Mahasiswa farmasi adalah kader profesi kesehatan yang kelak akan menempati posisinya masing-masing –yang diharapkan- mencapai cita-cita masa depan sesuai dengan ilmu yang didapatnya. Dalam hal ini, perwujudan cita-cita tersebut secara real dapat berupa apoteker di industri, di rumah sakit, BPOM, sarjana farmasi di apotek, teknisi dan asisten apoteker, dll. Namun, peran serta apoteker dalam dunia kesehatan seyogyanya tidak terbatas pada ranah sains saja melainkan turut turun tangan dalam kebijakan kesehatan dan pengabdian masyarakat –saya tidak tahu sebutannya apa, mari kita sebut ‘sosial-kefarmasian’-. Sosial-kefarmasian ini diyakini penulis dapat mencapai tujuan taraf kesehatan Indonesia yang baik dan merata di segala bidang dan tempat.
Sangat disayangkan ketika kepedulian mahasiswa kini terfokus pada aspek sains saja. Siapa yang akan mengangkat isu farmasi di DPR nanti? Siapa yang akan memperbaiki sistem pendidikan farmasi? Siapa yang akan mensosialisasikan program farmasi kepada masyarakat kelas bawah? Siapa yang akan menjamin kesejahteraan apoteker kelak? Siapa yang bisa mengubah angka 20% apoteker yang ada di apotek menjadi 100%? Siapa yang akan memperjuangkan keterlibatan apoteker dalam sistem kesehatan yang baru? Siapa yang bisa memperjuangkan Undang-undang kefarmasian sesuai dengan ilmu farmasi dan kebutuhan masyarakat? Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan ilmu farmakokinetika? Anatomi fisiologi manusia? Farmasi Fisika? Silakan jawab sendiri.
Beban akademik kemudian berdiri di depan barisan membelakangi kepedulian. Potensi sosial-kefarmasian yang dimiliki mahasiswa kesehatan kemudian tanpa sadar terkubur oleh rasa acuh tak acuh itu. Potensi berpikir kritis terkalahkan oleh seorang yang lebih tau banyak fakta namun tak sarat analisis; potensi ide kreatif dan inovatif termakan oleh seorang yang kebetulan punya jejaring namun miskin gagasan; padahal jika saja kita mau peduli dan meluangkan waktu, potensi itu akan tergali dalam.
Lantas muncul passion yang bersisian dengan beban akademik di depan barisan. Passion dijadikan tameng penolakan sosial-kefarmasian padahal ketika ditanya balik passion kamu apa, masih geleng-geleng kepala. Tahukan kita akan seni ‘mencoba’ dan ‘menggali potensi yang terkubur’ dalam menemukan passion?
Pun kemalasan. Ia bisa jadi tameng paling kuat yang menahan rasa peduli. Bentuk tameng itu sebenarnya banyak, tameng yang hanya mengubur potensi semakin dalam, bahkan Hedonisme dan perkembangan teknologi smartphones masuk list tameng di mata saya yang akhirnya menumbuhkan kemalasan -.- (silakan berpikir apa hubungannya).
Kalau semua memakai alasan akademik, passion, dan kemalasan, lantas siapa yang peduli?
Inikah sebab kenapa derajat kesehatan Indonesia meningkat lamban?
Inikah sebab kenapa kesejahteraan apoteker Indonesia terpusat pada pemilik industri?
Mudah-mudahan tulisan ini hanya asumsi :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apoteker saat ini sedang diragukan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa?
1.Sebagian apoteker di apotek hanya mengkapitalisasikan ijasah (baca:menggadaikan)
2.Sebagian apoteker di apotek melakukan praktek kefarmasian secara paruh waktu, bahkan seperseribu paruh waktu (hanya 20% apoteker yang stand by di apotek)
3.Apoteker di apotek lebih terlibat pada kegiatan “profesi dagang” yakni jual beli obat ketimbang praktek kefarmasian
4.Apa sebenarnya tugas apoteker di RS dalam penyampaian informasi obat? Masih belum jelas
5.Masyarakat masih bingung apa sebenarnya fungsi apoteker yang sebenarnya
Sumber: handout seminar kefarmasian, UII Juni 2014
Jadi, ketika kita meminta untuk dilibatkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, jangan heran dengan pernyataan “Memang apoteker ada di masyarakat?”
Mari kita tengok definisi berikut:
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pharmacist DOES counseling but we don’t look like doing it.
Muncullah Uji Kompetensi skala nasional yang saya dengar soal-soalnya akan lebih condong pada pharmaceutical care. Kemudian mahasiswa farmasi yang berada di peminatan industri lantas complain, kalau begitu UKN kita pasti kecil dong nilainya? Apakah ini salah satu usaha untuk mengoptimalkan peran apoteker di bidang klinik? Kalau memang iya, saya merasa metode ini tidak sesuai.
Gagasan pelaksanan UKN sebenarnya bagus, nanti saya akan cerita di lain tulisan.
Intinya, ini hanya sebagian contoh permasalahan kefarmasian. Masih banyak lagi terkait dengan industri farmasi yang kongkalikong, kurikulum pendidikan farmasi yang tidak merata, permasalahan UU kefarmasian, regulasi untuk APA, obat palsu, dll.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah keterlibatan mahasiswa akan memengaruhi isu-isu ini?
Saya teringat teman saya yang sekarang menjabat sebagai Sekjen ISMAFARSI, dia pernah melakukan audiensi dengan menteri kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, mengenai keterlibatan apoteker pada JKN. Apa kata beliau? “Urusan itu biarlah kami, pemerintah yang mengurus, kalian mahasiswa tugasnya belajar, mempersiapkan diri menjadi apoteker yang baik (dengan perubahan redaksi)”
Teringat selayang pertanyaan yang saya ajukan pada mantan ketua BEM UI, Faldo Maldini, “Seberapa besar mahasiswa didengar pemerintah?” walaupun saya kurang puas dengan jawaban yang terlontar dari beliau, namun saya dapat poin yang disampaikan soal ‘proses berusaha’.
Jikalau kita sebagai mahasiswa merasa pemerintah menutup telinga, ingatlah bahwa mahasiswa tak kerja sendiri, apalagi kasusnya dalam profesi kesehatan. IAI, APTFI, IYPG, HPEQ adalah wadah kita untuk memberikan aspirasi terkait dengan dunia kefarmasian dan/atau kesehatan. IAI telah banyak melakukan advokasi ke KEMENKES dan beberapanya diapprove. Jangan pernah merasa miskin kesempatan dalam berusaha.
Seorang mahasiswa keperawatan yang berkali-kali mendesak pemerintah lewat DIKTI, MTKI, dll terkait Uji Kompetensi yang terlambat pun merupakan usaha yang patut diapresiasi. Terlepas dari didengar atau tidaknya, Uji Kompetensi keperawatan pun pada akhirnya dilaksanakan. Mungkin masih ada lagi usaha-usaha advokasi yang dilakukan mahasiswa untuk memperjuangakan kebijakan kesehatan.
Proses berusaha jelas membangun kepribadian kita sebagai mahasiswa serta mempersiapkan diri kita dalam menghadapi dunia keprofesian kelak. “Best result comes from best preparation”. Jika kita mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang, menumpuk pengalaman dan pengetahuan, hasilnya insyaAllah akan luar biasa. Indonesia butuh kader-kader tenaga kefarmasian yang berkualitas dengan ide cemerlang dalam mengatur regulasi kesehatan, menciptakan sistem kesehatan yang tepat guna, merancang kurikulum farmasi, menegaskan peran apoteker sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Siapakah kader-kader itu?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar