu berdiri tegak horizontal menghadap hamparan rumput hijau segar nan luas. Berbagai snack telah tersedia, mahasiswa CMU telah berkumpul ramai, siap menyaksikan penampilan tari dan lagu sebagai bentuk pengenalan budaya Indonesia. Eric dan Ujang berdiri di atas panggung menemani cuaca segar dan wajah-wajah ceria hari itu, wajah ceria yang berubah malu memerah karena tersipu dengan karisma dan ketampanan pemilik wajah Korea yang digandrungi gadis-gadis Thailand.

“Eric! They said you’re handsome!” Jessica menyampaikan bisikan tiga orang mahasiswi CMU yang kemudian salah tingkah ketika mendengar teriakan Jessica. Eric hanya memasang tampang dingin, ia kembali berceloteh bersama Ujang di atas panggung. Risni dan Erba tertawa kecil melihatnya.

“Let’s welcome, the Saman Dancer!!”

Musik dimulai, para penari dengan wajah setengah sumringah setengah gelisah memasuki pangung dengan gerakan tegas lagi menawan. Tangan-tangan mulai bergerak, telapak saling bertemu menggaungkan suara tepuk kompak dan padat. Telapak bertemu paha, kemudian telapak lagi, kemudian bahu, dan telapak lagi. Irama mencuat ke sudut-sudut lapangan, wajah yang gelisah ada yang berganti sumringah, pun adapula yang awalnya tersenyum lebar menjadi ciut tak keruan. Risni panik karena ikat kepalanya yang jatuh di tengah tarian, Ninis yang mulai kecut karena salah gerakan di awal tarian, wajah tegang Neli karena tangannya yang kadang bertabrakan tak tentu arah; semua itu bercampur dengan senyum dan dagu terangkat dari Galuh dan Alin, gerakan dinamis Nadia dan Jessica, serta senyum hangat dan ramah dari Yulia dan Erba. Sepjo merekam gerak demi gerak dalam bentuk dokumentasi tak bergerak. Jarinya lincah menekan tombol kamera detik demi detik mencoba menghasilkan jepretan candid yang sedap dilihat.

“What a move!” Ujang dan Eric kembali ke atas panggung, menyambut selesainya tarian sementara penari-penari bernafas lega karena selesai melaksanakan tugas. Setelah penampilan tari, pharmacoustic pun maju ke atas panggung. Alunan gitar Wiji memecah suasana, note demi note seolah ikut menari di atas garis-garis penyangganya. Suaru merdu Afina, Eldi, dan Ica membuat rumput ikut membuai khidmat; kalau saja Mockingjay hadir, ia mungkin tak mampu meniru keindahan alunannya. Sampai pada lagu terakhir, mereka mengajak penonton untuk berjoget bersama dalam irama dangdut. Belum sempat Afina menarik salah satu dari penonton untuk bergoyang bersama, Bu Opi bersama salah seorang dosen CMU bergerak menuju panggung, mengangkat kedua jempol dan takzim bergerak mengayun bersama penonton yang tersihir untuk ikut bergoyang.

“Hahaha you guys were great!” Percakapan demi percakapan pun terjadi setelah penampilan selesai. Tidak ada yang lebih indah ketika pelangi mencoba melengkapi warnanya, menyatukan perbedaan yang ada; begitulah yang dirasakan Bu Opi ketika melihat mahasiswanya saling bercengkerama dan tertawa memamerkan gigi-giginya. Entah sudah berapa jabat tangan yang hadir di lapangan rumput ini, hitungan permutasi dan kombinasi mungkin tak mampu meyelesaikannya. Bulan seperti enggan muncul, ia masih rela memberikan tempatnya bagi matahari untuk menyediakan terang tanpa malam menggangu. Namun matahari butuh istirahat, pun the Dream Team, mereka kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak dan bersiap menuju Night Market bersama teman baru. Bulan kini muncul dengan percaya diri, rupanya malam tak menganggu kebersamaan.

***

Kunjungan CMU Main Campus dimulai di hari ke-tiga the Dream Team menginjakkan kakinya di Thailand.

“Can ra khun!” Bu Opi dengan karakter khasnya memanggil kelompok kecil Dream Team yang didampingi olehnya. Kelompok can ra khun balas berteriak. Begitu pula dengan Bu Lia yang kemudian mengikuti gelagat Bu Opi “Suay mak mak!” kelompok suay mak mak menimpali dengan teriakan yang tak kalah heboh. Kemudian hening datang sesaat, sampai Ica menyadarkan Pak Rahmat, “Bapak, ayo teriak….”. Tawa renyah pun terdengar mengisi Bus, Pak Rahmat kemudian berteriak “Fai mai ron!” “Yeaaayy!” teriakan kelompok Fai Mai Ron pun menyelesaikan ritual pemanggilan semangat kelompok-kelompok kecil the Dream Team.

Kunjungan dimulai dengan melihat tempat ibadah para Buddha di dalam kampus. Tempat ibadah yang memberikan ruang ketenangan tersendiri bagi penganutnya. Setelah itu rombongan mengunjungi Agriculture Exhibition yang diselenggarakan oleh fakultas pertanian; berbagai tanaman, binatang hasil kawin silang, serta pupuk unik dipertunjukkan. Tujuan terakhir kunjungan adalah sebuah danau yang indah dan berhawa sejuk. Tempat dan cuaca pun kembali mendukung pertemanan baru yang lain dengan mahasiswa-mahasiswi CMU. Danau ini murni dikelilingi oleh bukit tanpa gedung-gedung kampus, di atas bukit terdapat tempat bernama Doi Suthep yang menjadi tempat favorit mahasiswa CMU di awal tahun, yaitu adanya sebuah tradisi berjalan kaki dan berlari dari gerbang depan kampus ke Doi Suthep yang memakan waktu kurang lebih 5 jam.

“Do they have to walk there? How if somebody is sick or maybe they just don’t wanna go?” Nadia bertanya kepada Paipai seputar tradisi yang mungkin di kalangan mahasiswa Indonesia dikenal sebagai masa ospek.
“They don’t have to, if they were sick its okay; but yeah all students will go, because we are friends, you know…we walk together to the top, together with friends.” Risni yang mendengar jawaban tersebut menyimpulkan senyum, ia mengamini pemikiran Paipai yang menurutnya hal tersebut budaya unik dari kebanyaan warga Asia terkait jiwa kebersamaan dan persahabatan.

Danau sepertinya masih senang memperlihatkan keindahannya pada rombongan the Dream Team, namun mereka harus segera pergi ke Doi Suthep sebelum matahari hijrah ke belahan bumi lain. Pagoda emas yang indah menyambut rombongan. Yulia dan Eric pun segera melakukan persembahan sesuai dengan agama yang dianutnya, sementara yang lain sibuk mendokumentasikan salah satu momen berharga ini. Galuh dan Risni memerhatikan ritual persembahan yang dilakukan Yulia dan Eric. Diawali dengan menyalakan dupa, menundukan kepala, kemudian Yulia dan Eric mengelilingi pagoda sebanyak 7 kali sambil berdoa.

“Ka Eric pasti senang ya ke sini, kalau aku jadi kakak pasti senang!” Risni menghampiri Bu Lia dan Eric yang sedang duduk seusai ibadah sambil menunggu sesi foto-foto selesai.

“Bukan senang sih, tapi tenang. Iya tenang, bukan yang excited gitu, tapi tenang.”
Risni manggut-manggut. Memang sudah sepantasnya suatu tempat suci memberikan ketenangan bagi penganutnya, suatu pelajaran lain yang dapat diambil hikmahnya jika melihat masa sekarang di mana orang-orang terbutakan akan kesenangan saat pergi ke tanah suci dan tak begitu memedulikan rasa tenang dekat dengan Tuhan.

Begitu puas dengan momen dokumentasi, rombongan the Dream Team menyempatkan untuk membeli souvenir dan kemudian meluncur kembali ke hotel untuk bersiap menyantap makan malam bersama teman-teman CMU. Di dalam bus, sesi foto tetap berlanjut; Eldi melihat hasil jepretan selfie Alin bersama Eldi. “Ih…warnanya berisik, meuni buricak burinong, hinyai pisan…renceum”. Jessica dan Galuh yang duduk di belakang keduanya tertawa puas mendengar istilah-istilah aneh yang diucapkan Eldi. Tawa berlanjut hingga seisi bus menyadari keunikan istilah buricak burinong yang merupakan Bahasa sunda dengan arti “warna blink-blink atau warna yang ramai”. Momen tawa tersebut menjadi cikal bakal dicetuskannya nama baru bagi the Dream Team menjadi tim Buricak Burinong.

***

Bintang menambah penerang lampu-lampu Restoran Tradisional Khantoke Ban Pi Huen Nong Lanna Cultural and Thai Nostalgic. Makanan yang disajikan, penampilan, serta kedatangan teman-teman CMU menjadikan tempat ini cozy dan homy. Lagi, tawa canda terdengar seusai makan. Suasana kemudian bertambah ramai ketika Yulia mandapati surat misterius di dalam sepatunya berisi nomor telepon dan permintaan nomor telepon Yulia dalam Bahasa Thailand.

“The guy is the old guy, o my god, look at the handwriting, pretty sure he is an old guy around 40s” Rombongan Buricak Burinong dan CMU tertawa mendengar celetukan Paipai yang kemudian diamini Alisa. Terkejut, tertawa, dan ngeri menjadi satu bagi Yulia. Candaan-candaan seram lagi menggelikan menghantui Yulia namun hal tersebut menjadikan malam semakin seru. Jarum pendek jam menunjukkan angka 21.15, kebersamaan tersebut terpaksa harus ditunda. Penundaan yang bisa jadi akan sangat lama, tidak ada yang tahu kapan palu diketuk untuk membuka kembali penundaan ini. Jabat tangan di hari pertama ketika kedua rombongan saling bertemu berganti menjadi pelukan haru. Bagi mereka yang didominasi introvert tentu masih membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk ikut merasakan pelukan erat lagi haru; namun farewell is farewell, perpisahan tetaplah sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan orang. Sedih kelak akan berganti rindu, rindu kelak akan terobati dengan pertemuan yang entah kapan akan terjadi lagi. It is not a good bye, it’s see you later.

***

Raja Thailand Bhumibol Adulyadej kembali menyambut rombongan tim Buricak Burinong di ibu kota tanah Gajah, Bangkok. Kunjungan selanjutnya adalah Fakultas Farmasi Universitas Mahidol, top rank university di Thailand. Sambil menunggu faculty tour, Sepjo menginisiasi permainan favoritnya yang kemudian menjadi permainan favorit tim ini, “permainan plesetan kata”, sebuah permainan yang lama-kelamaan ikut mengundang Bu Opi, Bu Lia, dan Pak Rahmat turut serta; sebuah permainan sederhana yang dapat mengubah busur bibir melengkung ke bawah bahkan terbuka lebar, sebuah permainan sederhana yang menjadi salah satu momen tawa bersama teman dan dosen yang mereka sayangi.

Setelah penyambutan singkat oleh humas hubungan internasional Fakultas Farmasi MU, rombongan dibawa mengelilingi laboratorium. Berbagai ruangan dan alat laboratorium ditunjukkan. Ruangan simulasi konseling, DIC (Drug Information Center), CAPQ (Center of Analysis for Product Quality), dll sedikit banyak membelalakan mata mereka, terhanyut iri dengan beberapa fasilitas yang tidak dimiliki ITB. Database tanaman herbal yang diupdate setiap hari melalui jurnal-jurnal seluruh dunia, alat-alat yang sudah ISO, ruangan-ruangan baru yang memadai, semuanya menginspirasi mereka.

***

Esok hari tiba. Hari terakhir tim Buricak Burinong mencicipi udara Thailand. Waktu yang sangat singkat dan sangat berarti bagi mereka. Hari ini dimanfaatkan dengan baik oleh mereka dengan berjalan-jalan mengitari sebagian kecil tanah Bangkok, yaitu mengunjungi Grand Palace dan shopping center. Hari demi hari selalu dilewati dengan senyuman, tawa, syukur, dan rasa bahagia dalam bentuk yang berbeda-beda. Tim dengan karakter orang-orang yang berbeda tidak melebur menjadi gradasi dengan warna baru, namun membiarkan warna tersebut apa adanya membentuk lintasan-lintasan terpadu seperti pelangi. Pelangi yang telah ada kemudian mencoba menambah warna dengan menemui orang-orang baru di negeri lain; sepertinya sinar cahaya tampak harus mau direpotkan dengan penambahan gelombang dan frekuensi baru. Pelangi pun telah menunjukkan warna tanah airnya melalui pengenalan budaya tari, lagu, dan hospitality.

Pun pelangi telah belajar banyak hal mengenai cara dunia mengajar melalui berbagai kunjungan yang didatangi; dunia mempermainkan hati dan pikiran dalam memotivasi sekaligus mengingatkan orang-orang di dalamnya untuk bersyukur. Boleh jadi ada universitas dan rumah sakit yang jauh lebih baik di negeri orang, tapi tidak sedikit di negeri sendiri yang jauh tidak lebih beruntung. Seperti pepatah yang mengatakan, Melihat ke atas untuk motivasi, melihat ke bawah untuk bersyukur. Begitulah arogansi dan pesimisme dilenyapkan dalam waktu yang bersamaan untuk menjaga homeostasis kehidupan. Tim Buricak Burinong menjadi salah satu dari banyak pemuda yang bahunya dibebani amanah negeri. Berbagi akan menjadi modal awal, bergerak akan menjadi investasi yang luar biasa. Semoga pelangi ini tak hanya muncul ketika hujan usai.

“Travel is not about the time and distance covered, but it’s about what we can gain from time and covered distance”

Terima kasih Ibu Opi, Ibu Lia, dan Pak Rahmat. Terima kasih Sekolah Farmasi ITB. Terima kasih geng Buricak Burinog. Thanks for the really short days of episodes yet very gripping! :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar