Rabu, 21 Desember 2016

Ke Luar Negeri

Banyak orang yang bilang pergi ke luar negeri itu nagih. Ibarat narkotika, orang yang udah sering going abroad, bakal mengalami yang namanya withdrawal symptom kalo sebulan aja ga pergi *oke ini lebay. What actually make people wanna go abroad again and again? Karena adanya pembelajaran tentang budaya-budaya baik yang tidak ada di tanah air? Segala manajemen SDM, organisasi, lingkungan bersih, sistem yang established, tata kota yang rapih, dsb menjadi bahan yang patut kita observasi terus-menerus, menjadi panutan, kebanggaan, yang kelak ingin kita aplikasikan juga di tanah air. Semua itu terjadi karena tanah air kita yang belum semaju Negara lain. Yah logikanya memang kita selalu berkaca pada yang lebih baik untuk dijadikan contoh. Atau ada alasan lain kenapa nagih?

Zaman di mana media sosial jadi ajang riya’ yang terjustifikasi (wk), jangan-jangan poin utama dari pergi ke luar negeri, even untuk melakukan kegiatan akademik, adalah mendapatkan foto jalan-jalan yang instagramable wkwk. Namun memang sejatinya, niat jalan-jalan sulit untuk dihilangkan, apapun tujuan utama kita going abroad. I will always remember my European friend back in 2011 (who was also an exchange student) said about exchange students being literally tourists, and she was disappointed while she was really hoping that they share some good learning stories instead of posting pictures every second on facebook (dulu facebook masih super hits). Well, I saw it though, apalagi buat saya yang anak daerah super pilon yang saat itu baru pertama kalinya menginjakkan kaki ke luar negeri, jeprat jepret sana-sini, mulai dari lapangan Bandar udara, segala macam plang petunjuk jalan, hingga gedung apapun yang terlihat unik. The urge to take lots of picture is somehow because they look new to us, we don’t have them in our mother country, we gotta save them in a picture! They look cool! Period. There is also this unique pride whenever you upload the pictures, like saying “o yeah, I’m abroad.” You know what I mean.

So, is the behavior ‘justifiable’?

Sebelum menjawabnya dengan opini saya, saya mau memulai dengan cerita. Saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman saya pergi ke Pharmacy World Congress di Portugal, semoga ada hikmah yang bisa dipetik #tsah. Saat itu saya memutuskan untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh himpunan farmasi di kampus saya. Saya sangat tertarik dengan kegiatan ini cause I realize going abroad will open your eyes and mind in some ways that you would like. Saya tahu, sangat tahu, bahwa pergi ke kongres tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit (it’s not a scholarship or fully funded activity) meanwhile keadaan ekonomi keluarga saya ya…biasa-biasa aja. Tapi saya mendapatkan informasi bahwa memang setiap tahun ada mahasiswa yang berangkat ke kongres dan mereka dapat sponsor. Saya juga dengar teman-teman kakak saya yang sering dibiayai exchange oleh wali kota X, bupati Y, gubernur Z, atau kampusnya yang super pro dengan kegiatan exchange sehingga uang untuk pergi ke luar negeri tidak menjadi hambatan berarti (yang ternyata saya salah dapat informasi, dan ada yang benar tapi saya salah menginterpretasikan informasi ini). Karena informasi itu akhirnya saya berani daftar dengan asumsi “yeaah I will get a lot of sponsors”, nyatanya, jedeng, susah payah jatuh bangun, mungkin kalo diitung-itung dengan bikin proposal dan kaos syalala, gada sepertiga itu uang sponsor dan bantuan dikti+kampus ngecover keberangkatan (plus extend sih) -.- iya, saya salah kaprah, karena pada kenyataannya setiap tahun delegasi harus mengeluarkan uang sendiri (uang orang tua); karena mencari dana tidak semudah menuang analit ke dalam kuvet. Sedikit sekali perusahaan yang mau mendanai kegiatan semacam ini kecuali kamu punya link kuat di perusahaan itu. [Note. Pernah seseorang menyarankan saya untuk mengajukan proposal ke pejabat. But its not that easy too. Karena pada kenyataannya, maaf tanpa ada maksud menyinggung siapapun, mencari dana semacam ini atau beasiswa dengan keadaan ekonomi menengah itu sulit. Kebanyakan beasiswa (kecuali beasiswa murni prestasi) dan para pejabat yang bersedia membiayai pada akhirnya lebih mudah digaet oleh masyarakat dengan ekonomi ke bawah hehe. Meanwhile masyarakat ekonomi atas bisa dengan mudah ambil uang dari saku sendiri lantas yang menengah bingung sendiri karena seacara penghasilan ortu tidak masuk kriteria butuh bantuan tapi untuk afford hal-hal tertentu pun ga nyampe wkkwkwk. But anyway, be grateful on what we have yes:)]

