Mei berjalan cepat. Baginya waktu adalah lawan, lawan yang selalu siap menghunuskan pedangnya ketika setumpuk pekerjaan dikejar deadline. Sedikit saja Mei telat, ia akan menyesal dan mengeluh sepanjang waktu seperti seorang pelancong yang ditinggal kereta. Setapak jalan di Amsterdam jadi saksi bisu sepanjang karir Mei; seperti jalan tersebut yang tak kenal lelah diinjak heels tajamnya, Mei pun tak pernah lelah bekerja pagi, siang, dan malam demi mendapat puncak karir yang ia idam-idamkan sejak masih duduk di bangku sekolah. Tangga karir yang tidak mudah ia jejaki, satu per satu anak tangga ia lewati, tidak sedikit tajamnya duri menghambat ambisi perempuan penyuka warna biru ini. Perempuan berusia 27 tahun yang sangat telaten dan tekun mengejar cita-cita. Tak heran jika ia lantas menuai padi berisi ketika panennya tiba dan terbang secepat roket ketika hitungan mundur bergema, melesat dengan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang sudah lebih dahulu berada di perusahaan yang sama. Mei disekolahkan di playgroup hingga universitas yang menjanjikan. Fasilitas tersebut ia gunakan dengan sangat baik, tak ada secuilpun waktu ia habiskan percuma. Buku-buku ekonomi dan manajemen di rumahnya berbaris rapi membentuk tumpukan setinggi langit-langit. Tiada waktu tanpa menyentuh buku-buku itu, tiada batasan waktu baginya merancang strategi perusahaan idaman sampai mau tidak mau ibunya menyuruh Mei tidur.
Mei dipromosikan menjadi General Manager. Sangatlah muda bagi Mei menduduki posisi ini untuk perusahaan parlente yang namanya bak jutaan jerami menumpuk jarum. Perusahaan yang sudah kebal dengan segala strategi marketing perusahaan lain yang berani menusuk dari belakang.
“Mei, istirahatlah. Kantung matamu sudah kaya agar-agar basi itu…” Alida, teman Mei yang sama-sama berasal dari Indonesia menghampiri Mei yang sedang menari-narikan jemarinya di atas keyboard komputer, menyuruh Mei beristirahat seraya meledeknya bercanda. Mei mendengus kesal, kembali meletakkan tangannya ke badan mouse dan mulai menggerak-gerakaan kursor tanpa memedulikan Alida. Alida hanya bisa menaikkan alisnya bingung.
Terdengar panggilan. Mei mendongak, menarik nafas panjang dan berusaha mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri. Alida melihat temannya berjalan sempoyongan menuju ruangan si bos, ia hanya mampu berdecak dan menggelengkan kepala.
***
Tiga tahun silam Belinda menginjak usia 5 tahun.
Indonesia sedang tersanjung. Negeri ini dipuji karena memiliki seorang pahlawan yang membela hak kaum wanita. Wanita ini berhasil mengizinkan pikiran para wanita untuk mendarat tepat pada hak mereka, yaitu mengenyam pendidikan seperti pria di zamannya. Setiap tahunnya, berita-berita di televisi menampilkan sosok wanita ini dengan karya terkenalnya, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
Belinda mengerjap-ngerjapkan mata, retinanya menangkap cahaya dan tulisan pada televisi di depannya, syaraf matanya mengantar tulisan tersebut untuk diterjemahkan di bagian otak yang bertugas. Mata bening itu tak berhenti melihat televisi. Sekejap pikirannya melayang pada Ibunda yang melahirkannya.
“Ayah, kata nenek, Bunda itu perempuan cerdas, apa karena itu Bunda tidak mau ikut menengok nenek ke sini? Karena Bunda tidak sanggup hidup dengan nenek lagi?” Pria itu menurunkan koran yang dibacanya, mengalihkan pandangan ke layar televisi lantas menangkap maksud dari buah hatinya. Pria itu tersenyum miris dan berusaha mencari penjelasan kalimat di televisi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 5 tahun.
“Bunda memang cerdas, Inda. Nenek moyang itu bukan nenek Inda, tapi orang yang hidup di zaman dahulu, makanya perempuan cerdas seperti Bunda pasti tidak mau hidup di waktu dahulu, kan dulu tidak sekeren dan semaju sekarang. Bunda tidak bisa menengok nenek karena Bunda sedang sibuk, sayang.” Kata terakhirnya keluar begitu saja, realita yang memang terjadi terucap dari mulut seorang suami yang lelah menasehati istrinya. Ia bingung, takut akan pertanyaan macam-macam dari Belinda yang mungkin saja sulit ia jawab. Namun Belinda yang akrab disapa Inda hanya bisa termangu diam, entah mengerti atau tidak ucapan Ayahnya. Yang pasti semenjak itu, Belinda memutuskan untuk menyukai Ibu Kartini, baginya ia seperti Bunda yang kata nenek, Bunda adalah wanita paling cerdas yang pernah ada di dunia, Bunda yang selalu tertidur di tumpukan buku-buku, Bunda yang tidak pernah berhenti bermimpi meraih cita-citanya. Kata nenek, Bunda sedang sibuk membuat banyak hadiah untuk Inda dengan segala kecerdasan yang Bunda miliki. Mata beningnya kembali ke layar televisi, kali ini mata Ayahnya ikut menyoroti tayangan tentang Ibu Kartini itu.
Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenernya kejam.
Berbagai kutipan karya Kartini diperdengarkan kepada penyimak. Ayah si kecil itu menarik nafas panjang, telinganya lamat-lamat dibisikkan kembali oleh pertengkaran dengan istrinya.
“Mas, ini sudah zamannya emansipasi wanita toh mas…aku sebagai perempuan punya hak untuk mengejar mimpi aku menjadi pemimpin perusahaan, tak ada salahnya perempuan bekerja banting tulang.”
“Mas ga pernah larang kamu untuk kejar mimpi kamu, mas hanya minta kamu untuk santai sedikit saja, jangan lembur tiap malam…waktu tidak akan protes jika kamu bersantai sedikit. Ia akan sabar menunggu kamu menuju mimpi yang kamu idam-idamkan. Inda butuh kamu, sayang.” Mei selalu kembali berputar pada argumen yang sama. Menurutnya perempuan punya hak besar menentukan pilihannya sendiri dalam berkarir, tentunya di zaman di mana emansipasi wanita dielu-elukan. Mei selalu percaya bahwa wanita dengan karir hebat adalah wanita terhormat yang telah berani menantang kerasnya zaman.
***
Keluar dari ruangan bosnya, timbul teriakan tercekat di tenggorokan Mei. Kesenangan menggerogotinya sampai udara di dalam paru-parunya enggan keluar. Alida yang melihat gerak-gerik rekannya bertanya menelisik, yang ditanya hanya menyodorkan surat, surat keputusan resmi promosi posisi General Manager.
“Hm, habis ini ke tangga paling atas ya?” Alida menyebut istilah direktur utama kesukaan Mei tanpa senyum sedikit pun. Alida tahu persis keadaan suami Mei yang terus-menerus memintanya mengurangi jam kerja, tahu pula situasi si kecil Belinda yang ‘dibohongi’ neneknya bahwa Mei sedang sibuk membuat hadiah untuk Belinda. Alida memasang wajah prihatin pada Mei. Mei mendengus sinis, memilih untuk tidak menjawab dan kembali ke meja kerjanya. Sebelum sempat ia duduk, telepon berdering, dari suaminya. Suaminya menelepon dari Indonesia tempat Mei dibesarkan. Mei mengangkat telepon malas, ia sudah bisa mengira akhir dari pembicaraan di telepon ini pasti berujung pada pertengkaran, Mei pun urung memberi kabar gembira yang mungkin kabar buruk bagi suaminya.
“Mei, apa kabar?”
“Baik, mas.”
“Kamu ingat kan besok hari apa?”
“Mm eh? Kamis?”
“Hari ulang tahun Inda, Mei. Bisakah kamu memesan tiket sekarang dan menyempatkan untuk ke Indonesia? Lagipula nenek sedang sakit, dia menanyakan kamu terus”
“Aduh mas, aku sibuk. Bilang sama Inda aku akan kirim hadiah ulang tahun untuknya. Tentu aku ingat ulang tahun Inda.” Mei tahu dirinya berbohong.
Percakapan itu terus berjalan. Suami Mei tak bosan-bosan membujuk Mei untuk datang ke Indonesia; ritual suami dan anaknya untuk berkunjung ke rumah nenek setiap kali Belinda berulang tahun. Dan benar saja, kedua suami-istri itu mulai beradu pendapat. Alhasil ketika mulai memainkan nada tinggi, Mei memutus telepon, terlalu lelah untuk berdebat.
Bayangan itu telah ada di pikiran Mei, perasaan yang tertimbun jauh di benaknya sekarang muncul malu-malu ke permukaan. Tinggal sedikit lagi ia mengangkat kakinya, menuju tangga karir teratas. Kebijakan perusahaan sebentar lagi akan dipegangnya. Tak cukup bulatan awan sebesar meja kerjanya untuk merancang satu demi satu strategi implementasi kebijakan di kepala cerdasnya. Ia tidak akan berhenti bekerja, ia akan lebih sibuk dari sebelumnya.
Dua puluh satu April 2014. Hari ini Inda menginjak usia 8 tahun.
Mei meraih mug birunya. Ia tertegun lama. Bertahun-tahun ia berlari mengejar mimpinya, terasa bahwa jantung yang membantunya berlari mulai protes, rangka tubuhnya yang selalu menopangnya ketika berlari mulai berteriak, hati yang mengiringi perasaannya ketika sampai pada checkpoint arena mulai gelisah, mereka semua bertanya, buat apa kami bantu Anda berlari? Pikirannya kosong, Mei tidak tahu mengapa ia melakukan ini semua selain karena ia menginginkan kehormatan dan harga diri. Matanya tertuju pada pintu kamar Belinda. Ia melangkah pelan, membuka pintu sambil haru,
“Dear Ibu Kartini, Inda dengar dari Ayah kalo Ibu adalah contoh bagi semua perempuan. Ibu mengizinkan semua perempuan termasuk Bunda untuk bersekolah dan bekerja, tapi Inda tahu, Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda untuk jauh dari Inda, Inda tahu Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda, tidak lagi bersama menengok nenek di Indonesia, tidak mengizinkan Bunda tidak lagi memasak untuk Inda atau bercerita apapun untuk Inda. Inda sayang Bunda. Inda juga sayang Ibu Kartini, Inda minta kado ulang tahun dari Ibu, Inda mau Ibu Kartini muncul di mimpi Bunda dan beritahu Bunda kalau Ibu Kartini ingin Bunda tidak bekerja lama sampai lupa sama Inda ☹”
Hati Mei kini sebiru warna mugnya. Air matanya menetes perlahan, menyisakan tinta-tinta yang berdifusi meleber di atas kertas. Kertas yang ia temukan di balik bantal Belinda. Pemilik bantal itu terpisah ribuan kilometer darinya namun Belinda seolah tahu hati Bunda. Belinda enggan beranjak dari tempat tidur neneknya menuju pesta ulang tahun, menangis tersedu, ia menyesali Bunda yang tidak pernah hadir dalam ulang tahunnya. Namun di hati kecil anak mungil itu, entah mengapa terselip rasa bahagia. Belinda tersenyum, hari itu ia yakin Bunda sudah selesai membungkus hadiah-hadiah yang nenek bilang.
Mei meratapi dirinya di depan kaca, business attire yang ia gunakan membuat ia terlihat elegan, elok, dan berwibawa. Hatinya meracau. Dahulu Kartini tidak butuh pakaian ini untuk terlihat elegan, dahulu Kartini tidak perlu tertatih menaiki tangga karir untuk terlihat elok, pancaran itu telah ada pada dirinya yang cerdas secara batiniah. Niat tulus untuk menegakkan hak kaum wanita dan tekad kuat untuk mengizinkan wanita mengecap pendidikan adalah sumber pancaran segala wibawanya. Apalah artinya teori Maslow jika seseorang mengejar kebutuhan self esteem tanpa benar-benar berhasil melewati kebutuhan tujuan dan cintanya. Ambisi yang telah membutakannya melalui proses berkarir yang tak pernah ia tahu apa maknanya sehingga cinta untuk seorang anak lenyap begitu saja. Benar kata Freud dalam teori psikologinya, semua yang Mei lakukan adalah kendali alam bawah sadar. Kendali yang muncul dan bertransformasi menjadi ambisi luar biasa yang mengalahkan cinta tulus seorang Ibu, berbeda dengan Kartini yang mampu berdamai dengan ambisi.
***
Jalan setapak di Amsterdam itu tidak pernah lelah dan sakit dijejaki oleh Mei, tidak peduli seberapa tajam heels yang Mei gunakan. Mei menggenggam erat surat di tangannya. Ia melangkah pelan, sorot matanya redup, dilihatnya plang jalan berwarna hijau di tikungan jalan setapak. Sudah lama ia menyadari nama jalan itu, nama yang diambil dari seorang warga Negara Indonesia yang membangun sekolah wanita dibantu oleh Belanda. Namun tak pernah sedetikpun ia berpikir maksud seseorang tersebut dalam memperjuangkan hak kaum wanita. Hak seorang wanita untuk berkarir namun tidak lepas dari kewajibannya sebagai seorang Ibu. Jalan ini memang menjadi saksi bisu Mei akan seseorang yang kecewa terhadap satu wanita yang salah kaprah. Seseorang yang terlampau sedih akan wanita yang sewenang-wenang menyalahartikan hak pendidikan dan hak kebebasan. Mei membuka surat promosi yang tidak ia tandatangani, menatapnya penuh arti lantas mantap melangkah menuju kantor perusahaan tempat ia bekerja, meninggalkan jalan setapak yang setiap hari ia lewati, jalan setapak yang kini dan nanti akan selalu menjadi saksi bisu perjalanan karirnya, jalan dengan plang hijau bertuliskan “Kartinistraat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar