Banyak orang yang bilang pergi ke luar negeri itu nagih. Ibarat narkotika, orang yang udah sering going abroad, bakal mengalami yang namanya withdrawal symptom kalo sebulan aja ga pergi *oke ini lebay. What actually make people wanna go abroad again and again? Karena adanya pembelajaran tentang budaya-budaya baik yang tidak ada di tanah air? Segala manajemen SDM, organisasi, lingkungan bersih, sistem yang established, tata kota yang rapih, dsb menjadi bahan yang patut kita observasi terus-menerus, menjadi panutan, kebanggaan, yang kelak ingin kita aplikasikan juga di tanah air. Semua itu terjadi karena tanah air kita yang belum semaju Negara lain. Yah logikanya memang kita selalu berkaca pada yang lebih baik untuk dijadikan contoh. Atau ada alasan lain kenapa nagih?
Zaman di mana media sosial jadi ajang riya’ yang terjustifikasi (wk), jangan-jangan poin utama dari pergi ke luar negeri, even untuk melakukan kegiatan akademik, adalah mendapatkan foto jalan-jalan yang instagramable wkwk. Namun memang sejatinya, niat jalan-jalan sulit untuk dihilangkan, apapun tujuan utama kita going abroad. I will always remember my European friend back in 2011 (who was also an exchange student) said about exchange students being literally tourists, and she was disappointed while she was really hoping that they share some good learning stories instead of posting pictures every second on facebook (dulu facebook masih super hits). Well, I saw it though, apalagi buat saya yang anak daerah super pilon yang saat itu baru pertama kalinya menginjakkan kaki ke luar negeri, jeprat jepret sana-sini, mulai dari lapangan Bandar udara, segala macam plang petunjuk jalan, hingga gedung apapun yang terlihat unik. The urge to take lots of picture is somehow because they look new to us, we don’t have them in our mother country, we gotta save them in a picture! They look cool! Period. There is also this unique pride whenever you upload the pictures, like saying “o yeah, I’m abroad.” You know what I mean.
So, is the behavior ‘justifiable’?
Sebelum menjawabnya dengan opini saya, saya mau memulai dengan cerita. Saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman saya pergi ke Pharmacy World Congress di Portugal, semoga ada hikmah yang bisa dipetik #tsah. Saat itu saya memutuskan untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh himpunan farmasi di kampus saya. Saya sangat tertarik dengan kegiatan ini cause I realize going abroad will open your eyes and mind in some ways that you would like. Saya tahu, sangat tahu, bahwa pergi ke kongres tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit (it’s not a scholarship or fully funded activity) meanwhile keadaan ekonomi keluarga saya ya…biasa-biasa aja. Tapi saya mendapatkan informasi bahwa memang setiap tahun ada mahasiswa yang berangkat ke kongres dan mereka dapat sponsor. Saya juga dengar teman-teman kakak saya yang sering dibiayai exchange oleh wali kota X, bupati Y, gubernur Z, atau kampusnya yang super pro dengan kegiatan exchange sehingga uang untuk pergi ke luar negeri tidak menjadi hambatan berarti (yang ternyata saya salah dapat informasi, dan ada yang benar tapi saya salah menginterpretasikan informasi ini). Karena informasi itu akhirnya saya berani daftar dengan asumsi “yeaah I will get a lot of sponsors”, nyatanya, jedeng, susah payah jatuh bangun, mungkin kalo diitung-itung dengan bikin proposal dan kaos syalala, gada sepertiga itu uang sponsor dan bantuan dikti+kampus ngecover keberangkatan (plus extend sih) -.- iya, saya salah kaprah, karena pada kenyataannya setiap tahun delegasi harus mengeluarkan uang sendiri (uang orang tua); karena mencari dana tidak semudah menuang analit ke dalam kuvet. Sedikit sekali perusahaan yang mau mendanai kegiatan semacam ini kecuali kamu punya link kuat di perusahaan itu. [Note. Pernah seseorang menyarankan saya untuk mengajukan proposal ke pejabat. But its not that easy too. Karena pada kenyataannya, maaf tanpa ada maksud menyinggung siapapun, mencari dana semacam ini atau beasiswa dengan keadaan ekonomi menengah itu sulit. Kebanyakan beasiswa (kecuali beasiswa murni prestasi) dan para pejabat yang bersedia membiayai pada akhirnya lebih mudah digaet oleh masyarakat dengan ekonomi ke bawah hehe. Meanwhile masyarakat ekonomi atas bisa dengan mudah ambil uang dari saku sendiri lantas yang menengah bingung sendiri karena seacara penghasilan ortu tidak masuk kriteria butuh bantuan tapi untuk afford hal-hal tertentu pun ga nyampe wkkwkwk. But anyway, be grateful on what we have yes:)]
Waktu itu visa sudah beres ketika saya masih pusing gimana caranya mendapatkan uang untuk berangkat. Sampai detik-detik terakhir harus beli tiket karena khawatir harga naik, orang tua saya menawarkan untuk menggunakan uangnya, to buy ticket. I, optimistically, said to mom “I’ll get the sponsors, mom, and your money will be back”. Until the D day, my mom’s money never comes back :( lol. I was about to cancel the departure but it was pretty much dilemma, because I had (well, mom and dad had) already paid the registration fee, the visa, proposals, and the ticket that cost much. You know that typical empathic parents when their kids are attempting things and almost failed, what would they do? They didn’t want to make their kids sad and disappointed. So yes, eventually, my parent allowed me to use their money, for the main event of congress and, surprisingly, for the holiday extend days…..man, I feel bad, even until now.
To the fact that I was trying to be a good kid, lol, wanted myself to save money during the trip, I wished to bring some money back to mom and dad. So here’s the story how it went….
For the 5 (or was it 6?) days of Congress, everything had been covered by the registration fee in advance so I didn’t need to think of how to split and saved money (for those who are curious about the congress, I posted some workshop notes in my blog, you can take a look, I guess it was about counseling and pharmacist role). But the challenge came to day 6 when I and other 3 ITB delegates were planning a short vacation. Dikala delegasi dari kampus lain akan keliling eropa dengan pesawat, my ITB friend knew that some of the ITB delegates wanted to save money. Di sini saya terharu sejujurnya wkwk. Saya merasakan sebuah persaudaraan yang luar biasa ketika rasa saling mengerti benar-benar ada di antara kita #tsah. Beginilah seharusnya itu terjadi, sebuah keterbukaan satu sama lain akan keinginan dan keterbatasan masing-masing. Tanpa sadar mungkin kita tidak peka dengan teman kita, seperti contoh kecil (intermezzo dikit) mau ngajak makan setelah UAS, terus dengan semena-mena kita pilih tempat makan mahal padahal ada teman kita yang gabisa afford itu atau memang lagi pingin nabung untuk kebutuhan sesuatu. Kadang karena merasa tidak enak, teman kita menyetujui begitu saja….please guys, don’t do it. Keterbukaan itu penting, dari hal kecil sekalipun *ngomong sama diri sendiri juga*. Good friends will accept you not because you always follow what they want, right. Remember, our money is not ours, our parents work hard for that.
Oh iya, singkat cerita, setelah didiskusikan, kami, all are girls, memutuskan untuk extend ke sekitar Portugal dan Spanyol saja. Dengan berbagai perhitungan syalala, akhirnya kita (dengan bimbingan super kece ketua delegasi yang sangat berpengalaman) menentukan spot-spot yang akan dikunjungi, mencari bus perjalanan malam untuk menghemat agar tidak menyewa kamar, kemudian membeli sarapan roti yang dibagi-bagi dengan lauk abon bawaan dari rumah seorang teman kami wkwk it was really good!
The other touched moment is that when we Muslim had to pray. Our non-muslim friends didn’t mind at all to have their muslim friends became an interesting ‘sightseeing’ of train passengers because we prayed next to railway or exit gate. Ini jujur pengalaman menarik juga bagi saya, belum pernah sebelumnya saya shalat random di tempat umum di mana orang-orang bisa dengan mudahnya melihat, bahkan saya sempat khawatir disangka akan melakukan hal berbahaya wkwk. Yah, walaupun pada kenyataannya setiap kali shalat di tempat improper itu rasanya diri ini rindu dengan kemudahan negeri sendiri akan akses mushola dan masjid.
The other unforgettable moment adalah ketika dompet teman kami hampir dicopet di metro. Seorang anak usia sekitar 15 tahun membuka resleting tas teman kami ketika kami masuk metro sampai teman saya menyadari tasnya terbuka. Drama itu dimulai dari sini, kami hampir saja terpisah dengan teman kami yang mulai mengejar sang pencopet karena pintu metro yang tertutup, kami pun membuka paksa. Untungnya salah satu teman kami tahu siapa pencopetnya sehingga bisa langung ditangkap dan digledah. I cried, yeah I did. Haha. Sulit untuk menggambarkan detail suasananya, tapi saat itu saya benar-benar takut sampai menangis :’) Bahkan teman saya yang memaksa menggledah pencopet itu pun menangis karena dia tidak menyangka berani melabrak sang pencopet dengan risiko ia membawa senjata tajam. I’m proud of you Le, you looked so damn cool! Wkwk. Karena kejadian ini, kami yang hendak berjalan-jalan di Barcelona, menyadari kami butuh menenangkan diri. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di hotel. But the hotels were all booked and we were desperate until our friends from UGM told us their hotel still had rooms. We went to the hotel… and we got lost. We walked all the way upppp to (I don’t remember which direction)… we were sooooo exhausted hingga menemukan hotelnya seperti menemukan oasis di tengah padang pasir. Ini di luar rencana, kami terpaksa mengeluarkan uang di luar dugaan untuk hotel ini.
Saya sejujurnya tidak begitu ingat kronologi perjalanan kami haha. Jadi ya ini ceritanya potong-potong. Kejadian mengenaskan (lol) lainnya adalah saat saya menyadari bahwa saya harus beli koper baru. Koper saya rusak!! Bahkan rusaknya right after tiba di Porto, di tempat acara congress. Udara yang luar biasa panas membuat roda koper saya saling menempel sehingga tidak bisa berputar. Alhasil saya menyeret (literally menyeret!!!) koper super berat itu ke tempat acara berjalan 30 menit dan kembali lagi melakukan itu untuk waktu yang lebih panjang saat berangkat ke Lisbon sebelum ke Spain. I couldn’t stand on it, my hands were getting too stiff, shaking, I felt like I was about to pass out but I was trying to hide it because I didn’t want to bother my friends; so I told my mom and she told me to buy suitcase. Sorry mom :’ Ketika masalah perkoperan selesai, sepatu saya rusak…. Dan saya pun beli sepatu. Dua hal di luar dugaan. I felt so …suck. Kenapa pula saya tidak belajar dari pengalaman dulu soal kualitas koper, padahal sebelumnya koper saya juga rusak karena tidak kuat menahan beban -.- wkwk.
Cerita lainnya adalah pengalaman-pengalaman menarik, seperti kunjungan kami ke Museum Peradaban Muslim di Spanyol, mungkin ini akan saya ceritakan terpisah nanti ya (semoga masih ingat pas liat foto2nya :” ), kemudian kami sering berfoto di gedung-gedung ala-ala Eropa, makan makanan khas daerah di Porto dan Spanyol, belanja oleh-oleh, dan 17an di KBRI! So other thing that we did to save money is asking KBRI if they had some kind of free room stay for Indonesians, and thank God we met this nice beautiful lady that allow us to stay in her apartment. We put our baggage there so we didn’t need to bring the baggage during our trip to Spain. After the trip, it was exactly August 17th so the nice lady took us to celebrate Independence Day in KBRI Lisbon, what a nice experience!
Oke begitulah sedikit ceritanya,
Jadi, di sini saya tidak berbicara Farah Quinn atau Dian Pelangi, atau seleb siapapun yang mungkin dengan mudah beli tiket dan pergi ke luar negeri setiap bulan. Saya juga tidak berbicara tentang anak pejabat atau anak orang kaya yang tak perlu berpikir dua kali untuk jalan-jalan ke luar negeri. Haha. Saya bicara dalam konteks mahasiswa yang going abroad for academic purpose. Sejak kuliah saya merasakan bahwa pergi konferensi dan exchange ke luar negeri ngehits banget, apalagi di jurusan saya yang punya organisasi nasional dan internasionalnya cukup established, tiap tahun ada banyaaaaaakkk kesempatan ke luar negeri. Yang saya soroti kemudian adalah, untuk lolos seleksi ke acara seperti itu ga begitu sulit, seriously, like you don’t need any specific skill or have to be very competent or you gotta have a really great paper to submit, no you don’t. Kuota lah yang akhirnya membuat orang ga lolos, padahal secara kompetensi mungkin peserta yang mendaftar ga jauh beda, not that competitive. Selain kuota, ini highlight saya. Uang. Banyak teman saya yang punya skill oke banget dan worth it untuk merasakan pengalaman going abroad tapi memilih untuk tidak mendaftar karena tidak ada uang. Mereka tau, setiap tahun, di jurusan saya, mereka mengeluarkan uang sendiri untuk berangkat, we barely got sponsors kecuali untuk beberapa kampus yang memang mengalokasikan dana exchange yang luar biasa banyak. Karena hal ini pun, kadang saya skeptis sama delegasi, termasuk skeptis sama diri sendiri haha.
Suatu hari ada seorang pengurus organisasi farmasi asia pasifik yang datang ke Indonesia, he said “Every year, more than half of delegates are from Indonesians (yah orang Indonesia selalu kelewat excited kali ya sampai selalu mendominasi peserta event-red), don’t you guys feel like want to give something to your country after being back home? Please do something, you got a lot of resources. Fix your country.” Saat saya dengar itu, seolah saya merecall waktu saya jadi delegasi kongres, did I bring something back for my country? Teman saya pernah bilang “orang-orang yang ikut acara internasionalnya bukan aktivis sih, jd yaudah, jadi delegasi cuma buat jalan-jalan aja, yang berangkat yang punya modal. Pulang-pulang cuma kasih oleh-oleh.” Please, im not trying to blame anyone. Karena sejatinya perkataan itu tidak bisa dibuktikan begitu saja, ya memangnya negeri ini ga maju-maju karena mahasiswanya yang gabisa belajar dari pengalaman?? Eh, bisa jadi.
Having an experience of going abroad is fantastic, mainly if it’s done for academic purpose. You got a lot of things you can learn from. Knowledge and network, and the bonus is you got a chance to sightseeing, extend some days like what I did. Is that a wrong thing to do? No, I would say that is not. Apa yang kita bisa bawa pulang ketika kembali bukan semata kemudian melakukan pengabdian masyarakat ramai-ramai, membuat komunitas sendiri, atau melakukan suatu hal yang terlihat di depan public, that you give something for your country (well this is also very good, melihat bahwa saya tidak pernah melihat hal semacam ini dilakukan oleh para delegasi secara bersama-sama). At least, we invent something within us. Value. Nilai-nilai baik yang terus kita ingat dari acara inti konferensi hingga jalan-jalannya. Kalau teman-teman baca tadi cerita liburan saya di Spanyol, apakah ke semuanya itu adalah hal buang-buang waktu dan uang saja yang tidak ada nilainya sama sekali? Well, it does have value. Value yang saya harap akan saya gunakan untuk mencapai life goals saya yang muaranya tentu untuk kebaikan agama dan negeri ini. Apapun itu cara yang bisa kita lakukan, cara yang tidak mesti terlihat. Hehe. (padahal orangnya teh lagi galau nge-re-plan hidup)
So guys lets recall what we have got during all this year. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dedek-dedek ayo explore sebelum kelak akan ada orang lain yang membatasi ruang gerak kita (if you know what I mean) *berasa tua ya jen*. Sahabat-sahabat farmasiku tercinta #tsah, lets plan something great to thank this country by utilizing the value we’ve got. The other form of thanking our parents as well that had paid a lot of money so our dreams of going abroad come true. We do need the going-abroad experience to make our CV somewhat looks good or to make us happy, but it’s more like because we need to upgrade the value we believe in from variety point of views. Value that we use for making a better world with any way, sebebas kita merencanakan sesuatu, kalau mengutip kata seorang teman, “having fun while making the world a better place” haha.
Semangat (Ris)!
Rabu, 21 Desember 2016
Rabu, 14 September 2016
Delicate Balancing~
Warna putih gading yang akhirnya dipilih menjadi simbol keberadaan apoteker, warna yang dipilih setelah melalui perdebatan cukup panjang di forum organisasi profesi….
Ah ka, do you know how it feels staring at all of you with that unique white color as if covering my eyes? Do you know how it feels mentioning your name one by one, calling out those beautiful names, asking you to come forward to greet the dean? Do you know how it feels to mention every great student who got an appreciation, highest GPA and highest test score? Rasanya….hambar. biasa saja. Yah, ada sedikit bangga. Haha. Itu satu tahun yang lalu. Saat saya berdiri menjadi MC sumpah apoteker di kampus tercinta.