Waktu itu visa sudah beres ketika saya masih pusing gimana caranya mendapatkan uang untuk berangkat. Sampai detik-detik terakhir harus beli tiket karena khawatir harga naik, orang tua saya menawarkan untuk menggunakan uangnya, to buy ticket. I, optimistically, said to mom “I’ll get the sponsors, mom, and your money will be back”. Until the D day, my mom’s money never comes back :( lol. I was about to cancel the departure but it was pretty much dilemma, because I had (well, mom and dad had) already paid the registration fee, the visa, proposals, and the ticket that cost much. You know that typical empathic parents when their kids are attempting things and almost failed, what would they do? They didn’t want to make their kids sad and disappointed. So yes, eventually, my parent allowed me to use their money, for the main event of congress and, surprisingly, for the holiday extend days…..man, I feel bad, even until now.

To the fact that I was trying to be a good kid, lol, wanted myself to save money during the trip, I wished to bring some money back to mom and dad. So here’s the story how it went….

For the 5 (or was it 6?) days of Congress, everything had been covered by the registration fee in advance so I didn’t need to think of how to split and saved money (for those who are curious about the congress, I posted some workshop notes in my blog, you can take a look, I guess it was about counseling and pharmacist role). But the challenge came to day 6 when I and other 3 ITB delegates were planning a short vacation. Dikala delegasi dari kampus lain akan keliling eropa dengan pesawat, my ITB friend knew that some of the ITB delegates wanted to save money. Di sini saya terharu sejujurnya wkwk. Saya merasakan sebuah persaudaraan yang luar biasa ketika rasa saling mengerti benar-benar ada di antara kita #tsah. Beginilah seharusnya itu terjadi, sebuah keterbukaan satu sama lain akan keinginan dan keterbatasan masing-masing. Tanpa sadar mungkin kita tidak peka dengan teman kita, seperti contoh kecil (intermezzo dikit) mau ngajak makan setelah UAS, terus dengan semena-mena kita pilih tempat makan mahal padahal ada teman kita yang gabisa afford itu atau memang lagi pingin nabung untuk kebutuhan sesuatu. Kadang karena merasa tidak enak, teman kita menyetujui begitu saja….please guys, don’t do it. Keterbukaan itu penting, dari hal kecil sekalipun *ngomong sama diri sendiri juga*. Good friends will accept you not because you always follow what they want, right. Remember, our money is not ours, our parents work hard for that.

Oh iya, singkat cerita, setelah didiskusikan, kami, all are girls, memutuskan untuk extend ke sekitar Portugal dan Spanyol saja. Dengan berbagai perhitungan syalala, akhirnya kita (dengan bimbingan super kece ketua delegasi yang sangat berpengalaman) menentukan spot-spot yang akan dikunjungi, mencari bus perjalanan malam untuk menghemat agar tidak menyewa kamar, kemudian membeli sarapan roti yang dibagi-bagi dengan lauk abon bawaan dari rumah seorang teman kami wkwk it was really good!

The other touched moment is that when we Muslim had to pray. Our non-muslim friends didn’t mind at all to have their muslim friends became an interesting ‘sightseeing’ of train passengers because we prayed next to railway or exit gate. Ini jujur pengalaman menarik juga bagi saya, belum pernah sebelumnya saya shalat random di tempat umum di mana orang-orang bisa dengan mudahnya melihat, bahkan saya sempat khawatir disangka akan melakukan hal berbahaya wkwk. Yah, walaupun pada kenyataannya setiap kali shalat di tempat improper itu rasanya diri ini rindu dengan kemudahan negeri sendiri akan akses mushola dan masjid.

The other unforgettable moment adalah ketika dompet teman kami hampir dicopet di metro. Seorang anak usia sekitar 15 tahun membuka resleting tas teman kami ketika kami masuk metro sampai teman saya menyadari tasnya terbuka. Drama itu dimulai dari sini, kami hampir saja terpisah dengan teman kami yang mulai mengejar sang pencopet karena pintu metro yang tertutup, kami pun membuka paksa. Untungnya salah satu teman kami tahu siapa pencopetnya sehingga bisa langung ditangkap dan digledah. I cried, yeah I did. Haha. Sulit untuk menggambarkan detail suasananya, tapi saat itu saya benar-benar takut sampai menangis :’) Bahkan teman saya yang memaksa menggledah pencopet itu pun menangis karena dia tidak menyangka berani melabrak sang pencopet dengan risiko ia membawa senjata tajam. I’m proud of you Le, you looked so damn cool! Wkwk. Karena kejadian ini, kami yang hendak berjalan-jalan di Barcelona, menyadari kami butuh menenangkan diri. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di hotel. But the hotels were all booked and we were desperate until our friends from UGM told us their hotel still had rooms. We went to the hotel… and we got lost. We walked all the way upppp to (I don’t remember which direction)… we were sooooo exhausted hingga menemukan hotelnya seperti menemukan oasis di tengah padang pasir. Ini di luar rencana, kami terpaksa mengeluarkan uang di luar dugaan untuk hotel ini.

Saya sejujurnya tidak begitu ingat kronologi perjalanan kami haha. Jadi ya ini ceritanya potong-potong. Kejadian mengenaskan (lol) lainnya adalah saat saya menyadari bahwa saya harus beli koper baru. Koper saya rusak!! Bahkan rusaknya right after tiba di Porto, di tempat acara congress. Udara yang luar biasa panas membuat roda koper saya saling menempel sehingga tidak bisa berputar. Alhasil saya menyeret (literally menyeret!!!) koper super berat itu ke tempat acara berjalan 30 menit dan kembali lagi melakukan itu untuk waktu yang lebih panjang saat berangkat ke Lisbon sebelum ke Spain. I couldn’t stand on it, my hands were getting too stiff, shaking, I felt like I was about to pass out but I was trying to hide it because I didn’t want to bother my friends; so I told my mom and she told me to buy suitcase. Sorry mom :’ Ketika masalah perkoperan selesai, sepatu saya rusak…. Dan saya pun beli sepatu. Dua hal di luar dugaan. I felt so …suck. Kenapa pula saya tidak belajar dari pengalaman dulu soal kualitas koper, padahal sebelumnya koper saya juga rusak karena tidak kuat menahan beban -.- wkwk.

Cerita lainnya adalah pengalaman-pengalaman menarik, seperti kunjungan kami ke Museum Peradaban Muslim di Spanyol, mungkin ini akan saya ceritakan terpisah nanti ya (semoga masih ingat pas liat foto2nya :” ), kemudian kami sering berfoto di gedung-gedung ala-ala Eropa, makan makanan khas daerah di Porto dan Spanyol, belanja oleh-oleh, dan 17an di KBRI! So other thing that we did to save money is asking KBRI if they had some kind of free room stay for Indonesians, and thank God we met this nice beautiful lady that allow us to stay in her apartment. We put our baggage there so we didn’t need to bring the baggage during our trip to Spain. After the trip, it was exactly August 17th so the nice lady took us to celebrate Independence Day in KBRI Lisbon, what a nice experience!

