And yes, I am literally crying while writing this...
Ummiku adalah bintang di tengah gelapnya langit
Polusi ibu kota dan angin puyuh sabana tak menutup kilauan cahayanya
Ummi tetap di sana, tetap tinggi bersinar di mata aku-aku yang menatap
Ketika itu aku masih mengenakan pakaian rok pendek warna bendera
yang selalu menggantung di tiang lapangan upacara
Ummi selalu membelikanku kaus kaki panjang hingga lutut sampainya
Ummi selalu membelikanku kerudung baru berenda
dan tongkat penunjuk mengaji yang indah
Kala itu aku tak paham kenapa
Kusalami para tetua sampai setengah pangkal tangan
Ummi bilang aku tak sopan, diajarinya aku cara bersalam
Mukena aku lepaskan selesai shalat dan berdoa
Ummi mengencangkan suara doanya dan memintaku berbalas amin
Kukekanakan kembali baju ibadahku, rupanya doaku masih jauh dari sepertiganya
Kuhabiskan waktuku untuk belajar
Ummi bilang tak apa, tapi jangan lupa menyapa saudara
Ku sering melihatnya masuk kamar membawa uang hendak memintaku belanja
Urung mulutnya terbuka
Melihatku menggenggam pensil dan menatap buku matematika
Ummiku adalah bintang di tengah gelapnya langit
Polusi ibu kota dan angin puyuh sabana tak menutup kilauan cahayanya
Ummi tetap di sana, tetap tinggi bersinar di mata aku-aku yang menatap
Hingga tak terasa pakaian sekolahku berwarna seperti aspal jalanan
Mata ummi berkaca ketika tahu anaknya terbang ke negeri Paman Sam
Tahukah Ummi kalau aku menangis tujuh malam sesampainya aku di sana?
Tidak perlu Ummi tahu, karena Abi bilang Ummi menangis setiap hari memikirkanku
Ummi kirimkan tiga buah mukena bersih saat itu, aku masih ingat
Ummi kirimkan Al-Quran yang dibungkus rapi bertumpuk puluhan lembar koran, aku tentu ingat
Ummi kirimkan doa setiap saat lewat media social, tidak pernah aku lupa
Sungguh mungkin retak hatimu jika Ummi tahu rinduku tidak sebesar rindumu kala itu
Sungguh mungkin retak hatimu ketika Ummi tahu lembaran-lembaran ayat yang jarang kubaca
Ketika itu usiaku 19 tahun, kujejaki Bandung
Kota yang tak pernah hinggap di pikiranku bahkan di pikiran Ummi
Sekali lagi,
Ummi tabah melewati segala masa lukanya merindu yang dibalas pahitnya racauan diriku
Ummi tak pernah mengusap peluh dan berkeluh karena aku yang tak menurut dimintai segera pulang
Padahal jarak rumahku tak sejauh teman sekelasku
Pulangkupun hanya sebatas bertamu
Kadang meniatkan pulang, sering hanya lupa tertinggal barang
Tabunganmu sepertinya berpindah buku begitu saja
Ke tanganku
Mimpiku yang terkadang berlebihan
Memaksamu mengorbankan segalanya
Tenaga, waktu, uang…
Gulana
Demi anakmu yang senang
Ummi rela menahan pedihnya rindu ketika seribu kata pesanmu
Hanya kubalas satu kata pesanku
Maafkan anakmu yang tak pandai berkata-kata
Maafkan anakmu yang tak pintar merangkai bunga
Percayalah,
Aku selalu meminta Tuhan
Untuk membalas segala apa yang telah Ummi lakukan
Mother's Day, 22 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar