Sabtu, 17 Mei 2014

Living a Life Too Simply?


Gea diam tak bergeming. Pandangan matanya lurus ke depan, pikirannya merayapi saraf-saraf di lobus otaknya. Matanya basah namun tak ada air yang mengalir, menangis tak terlihat walaupun kelenjar lakrimalnya sedang bekerja. Hatinya sudah berbulan-bulan tak tenang. Pikirannya tak kunjung selesai melancong mencari hal yang bisa membuat ia mengerti masalahnya. Ia tak bergerak.

“Gea, we should increase the dosage, shouldn’t we?” Yang diajak bicara diam.
“The patient drives me crazy, you’re not gonna believe this, his serotonin may drop until its limit! Gotta search for another potent antidepressant, what’d you think?”
“Gea, excuse me?” Gea masih diam.
“Well, you know what, I guess this prescription is so suitable for you, I’ll give you the one more expensive if you want to, might be more convenient.” Gerard melambai-lambaikan secarik kertas resep di depan mata Gea, Gea mengerjapkan matanya tersadar.
“Hey pretty girl, would you, please?” Gerard memberi isyarat dengan gerakan tangannya, membujuk sopan Gea untuk kembali bekerja.
“Meet me up after work if you needed a friend to talk to.” Sesungging senyum tulus terlihat dari bibir Gerard, Gea membalas senyum hambar.

Gerard adalah partner terbaik bagi siapapun. Seorang farmasis pekerja keras, telaten, perhatian, dan profesional. Gerard tahu bahwa masalah pribadi tidak sebaiknya di bawa ke meja kerja, namun ia mengetahui dengan pasti bahwa ia harus menjadi pendengar yang baik bagi partner kerjanya yang dilanda masalah.. Sedangkan Gea, gadis ini menjalani hidup yang standar. Terlalu cerdas tidak, bodoh pun tidak. Punya kelebihan yang banyak tidak, kekurangan bermakna pun tidak. Cantik tidak, jelek pun tidak. Dia hanya gadis biasa yang kebetulan punya berbagai kesempatan.

Gea berjalan tertatih menuju ruang konseling, ia melewati lorong penuh dengan figura bertuliskan Pharmacist of the Month. Wajah Gerard jelas terpampang di barisan figura tersebut. Dinding ruangan konseling itu berwarna hijau pekat, lebih pekat dari zat pewarna Green FCF. Seorang pasien duduk di kursi menanti farmasisnya dengan sabar, ia tersenyum dan menyapa ramah sang farmasis. Gea melakukan kegiatan rutinnya, memberikan informasi obat kepada pasien. Pasien itu penderita depresi berat, Gea merekomendasikan suatu terapi penenang namun sang pasien menampik.

“Often my depression is healed just by doing or seeing anything I like. I was so unstable before I came in to this room, but when I opened the room’s door and I saw this green wall, which is my favorite color, I feel so calm and happy. Or when I talk to my grandkids, God, it’s a whole lifetime healer!” Gea tersenyum. Ia mengangguk lantas melanjutkan konseling tanpa menyinggung terapi yang ia rekomendasikan sebelumnya. Selesai memberikan konseling, Gea kembali diam, kali ini di meja kerjanya. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang ia dapat setelah memberikan konseling? Apakah dia senang? Tidak. Itu semua hanya formalitas, tuntutan pekerjaan. Senyumnya, gaya bahasa, dan gerak-geriknya hanyalah SOP yang diberikan atasan. Gea tidak pernah tahu kenapa ia harus mengikuti SOP tersebut. Mungkin ia memiliki penyakit kelainan neurotransmitter yang membuahkan respon seperti itu.

***

“Ahh gue bingung banget…jurusan apa ya? Gue suka konseling tapi bukannya di Indonesia farmasis ga kasih konseling ke pasien? Gue kerja di mana dong?”
“Yah rezeki sudah diatur Tuhan, Farma. Lagipula, Tuhan mana rela ga kasih kerja buat kamu wong nama kamu saja sudah mengindikasikan kalau kamu cinta Farmasi haha.” Farma nyengir. Mahasiswi tingkat satu dengan gaya khas anak metropolitan ini masih saja belum menentukan pilihan jurusannya, ingin fokus pharmaceutical care atau industrial oriented.
“Eh, Gea! Lu 100 persen banget sama pilihan lu? Sesuai sama tujuan lu di masa depan? Sudah kaji efek sampingnya? Gue dengar hati lo sendiri kontraindikasi tuh sama farmasi.” Farma beralih kepada Gea, menanyakan perihal pilihan jurusannya.
“Heh, gue tahu nama lo kefarmasi-farmasian, tapi gausah sok-sok farmasis gitu, maksa tau!”
“Haha ya maaf, serius nih gue nanya!”
“Iya, sudah pasti. Gue selalu menjalani sesuatu tanpa rasa kok, bingung tidak, bahagia tidak, jalanin aja mau apapun jurusannya, ini juga hasil tang-ting-tung milihnya. Gue hidup kaya air aja deh, ga usah tuh buat-buat tujuan hahaha”
“Hati-hati Gea, menjalani sesuatu tanpa motivasi bisa-bisa ke depannya lo menyesal, setidaknya pilih jurusan yang mendekati rasa bahagia lo di masa depan. Belajar hanya formalitas karena lo mahasiswa, tapi lo tidak merasakannya? Memang kebahagiaan tidak akan semudah mendapatkan suatu titel, tapi kebahagian lah yang membuat seseorang merasakan makna hidup.” Farma pun menutup percakapan itu sambil lalu.

Sangat terasa percakapan itu. Bahagia ya, Gea tidak pernah menemukannya sampai saat ini. Apa yang ia lakukan murni karena ia sudah terlanjur basah. Ditempatkan di SMA Farmasi, Sekolah Farmasi Universitas Negeri Bandung, lantas banyak rumah sakit luar negeri kenalan orang tuanya merekrut Gea bekerja. Gea memang tidak pernah punya tujuan. Dia tidak pernah protes jika orang tua menyuruhnya melakukan ini dan itu termasuk memilihkan sekolah dan pekerjaan. Bukan karena orang tuanya yang keras kepala, memang Gea yang tidak pernah merangkai mimpi untuk dirinya sendiri. Orang lain lah yang merangkai mimpi namun Gea yang mendapatkannya. Jika orang lain mendesain mimpinya secara sadar, Gea melakukannya di bawah alam sadar seperti benar-benar sedang tidur. Dia tidak membutuhkan usaha yang bermakna ketika ia mendapatkan sesuatu. Dikala orang lain terihat membutuhkan setumpuk morfin untuk berhenti panik, Gea bahkan tak membutuhkan aspirin.

“Mungkin Tuhan menciptakan Gea karena Ia lelah dengan semua makhlukNya yang tamak terhadap penawaran dunia. Tuhan lelah dengan manusia-manusia yang sibuk menempelkan mimpinya di dinding kamar lantas lupa akan kewajiban yang Tuhan mandatkan. Tuhan lelah dengan semua dunia penuh kompetisi dan kecurangan ini. Mahasiswa lulusan Universitas Negeri Bandung yang berbondong-bondong berebut mencari pekerjaan, mengusungkan dada pada saat recruitment interview, berani menawarkan harga tinggi tidak tahu diri. Oh, dan teman-teman kamu itu, sibuk mencari beasiswa luar negeri untuk mendapatkan harga hidup bukan untuk memperbaiki dirinya yang sebenarnya serba kekurangan.”

Gea tersenyum pahit mendengar ucapan sepupu kesayangannya itu. Lelah terhadap manusia yang bermimpi sampai lupa satu kewajiban yang Tuhan mandatkan? Memang Gea ingat? Kerja di luar negeri untuk memperbaiki diri? Memang Gea begitu? Gea memilih untuk diam. Ia membuka buku-buku Farmasi yang selalu menemaninya selama lima tahun terakhir. Bulan depan Gea wisuda apoteker.

“Jadi, kamu sudah pasti ke Amerika di Rumah Sakit kenalan Papa Mama? Rumah Sakit mana yang beruntung mendapatkan tang-ting-tung kamu?” sepupu Gea bertanya menelisik.
“Kali ini Mama yang pilih kok, Rumah Sakit di daerah Ohio.”

***

“Gea! Gile luuuu! Lanjut ke Amerika yaa!” Farma memeluk erat sahabatnya itu. Yang dipeluk hanya tersenyum.
“Keren lu! Gue sudah usaha mati-matian belajar tiap malam sampai pagi, ikut organisasi ini-itu biar CV oke, buat network kemana-mana, tapi kerjaan sekarang masih aja belum nyamperin. Elu, belajar standar, organisasi standar, apa-apa standar tapi sukses duluan! Haha, no offense friend!” Farma gamblang mengutarakan kekecewaannya yang tidak dapat kerjaan.
“Haha ya mana gue tahu, gue ga pernah mimpi buat lanjut ke Amerika, kebetulan aja ada kenalan Mama” Gea sangat menyadari hal itu, selama ini apa yang dia dapatkan karena kebetulan.

Farma nyengir. Ia tahu Tuhan sudah menarik garis takdir ke destinasi akhir masing-masing. Terkadang Tuhan menggambar garis yang berkelok-kelok, terkadang Tuhan hanya membuat garis lurus sampai destinasi akhir. Setiap orang punya jalan suksesnya masing-masing. Yang penting gue bangga dan bahagia dengan usaha yang gue lakukan, ujar Farma dalam hati.

***

Kantin rumah sakit sepi, siapa yang akan ke mari di tengah malam begini.

“I don’t believe in his famous extraordinary quote –well at least it’s what people say- I mean, come on, how do I live my astonishing life? It’s all pure luck! I did not do anything, an inch of walking toward effort? Never! I don’t prepare, I just flow….like water.”

Gea membanting tubuhnya ke atas kursi menghadap Gerard seraya meletakkan sebuah buku kasar dan mengomel setengah berteriak. Sekuriti rumah sakit menengok, Gea hanya tersenyum minta maaf.
“Since when you read Roman Literature?”
“Just trying to drain times until it’s dried.”
“Luck is what happens when preparation meets opportunity, quotes attributed to Roman philosopher Seneca, reminds us that we make our own luck.” Gerard mengucapkan potongan kalimat yang ditunjuk Gea.
“Luck isn’t made. It’s just her, a Fortune Goddess created it” Gea berkata datar, tidak bermaksud memercayai kehadiran Dewi Fortuna, hanya ucapan refleks semata. Gerard menatapnya penuh perhatian, pancaran mata Gea seolah diterima retina Gerard sebagai sinyal cahaya yang diterjemahkan ke dalam bahasa hati.
“You are not happy, are you? You feel everything is flat. You had never through even a single hard time.”
“You’re blessed Gerard. What is it when you read someone’s palm? Palmistry? I would name what you do as an Eyeistry.” Gea mencoba bercanda di kala ia menahan helaan nafas berat yang sejak tadi protes ingin keluar. Apa yang dikatakan Gerard benar, Gea tidak bahagia dan menganggap hidupnya selalu datar.
“So why flat?” Gerard menanggapinya dengan senyuman namun berusaha mengarahkan arah pembicaraan ke suasana serius.
“I have got everything Gerard. Everything. Good work, cool car, loyal friends, awesome parents, stunning boyfriend, but somehow they color my life in black and white. I wasn’t sad, I was okay with them, but now it seems not okay. I’m just….I’m not happy. People is that easy to be happy just by seeing their favorite color, really?”
“Don’t you want a better work? A bigger salary? A… cooler car? A… more cute boyfriend, like me?” Gerard tersenyum menggoda, Gea tau itu hanya guyonan Gerard.
“I don’t know, think I have enough yet I’m not happy.”

Gerard berdiri dan meraih tangan Gea menjauh dari kantin dan keluar rumah sakit. Mereka berjalan cukup jauh sampai di pertengahan kota yang sepi karena waktu telah menunjukkan pukul 00.40.

“Look. Have you ever talked to them?” Gerard menunjuk pada sekumpulan tuna wisma. Gea bingung. Untuk apa dia berbicara dengan mereka?
“You’re not happy because you never try to appreciate what you have done. That’s first. Praise yourself, Gea. Luck is indeed an effort meeting opportunity. Rarely appreciating? Because you don’t dream. You’ve been living your life too simply. Look at them! Those homeless people may flow like water as well, what makes it different, God gives you more and lots opportunities, even too many, as a space for doing effort. Second, you’re too fast to feel enough. God is tired of people being lazy yet God is tired too of people being too ambitious. He created you to warn those kinds of people. Warn them! Get that adrenaline into your every blood vessel. Go talk to the homeless, beggar, handicapped kids, as well as your ambitious colleagues who never feel enough. You will know why people could be that unlucky and at the same time you will know why people just can’t get enough. Be grateful, then go out and talk to anybody! Soon you will create your own life motivation what so called a dream.”

Gea terdiam.

“The poor might teach you how to feel enough, the never-enough-people might teach you how to feel not enough. You will be that grateful ambitious girl who chases your dream and dream to make people’s dream come true at the same time. By the time you achieve the dreams, you’ll be the happiest girl in the world.”

Kebahagian lah yang membuat seseorang merasakan makna hidup




Tidak ada komentar:

Posting Komentar