Ka, rasanya berbeda sekarang. Ini kali ke dua saya berkesempatan datang melihat khidmatnya prosesi sumpah apoteker, walau tidak secara utuh. Saya melihat wajah orang tua kakak. Weren’t they proud? Wasn’t that the face of a mom who couldn’t stop smiling? Wasn’t that the proud of a dad who got more blossom like a flower never running out of water? Hehe. Manusia kadang terlambat menghayati sesuatu ya.
Ka, sekarang rasanya bagaimana jadi apoteker? Takutkah kakak dengan realita yang menanti kakak di depan? Hehe
Saya disuapi banyak hal ideal ketika duduk di bangku kuliah (eh sekarang masih kuliah juga deng). Saya diperkenalkan dengan tugas ideal seorang apoteker, moral value ideal yang seharusnya dimiliki seorang apoteker. Tapi saya juga mendengar cerita-cerita realita di lapangan bahkan sempat secara langsung merasakannya di pengalaman magang. Duh ka, dosen saya bilang, pekerjaan kita itu rawan, we have a job related to drugs for health and prosperity of a society. Obat kemudian menjadi media utama kita dalam mencari penghidupan. But then we remember the moral value we should hold on. Ah man, it’s a delicate balancing, indeed, a very delicate one between profit…and social. I might call it as well a fragile balancing.
Keseimbangan yang rapuh.
Apoteker dituntut untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui obat, di satu sisi tentu kita (yah sy belum apoteker, tp gpp ya bilang ‘kita’ aja biar doa wkwk) butuh uang untuk hidup. Saya ingat kala itu di tahun 2012 ada seorang kakak yang bilang “Risni, kamu yakin mau masuk farmasi? Kakak pernah lihat hasil survey penghasilan lulusan ITB, lulusan farmasi termasuk yang gajinya paling kecil”. Saya cuma pasang muka pilon. Karena dulu saya belum terpapar dengan kejamnya dunia orang dewasa #naon, saya pun masa bodo haha. Yah mungkin kakak tersebut salah membandingkan gaji apoteker dengan gaji anak teknik. Salah. Itu salah. Ahaha.
Waktu itu saya sedang magang di salah satu rumah sakit swasta yang oke punya, yang sistem farmasi klinisnya saya bangga-banggakan. Namun ada yang sangat mengganjal di hati. Turnover apotekernya sangat tinggi. Saya pun memberanikan bertanya pada seorang apoteker senior di sana, “Kenapa bu? Kenapa banyak yang ga betah?” sang ibu menjawab “Namanya juga anak muda, masih berani loncat2 cari yang gajinya lebih besar. Da ibu mah udah tua, gaji segini yang penting bisa makan juga Alhamdulillah.” Itu rumah sakit swasta yang oke punya. Iya, swasta yang oke punya.
Lain waktu, seorang dosen pemilik apotek dengan senyum lebarnya memperlihatkan BEP (Break Even Point) hasil usaha apoteknya yang membanggakan, laba yang menggiurkan. Wah pokoknya kalau anda mahasiswa farmasi klinis yang habis dijejali selama 4 tahun tentang realita gaji apoteker klinis yang kecil, lihat slide dosen itu anda bisa-bisa langsung telepon mama minta dimodalin bikin apotek wkwk.
Wah jadi buat apotek prospektif banget ya?
Ada pertanyaan. Kalau kamu lagi butuh uang, sangat urgen, sedangkan usaha apotek kamu belum establish, terus ada bapak-bapak beli komix 3 box atau beli antibiotic 50 strip tanpa resep dokter, kamu bakal kasi ga?
Yah apoteker pasti tahu ada sesuatu ga beres yang akan dilakukan oleh bapak-bapak ini terkait penyalahgunaan obat. Kalau alasannya tidak jelas pastilah apoteker yang berintegritas tidak akan memberikannya. Patient safety is number one? Geez, that pharmacist just did a good thing for society.
This is what I am talking about, as my lecturer says, a delicate balancing between social and profit. Too fragile. Anak farmasi merasa kuliahnya berat, tak pantas dihargai dengan rupiah yang tak seberapa. Lantas itu dirasa suatu pengorbanan luar biasa yang harus dibayar cepat dengan menggadaikan integritas? Berat amat jen ngomonginnya integritas
I was about to give you another example…tapi ga jadi deh. Sepertinya satu contoh di atas sudah mewakili arti dari delicate balancing yang saya maksud.
Frankly speaking, I don’t know for real. Saya masih anak bawang yang cuma dengar-dengar cerita dari orang. But every job may bear moral consequences, with a different form of consequence. Kayak, kasarnya, dokter yang berharap meningkatkan kesehatan masyarakat tapi kalau gada orang sakit dapat duit dari mana, terus masa harus berdoa supaya banyak yang sakit wkwk
Bicara konsekuensi, tapi memang, idealnya kita mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita lalui. Mungkin ITB masih jadi favoritnya orang-orang karena kehidupan menjanjikannya seorang lulusan teknik atau FK masih jadi incaran semua kalangan karena katanya penghasilannya berdigit-digit. Tapi suami dosen saya yang lulusan tambang harus rela meninggalkan istri dalam waktu lama karena kerjaan jauh di luar pulau, cerita ayah teman saya seorang dokter yang harus rela “melarat” bersama keluarga karena lamanya pendidikan dokter. Look, they pay ‘money’ to get real money.
Anak farmasi yang katanya tadi susah belajar dan susah kerjanya…kok gajinya dikit? Hmm. We feel that we are worth something big after all the sacrifices. O yeah of course, I do hope govt appreciate pharmacist more. But then we might forget what actually we work for…….do we work solely for money? Do we live for things that we crave for without considering the social value? Memang tidak pernah ada istilah socialpreneur untuk seorang apoteker. But you want it or not, every health professional might have the soul of it haha now how we’re going to make it balance is truly depend on ourselves.
I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Pertanyaan itu terus lewat di pikiran saya saat melihat para kakak dengan jas putih gadingnya. Akankah putih gading itu kelak luntur karena kondisi yang memaksa? Akankah putih gading itu ternodai dengan dosa-dosa yang seolah tak terasa? Mungkin orang tua kita tersenyum melihat ‘betapa suksesnya’ sang anak, but how long the smile exists under a very delicate balancing?
Ah alangkah indahnya jika kita bisa saling mengingatkan satu sama lain untuk urusan ini.
I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Now I am asking you.
Ah ka, do you know how it feels staring at all of you with that unique white color as if covering my eyes? Do you know how it feels mentioning your name one by one, calling out those beautiful names, asking you to come forward to greet the dean? Do you know how it feels to mention every great student who got an appreciation, highest GPA and highest test score? Rasanya….hambar. biasa saja. Yah, ada sedikit bangga. Haha. Itu satu tahun yang lalu. Saat saya berdiri menjadi MC sumpah apoteker di kampus tercinta.
Ka, rasanya berbeda sekarang. Ini kali ke dua saya berkesempatan datang melihat khidmatnya prosesi sumpah apoteker, walau tidak secara utuh. Saya melihat wajah orang tua kakak. Weren’t they proud? Wasn’t that the face of a mom who couldn’t stop smiling? Wasn’t that the proud of a dad who got more blossom like a flower never running out of water? Hehe. Manusia kadang terlambat menghayati sesuatu ya.
Ka, sekarang rasanya bagaimana jadi apoteker? Takutkah kakak dengan realita yang menanti kakak di depan? Hehe
Saya disuapi banyak hal ideal ketika duduk di bangku kuliah (eh sekarang masih kuliah juga deng). Saya diperkenalkan dengan tugas ideal seorang apoteker, moral value ideal yang seharusnya dimiliki seorang apoteker. Tapi saya juga mendengar cerita-cerita realita di lapangan bahkan sempat secara langsung merasakannya di pengalaman magang. Duh ka, dosen saya bilang, pekerjaan kita itu rawan, we have a job related to drugs for health and prosperity of a society. Obat kemudian menjadi media utama kita dalam mencari penghidupan. But then we remember the moral value we should hold on. Ah man, it’s a delicate balancing, indeed, a very delicate one between profit…and social. I might call it as well a fragile balancing.
Keseimbangan yang rapuh.
Apoteker dituntut untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui obat, di satu sisi tentu kita (yah sy belum apoteker, tp gpp ya bilang ‘kita’ aja biar doa wkwk) butuh uang untuk hidup. Saya ingat kala itu di tahun 2012 ada seorang kakak yang bilang “Risni, kamu yakin mau masuk farmasi? Kakak pernah lihat hasil survey penghasilan lulusan ITB, lulusan farmasi termasuk yang gajinya paling kecil”. Saya cuma pasang muka pilon. Karena dulu saya belum terpapar dengan kejamnya dunia orang dewasa #naon, saya pun masa bodo haha. Yah mungkin kakak tersebut salah membandingkan gaji apoteker dengan gaji anak teknik. Salah. Itu salah. Ahaha.
Waktu itu saya sedang magang di salah satu rumah sakit swasta yang oke punya, yang sistem farmasi klinisnya saya bangga-banggakan. Namun ada yang sangat mengganjal di hati. Turnover apotekernya sangat tinggi. Saya pun memberanikan bertanya pada seorang apoteker senior di sana, “Kenapa bu? Kenapa banyak yang ga betah?” sang ibu menjawab “Namanya juga anak muda, masih berani loncat2 cari yang gajinya lebih besar. Da ibu mah udah tua, gaji segini yang penting bisa makan juga Alhamdulillah.” Itu rumah sakit swasta yang oke punya. Iya, swasta yang oke punya.
Lain waktu, seorang dosen pemilik apotek dengan senyum lebarnya memperlihatkan BEP (Break Even Point) hasil usaha apoteknya yang membanggakan, laba yang menggiurkan. Wah pokoknya kalau anda mahasiswa farmasi klinis yang habis dijejali selama 4 tahun tentang realita gaji apoteker klinis yang kecil, lihat slide dosen itu anda bisa-bisa langsung telepon mama minta dimodalin bikin apotek wkwk.
Wah jadi buat apotek prospektif banget ya?
Ada pertanyaan. Kalau kamu lagi butuh uang, sangat urgen, sedangkan usaha apotek kamu belum establish, terus ada bapak-bapak beli komix 3 box atau beli antibiotic 50 strip tanpa resep dokter, kamu bakal kasi ga?
Yah apoteker pasti tahu ada sesuatu ga beres yang akan dilakukan oleh bapak-bapak ini terkait penyalahgunaan obat. Kalau alasannya tidak jelas pastilah apoteker yang berintegritas tidak akan memberikannya. Patient safety is number one? Geez, that pharmacist just did a good thing for society.
This is what I am talking about, as my lecturer says, a delicate balancing between social and profit. Too fragile. Anak farmasi merasa kuliahnya berat, tak pantas dihargai dengan rupiah yang tak seberapa. Lantas itu dirasa suatu pengorbanan luar biasa yang harus dibayar cepat dengan menggadaikan integritas? Berat amat jen ngomonginnya integritas
I was about to give you another example…tapi ga jadi deh. Sepertinya satu contoh di atas sudah mewakili arti dari delicate balancing yang saya maksud.
Frankly speaking, I don’t know for real. Saya masih anak bawang yang cuma dengar-dengar cerita dari orang. But every job may bear moral consequences, with a different form of consequence. Kayak, kasarnya, dokter yang berharap meningkatkan kesehatan masyarakat tapi kalau gada orang sakit dapat duit dari mana, terus masa harus berdoa supaya banyak yang sakit wkwk
Bicara konsekuensi, tapi memang, idealnya kita mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita lalui. Mungkin ITB masih jadi favoritnya orang-orang karena kehidupan menjanjikannya seorang lulusan teknik atau FK masih jadi incaran semua kalangan karena katanya penghasilannya berdigit-digit. Tapi suami dosen saya yang lulusan tambang harus rela meninggalkan istri dalam waktu lama karena kerjaan jauh di luar pulau, cerita ayah teman saya seorang dokter yang harus rela “melarat” bersama keluarga karena lamanya pendidikan dokter. Look, they pay ‘money’ to get real money.
Anak farmasi yang katanya tadi susah belajar dan susah kerjanya…kok gajinya dikit? Hmm. We feel that we are worth something big after all the sacrifices. O yeah of course, I do hope govt appreciate pharmacist more. But then we might forget what actually we work for…….do we work solely for money? Do we live for things that we crave for without considering the social value? Memang tidak pernah ada istilah socialpreneur untuk seorang apoteker. But you want it or not, every health professional might have the soul of it haha now how we’re going to make it balance is truly depend on ourselves.
I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Pertanyaan itu terus lewat di pikiran saya saat melihat para kakak dengan jas putih gadingnya. Akankah putih gading itu kelak luntur karena kondisi yang memaksa? Akankah putih gading itu ternodai dengan dosa-dosa yang seolah tak terasa? Mungkin orang tua kita tersenyum melihat ‘betapa suksesnya’ sang anak, but how long the smile exists under a very delicate balancing?
Ah alangkah indahnya jika kita bisa saling mengingatkan satu sama lain untuk urusan ini.
I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Now I am asking you.
Sabtu, 13 Agustus 2016
Sampai Jumpa Ismafarsi!
Ternyata rasa benci yang katanya ‘benar-benar cinta’ itu terjadi pada saya. Rasa benci akan organisasi ini tumbuh menjadi rasa cinta yang begitu abstrak. Abstrak karena sampai saat ini saya tidak dapat mendeskripsikan rasanya.
Berawal dari rasa tidak suka akan satu kegiatannya, ternyata orang seperti saya yang cenderung tidak suka tantangan ini bisa juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi kala itu. Rasa penasaran kenapa kegiatan itu tidak membuat saya puas. Kegiatan ke-2 yang saya ikuti cukup membuat mata saya berbinar, entah karena kegiatannya yang memang luar biasa atau ekspektasi saya yang terlalu rendah setelah melewati ketidakpuasan. Singkat cerita, dari kegiatan ke-2, rasa puas itu masih bercampur dengan rasa tidak suka, bahkan benci. Benci karena merasa buang-buang waktu mendengarkan persidangan yang sarat perdebatan jumlah menit untuk ke toilet atau adu kusir hal-hal yang tak subtansial, benci karena melihat orang-orang yang telat masuk forum, benci karena melihat arogansi warna warni almamater, benci karena teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang membuat tarikan nafas panjang, benci karena orang-orangnya yang ramai di ruang persidangan namun sepi ketika turun ke lapangan. Benci karena di sini tempat saya mengenal apa itu kepentingan.
Jangan salah. Alasan keterlibatan saya menjadi pengurus tidak seutuhnya karena ingin memperbaiki keadaan, ingin memajukan organisasi, atau hal mulia lainnya melihat betapa tidak nyamannya saya saat itu akan organisasi ini. Ada hal-hal manusiawi yang turut menggandeng alasan normatif itu, alasan yang menurut saya pada akhirnya menjadi latar belakang kejenuhan, kemalasan, dan pesimistis seseorang dalam prosesnya. Karena bagaimanapun, alasan awal saya terlibat adalah karena ‘bujukan’ seorang teman. Saya teringat pesan whatsapp dari seorang teman kala itu, pesan yang membuat saya marah sampai akhirnya saya memutuskan untuk terlibat di kepengurusan ini. Haha well im laughing at myself now, how shallow I was. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat saya tidak pernah menyesal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut dirinya ‘kabinet Luar Biasa’. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari organisasi ini, dari anggotanya, dan dari tiap individu pengurusnya.
Empat event nasional
Kabinet ini bisa jadi mulai dari nol. Proses satu-nol-satu-nol sepertinya menjadi ritual tiap periodisasi kepengurusan. Periode 2 tahun yang membuat kabinet sebelumnya telah menjadi 1, kemudian kabinet selanjutnya terpaksa harus memulai dari nol karena periode 2 tahun menyulitkan proses regenerasi dan bimbingan. How are you gonna guarantee your little sisters to continue your struggle while you know they have to graduate on time? How are you gonna trust your little brother to finish what you start while you know they still need lots of time to learn? Semoga 1-0-1-0 ini hanya asumsi, karena jika benar terjadi, organisasi ini benar-benar jalan di tempat.
Kebingungan periodisasi ini pula yang telah menjadi bahasan rutin di persidangan. Kurang lebih tiga periode membahas apakah organisasi ini perlu mengganti periode 2 tahunnya menjadi 1 tahun, bahasan yang penuh adu akal dan okol bukan hanya di meja persidangan namun juga menjadi konsumsi kajian adik-adik selanjutnya di lembaga eksekutif mahasiswa (LEM). Berbagai alasan dikemukakan mulai dari pendapat subjektif hingga yang berlandaskan pada perbandingan dengan ormawa kesehatan lain, pro dan kontra mencuat dengan tak jarang suara-suara bernada tinggi terlibat didalamnya. Sampai akhirnya saat kabinet Luar Biasa hendak berdiri, suatu perjanjian dicetuskan untuk memberhentikan pembahasan ini dengan keputusan akhir tetap 2 tahun. Tiga periode pembahasan ini pada akhirnya membuahkan suatu kesepakatan yang ‘terkesan sia-sia’ hehehe.
Rapat Kerja Nasional 2015. Hari ini hari di mana saya teringat ketika mendownload arahan sekjen terpilih, arahan yang berlembar-lembar itu mampu membuat pundak saya turun ke bawah disertai dengan helaan nafas tegas disertai dengan makian… “Anjaayy, lo kira 2 tahun ini gue bakal ngadain proker segini banyak? Lo kira hidup gue cuma buat ismafarsi?!” haha. Saya pribadi hanya mampu merumuskan sedikit proker dari puluhan konsep yang ditawarkan oleh sekjen ‘kurang kerjaan’ ini.
Proker ditetapkan dan saat itulah kabinet Luar Biasa mulai bekerja secara legal.
PIMFI 2015. Sebuah event keilmiahan nasional yang menjadi program kerja divisi saya. Saya kira saya telah belajar banyak dari seorang kakak, saya kira saya sudah cukup siap berperan sesuai tupoksi, mengarahkan dan mengembangkan orang lain, dsb. Ternyata tidak. Saya tidak cukup jeli dalam membaca keadaan, mungkin. Banyak komplain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada panitia, namun memang banyak hal yang harus dievaluasi di sini. Kesalahan terbesar berasal dari diri ini, dan sungguh saya banyak belajar. Apapun dinamika yang ada saat itu, semoga kebermanfaatannya tetap terasa bagi semua pihak :”)Dan tentunya apresiasi terbesar saya dkk kepada panitia yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengadakan acara ini :)
Latihan Kepemimpinan 3 (IPLF) Nasional dan Pramunas 2016. Satu event nasional yang dahulu membuat saya tertarik akan organisasi ini. Rasa cinta dan benci yang bercampur. Namun kala itu saya tidak hadir karena harus menemani orang tua yang sakit. Cukuplah senyum saya terkirim untuk kawan di sana yang mengabarkan bahwa perubahan AD/ART akan dilakukan tiap 3 periode, sebuah keputusan yang berisiko bagi saya, namun saya kira itu menjadi keputusan terbaik melihat forum perubahan AD/ART selalu membuat diri ini gemas untuk melempar meja (canda deng). Di event nasional ini, proses kaderisasi bagi kader yang akan melanjutkan perjuangan kami mulai terasa lebih intensif. Bytheway, jika mengingat LK3 dahulu di zaman saya, hal yang membuat saya tertarik dengan organisasi ini salah satunya karena peserta LK3 yang buat mata saya melotot. Ternyata anak farmasi yang biasa saya lihat berteman dengan benda mati di lab bisa juga berbicara soal realita sosial :p
Munas 2016. Event nasional terakhir. Laporan pertanggungjawaban ditunggu oleh anggota. Tebak apa yang terjadi? 11 Lembaga Eksekutif Mahasiswa menolak laporan pertanggungjawaban Sekjen Kabinet Luar Biasa karena kami yang melanggar konstitusi, yaitu banyak dari kami yang telah lulus S1 sebelum LPJ. Now what do you say? Lets not discuss about it haha
Di Munas pula, hati kami meracau. Panik, cemas, dan menyesal bercampur melihat pemilihan Sekjen baru dan Badan Pengawas. Walau akhirnya kami hanya patut untuk tersenyum dan bersyukur. Biarlah racauan itu jadi bahan kontemplasi tentang kesalahan-kesalahan yang dulu kami perbuat.
Kami yang Katanya ‘Luar Biasa’
Dua tahun. Keputusan munas 2014 untuk tetap menjadikan kepengurusan ini 2 tahun sepertinya memberikan peluang dinamika untuk bermain lebih kreatif. Mahasiswa farmasi yang dikenal tak peka politik sepertinya belajar berpolitik lewat organisasi menyebalkan ini. Saya selalu merasa tak nyaman kalau sudah bicara strategi, berspekulasi mengenai kepentingan-kepentingan golongan, atau semacamnya. Saya selalu menundukkan kepala dan kadang mengeluh berkepanjangan kalau konflik sudah terlihat di depan mata. I sometime feel torturing over this phlegmatic-introvert trait I have lol. Then I learn to like what I dislike. Fake it till you make it.
Kabinet ini diajarkan pula untuk beraudiensi akan isu-isu kefarmasian dan kesehatan. Sempat beberapa kali saya dan kawan-kawan mendatangi stakeholder untuk membicarakan suatu isu dan meminta tuntutan, beberapa kali pula saya (mungkin kami) dibingungkan dengan siapa yang benar siapa yang salah, beberapa kali pula kami diterima dan ditolak, beberapa kali pula saya merasa sekedar belajar berbicara dan mendengarkan daripada melakukan aksi nyata…..duh. Tapi saya percaya, beberapa orang kawan benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan, termasuk pemimpin kabinet ini yang harus rela dibenci karena mengambil tindakan yang tidak disukai orang. Toh, katanya pemimpin yang baik adalah mereka yang mengambil keputusan yang tepat, bukan keputusan yang orang suka. Pada akhirnya, sebaik apapun pemimpin, akan memiliki musuh dalam perjalanan hidupnya. Mungkin kami belajar untuk melawan retorika dengan retorika, kami belajar bersilat lidah tanpa kehilangan bijak, yang pasti kami belajar berlapang dada saat kami kalah dan tidak disukai orang.
Kabinet ini pun mengajarkan kami untuk berkarya. Pemimpin kami yang disegani ini ternyata tahu apa yang ia lakukan; dibalik sifat menyebalkannya (haha peace dho) I think he succeeded to convince us over our potential, setidaknya jika bukan karena dia, dia rela memberikan waktu bagi kami untuk kami menggali potensi. Dimulai dari mengikuti lomba dengan modus mencari uang untuk mengikuti kegiatan2 organisasi, menjadi pembicara sana-sini dalam rangka menginspirasi, mengikuti event2 dan komunitas, mengadakan penelitian sampai presentasi internasional, dsb. Namun sungguh, ini semua harus jadi bahan evaluasi, apakah selama ini beberapa dari kita lebih sibuk mengupgrade diri daripada memberi? Semoga tidak.
Pun, kabinet ini mengajarkan kami untuk mengerjakan segalanya dengan cinta, mengajarkan pula arti sebuah kesabaran. Jika saya ditanya apa hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, itu adalah konsisten dalam kebaikan. Kami tentu pernah merasakan jenuh berkepanjangan, rasa malas yang seperti tiada ujungnya, rasa kesal setiap kali Sekjen sudah membuka kata ‘apa kabar’ lewat whatsapp, karena kami tahu pertanyaan kabar itu hanya basa-basi dibalik permintaan tolong mengerjakan tugas hahaha. Kami belajar mencintai pekerjaan kami dengan segala fluktuasi semangat yang ada. Kami belajar untuk istiqamah.
Oh ya, kabinet ini tidak hanya berbicara soal program kerja, namun juga arti sebuah keluarga #yeah #yuhu. Selalu menyenangkan bersama dengan para pengurus yang terus berjuang mencoba menembus batasan diri. For some, maybe this family is only another inner circles, for some this family is everything, for some this family is all priority. But whatever it is, kami tahu kami belajar banyak tentang rasa peduli di tengah-tengah hubungan jarak jauh, kami belajar menjalin chemistry di tengah kesulitan bertemu, kami belajar membaca karakter dan mendalami perbedaan. Hingga akhir kepengurusan ini pun, kami akan terus belajar. Belajar berdamai dengan rindu yang diciptakan oleh jarak, belajar bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat, belajar menjalin persaudaraan yang semoga tak akan pernah lekang oleh waktu dan jarak.
Well, masih banyak yang kami dapat dari kabinet yang katanya Luar Biasa ini.
Ah, kata siapa kami luar biasa?
Apakah kabinet ini luar biasa karena telah mengadakan event internasional pertama kalinya secara mandiri? Apakah karena kabinet ini berhasil meraih gelar Best Association dari organisasi internasional? Apakah karena para pengurusnya yang menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya masing-masing? Apakah karena kabinet ini telah berusaha menciptakan tata cara sidang yang lebih efektif? Apakah karena kabinet ini menjalankan semua prokernya? Apakah karena kabinet ini mengkawal isu kesehatan lebih banyak dari biasanya? Apakah karena kabinet ini memiliki sekjen yang disegani banyak orang? Atau apa? Ah…mungkin karena ekspektasi anggota dan kami yang terlalu rendah di awal kepengurusan sehingga pencapaian yang biasa jadi terlihat luar biasa; mungkin karena kami kebetulan menjadi pengurus di era media social merajalela, sehingga segala kegiatan yang dilakukan muncul ke permukaan dan dilihat banyak orang; atau… mungkin karena memang organisasi ini kekurangan kader-kader mumpuni dengan standar luar biasa yang tak ada apa-apanya. Entah, yang pasti, kami akan terus percaya, perjuangan kabinet ini harus dilanjutkan, jika kami sudah menjadikan organisasi ini 1, maka yang selanjutnya harus mampu menjadikan ia 2, 3, dst.
Saya tidak perlu berbicara kegiatan dan prestasi apa yang dilakukan kabinet ini. Biarlah anggota menilai seberapa besar manfaat yang mereka peroleh di bawah kepengurusan kami, biarlah kami menilai sendiri sudah seberapa besar usaha kami dan seberapa lurus niat kami, biarlah anggota dan kami sadar akan dirinya sendiri tentang kontribusi dan kepekaan social yang kami berikan. Terima kasih untuk semua elemen dari terpilihnya Sekjen di 2014 hingga Munas 2016 yang telah banyak membantu menebar manfaat sebagai satu Ismafarsi yuhuu
Namun sesungguhnya, semua ini adalah evaluasi. Apa yang terjadi di Munas sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman pribadi bagi saya yang terus berpikir apakah selama ini saya di sini hanya sibuk mengupgrade diri dan sering lupa arti kebermanfaatan yang sebenarnya. Pengalaman kami pula di sini untuk melihat ke belakang, apakah kami berhasil menciptakan kader-kader yang diharapkan? In fact, air mata bahagia dan haru bercampur dengan air mata sesal dan sedih, sungguh, kami berharap Ismafarsi ke depannya akan lebih baik.
Denny Fahmi, sekjen Ismafarsi terpilih 2016-2018, bukanlah Ridho Muhammad Sakti. Denny Fahmi adalah Denny Fahmi, biarlah ia memimpin dengan caranya sendiri. Lakukan yang terbaik dan jika suata saat kamu dan kabinet barumu terpaksa membuat kami kecewa, buat kami tetap percaya bahwa kamu dan kawan-kawanmu akan terus belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat :) semoga rasa percaya ini tidak akan pernah sia-sia.
Hehe.
Anyway, begitulah yang terjadi. Momen mengerjakan program kerja, memberi manfaat, bercanda-canda, cinlok-cinlok buta yang mungkin terjadi di balik cinta yang tak terucap (wkwkwk naon), konflik di mana-mana dan segala dinamika yang serius maupun yang tidak, semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan dibalik apapun alasan awal kita untuk terlibat. Untuk kalian adik-adik kami tersayang dari ujung sumatra hingga papua, ayo luruskan niat bersama untuk membuat organisasi ini lebih baik, bantu Sekjen baru Ismafarsi, ayo daftar jadi Staf Ahli! hehehe *yah ujungnya promosi
Saya selalu ingat kata seorang kakak bahwa ada empat tipe orang dalam suatu organisasi, pembelajar (tipe yang paling ideal), turis (ada karena ingin jalan-jalan, popularitas, memperkaya CV, dsb), sandera (ada karena terpaksa), teroris (ada untuk menghancurkan organisasi). Yah, tulisan ini adalah curhatan seorang sandera hahaha, seorang sandera yang terbawa bujukan untuk terlibat, seorang yang selama prosesnya selalu merasa pesimis dan cemas, namun saya mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang insyaAllah akan terus belajar untuk menikmati proses yang ada, hingga kita menjadi pembelajar. Jadi jangan pernah takut untuk terlibat, ayo daftar Staf Ahli! *promosi lagi* Yup, jika memang semangat di awal itu masih sedikit karena alasan-alasan tertentu, mungkin kita harus bersabar. Percikan api semangat di awal kepengurusan benar2 menjadi bara pada waktunya, salah satunya karena kehadiran keluarga ke-2 :) Dan bagi yang sudah bersemangat sejak awal, hati-hati dengan ekspektasi, terus jaga semangatnya :D Yay, semoga kabinet selanjutnya kaya akan orang-orang pembelajar.
Sampai jumpa Ismafarsi! Kami tunggu kabar baiknya!
Berawal dari rasa tidak suka akan satu kegiatannya, ternyata orang seperti saya yang cenderung tidak suka tantangan ini bisa juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi kala itu. Rasa penasaran kenapa kegiatan itu tidak membuat saya puas. Kegiatan ke-2 yang saya ikuti cukup membuat mata saya berbinar, entah karena kegiatannya yang memang luar biasa atau ekspektasi saya yang terlalu rendah setelah melewati ketidakpuasan. Singkat cerita, dari kegiatan ke-2, rasa puas itu masih bercampur dengan rasa tidak suka, bahkan benci. Benci karena merasa buang-buang waktu mendengarkan persidangan yang sarat perdebatan jumlah menit untuk ke toilet atau adu kusir hal-hal yang tak subtansial, benci karena melihat orang-orang yang telat masuk forum, benci karena melihat arogansi warna warni almamater, benci karena teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang membuat tarikan nafas panjang, benci karena orang-orangnya yang ramai di ruang persidangan namun sepi ketika turun ke lapangan. Benci karena di sini tempat saya mengenal apa itu kepentingan.
Jangan salah. Alasan keterlibatan saya menjadi pengurus tidak seutuhnya karena ingin memperbaiki keadaan, ingin memajukan organisasi, atau hal mulia lainnya melihat betapa tidak nyamannya saya saat itu akan organisasi ini. Ada hal-hal manusiawi yang turut menggandeng alasan normatif itu, alasan yang menurut saya pada akhirnya menjadi latar belakang kejenuhan, kemalasan, dan pesimistis seseorang dalam prosesnya. Karena bagaimanapun, alasan awal saya terlibat adalah karena ‘bujukan’ seorang teman. Saya teringat pesan whatsapp dari seorang teman kala itu, pesan yang membuat saya marah sampai akhirnya saya memutuskan untuk terlibat di kepengurusan ini. Haha well im laughing at myself now, how shallow I was. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat saya tidak pernah menyesal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut dirinya ‘kabinet Luar Biasa’. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari organisasi ini, dari anggotanya, dan dari tiap individu pengurusnya.
Empat event nasional
Kabinet ini bisa jadi mulai dari nol. Proses satu-nol-satu-nol sepertinya menjadi ritual tiap periodisasi kepengurusan. Periode 2 tahun yang membuat kabinet sebelumnya telah menjadi 1, kemudian kabinet selanjutnya terpaksa harus memulai dari nol karena periode 2 tahun menyulitkan proses regenerasi dan bimbingan. How are you gonna guarantee your little sisters to continue your struggle while you know they have to graduate on time? How are you gonna trust your little brother to finish what you start while you know they still need lots of time to learn? Semoga 1-0-1-0 ini hanya asumsi, karena jika benar terjadi, organisasi ini benar-benar jalan di tempat.
Kebingungan periodisasi ini pula yang telah menjadi bahasan rutin di persidangan. Kurang lebih tiga periode membahas apakah organisasi ini perlu mengganti periode 2 tahunnya menjadi 1 tahun, bahasan yang penuh adu akal dan okol bukan hanya di meja persidangan namun juga menjadi konsumsi kajian adik-adik selanjutnya di lembaga eksekutif mahasiswa (LEM). Berbagai alasan dikemukakan mulai dari pendapat subjektif hingga yang berlandaskan pada perbandingan dengan ormawa kesehatan lain, pro dan kontra mencuat dengan tak jarang suara-suara bernada tinggi terlibat didalamnya. Sampai akhirnya saat kabinet Luar Biasa hendak berdiri, suatu perjanjian dicetuskan untuk memberhentikan pembahasan ini dengan keputusan akhir tetap 2 tahun. Tiga periode pembahasan ini pada akhirnya membuahkan suatu kesepakatan yang ‘terkesan sia-sia’ hehehe.
Rapat Kerja Nasional 2015. Hari ini hari di mana saya teringat ketika mendownload arahan sekjen terpilih, arahan yang berlembar-lembar itu mampu membuat pundak saya turun ke bawah disertai dengan helaan nafas tegas disertai dengan makian… “Anjaayy, lo kira 2 tahun ini gue bakal ngadain proker segini banyak? Lo kira hidup gue cuma buat ismafarsi?!” haha. Saya pribadi hanya mampu merumuskan sedikit proker dari puluhan konsep yang ditawarkan oleh sekjen ‘kurang kerjaan’ ini.
Proker ditetapkan dan saat itulah kabinet Luar Biasa mulai bekerja secara legal.
PIMFI 2015. Sebuah event keilmiahan nasional yang menjadi program kerja divisi saya. Saya kira saya telah belajar banyak dari seorang kakak, saya kira saya sudah cukup siap berperan sesuai tupoksi, mengarahkan dan mengembangkan orang lain, dsb. Ternyata tidak. Saya tidak cukup jeli dalam membaca keadaan, mungkin. Banyak komplain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada panitia, namun memang banyak hal yang harus dievaluasi di sini. Kesalahan terbesar berasal dari diri ini, dan sungguh saya banyak belajar. Apapun dinamika yang ada saat itu, semoga kebermanfaatannya tetap terasa bagi semua pihak :”)Dan tentunya apresiasi terbesar saya dkk kepada panitia yang sudah berusaha semaksimal mungkin mengadakan acara ini :)
Latihan Kepemimpinan 3 (IPLF) Nasional dan Pramunas 2016. Satu event nasional yang dahulu membuat saya tertarik akan organisasi ini. Rasa cinta dan benci yang bercampur. Namun kala itu saya tidak hadir karena harus menemani orang tua yang sakit. Cukuplah senyum saya terkirim untuk kawan di sana yang mengabarkan bahwa perubahan AD/ART akan dilakukan tiap 3 periode, sebuah keputusan yang berisiko bagi saya, namun saya kira itu menjadi keputusan terbaik melihat forum perubahan AD/ART selalu membuat diri ini gemas untuk melempar meja (canda deng). Di event nasional ini, proses kaderisasi bagi kader yang akan melanjutkan perjuangan kami mulai terasa lebih intensif. Bytheway, jika mengingat LK3 dahulu di zaman saya, hal yang membuat saya tertarik dengan organisasi ini salah satunya karena peserta LK3 yang buat mata saya melotot. Ternyata anak farmasi yang biasa saya lihat berteman dengan benda mati di lab bisa juga berbicara soal realita sosial :p
Munas 2016. Event nasional terakhir. Laporan pertanggungjawaban ditunggu oleh anggota. Tebak apa yang terjadi? 11 Lembaga Eksekutif Mahasiswa menolak laporan pertanggungjawaban Sekjen Kabinet Luar Biasa karena kami yang melanggar konstitusi, yaitu banyak dari kami yang telah lulus S1 sebelum LPJ. Now what do you say? Lets not discuss about it haha
Di Munas pula, hati kami meracau. Panik, cemas, dan menyesal bercampur melihat pemilihan Sekjen baru dan Badan Pengawas. Walau akhirnya kami hanya patut untuk tersenyum dan bersyukur. Biarlah racauan itu jadi bahan kontemplasi tentang kesalahan-kesalahan yang dulu kami perbuat.
Kami yang Katanya ‘Luar Biasa’
Dua tahun. Keputusan munas 2014 untuk tetap menjadikan kepengurusan ini 2 tahun sepertinya memberikan peluang dinamika untuk bermain lebih kreatif. Mahasiswa farmasi yang dikenal tak peka politik sepertinya belajar berpolitik lewat organisasi menyebalkan ini. Saya selalu merasa tak nyaman kalau sudah bicara strategi, berspekulasi mengenai kepentingan-kepentingan golongan, atau semacamnya. Saya selalu menundukkan kepala dan kadang mengeluh berkepanjangan kalau konflik sudah terlihat di depan mata. I sometime feel torturing over this phlegmatic-introvert trait I have lol. Then I learn to like what I dislike. Fake it till you make it.
Kabinet ini diajarkan pula untuk beraudiensi akan isu-isu kefarmasian dan kesehatan. Sempat beberapa kali saya dan kawan-kawan mendatangi stakeholder untuk membicarakan suatu isu dan meminta tuntutan, beberapa kali pula saya (mungkin kami) dibingungkan dengan siapa yang benar siapa yang salah, beberapa kali pula kami diterima dan ditolak, beberapa kali pula saya merasa sekedar belajar berbicara dan mendengarkan daripada melakukan aksi nyata…..duh. Tapi saya percaya, beberapa orang kawan benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan, termasuk pemimpin kabinet ini yang harus rela dibenci karena mengambil tindakan yang tidak disukai orang. Toh, katanya pemimpin yang baik adalah mereka yang mengambil keputusan yang tepat, bukan keputusan yang orang suka. Pada akhirnya, sebaik apapun pemimpin, akan memiliki musuh dalam perjalanan hidupnya. Mungkin kami belajar untuk melawan retorika dengan retorika, kami belajar bersilat lidah tanpa kehilangan bijak, yang pasti kami belajar berlapang dada saat kami kalah dan tidak disukai orang.
Kabinet ini pun mengajarkan kami untuk berkarya. Pemimpin kami yang disegani ini ternyata tahu apa yang ia lakukan; dibalik sifat menyebalkannya (haha peace dho) I think he succeeded to convince us over our potential, setidaknya jika bukan karena dia, dia rela memberikan waktu bagi kami untuk kami menggali potensi. Dimulai dari mengikuti lomba dengan modus mencari uang untuk mengikuti kegiatan2 organisasi, menjadi pembicara sana-sini dalam rangka menginspirasi, mengikuti event2 dan komunitas, mengadakan penelitian sampai presentasi internasional, dsb. Namun sungguh, ini semua harus jadi bahan evaluasi, apakah selama ini beberapa dari kita lebih sibuk mengupgrade diri daripada memberi? Semoga tidak.
Pun, kabinet ini mengajarkan kami untuk mengerjakan segalanya dengan cinta, mengajarkan pula arti sebuah kesabaran. Jika saya ditanya apa hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, itu adalah konsisten dalam kebaikan. Kami tentu pernah merasakan jenuh berkepanjangan, rasa malas yang seperti tiada ujungnya, rasa kesal setiap kali Sekjen sudah membuka kata ‘apa kabar’ lewat whatsapp, karena kami tahu pertanyaan kabar itu hanya basa-basi dibalik permintaan tolong mengerjakan tugas hahaha. Kami belajar mencintai pekerjaan kami dengan segala fluktuasi semangat yang ada. Kami belajar untuk istiqamah.
Oh ya, kabinet ini tidak hanya berbicara soal program kerja, namun juga arti sebuah keluarga #yeah #yuhu. Selalu menyenangkan bersama dengan para pengurus yang terus berjuang mencoba menembus batasan diri. For some, maybe this family is only another inner circles, for some this family is everything, for some this family is all priority. But whatever it is, kami tahu kami belajar banyak tentang rasa peduli di tengah-tengah hubungan jarak jauh, kami belajar menjalin chemistry di tengah kesulitan bertemu, kami belajar membaca karakter dan mendalami perbedaan. Hingga akhir kepengurusan ini pun, kami akan terus belajar. Belajar berdamai dengan rindu yang diciptakan oleh jarak, belajar bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat, belajar menjalin persaudaraan yang semoga tak akan pernah lekang oleh waktu dan jarak.
Well, masih banyak yang kami dapat dari kabinet yang katanya Luar Biasa ini.
Ah, kata siapa kami luar biasa?
Apakah kabinet ini luar biasa karena telah mengadakan event internasional pertama kalinya secara mandiri? Apakah karena kabinet ini berhasil meraih gelar Best Association dari organisasi internasional? Apakah karena para pengurusnya yang menjadi mahasiswa berprestasi di kampusnya masing-masing? Apakah karena kabinet ini telah berusaha menciptakan tata cara sidang yang lebih efektif? Apakah karena kabinet ini menjalankan semua prokernya? Apakah karena kabinet ini mengkawal isu kesehatan lebih banyak dari biasanya? Apakah karena kabinet ini memiliki sekjen yang disegani banyak orang? Atau apa? Ah…mungkin karena ekspektasi anggota dan kami yang terlalu rendah di awal kepengurusan sehingga pencapaian yang biasa jadi terlihat luar biasa; mungkin karena kami kebetulan menjadi pengurus di era media social merajalela, sehingga segala kegiatan yang dilakukan muncul ke permukaan dan dilihat banyak orang; atau… mungkin karena memang organisasi ini kekurangan kader-kader mumpuni dengan standar luar biasa yang tak ada apa-apanya. Entah, yang pasti, kami akan terus percaya, perjuangan kabinet ini harus dilanjutkan, jika kami sudah menjadikan organisasi ini 1, maka yang selanjutnya harus mampu menjadikan ia 2, 3, dst.
Saya tidak perlu berbicara kegiatan dan prestasi apa yang dilakukan kabinet ini. Biarlah anggota menilai seberapa besar manfaat yang mereka peroleh di bawah kepengurusan kami, biarlah kami menilai sendiri sudah seberapa besar usaha kami dan seberapa lurus niat kami, biarlah anggota dan kami sadar akan dirinya sendiri tentang kontribusi dan kepekaan social yang kami berikan. Terima kasih untuk semua elemen dari terpilihnya Sekjen di 2014 hingga Munas 2016 yang telah banyak membantu menebar manfaat sebagai satu Ismafarsi yuhuu
Namun sesungguhnya, semua ini adalah evaluasi. Apa yang terjadi di Munas sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman pribadi bagi saya yang terus berpikir apakah selama ini saya di sini hanya sibuk mengupgrade diri dan sering lupa arti kebermanfaatan yang sebenarnya. Pengalaman kami pula di sini untuk melihat ke belakang, apakah kami berhasil menciptakan kader-kader yang diharapkan? In fact, air mata bahagia dan haru bercampur dengan air mata sesal dan sedih, sungguh, kami berharap Ismafarsi ke depannya akan lebih baik.
Denny Fahmi, sekjen Ismafarsi terpilih 2016-2018, bukanlah Ridho Muhammad Sakti. Denny Fahmi adalah Denny Fahmi, biarlah ia memimpin dengan caranya sendiri. Lakukan yang terbaik dan jika suata saat kamu dan kabinet barumu terpaksa membuat kami kecewa, buat kami tetap percaya bahwa kamu dan kawan-kawanmu akan terus belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat :) semoga rasa percaya ini tidak akan pernah sia-sia.
Hehe.
Anyway, begitulah yang terjadi. Momen mengerjakan program kerja, memberi manfaat, bercanda-canda, cinlok-cinlok buta yang mungkin terjadi di balik cinta yang tak terucap (wkwkwk naon), konflik di mana-mana dan segala dinamika yang serius maupun yang tidak, semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan dibalik apapun alasan awal kita untuk terlibat. Untuk kalian adik-adik kami tersayang dari ujung sumatra hingga papua, ayo luruskan niat bersama untuk membuat organisasi ini lebih baik, bantu Sekjen baru Ismafarsi, ayo daftar jadi Staf Ahli! hehehe *yah ujungnya promosi
Saya selalu ingat kata seorang kakak bahwa ada empat tipe orang dalam suatu organisasi, pembelajar (tipe yang paling ideal), turis (ada karena ingin jalan-jalan, popularitas, memperkaya CV, dsb), sandera (ada karena terpaksa), teroris (ada untuk menghancurkan organisasi). Yah, tulisan ini adalah curhatan seorang sandera hahaha, seorang sandera yang terbawa bujukan untuk terlibat, seorang yang selama prosesnya selalu merasa pesimis dan cemas, namun saya mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang insyaAllah akan terus belajar untuk menikmati proses yang ada, hingga kita menjadi pembelajar. Jadi jangan pernah takut untuk terlibat, ayo daftar Staf Ahli! *promosi lagi* Yup, jika memang semangat di awal itu masih sedikit karena alasan-alasan tertentu, mungkin kita harus bersabar. Percikan api semangat di awal kepengurusan benar2 menjadi bara pada waktunya, salah satunya karena kehadiran keluarga ke-2 :) Dan bagi yang sudah bersemangat sejak awal, hati-hati dengan ekspektasi, terus jaga semangatnya :D Yay, semoga kabinet selanjutnya kaya akan orang-orang pembelajar.
Sampai jumpa Ismafarsi! Kami tunggu kabar baiknya!
Selasa, 05 Juli 2016
The judges are deciding! Hurry up before its too late!
A friend of mine shared this video of Khutbah by Nouman Ali Khan, a Muslim speaker that live in Dallas, Texas. Anyway, please read it through until finish! I know watching movie, sleeping, gossiping, or scrolling down Path, Instagram, or snapchating will be more interesting rather than reading through this, but please just give a little time for our mind to contemplate.
By the way, you can watch the video here if you want to: https://www.youtube.com/watch?v=DNC3y9rJI9c
Here’s pretty much a resume plus additional opinions.
Dalam video ini, beliau menjelaskan potongan ayat Surat Al-Hadid yang menceritakan mengenai apa yang terjadi di Hari Penghakiman (judgment day/yaumul akhir). The interesting part is that God does not compare the judgment day of a believer and disbeliever; instead, He compares believer and people who THINK that they are believer, orang-orang yang merasa bahwa mereka memiliki keyakinan, memiliki iman. I’m going to explain it in points so it’s easier to understand.
1. Pada ayat tersebut dijelaskan pada saat Hari Penghakiman, orang-orang yang memiliki keyakinan yang murni, ikhlas, dan tulus (we call it a believer that truly has a sincere faith) akan memiliki cahaya dari hati mereka dan dari tangan mereka. Cahaya ini akan digunakan sebagai obor penerang untuk berjalan menuju surga ketika mereka dibangkitkan. (In judgment day, everything is totally dark. The lights is vary, some people have very bright light, some people have dimmer light depends on how sincere the faith is, I guess)
2. While there are another group of people who does not have lights at all, ini lah sekumpulan orang yang merasa bahwa mereka memiliki iman, group of hypocrites. Orang-orang ini ketika dibangkitkan melihat dari kejauhan, cahaya-cahaya yang berjalan menuju surga. Then they scream out to the believers “wait for us! We need light, bring us with you!”
3. The believers replied “I’m not turning back, go get your own light, I’m heading to Jannah!” Karena sejatinya, di hari ini, seorang Ibu tidak akan peduli pada anaknya, seorang Kakak tidak akan peduli pada adiknya, you’re on your own business.
4. Ketika believer meminta orang-orang hipokrit ini untuk mencari cahaya sendiri, ini adalah kata-kata sarkas yang artinya meminta mereka kembali ke dunia untuk mendapatkan cahaya. You can’t get the light at the judgment day. Once you don’t have it, you won’t have it forever.
5. Para hipokrit tidak menyerah. Mereka mengejar cahaya tersebut, tapi Allah kemudian menurunkan sebuah dinding besar dan tinggi dengan satu pintu yang membatasi mereka, sementara dari belakang, hukuman mengejar mereka. Mereka berteriak “open up guys!! We used to be with you, we pray with you, we do goods with you, why are we not with you?!!” the very desperate screaming (please imagine ourselves in judgment day undergoing this, it must be torturing). Mereka sangat percaya diri bahwa dulu di dunia mereka termasuk dari orang-orang yang beriman, who have a sincere faith.
6. And the believer answers “yes you were with us in the world, but then you lose the light”. Apa yang membuat orang-orang hipokrit ini tidak memiliki cahaya untuk berjalan menuju Surga? People lose the light not in one night, it’s through a process.
What are the processes? It’s a spiral downward.
Step 1: YOU PUT YOURSELF IN FITNAH (TEMPTATION, TRIAL)
Kita terus menempatkan diri kita pada situasi di mana iman kita diuji. Situasi itu adalah lingkungan buruk. Some people may argue that as human being, it is necessary to blend with variety of people, to develop, to understand world from different point of views. Kemudian kita akan melakukan banyak justifikasi karena hati dan tubuh kita menyaru perlahan dengan lingkungan tanpa kita sadari bahwa banyak dosa yang kita lakukan. Justifikasi itu berkedok “well, we give benefits to them, we are doing dakwah though, I am not gonna be addicted, Im not gonna get the bad effects”. Padahal secara perlahan, kita membenarkan kebiasaan, jauh dari membiasakan kebenaran. Niat kita yang pada awalnya ingin mewarnai lingkungan, justru kita yang terwarnai. We’re not strong enough in holding our crayons. We think we are doing the right things.
Well frankly speaking, to me, yes it is necessary to mingle with any kind of people. Yes it is right that way of dakwah is a lot. But we have to know our capacity. How convincing our capacity to mingle with certain kind of people or certain kind of events? Seberapa kuatkah kita untuk bertahan dalam suatu lingkungan tanpa membuat kita berbelok? How sure are we that our hands are strong enough to hold the crayons?
Step 2: YOU KEEP PROCRASTINATING TO CHANGE
Kita telah sadar bahwa lingkungan kita buruk, then we promise that we are going to be away from that. We said “I am going to change, I promise, next week I’m going to change.” Or “I might be like this now, but by the time Im going home from Hajj, you watch, im gonna change.” Kita terus mengulur waktu hingga tak sadar uban telah bertengger di rambut kita, keriput telah menggerogoti wajah cantik kita, bahkan cacing-cacing telah memakan kita. Kita menunda, tak sadar kita menoleransi diri sendiri. We think we are doing the right things.
It’s not necessarily avoiding us to enjoy the process of hijrah. But we gotta take it seriously whenever we decide to change. Nikmati proses tanpa dengan sengaja memperlambatnya.
Step 3: YOU DOUBT ISLAM
This is the most interesting part for me. So what happen is people start to feel guilty when they realize that they have been procrastinating. Ketika manusia sudah sampai pada tahap ini, syaitan datang dan membisikkan manusia, “why you have to feel guilty? Islam should make you feel guilty, this is haram, that is haram, it is sin, everything is sins. You’re not sure that Islam is true, anyway? Why you have to follow God of Islam?” then yes, we start asking ourselves “How do I know Islam is right? How do I know that Qoran is true?” That doubting of Islam brings us to a spiral downward that cause us to disobey Islam. Comes the material desire instead of desire to go to Jannah. Kita lebih memilih mengejar kebahagian dunia yang sudah pasti terasa dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang menurut kita belum jelas ada atau tidak, a false hope deceives us. We think we are doing the right things.
Well, to me, doubting an ideology is not a mistake. Adolescents normally somehow will undergo that kind of thing. James Marcia, a psychologist classifies Identity Statuses that I guess match this discussion though these aren’t necessarily related to specific topic:
• Identity Diffusion – the status in which the adolescent does not have a sense of having choices; he or she has not yet made (nor is attempting/willing to make) a commitment
• Identity Foreclosure – the status in which the adolescent seems willing to commit to some relevant roles, values, or goals for the future. Adolescents in this stage have not experienced an identity crisis. They tend to conform to the expectations of others regarding their future (e. g. allowing a parent to determine a career direction) As such, these individuals have not explored a range of options.
• Identity Moratorium – the status in which the adolescent is currently in a crisis, exploring various commitments and is ready to make choices, but has not made a commitment to these choices yet.
• Identity Achievement – the status in which adolescent has gone through an identity crisis and has made a commitment to a sense of identity (i.e. certain role or value) that he or she has chosen
(http://www.learning-theories.com/identity-status-theory-marcia.html)
Manusia ketika mempertanyakan kebenaran suatu ideologi, dapat berada di posisi Identity Moratorium, they would explore various commitments. But what happen is orang-orang yang meragukan Islam terkadang tak mau berusaha mencari kebenaran, ga ambil pusing, let me just enjoy my current life. Ada yang mungkin masih berada pada ID forclosure, memilih mengikuti mayoritas orang banyak atau mengikuti petuah yang diseniorkan (well pray a lot then, wish what we follow were a right track lol). Ada juga orang-orang yang mempertanyakan namun berdiskusi dengan orang yang sama-sama mempertanyakan dan kapasitasnya sama. Instead of asking the expert, people then make their own interpretation assuming that we are smart enough to understand stuffs. People are then becoming disbeliever; through a somewhat invisible process.
Then, this is why some people argue bahwa belajar agama itu penting. Belajar dengan orang yang lebih tahu dari kita untuk menghindari pemahaman-pemahaman yang salah.
###
Nouman Ali Khan kemudian bertanya: “where are you at?” di mana posisi kita? Apakah kita orang-orang yang menempatkan diri kita pada fitnah? Mengulur waktu untuk berubah? Atau meragukan Islam? yang pada akhirnya akan membuat kita menjadi hipokrit. Then the hypocrite’s position will be just the same as disbelievers.
We gotta know our capacity and our level of understanding, reevaluate our process of change, and search teachers to help us study to get out of confusion. The judges are deciding! Hurry up before its too late!
Remember Allah and we shall get the light.
#selfreminder #forustoremindeachother
By the way, you can watch the video here if you want to: https://www.youtube.com/watch?v=DNC3y9rJI9c
Here’s pretty much a resume plus additional opinions.
Dalam video ini, beliau menjelaskan potongan ayat Surat Al-Hadid yang menceritakan mengenai apa yang terjadi di Hari Penghakiman (judgment day/yaumul akhir). The interesting part is that God does not compare the judgment day of a believer and disbeliever; instead, He compares believer and people who THINK that they are believer, orang-orang yang merasa bahwa mereka memiliki keyakinan, memiliki iman. I’m going to explain it in points so it’s easier to understand.
1. Pada ayat tersebut dijelaskan pada saat Hari Penghakiman, orang-orang yang memiliki keyakinan yang murni, ikhlas, dan tulus (we call it a believer that truly has a sincere faith) akan memiliki cahaya dari hati mereka dan dari tangan mereka. Cahaya ini akan digunakan sebagai obor penerang untuk berjalan menuju surga ketika mereka dibangkitkan. (In judgment day, everything is totally dark. The lights is vary, some people have very bright light, some people have dimmer light depends on how sincere the faith is, I guess)
2. While there are another group of people who does not have lights at all, ini lah sekumpulan orang yang merasa bahwa mereka memiliki iman, group of hypocrites. Orang-orang ini ketika dibangkitkan melihat dari kejauhan, cahaya-cahaya yang berjalan menuju surga. Then they scream out to the believers “wait for us! We need light, bring us with you!”
3. The believers replied “I’m not turning back, go get your own light, I’m heading to Jannah!” Karena sejatinya, di hari ini, seorang Ibu tidak akan peduli pada anaknya, seorang Kakak tidak akan peduli pada adiknya, you’re on your own business.
4. Ketika believer meminta orang-orang hipokrit ini untuk mencari cahaya sendiri, ini adalah kata-kata sarkas yang artinya meminta mereka kembali ke dunia untuk mendapatkan cahaya. You can’t get the light at the judgment day. Once you don’t have it, you won’t have it forever.
5. Para hipokrit tidak menyerah. Mereka mengejar cahaya tersebut, tapi Allah kemudian menurunkan sebuah dinding besar dan tinggi dengan satu pintu yang membatasi mereka, sementara dari belakang, hukuman mengejar mereka. Mereka berteriak “open up guys!! We used to be with you, we pray with you, we do goods with you, why are we not with you?!!” the very desperate screaming (please imagine ourselves in judgment day undergoing this, it must be torturing). Mereka sangat percaya diri bahwa dulu di dunia mereka termasuk dari orang-orang yang beriman, who have a sincere faith.
6. And the believer answers “yes you were with us in the world, but then you lose the light”. Apa yang membuat orang-orang hipokrit ini tidak memiliki cahaya untuk berjalan menuju Surga? People lose the light not in one night, it’s through a process.
What are the processes? It’s a spiral downward.
Step 1: YOU PUT YOURSELF IN FITNAH (TEMPTATION, TRIAL)
Kita terus menempatkan diri kita pada situasi di mana iman kita diuji. Situasi itu adalah lingkungan buruk. Some people may argue that as human being, it is necessary to blend with variety of people, to develop, to understand world from different point of views. Kemudian kita akan melakukan banyak justifikasi karena hati dan tubuh kita menyaru perlahan dengan lingkungan tanpa kita sadari bahwa banyak dosa yang kita lakukan. Justifikasi itu berkedok “well, we give benefits to them, we are doing dakwah though, I am not gonna be addicted, Im not gonna get the bad effects”. Padahal secara perlahan, kita membenarkan kebiasaan, jauh dari membiasakan kebenaran. Niat kita yang pada awalnya ingin mewarnai lingkungan, justru kita yang terwarnai. We’re not strong enough in holding our crayons. We think we are doing the right things.
Well frankly speaking, to me, yes it is necessary to mingle with any kind of people. Yes it is right that way of dakwah is a lot. But we have to know our capacity. How convincing our capacity to mingle with certain kind of people or certain kind of events? Seberapa kuatkah kita untuk bertahan dalam suatu lingkungan tanpa membuat kita berbelok? How sure are we that our hands are strong enough to hold the crayons?
Step 2: YOU KEEP PROCRASTINATING TO CHANGE
Kita telah sadar bahwa lingkungan kita buruk, then we promise that we are going to be away from that. We said “I am going to change, I promise, next week I’m going to change.” Or “I might be like this now, but by the time Im going home from Hajj, you watch, im gonna change.” Kita terus mengulur waktu hingga tak sadar uban telah bertengger di rambut kita, keriput telah menggerogoti wajah cantik kita, bahkan cacing-cacing telah memakan kita. Kita menunda, tak sadar kita menoleransi diri sendiri. We think we are doing the right things.
It’s not necessarily avoiding us to enjoy the process of hijrah. But we gotta take it seriously whenever we decide to change. Nikmati proses tanpa dengan sengaja memperlambatnya.
Step 3: YOU DOUBT ISLAM
This is the most interesting part for me. So what happen is people start to feel guilty when they realize that they have been procrastinating. Ketika manusia sudah sampai pada tahap ini, syaitan datang dan membisikkan manusia, “why you have to feel guilty? Islam should make you feel guilty, this is haram, that is haram, it is sin, everything is sins. You’re not sure that Islam is true, anyway? Why you have to follow God of Islam?” then yes, we start asking ourselves “How do I know Islam is right? How do I know that Qoran is true?” That doubting of Islam brings us to a spiral downward that cause us to disobey Islam. Comes the material desire instead of desire to go to Jannah. Kita lebih memilih mengejar kebahagian dunia yang sudah pasti terasa dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang menurut kita belum jelas ada atau tidak, a false hope deceives us. We think we are doing the right things.
Well, to me, doubting an ideology is not a mistake. Adolescents normally somehow will undergo that kind of thing. James Marcia, a psychologist classifies Identity Statuses that I guess match this discussion though these aren’t necessarily related to specific topic:
• Identity Diffusion – the status in which the adolescent does not have a sense of having choices; he or she has not yet made (nor is attempting/willing to make) a commitment
• Identity Foreclosure – the status in which the adolescent seems willing to commit to some relevant roles, values, or goals for the future. Adolescents in this stage have not experienced an identity crisis. They tend to conform to the expectations of others regarding their future (e. g. allowing a parent to determine a career direction) As such, these individuals have not explored a range of options.
• Identity Moratorium – the status in which the adolescent is currently in a crisis, exploring various commitments and is ready to make choices, but has not made a commitment to these choices yet.
• Identity Achievement – the status in which adolescent has gone through an identity crisis and has made a commitment to a sense of identity (i.e. certain role or value) that he or she has chosen
(http://www.learning-theories.com/identity-status-theory-marcia.html)
Manusia ketika mempertanyakan kebenaran suatu ideologi, dapat berada di posisi Identity Moratorium, they would explore various commitments. But what happen is orang-orang yang meragukan Islam terkadang tak mau berusaha mencari kebenaran, ga ambil pusing, let me just enjoy my current life. Ada yang mungkin masih berada pada ID forclosure, memilih mengikuti mayoritas orang banyak atau mengikuti petuah yang diseniorkan (well pray a lot then, wish what we follow were a right track lol). Ada juga orang-orang yang mempertanyakan namun berdiskusi dengan orang yang sama-sama mempertanyakan dan kapasitasnya sama. Instead of asking the expert, people then make their own interpretation assuming that we are smart enough to understand stuffs. People are then becoming disbeliever; through a somewhat invisible process.
Then, this is why some people argue bahwa belajar agama itu penting. Belajar dengan orang yang lebih tahu dari kita untuk menghindari pemahaman-pemahaman yang salah.
###
Nouman Ali Khan kemudian bertanya: “where are you at?” di mana posisi kita? Apakah kita orang-orang yang menempatkan diri kita pada fitnah? Mengulur waktu untuk berubah? Atau meragukan Islam? yang pada akhirnya akan membuat kita menjadi hipokrit. Then the hypocrite’s position will be just the same as disbelievers.
We gotta know our capacity and our level of understanding, reevaluate our process of change, and search teachers to help us study to get out of confusion. The judges are deciding! Hurry up before its too late!
Remember Allah and we shall get the light.
#selfreminder #forustoremindeachother
Sabtu, 07 Mei 2016
Social Media and Self Disclosure
Social Media addiction is a phenomenon. A lot of people have and use it. I admit it that I’m one of the social media active users among 72 million users in indonesia that pretty much feel the benefits and harms.
The impact delivered from a somewhat-person’s random posts in a social media may be a great deal for some even many people. Massive publications are created through shares or like buttons that instantly disseminate information unselectively; not only formal information from an official social media account, but also personal information from an individual. People including me utilize this technology also as a tool to express personal things. The information then may build assumption, prejudice, variety of personal perceptions, or the softer one is a decent knowledge regardless what the motives and purpose that the people try to either obviously showing it or instead hiding it.
Natalya Bazarova in her journal has conducted a research involving a group of students that are told to input their Facebook updates consist of status, wall post, and private message to a survey website. She seeks for the students’ motives behind their updates. The data shows that most of the updates relate to the reason of social validation and to develop a relationship. Social validation here means an approval or support seeking of a concept and relationship development aim to manage or maintain a relationship. Some updates also relate to the fact that people use social media to express thoughts and release pent up feelings. As an active user, I don’t use social media solely for one motive. I believe other people too. Here I’m focusing to the utilization of underlying purpose that whether unconsciously or not planted on humans’ brain when they use social media. It is self-disclosure.
Self-disclosure means to reveal personal information to others. In other words, motives that I told you in previous paragraph which are from Bazarova’s research are packaged in an action called self-disclosure in a social media. So, is it good to actually give personal information in a social media?
In 1955, Joseph Luft and Harry Ingham developed a tool called Johari Window to demonstrate the importance of self-disclosure by doing an open communication to build trusts. It contains of four quadrants that one of the quadrant says an open area which means that you know about yourself, so do other people; this area is encouraged to be widen. They believe that by telling our traits, skills, attitudes, and knowledge to people, trust between each other will improve because each of us know what to do when we face certain kind of condition with somebody. Frankly, I don’t reject the theory, but what happen if we openly share ourselves publicly through social media? Johari Window doesn’t tell us how if it applies in a virtual world where public is so much public. Does it improve trust?
Let’s take an example of Instagram (IG). I notice that people can make it private in the setting feature IG provides but let’s be honest that we see a lot of people bravely show the pictures publicly as if telling people “hey, this is me and my life, take a peek!”. Many users eventually become popular because of their pictures posted, whether it shows the beauty of girl faces, controversial pictures, or sensational one. We disclose ourselves through pictures. Without knowing the underlying motivation, we know that people are what they post. Some people will prefer a less public social media like Path when you need to add a person as a friend before taking a look at their posts. But what is the point when you know that the friends you have in a social media are no longer your inner circles? Is this kind of self-disclosure really healthy? Does it really build trust or all the way around?
Honesty and openness has come to people around the world, not only western society. Social media then somehow facilitate the openness. For introverts mainly, they probably more comfort to express thoughts and feelings –to be open- through writing rather than talking directly; they may feel less afraid of people’s comment when they post pictures to tell story rather than speaking out loud to people. Social media then become their friends; tumblr, blog, line, twitter, many more. In reality, introverts sometimes struggle to tell who they are unless it’s a deep conversation with a small group of people. To me, it is not a mistake. Yet, is this kind of ‘honesty’ really healthy when bias is actually present without others know? Does the person act the same way in real life like she/he writes or post virtually?
Extroverts also utilize the idea of virtual sharing with other motives rather than only feeling comfort. Self-disclosure aims to build trust, and also building motivation as a motivator says that people need to do self-branding to motivate, that probably many high achievers-extroverts and some introverts do this. But the thing is how far this self-disclosure really motivates people? Encourage people to do goods instead of making people keep comparing someone’s life that will create an unhealthy jealousy? How this self-disclosure really help each other build healthy environment instead of creating prejudices and stereotyping? Whether it’s a good or bad trait that we share in social media, how this self-disclosure is not seen and not done too much?
The underlying motivations that are classified by Bazarova in her journal more and less tell on how we manage our attitude toward social media. The motives include identity clarification, relation development, social validation, social control and resource gain, self-expression and relief of distress, information sharing to benefit others, and information storage and entertainment. Basically, trust that is expected from a self-disclosure surely depend on what information we share regardless the motives. The motives are basically humane but that doesn’t necessarily lead to a justification of all more detail derivative motives. People themselves who know how much the social media addiction harm them and others; they actually know when they have used social media too much, substantially and technically.
Everyone knows, too much is never good.
#selfreminder
The impact delivered from a somewhat-person’s random posts in a social media may be a great deal for some even many people. Massive publications are created through shares or like buttons that instantly disseminate information unselectively; not only formal information from an official social media account, but also personal information from an individual. People including me utilize this technology also as a tool to express personal things. The information then may build assumption, prejudice, variety of personal perceptions, or the softer one is a decent knowledge regardless what the motives and purpose that the people try to either obviously showing it or instead hiding it.
Natalya Bazarova in her journal has conducted a research involving a group of students that are told to input their Facebook updates consist of status, wall post, and private message to a survey website. She seeks for the students’ motives behind their updates. The data shows that most of the updates relate to the reason of social validation and to develop a relationship. Social validation here means an approval or support seeking of a concept and relationship development aim to manage or maintain a relationship. Some updates also relate to the fact that people use social media to express thoughts and release pent up feelings. As an active user, I don’t use social media solely for one motive. I believe other people too. Here I’m focusing to the utilization of underlying purpose that whether unconsciously or not planted on humans’ brain when they use social media. It is self-disclosure.
Self-disclosure means to reveal personal information to others. In other words, motives that I told you in previous paragraph which are from Bazarova’s research are packaged in an action called self-disclosure in a social media. So, is it good to actually give personal information in a social media?
In 1955, Joseph Luft and Harry Ingham developed a tool called Johari Window to demonstrate the importance of self-disclosure by doing an open communication to build trusts. It contains of four quadrants that one of the quadrant says an open area which means that you know about yourself, so do other people; this area is encouraged to be widen. They believe that by telling our traits, skills, attitudes, and knowledge to people, trust between each other will improve because each of us know what to do when we face certain kind of condition with somebody. Frankly, I don’t reject the theory, but what happen if we openly share ourselves publicly through social media? Johari Window doesn’t tell us how if it applies in a virtual world where public is so much public. Does it improve trust?
Let’s take an example of Instagram (IG). I notice that people can make it private in the setting feature IG provides but let’s be honest that we see a lot of people bravely show the pictures publicly as if telling people “hey, this is me and my life, take a peek!”. Many users eventually become popular because of their pictures posted, whether it shows the beauty of girl faces, controversial pictures, or sensational one. We disclose ourselves through pictures. Without knowing the underlying motivation, we know that people are what they post. Some people will prefer a less public social media like Path when you need to add a person as a friend before taking a look at their posts. But what is the point when you know that the friends you have in a social media are no longer your inner circles? Is this kind of self-disclosure really healthy? Does it really build trust or all the way around?
Honesty and openness has come to people around the world, not only western society. Social media then somehow facilitate the openness. For introverts mainly, they probably more comfort to express thoughts and feelings –to be open- through writing rather than talking directly; they may feel less afraid of people’s comment when they post pictures to tell story rather than speaking out loud to people. Social media then become their friends; tumblr, blog, line, twitter, many more. In reality, introverts sometimes struggle to tell who they are unless it’s a deep conversation with a small group of people. To me, it is not a mistake. Yet, is this kind of ‘honesty’ really healthy when bias is actually present without others know? Does the person act the same way in real life like she/he writes or post virtually?
Extroverts also utilize the idea of virtual sharing with other motives rather than only feeling comfort. Self-disclosure aims to build trust, and also building motivation as a motivator says that people need to do self-branding to motivate, that probably many high achievers-extroverts and some introverts do this. But the thing is how far this self-disclosure really motivates people? Encourage people to do goods instead of making people keep comparing someone’s life that will create an unhealthy jealousy? How this self-disclosure really help each other build healthy environment instead of creating prejudices and stereotyping? Whether it’s a good or bad trait that we share in social media, how this self-disclosure is not seen and not done too much?
The underlying motivations that are classified by Bazarova in her journal more and less tell on how we manage our attitude toward social media. The motives include identity clarification, relation development, social validation, social control and resource gain, self-expression and relief of distress, information sharing to benefit others, and information storage and entertainment. Basically, trust that is expected from a self-disclosure surely depend on what information we share regardless the motives. The motives are basically humane but that doesn’t necessarily lead to a justification of all more detail derivative motives. People themselves who know how much the social media addiction harm them and others; they actually know when they have used social media too much, substantially and technically.
Everyone knows, too much is never good.
#selfreminder
Sabtu, 23 April 2016
Hayo 23 April hari apa?
“Kita bisa jadi tahu banyak hal dari sekitar kita, namun buku membuat segalanya lebih terdefinisi.”
Mentor saya pernah berkata hal demikian. I was smiling that time, because yes I couldn’t agree more on that. I’m not that bookworm person walau banyak orang menganggap saya demikian. Mungkin karena kacamata tebal saya lol. Tapi saya sepakat. Buku memang membuat segalanya lebih terdefinisi. Hal yang terdefinisi memungkinkan seseorang menjadi lebih terbuka akan sesuatu, open minded, serta mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam menanggapi lingkungan sekitar. Membaca buku psikologi bagi saya adalah upaya menelanjangi karakter orang dengan cara yang bijak; membaca buku sejarah adalah upaya untuk belajar dari masa lalu melalui pandangan orang lain, menekan ego dan asumsi yang sering tak berdasar; membaca buku agama adalah upaya memperbaiki diri dan mencari kebenaran dibalik abstraknya arti ‘percaya’; membaca novel adalah upaya bersenang-senang tanpa harus takut kehilangan manfaat; membaca komik adalah cara mengistirahatkan otak dengan cara yang elegan #naon ini. Hehehe.
Indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001 which means in every 1000 Indonesians, we only have 1 person that love to read. I’m not judging you, saya sendiri masih sulit meluangkan waktu untuk membaca. But trust me, kata-kata klasik ‘buku adalah jendela ilmu’, well it is.
Contohnya ketika kita membaca buku psikologi.
In daily life we see many people with their own caharacters. Kadang kita melihat orang yang pendiam lantas kita tidak mau berteman dengannya, merasa “lo ga asik ah!” padahal she’s just being introvert with her own power. Susan Cain dalam bukunya menulis “I have seen firsthand how difficult it is for introverts to take stock of their own talents, and how powerful it is when finally they do.” Dalam bukunya pun Ia mengenalkan tentang Extrovert Ideal and stuff like that. Buat saya, membaca buku itu memberi definisi baru tentang karakter manusia yang pada dasarnya will help us to socialize. It helps us to accept people and help people to build their character in the right way. Because we know some terms. Terms define everything.
Atau ketika kita membaca novel.
Banyak novel yang memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian sehari-hari dengan berbagai peran di dalamnya. Kadang kita merasakan apa yang ada di dalam cerita dan memiliki asumsi tersendiri tentang suatu kejadian. Namun ketika melihat berbagai pendapat orang lain melalui peran yang dimainkan, rasanya kita bisa lebih pandai memaknai hidup. Haha.
Membaca buku agama?
Well, just be honest to ourselves. Kadang kita masih sering bertanya hal-hal kecil seperti jamak-qashar sholat yang benar seperti apa.
Membaca buku pelajaran?
Wkwk ini juga harus kok. Saya masih belajar banget buat yang ini. But here I talk more to books outside our field. Kalau hanya baca buku sesuai bidang kita, I guess its going to be hard to survive the world. Hahaha. Ekstremnya begitu. Sama seperti dengan blending with variety of people. Kalau kita hanya berteman dengan orang-orang yang sejenis dengan kita, gimana kita mau berkembang? Jika kita cuma bergaul dengan orang-orang pintar yang hobi baca farmakope tiap hari, we’re going to be a freak nerd that doesn’t have any other capability and doesn’t have wider value to others. Padahal untuk survive, we need skills more than we think.
Ilmu pengetahuan yang kita dapat dari sebuah bacaan dapat menyerap di otak kita sebagai sebuah fakta hingga pemahaman. Hal-hal yang masih membuat kita buta, membaca buku akan membuka mata kita. Hal-hal yang kita sudah tahu dasarnya, akan memperluas lagi wawasan kita. Hal-hal yang sudah kita tahu banyak, mungkin kita butuh suatu buku untuk membantu kita membuat segalanya jadi lebih terdefinisi dan terstruktur. Eventually, everything makes sense for us.
Membuat sesuatu menjadi lebih tertanam di otak harus lebih dari sekedar mendatangi seminar, browsing artikel, atau berdiskusi dengan orang lain. Books come to explain things comprehensively. Dari buku, seminar, dan berdiskusi, its going to be the perfect combination to, hopefully, create a real action toward our understanding. Hehe
Giving time to read is not easy, I know. Saya baru saja baca ini kemarin di akun line Metagraf, and I guess we can try this out to practice.
1. Borrow more books that you can read. Atau bisa juga beli buku sebanyak-banyaknya. Saya suka gatal kalau lihat buku masih banyak yang tersusun dan masih dalam plastik. Somehow akan ada urge buat baca. Bisa juga pinjam sama teman yang tipenya kasi deadline waktu pinjam, supaya termotivasi. Atau pinjam buku ke perpus dengan deadline juga.
2. Read more than one book at a time. Ini baru saya praktikan semester ini. Its not that bad though. Cukup efektif dalam eskalasi menambah pengetahuan wkwk. Hanya harus dijatah waktunya, misal baca novel di sela menunggu, baca buku lain sebelum tidur.
3. Set a goal per reading session. Yah misal setiap hari minimal harus baca 50 halaman.
4. Ignore what you ‘should’ be reading. Haha ini lagi saya coba banget. Biasanya saya baca buku-buku mainstream yang memang direkomendasikan orang, bukan atas dasar rasa ingin tahu diri sendiri. Tapi katanya, kita akan lebih termotivasi untuk membaca yang sesuai interest dan kita nikmati!
5. Practice speed-reading. Baca scanning gitu ya. It needs a lot of practice.
6. Read digitally across all your mobile devices. Untuk efektivitas dan efisiensi ini bagus banget. We can ready anytime and anywhere. Sayangnya mata saya cepat lelah kalau baca di smartphone lama-lama -.-
7. Read before going to bed. Menurut saya, ini cara yang paling ga buat merasa bersalah. Terkadang kita merasa bersalah membaca buku ketika tugas kuliah sedang menumpuk. Membaca di siang hari terus keasikan hingga lupa mengerjakan tugas. Well, read before going to bed will be the right choice, after we did all of our works.
Nah, semoga bermanfaat ya. Semoga kita bisa sama-sama sedikit-sedikit meluangkan waktu untuk membaca. Soal bacaan apa yang harus dibaca, mmmm, to me, We are what we read :)
Hayo 23 April hari apa?
Happy World Book Day!
Mentor saya pernah berkata hal demikian. I was smiling that time, because yes I couldn’t agree more on that. I’m not that bookworm person walau banyak orang menganggap saya demikian. Mungkin karena kacamata tebal saya lol. Tapi saya sepakat. Buku memang membuat segalanya lebih terdefinisi. Hal yang terdefinisi memungkinkan seseorang menjadi lebih terbuka akan sesuatu, open minded, serta mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam menanggapi lingkungan sekitar. Membaca buku psikologi bagi saya adalah upaya menelanjangi karakter orang dengan cara yang bijak; membaca buku sejarah adalah upaya untuk belajar dari masa lalu melalui pandangan orang lain, menekan ego dan asumsi yang sering tak berdasar; membaca buku agama adalah upaya memperbaiki diri dan mencari kebenaran dibalik abstraknya arti ‘percaya’; membaca novel adalah upaya bersenang-senang tanpa harus takut kehilangan manfaat; membaca komik adalah cara mengistirahatkan otak dengan cara yang elegan #naon ini. Hehehe.
Indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001 which means in every 1000 Indonesians, we only have 1 person that love to read. I’m not judging you, saya sendiri masih sulit meluangkan waktu untuk membaca. But trust me, kata-kata klasik ‘buku adalah jendela ilmu’, well it is.
Contohnya ketika kita membaca buku psikologi.
In daily life we see many people with their own caharacters. Kadang kita melihat orang yang pendiam lantas kita tidak mau berteman dengannya, merasa “lo ga asik ah!” padahal she’s just being introvert with her own power. Susan Cain dalam bukunya menulis “I have seen firsthand how difficult it is for introverts to take stock of their own talents, and how powerful it is when finally they do.” Dalam bukunya pun Ia mengenalkan tentang Extrovert Ideal and stuff like that. Buat saya, membaca buku itu memberi definisi baru tentang karakter manusia yang pada dasarnya will help us to socialize. It helps us to accept people and help people to build their character in the right way. Because we know some terms. Terms define everything.
Atau ketika kita membaca novel.
Banyak novel yang memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian sehari-hari dengan berbagai peran di dalamnya. Kadang kita merasakan apa yang ada di dalam cerita dan memiliki asumsi tersendiri tentang suatu kejadian. Namun ketika melihat berbagai pendapat orang lain melalui peran yang dimainkan, rasanya kita bisa lebih pandai memaknai hidup. Haha.
Membaca buku agama?
Well, just be honest to ourselves. Kadang kita masih sering bertanya hal-hal kecil seperti jamak-qashar sholat yang benar seperti apa.
Membaca buku pelajaran?
Wkwk ini juga harus kok. Saya masih belajar banget buat yang ini. But here I talk more to books outside our field. Kalau hanya baca buku sesuai bidang kita, I guess its going to be hard to survive the world. Hahaha. Ekstremnya begitu. Sama seperti dengan blending with variety of people. Kalau kita hanya berteman dengan orang-orang yang sejenis dengan kita, gimana kita mau berkembang? Jika kita cuma bergaul dengan orang-orang pintar yang hobi baca farmakope tiap hari, we’re going to be a freak nerd that doesn’t have any other capability and doesn’t have wider value to others. Padahal untuk survive, we need skills more than we think.
Ilmu pengetahuan yang kita dapat dari sebuah bacaan dapat menyerap di otak kita sebagai sebuah fakta hingga pemahaman. Hal-hal yang masih membuat kita buta, membaca buku akan membuka mata kita. Hal-hal yang kita sudah tahu dasarnya, akan memperluas lagi wawasan kita. Hal-hal yang sudah kita tahu banyak, mungkin kita butuh suatu buku untuk membantu kita membuat segalanya jadi lebih terdefinisi dan terstruktur. Eventually, everything makes sense for us.
Membuat sesuatu menjadi lebih tertanam di otak harus lebih dari sekedar mendatangi seminar, browsing artikel, atau berdiskusi dengan orang lain. Books come to explain things comprehensively. Dari buku, seminar, dan berdiskusi, its going to be the perfect combination to, hopefully, create a real action toward our understanding. Hehe
Giving time to read is not easy, I know. Saya baru saja baca ini kemarin di akun line Metagraf, and I guess we can try this out to practice.
1. Borrow more books that you can read. Atau bisa juga beli buku sebanyak-banyaknya. Saya suka gatal kalau lihat buku masih banyak yang tersusun dan masih dalam plastik. Somehow akan ada urge buat baca. Bisa juga pinjam sama teman yang tipenya kasi deadline waktu pinjam, supaya termotivasi. Atau pinjam buku ke perpus dengan deadline juga.
2. Read more than one book at a time. Ini baru saya praktikan semester ini. Its not that bad though. Cukup efektif dalam eskalasi menambah pengetahuan wkwk. Hanya harus dijatah waktunya, misal baca novel di sela menunggu, baca buku lain sebelum tidur.
3. Set a goal per reading session. Yah misal setiap hari minimal harus baca 50 halaman.
4. Ignore what you ‘should’ be reading. Haha ini lagi saya coba banget. Biasanya saya baca buku-buku mainstream yang memang direkomendasikan orang, bukan atas dasar rasa ingin tahu diri sendiri. Tapi katanya, kita akan lebih termotivasi untuk membaca yang sesuai interest dan kita nikmati!
5. Practice speed-reading. Baca scanning gitu ya. It needs a lot of practice.
6. Read digitally across all your mobile devices. Untuk efektivitas dan efisiensi ini bagus banget. We can ready anytime and anywhere. Sayangnya mata saya cepat lelah kalau baca di smartphone lama-lama -.-
7. Read before going to bed. Menurut saya, ini cara yang paling ga buat merasa bersalah. Terkadang kita merasa bersalah membaca buku ketika tugas kuliah sedang menumpuk. Membaca di siang hari terus keasikan hingga lupa mengerjakan tugas. Well, read before going to bed will be the right choice, after we did all of our works.
Nah, semoga bermanfaat ya. Semoga kita bisa sama-sama sedikit-sedikit meluangkan waktu untuk membaca. Soal bacaan apa yang harus dibaca, mmmm, to me, We are what we read :)
Hayo 23 April hari apa?
Happy World Book Day!
Rabu, 20 April 2016
Farmasi dan Perempuan
Jurusan farmasi sepertinya menjadi incaran kaum hawa. Tanyakan pada sahabat perempuanmu di farmasi, berapa dari mereka yang baru tahu bahwa jurusan ini didominasi oleh perempuan setelah ia masuk ke dalamnya. Tanyakan apakah mereka menyesal masuk ke jurusan ini, karena jawabannya akan terdiri dari ‘tidak’ karena farmasi menyenangkan dan menantang dan ‘ya’ karena farmasi miskin kaum adam. Ga deng, canda.
Menjadi mahasiswi farmasi, mau tak mau bergelut dengan kebaperan di atas rata-rata karena perasaan lunak wanita, perbedaan standar banjir air mata, sikap bocah yang merajalela walau usia menua, tapi banyak juga yang dewasa, hanya saja, sepertinya peran logika kurang ada.
Menjadi mahasiswa farmasi, mau tak mau menjadi tumbal kemanjaan sekaligus kemalasan perempuan. Mulai dari menjadi ketua segala kelas, ahli menyalakan proyektor, hingga menjadi andalan segala kebutuhan logistik.
Saya masih ingat kala itu, teman saya dari jurusan teknik X menawarkan saya membawakan tas yang padahal dari fisiknya terlihat tas itu tidak berat sama sekali. Saya spontan berkata “apaan sih?”. Saya lupa, kampus saya penuh dengan laki-laki yang terdidik bahwa kaum adam harus membawakan tas wanita. Ga deng, maksudnya harus peka dengan beban perempuan. Apalagi saat itu, lagi masa-masanya ospek jurusan di mana semua laki-laki berubah menjadi tukang ojeg yang bahkan tak perlu dipanggil dan dibayar sudah menawarkan jok belakang motor; berubah menjadi tukang kuli sukarela yang mungkin kalau diminta membuat candi prambanan tadingan pun akan legowo saja. Hehe.
Terbayang seperti apa ospek jurusan farmasi? Mungkin akan terlihat merepotkan ketika membayangkan secuil laki-laki harus mengantar bolak-balik teman perempuannya ke rumah hingga harus tumpuk empat. Mungkin akan terlihat menggemaskan ketika para lelaki mencoba membawa tas teman perempuannya, ya di lengan kanan ada 3, lengan kiri ada 2, di leher 2, bahkan di kaki? Ini hanya contoh ekstrem. Lol. No, they don’t do that. Lelaki farmasi mungkin dituntut untuk melakukan segala aktivitas secara efektif dan efisien tanpa harus membebani perempuan.
Memang, ada apa dengan perempuan?
An-Nisa ayat 34 berbunyi (eits, mainnya udah ayat aja, gpp ya hitung-hitung nambah ilmu agama, bukan bahasan berat kok, selow ae)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”
Agama pun mengajarkan betapa pentingnya peran seorang lelaki, khususnya dalam hal memimpin. Memimpin ini kemudian diinterpretasikan dalam segi tanggung jawab, mengayomi, dan melindungi perempuan. Sementara perempuan dinobatkan sebagai seorang yang layaknya dilindungi serta sebagai madrasah utama anak-anak, penjamin lahirnya generasi emas masa depan #tsah.
Norma dan sosial pun berperan. Warga Asia dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda terkait perempuan sampai Raden Ajeng Kartini pun terinspirasi oleh sahabatnya di Belanda dalam melihat peran perempuan. Terbitlah terang, emansipasi wanita di Indonesia muncul ke permukaan. Waktu berjalan, affirmative action dielu-elukan, hingga muncul juga paham feminisme. Entahlah sejarahnya seperti apa (lagi malas browsing sis), intinya perempuan hari ini sudah mendapatkan hak dan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun, mungkin karena kentalnya ajaran Islam di Indonesia serta norma penghuni dunia belahan timur kebanyakan, kultur laki-laki adalah pelindung wanita masih sangat kuat.
Secara ilmiahnya, laki-laki memiliki kodrat yang memang condong sebagai orang yang mampu untuk melindungi perempuan. Fisik yang cenderung lebih kuat, ambang baper yang berbeda dengan wanita, duh yah pokoknya tahu kan maksudnya apa. Lelaki memang dikodratkan demikian.
Sungguh, saya sebagai perempuan merasa sangat terhormat diberikan kedudukan seperti itu. Siapa perempuan yang tidak ingin dilindungi? Payung saja tidak cukup untuk menghalau badai dan jaket berlapis tak cukup ampuh menahan sengatan panas jika dibandingkan dengan seorang lelaki yang kuatnya melebihi tameng baja. *ini apaan sih*
Perempuan di sisi lain memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan berarti perempuan tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, bukan berarti perempuan harus bermanja-manja dan menggantungkan hidupnya penuh pada seorang lelaki, bukan berarti perempuan sah untuk mengeluh meminta menikah ketika beban kuliah dirasa berlimpah *lah*. Perempuan dan laki-laki memiliki porsi tanggung jawab dan kepemimpinan masing-masing sesuai dengan kodratnya.
Perempuan dan farmasi (ini judul dan konten kok agak ga nyambung ya). Menjadi perempuan yang kesehariannya dikelilingi oleh perempuan mungkin membuat tabiat anak farmasi berbeda? Entahlah. Mungkin. Bisa jadi. Namun yang saya rasakan sedikit banyak adalah soal keterlibatan perempuan untuk membangun himpunan. Posisi sekjen hingga ketua divisi yang kemudian didominasi oleh ciwi-ciwi haruslah menjadi momen pembelajaran yang luar biasa dalam menjadi seorang pemimpin. Menjadi anggota perempuan yang dipimpin lagi oleh perempuan kadang mungkin sulit, penuh toleransi dan bawa perasaan. Menyadari ketua himpunan yang sering adalah seorang laki2 (HMF pernah punya kahim cewek ga ya?), seharusnya dijadikan wadah kami untuk lebih mengerti peran perempuan. Jangan sampai jadi manusia yang hanya ingin dimengerti, namun harus juga memberi pengertian #yuhu. Menjadi penggerak himpunan harusnya bisa dijadikan alat untuk mengelola baper. Saya jadi teringat seorang pimpinan organisasi yang bilang bahwa saya bersifat passive agresive dalam memimpin, yah mungkin itu karena saya yang sudah sakit hati dan berniat profesional, tapi malah gagal karena baper sepertinya sulit untuk disembunyikan wkwk. Kan perempuan juga ingin dimengerti #nahloh.
Anyway, bukan hanya farmasi yang didominasi perempuan, beberapa jurusan lain pun ada. Semoga kondisi ini tidak mengurangi peran perempuan yang sebenarnya. Karena sejatinya perempuan hidup bukan hanya untuk mereview drama korea, bukan pula untuk sekedar bergosip ria dan belanja, bukan juga untuk menjustifikasi kebaperan-kebaperan yang ada, bukan juga untuk memamer2kan rupa yang jelita. Apa yang harus dilakukan perempuan jelas jauh lebih dari itu. Kalau kata akun Teh Jasmine, perempuan janga cuma modal cantik karena di tangannya lah kunci peradaban manusia. #tsah. Perempuan hari ini beruntung, tidak perlu repot2 memperjuangan haknya seperti di zaman kartini dulu. Sayang seribu sayang ketika perempuan hanya diam saja. Kuncinya adalah seimbang, memahami kodrat dan potensi perempuan. Kok ya saya ngomong kaya sudah paham benar tugas perempuan. Sambil sama2 belajar lah ya.
Terakhir, di hari kartini ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para sahabat lelaki di farmasi hehehe, khususnya untuk Femi, Yahya, dan Elkana, “cokiber”nya FKK. Para sahabat yang mengajarkan arti penting suplementer dan komplementer manusia. Sahabat yang tetap berusaha memposisikan diri mereka sebagai para pelindung wanita #ea. Para sahabat yang rela mendengar gosipan dan teriakan ciwi-ciwi walau dalam hati mungkin merasa tersiksa. Para sahabat yang sabar meladeni kebaperan dan kebocahan kami tanpa pernah menyalahkan perasaan yang menunggangi hati kami ini wkwk. Maaf jika kami kelewatan. Bimbing kami untuk menjadi perempuan yang sesuai kadarnya :p Semoga kita bisa saling peka dan peduli satu sama lain hingga nanti (duh baper mau pada lulus). Saya selalu ingat ketika menjadi peserta dan panitia ospek jurusan dengan kehadiran lelaki yang segelintir. Semoga kondisi tersebut yang tetap ada hingga sekarang, dapat mengajarkan para lelaki untuk tetap mengayomi tanpa memanjakan kami, memandirikan tanpa membebani kami :3
Yay. Selamat hari Kartini! Terbitkan terang secukupnya!
Rabu, 17 Februari 2016
Menikahlah, Nak
“Rina, itu mana teh buat tamu?!”
Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,
“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”
Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.
“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.
“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.
“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”
“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”
Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”
***
Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.
“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”
Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.
Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.
“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.
Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”
“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.
“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.
Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.
Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?
***
“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”
Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.
“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.
“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”
Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.
Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.
“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”
Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.
“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.
“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”
“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.
“Girl! Get a life!”
***
Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.
Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.
Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.
“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.
“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.
Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.
“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.
“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.
“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.
“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.
“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”
Aku terdiam.
***
Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.
“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.
“Ibu gagal mendidikmu.”
Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.
Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.
“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”
Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.
“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.
“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”
Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…
Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”
Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.
“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.
Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.
“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,
“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,
“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”
Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.
“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”
Aku pun menurut.
Aku mendengar sayup-sayup suara ibu setengah berteriak dari ruang tengah. Aku yang sedang mempersiapkan teh di dapur pun balas berteriak,
“Iya ibuu, ini sedang disiapkan”
Ibuku. Seseorang yang baru ku sadari adalah seorang ibu yang gercep, begitu setidaknya anak muda zaman sekarang menyebutnya. Gercep, kepanjangan dari gerak cepat. Aku tidak pernah ingin berteriak pada ibu, tapi mulutku selalu gatal tiap kali aku diomeli macam-macam soal urusan dapur, dan aku baru paham akhir-akhir ini apa alasan ibuku selalu berteriak demikian. Aku lamban menurutnya; ibu tak pernah bilang begitu namun sekarang aku dapat merasakannya.
“Honey, ini dipotong-potong seperti ini. Aduh, kamu itu, ini kenapa dibiarkan saja, dipotong-potong juga biar gampang dimakannya”
Selalu begitu. Padahal aku hendak melakukannya, hanya saja aku masih pada potongan kue ke-2 sedang ibu sudah mau mengambil kue ke-6.
“Dang, its hot!” aku menjerit seraya menarik tanganku yang baru saja bersentuhan dengan wajan panas, hendak mengambil kue di belakang wajan itu.
“Rinaaa, itu sudah tau ada wajan panas, ya disingkirkan dulu dong”
“Rina, Masya Allah, this plate is not for hot stuffs; you’re just about to melt this thing. Ini pula, masa mau menyajikan makanan buat tamu pakai wadah yang ini.”
Entah ini kesalahanku yang ke berapa. Bukan, bukan yang ke tiga. Aku hanya ingin mempersingkat cerita yang ku buat. Cerita mengenai kesalahan-kesalahan yang membuat ibu tidak memercayai aku untuk urusan dapur. Well, sebenarnya bukan untuk urusan dapur saja, lebih tepatnya, urusan kerumahtanggaan. Semakin hari aku semakin tahu kenapa Ibu yang biasanya membiarkanku mengurus urusan kantor, tiba-tiba sering memintaku beres-beres rumah, memasak, bahkan menyuruhku menjaga anak tetangga; namun tugas-tugas itu selalu berujung diselesaikan oleh ibu karena aku yang tak mahir. Ini terjadi tiap kali aku pulang ke rumah, kampung halamanku yang jarang sekali aku singgahi enam tahun belakangan. Alasan perlakuan ibu padaku yang kemudian dipertegas dengan pertanyaan eksplisit dari Ayah.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?”
***
Hari ini langit seperti hendak berbicara padaku yang sedang duduk melamun di teras rumah, namun ia ragu. Mendungnya malu, terangnya pun urung bertemu. Ayah menghampiriku dengan kursi rodanya, bertanya lembut.
“Nak, bagaimana? Ayah sudah seminggu begini digantung. Mumpung Ayah masih hidup, Nak.”
Aku menoleh dan tersenyum pada Ayah. Senyum yang entah aku sendiri tidak tahu maknanya. Ya, Ayah berkali-kali memintaku menurut padanya soal rencana perjodohanku dengan anak teman Ayah. Aku meminta waktu pada Ayah untuk berpikir namun pikiranku sendiri buntu. Aku bertanya pada rumput dan sayangnya rumput hanya diam, justru angin yang membuat rumput bergoyang seperti mencelaku dengan gelengan kepalanya. Ah, bahkan rumput tak punya kepala. Hingga hari ke-7, deadline aku berpikir sudah habis dan aku masih berusaha dengan bertanya pada langit yang ternyata langit pun sama dilemanya denganku.
Jangan salah paham. Aku bukan atheis yang tidak percaya Tuhan. Aku bukan penganut animisme yang menyembah rumput, pohon, dan langit untuk meminta wangsit. Shalat lima waktu sudah aku tegakkan, sunnah rawatib aku dekatkan, shalat dhuha seperti teman main pagiku, waktu tahajud selalu ada menemani air mataku, dan istikharah sudah seperti mata kuliah 26 sks setiap satu minggu. Aku tidak tahu diri jika aku bilang aku lelah berdoa, namun aku tidak tahu lagi harus apa. Apakah redaksi doaku kurang puitis sampai Allah tak rela hati mengabulkan doaku? Ataukah sajadahku melenceng sekian derajat sampai sujudku tidak sampai pada kiblatNya? Ah pertanyaan macam apa itu.
“Well, you give me a week Dad. It will be exactly a week on 23.59 tonight, right?” Aku akhirnya bicara setelah lama memandangi Ayah sambil mentrace back usahaku berdoa dalam urusan ini.
Ayah terbatuk kemudian tersenyum. “Take your time, honey. Just don’t forget to mention me in your pray. Doakan keselamatan Ayah di sisa-sisa waktu sampai 23.59 itu ya.”
“Was it supposed to be a threat? Dad, come on, don’t do this to me.” Aku tak habis pikir kenapa Ayah berkata demikian. Aku menyadari betapa sakitnya Ayah sudah sangat parah. Usia senja menggerogoti seluruh tubuhnya hingga ia harus menghabiskan sisa waktunya di kursi roda dan mempertaruhkan nyawanya pada pil-pil obat yang bukan main banyaknya. Namun, urusan menikah tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah.
“It wasn’t a threat. I’m just trying to help you.” Ayahpun berlalu.
Ini adalah kisah orang tua dan gadis semata wayangnya. Aku, si sulung dengan tiga adik laki-laki. Jika kalian percaya bahwa bungsu diciptakan untuk diberi kasih sayang paling banyak dari orang tua, menurutku itu hanya mitos, legenda, fiksi, urban legend. Setidaknya, hal tersebut tidak berlaku di keluargaku; karena aku adalah pemilik tahta itu, tahta si bungsu yang kemungkinan besar dicuri oleh malaikat yang menjagaku. Orang tuaku terlalu menurut pada keinginanku. Tidak, aku bukan anak bungsu yang dimanjakan dengan cara dibelikan berbagai mainan, dibuatkan kamar nyaman seperti hotel bintang lima atau di antar-jemput dengan mobil limousine oleh supir pribadi. Karena aku tidak menginginkan itu. Keinginanku adalah menjadi wanita karir, wanita yang mampu menghasilkan uang dari keringat sendiri, wanita yang tidak terkungkung oleh laki-laki anti Kartini, wanita yang bisa berekspresi sebebas yang aku mau. Alhasil, cara orang tuaku memanjakanku adalah dengan menyekolahkanku ke sekolah terbaik yang pernah ada di dunia dan menjamin kesehatanku. Hey, jika kalian kecewa pada bangsa Indonesia yang katanya anti dengan tindakan preventif kesehatan, bersyukurlah bahwa Indonesia masih punya Rina yang cinta dengan check up, vitamin, dan olahraga.
Ya, aku terlahir menjadi wanita mandiri karena aku dimanjakan orang tuaku. This isn’t a paradox, just…think about it. Mungkin orang akan berpikir bahwa aku hanyalah anak yang memanfaatkan orang tuanya demi ambisi pribadi?
***
“Straight A during 4 years in college, perfect GPA, best undergraduate student from Stanford University, a chairman for many communities, most of them are woman communities, and… volunteers in many woman social activities… are you a feminist?”
Mr. Barnard, Seorang interviewer dari perusahaan ternama di Kota New York mewawancaraiku 2 bulan yang lalu, tepat setelah aku mendapat gelar S2ku. Aku mengernyitkan dahi ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis.
“No, I guess not.”
Mr. Barnard menatapku tak percaya.
“Well, if you mean feminist as it defines in literal meaning, I am one of them.”
Mr. Barnard mengangguk pelan kemudian ia kembali tenggelam dalam curriculum vitaeku.
Wawancara itu cukup mudah. Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku tadi disertai dengan track recordku yang sangat baik, aku bisa menjeblos kriteria yang diinginkan perusahaan tersebut. Perusahaan yang menginginkan wanita kuat dan pekerja keras dalam menjalankan roda menejemen perusahaan. Walau, well, aku tak yakin jawaban apa yang diinginkan Mr. Barnard ketika ia bertanya apakah aku seorang feminis. Apakah salah menjadi seorang feminis? Memang sejatinya definisi feminisme telah bergeser di zaman sekarang. Banyak wanita pembela hak kesetaraan gender kemudian tidak mau dianggap feminis karena terkonotasi ekstrem. Baiklah, katakan aku seorang feminis, tapi toh aku tidak melabrak Tuhan karena Ia mengedepankan laki-laki sebagai seorang pemimpin lantas aku seketika menjadi kafir; aku tidak pernah menyangkal seorang rapist yang memerkosa wanita dengan alasan wanita tersebut berpakaian super mini sampai aku sepakat tentang hak wanita ber”telanjang”. Aku hanya ingin wanita punya kesempatan yang sama dengan para pria. Menjadi seorang pemimpin, bekerja membanting tulang, memiliki suara yang didengar, menjelajah berbagai pengalaman dan kesempatan bukan mengerjakan pekerjaan rumah yang membosankan.
“Girl, give yourself a break. Youre such a workaholic, aint you?”
Ataya memberikanku surat yang ia dapat dari loker asramaku, surat dari perusahaan yang datang satu minggu setelah wawancara. Aku menyambar surat itu, tak sabar membukanya.
“Man!! I got it! This company is recruiting me!! God dang, I made it!”
Aku melompat dari tempat dudukku dan memeluk Ataya saking senangnya. Wawancara yang kulalui berhasil dan aku akan menuju pada tahap selanjutnya. Satu tahap lagi sampai aku bisa bekerja di perusahaan idamanku.
“You shouldn’t have jumped like a crazy happy girl that just hit by a handsome guy, Rin. Lo bilang sama gue kalau lo yakin lo bakal diterima kan?”
“Yup. Tapi tetap aja gue seneng Ya, seneng banget!” Aku melepaskan cengkraman pelukanku dari sahabat baikku itu, aku keluar kamar hendak menelepon Ayah dan Ibu.
“Anyway, you said something about handsome guy hitting on me? Nah, gue bakal tampar dia kali, ganggu-ganggu mimpi gue aja.” Aku pun berlalu. Aku sempat mendengar Ataya berteriak saat aku membuka pintu kamar.
“Girl! Get a life!”
***
Apa maksud Ataya dengan kata ‘Get a life’ nya? Aku merasa hidup dengan aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dengan semua prestasi-prestasi, berbagai organisasi yang kuikuti, karirku yang terus maju dengan segala pencapaian-pencapain keberhasilan di berbagai proyek perusahaan. Semua aku lalui dengan kerja keras, tekun, terampil, dan semua yang aku bisa. Jika Ataya dan teman-temanku yang lain sering bergonta-ganti pacar, aku tak rela otakku ini dibubuhi bumbu-bumbu cinta yang paling-paling kebanyakan cinta monyet. Jangan menganggapku tak suka pada laki-laki, aku pun melewati masa pubertas yang dialami semua orang. Masa jatuh cinta dengan chemistry terbuai cinta, masa di mana aku merasa perutku dihinggapi bahkan rasanya bukan oleh kupu-kupu terbang tapi seperti ada iguana yang mondar-mandir di lambungku, masa ketika pembuluh darahku berdilatasi dan menimbulkan kemerahan pada ke dua pipiku. Hanya saja, yang membedakan aku dan teman-temanku soal jatuh cinta adalah aku mampu dengan cepat mengembalikan cinta dari jatuhnya sebelum ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku fokus pada keinginanku sejak kecil, menjadi seorang wanita karir, dan jatuh pada laki-laki hanya akan menghambat keinginanku.
Tiga tahun aku merintis karir dan karirku melesat, satu tahap lagi maka aku dapat menduduki posisi prestigious idamanku. Aku menjadi wanita super sibuk yang menjadikan apartemenku hanya sebagai gerubuk singgah untuk berteduh dari terik matahari yang membakar, sedangkan setiap hari, matahari bagiku selalu bersinar cerah, sesekali terbakar jika aku lelah bekerja. Kampung halaman hampir tidak pernah aku jejaki, walau Ayah dan Ibu setahun belakangan memintaku pulang. Banyak wanita yang merasa menyesal memilih pekerjaan yang sangat menyita waktu, menstigma pekerjaan mereka sebagai sebuah hasrat yang memerkosa kebebasan mereka untuk menjadi wanita yang sewajarnya, wanita yang mengurus suami dan merawat anak. Hal ini tidak berlaku bagiku. Orang tuaku pun tak pernah protes akan sifatku yang seperti ini hingga suatu ketika aku menyempatkan pulang ke rumah, ke Indonesia, tepat di hari ulang tahunku yang ke 28.
“Kapan kamu berniat untuk menikah, Nak?” Pertanyaan ini muncul pertama kali dari mulut Ayah, saat itu, saat ulang tahunku yang ke-28. Ayah terbaring pucat di ranjang.
Langit akhir-akhir ini selalu enggan menunjukkan perasaannya padaku. Ia selalu malu jika ia bersedih, mendungnya selalu berwarna abu pekat tapi kemudian menghilang dan tergantikan dengan warna langit cerah. Ia mungkin malu jika harus menangis, ia mungkin tak tega melihat tanaman-tanaman layu tersiram air yang terlalu banyak, ia mungkin tak sampai hati melihat pengamen-pengamen yang tidak bisa turun ke jalan karena hujan. Sama seperti aku saat ini, menyembunyikan air mataku di depan Ayah dan Ibu, menyembunyikan rasa khawatir dan takutku di depan Ayah yang terkapar di atas ranjang dengan belalai-belalai dari tabung oksigen dan infus. Tak sampai hati jika Ayah harus melihatku menangis.
“Ibu kenapa ga bilang sih bu?!”
Aku hanya bisa marah saat itu karena ke dua orang tuaku menyembunyikan sakit Ayah. Kelopak mata berusaha membendung air mataku.
“Ibu tidak tega memberi tahu kamu Rin, I know you’re too busy, I was afraid it would bother you.”
Ini yang kumaksudkan soal memanjakan. Ibu selalu merasa bahwa aku tahu jalan yang benar buat diriku sendiri, yang terpenting aku sehat dan bahagia, itu poin ibu.
Selama dua tahun berikutnya aku menyempatkan untuk pulang lebih sering. Aku sadar hal ini akan memperlambat proses karirku, namun aku tak mau jadi anak durhaka yang tidak peduli pada orang tuanya yang sakit.
“Ka, memangnya kakak mau kapan menikah? Ayah sudah sakit-sakitan begitu, pasti kepengen nimang cucu sebelum dipanggil.” Adikku yang ke dua bertanya serius saat aku pulang ke rumah untuk ke lima kalinya setelah aku mendengar kabar Ayah sakit.
“Lah kamu lihat kan seberapa sering ibu marah-marah sama kakak karena ga becus urus rumah? Kakak ga bakat jadi istri orang.” Aku menjawab sekenanya, walaupun itu memang jawaban ada benarnya.
“Ka, urusan gituan bisa belajar ka. Aku yakin. Kan ibu sekarang lagi sering-seringnya minta kakak urus rumah. Kakak ini gadis satu-satunya di keluarga ini. Aku sebagai adik pertama kakak yang terpaut 7 tahun dan belum bekerja ga mungkin menikah duluan.” Adikku yang pertama menambahi. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan Ayah mengusikku akhir-akhir ini. Pertanyaan yang ia lontarkan entah sudah yang ke berapa di hari ini.
“Dek, menikah itu ga mudah. Apa jadinya kalau sudah ada seorang laki-laki di sisi kakak? Bagaimana kakak bisa explore dengan kerjaan kakak. Kalau kakak ada meeting di Jerman? Australia? Suami kakak ga mengizinkan? Anak ditelantarkan? Bagaimana? I need a freedom, my dear brothers. I feel alive by doing this.” Akhirnya aku menjawab jujur.
“Ibu salah ya Rin.” Tiba-tiba ibu muncul dari kamar lantas ikut dalam perbicangan.
“Ibu tidak bisa mendidik seorang gadis layaknya seorang gadis. Kenapa dahulu Ibu selalu menuruti kemauanmu untuk sekolah tinggi dan sibuk degan segala aktivitasmu. Ibu selalu menyerahkan urusan dapur pada si mbok, tidak pernah memintamu beres-beres rumah, tidak pernah berdiskusi denganmu tentang jati diri seorang wanita, ah…ibu menyesal. Ibu hanya mementingkan kebahagiaan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Ibu gagal mendidikmu.”
Aku terdiam.
***
Usiaku menginjak angka 32, aku berhasil mencapai posisi yang aku inginkan di perusahaan. Posisi tinggi yang disegani, bekerja di belakang layar, hanya tinggal meminta anak buah mengerjakan pekerjaan lapangan; aku pun senang aku punya waktu kapanpun untuk pulang.
“Mom, I’m now settled. Yes, this what I call settled. Aku bisa pulang lebih sering.” Aku tersenyum lebar sambil menyambut hangat pelukan ibu. Lihat, aku bukan wanita karir yang lupa rumah sama sekali kan? Aku sayang orang tuaku lebih dari apapun. Aku mencoba membuka mata dan hatiku ketika ibu berkata bahwa ia gagal mendidikku. Aku mencoba merecall masa kecilku, bagaimana orang tua mendidikku dan adik-adikku. Bagaimana ibu membebaskanku untuk bekerja sebagai apapun, bagaimana Ayah merelakan uangnya digunakan untuk aku mengambil kursus dan melakukan kegiatan apapun, bagaimana ibu dan Ayah selalu percaya padaku bahwa aku tahu keputusan terbaik buat diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kembali tentang hakikat seorang wanita dari buku-buku agama, buku psikologi, dan buku-buku lain yang mendukung. Aku membaca buku parenting, bukan untuk melatih diriku namun aku penasaran apakah didikan orang tuaku sudah benar. Mungkin ini terdengar lucu, namun aku tetap melakukan itu dan buku itu pun bercerita tentang banyak hal. Aku tahu bahwa orang tua tidak bisa menyerahkan segala keputusan begitu saja pada anaknya, aku tahu jelas itu, common sense setiap orang pasti sampai di titik itu. Hanya saja, membaca buku membuat segalanya lebih terdefinisi. Ya, orang tua dan anak perlu berdiskusi untuk kebaikan bersama.
“Ibu gagal mendidikmu.”
Kalimat itu terngiang kembali di kepalaku saat aku memeluk ibu. Tidak, aku tak sudi jika hati memintaku untuk menyalahkan ibu sepenuhnya. Aku seharusnya sudah cukup dewasa dalam memilih jalan hidup. Penyesalanku untuk menjadi wanita karir memang sempat muncul saat aku mulai mengenal diriku kembali, mengenal orang tuaku, dan mengenal hakikat seorang wanita yang sesungguhnya, melalui buku-buku yang ku baca serta melalui kontemplasi padaNya. Menjadi wanita karir bukan suatu kesalahan, namun menjadi wanita yang lupa akan jati diri dan tugasnya, itulah kesalahan, dan aku sepertinya sudah pada poin melupakan tugasku sebagai seorang wanita.
Akhirnya, aku mulai membaca buku mengenai esensi pernikahan. Dari situlah aku tahu bahwa ketika kelak aku menikah, baktiku akan pindah pada suamiku.
“I’m happy for you darl.” Ibu berkata tulus, aku bisa merasakan itu. Aku yakin ibu pasti senang mendengar anaknya akan sering pulang.
“Hm..Rin. Ayah mau ngomong sama kamu.”
Saat itulah Ayah memberiku due date untuk memutuskan. Satu minggu waktu berpikirku untuk menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Siti Nurbaya selintas lewat di kepalaku, entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana wajah icon yang diperbincangkan oleh anak muda ketika dijodohkan itu, setelan kebaya dengan rambut disanggul mungkin sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan gadis itu. Anyway, memang tidak banyak laki-laki yang mendekatiku, entah karena aku tidak peka atau memang aku tidak laku, yang pasti aku tidak peduli dengan itu karena dulu aku fokus pada karirku.
“Rin, don’t judge your parent if someday you beg them for hooking you up with any men they know because your attitude. Cowok bisa ga berani lamar lo karena posisi dan kelakuan lo yang super woman itu ya Rin.” Suatu hari Ataya mengingatkanku.
“You might not care about having a relationship with a guy today, but someday when you are all alone, when everyone around you have got married and when your parents died, lo gatau lagi di mana lo harus berpijak, mencari perhatian dan perlindungan, menemani lo saat lo sendiri, dsb. Lagi pula, bukankah agama kita mengajarkan tentang keberkahan menikah? We have God, but a husband and kids indeed are our friends on earth to get to Him. As long as you are able to get married, you better do it, girl. And I know you are more than capable.”
Kalimat Ataya dua bulan lalu terlintas di pikiranku. Nyatanya, aku tak pernah memohon pada Ayah dan Ibu untuk dijodohkan, mereka lah yang berinisiatif demikian. Namun aku paham sekarang maksud Ataya, hanya saja…
Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Rin, sudah 23.59.”
Aku membuka pintu kamarku. Mataku sembab akibat menangis sejak Ayah menagih jawabanku tadi pagi di teras rumah dan aku yakin Ayah sadar akan hal itu. Ayah mengajakku duduk di ruang tengah.
“Rin, tell me what make you doubt. Kamu bilang kamu udah settled, udah ga kerja kasar lagi, you should be capable on taking care of a family. Ini bukan semata-mata masalah usia senja Ayah, namun sejatinya seorang wanita punya peran lain yang bisa ia tunaikan selama ia mampu melakukannya.” Ayah berkata sambil tersenyum lembut.
Aku memandang Ayah lama. Keriputnya menandakan perjuangan keras Ayah dalam menafkahi keluarga, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia tak pernah sekalipun menyesal memiliki gadis durhaka sepertiku, ya aku durhaka dengan segala ambisi pribadiku. Enam tahun aku jarang sekali pulang karena berkutat dengan ambisi karirku. Enam tahun aku jarang pulang karena dokumen-dokumen yang menungguku di kantor, benda mati yang mengalahkan teguran orang tuaku untuk pulang. Enam tahun aku jarang pulang karena mengikuti hati beku dan keras kepalaku akan mimpi yang terajut indah di mataku, sebuah kebahagiaan fana yang sudah diraih ternyata mengalahkan iming-iming kebahagiaan hakiki akan bakti pada orang tua. Aku memberanikan diri mengucapkan kekhawatiran terbesarku saat ini.
“Yah, aku sudah sadar akan peranku sebagai seorang wanita. Hanya saja…aku belum siap memindahkan bakti pada suamiku kelak, aku punya hutang besar yang belum aku tunaikan, bakti kepada Ayah dan Ibu. Izinkan Rina meminta waktu hingga hutang Rina terbayar.” Aku menangis. Kami terdiam cukup lama, sampai Ayah pun berkata,
“Orang tua tidak pernah menganggap segala yang ia lakukan adalah sebuah hutang bagi anaknya, tidak pernah. Lagipula, jika memang alasanmu itu, suami yang baik tidak akan pernah membiarkan istrinya tidak berbuat baik pada orang tuanya, kamu masih bisa berbakti pada Ayah dan Ibu, Rin.” Ayah mengelus kepalaku lembut. Ia pun berkata lagi,
“Rin, orang yang berhutang bisa membayar dengan sesuatu yang lain jika yang dihutangi mengizinkan kan? Kalau kamu masih merasakan usaha orang tuamu adalah hutang, Ayah mau bilang sama kamu, kamu boleh membayarnya dengan baktimu kepada Ayah dan Ibu, menikahlah Nak, itu bakti yang akan membayar lunas hutangmu.”
Tangisku berhenti, aku diam tak bergeming.
“Shalat malamlah Nak, pikirkan kembali dan berdoa dengan tulus meminta petunjukNya.”
Aku pun menurut.
Langganan:
Postingan (Atom)