Oke begitulah sedikit ceritanya,

Jadi, di sini saya tidak berbicara Farah Quinn atau Dian Pelangi, atau seleb siapapun yang mungkin dengan mudah beli tiket dan pergi ke luar negeri setiap bulan. Saya juga tidak berbicara tentang anak pejabat atau anak orang kaya yang tak perlu berpikir dua kali untuk jalan-jalan ke luar negeri. Haha. Saya bicara dalam konteks mahasiswa yang going abroad for academic purpose. Sejak kuliah saya merasakan bahwa pergi konferensi dan exchange ke luar negeri ngehits banget, apalagi di jurusan saya yang punya organisasi nasional dan internasionalnya cukup established, tiap tahun ada banyaaaaaakkk kesempatan ke luar negeri. Yang saya soroti kemudian adalah, untuk lolos seleksi ke acara seperti itu ga begitu sulit, seriously, like you don’t need any specific skill or have to be very competent or you gotta have a really great paper to submit, no you don’t. Kuota lah yang akhirnya membuat orang ga lolos, padahal secara kompetensi mungkin peserta yang mendaftar ga jauh beda, not that competitive. Selain kuota, ini highlight saya. Uang. Banyak teman saya yang punya skill oke banget dan worth it untuk merasakan pengalaman going abroad tapi memilih untuk tidak mendaftar karena tidak ada uang. Mereka tau, setiap tahun, di jurusan saya, mereka mengeluarkan uang sendiri untuk berangkat, we barely got sponsors kecuali untuk beberapa kampus yang memang mengalokasikan dana exchange yang luar biasa banyak. Karena hal ini pun, kadang saya skeptis sama delegasi, termasuk skeptis sama diri sendiri haha.
Suatu hari ada seorang pengurus organisasi farmasi asia pasifik yang datang ke Indonesia, he said “Every year, more than half of delegates are from Indonesians (yah orang Indonesia selalu kelewat excited kali ya sampai selalu mendominasi peserta event-red), don’t you guys feel like want to give something to your country after being back home? Please do something, you got a lot of resources. Fix your country.” Saat saya dengar itu, seolah saya merecall waktu saya jadi delegasi kongres, did I bring something back for my country? Teman saya pernah bilang “orang-orang yang ikut acara internasionalnya bukan aktivis sih, jd yaudah, jadi delegasi cuma buat jalan-jalan aja, yang berangkat yang punya modal. Pulang-pulang cuma kasih oleh-oleh.” Please, im not trying to blame anyone. Karena sejatinya perkataan itu tidak bisa dibuktikan begitu saja, ya memangnya negeri ini ga maju-maju karena mahasiswanya yang gabisa belajar dari pengalaman?? Eh, bisa jadi.

Having an experience of going abroad is fantastic, mainly if it’s done for academic purpose. You got a lot of things you can learn from. Knowledge and network, and the bonus is you got a chance to sightseeing, extend some days like what I did. Is that a wrong thing to do? No, I would say that is not. Apa yang kita bisa bawa pulang ketika kembali bukan semata kemudian melakukan pengabdian masyarakat ramai-ramai, membuat komunitas sendiri, atau melakukan suatu hal yang terlihat di depan public, that you give something for your country (well this is also very good, melihat bahwa saya tidak pernah melihat hal semacam ini dilakukan oleh para delegasi secara bersama-sama). At least, we invent something within us. Value. Nilai-nilai baik yang terus kita ingat dari acara inti konferensi hingga jalan-jalannya. Kalau teman-teman baca tadi cerita liburan saya di Spanyol, apakah ke semuanya itu adalah hal buang-buang waktu dan uang saja yang tidak ada nilainya sama sekali? Well, it does have value. Value yang saya harap akan saya gunakan untuk mencapai life goals saya yang muaranya tentu untuk kebaikan agama dan negeri ini. Apapun itu cara yang bisa kita lakukan, cara yang tidak mesti terlihat. Hehe. (padahal orangnya teh lagi galau nge-re-plan hidup)

So guys lets recall what we have got during all this year. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dedek-dedek ayo explore sebelum kelak akan ada orang lain yang membatasi ruang gerak kita (if you know what I mean) *berasa tua ya jen*. Sahabat-sahabat farmasiku tercinta #tsah, lets plan something great to thank this country by utilizing the value we’ve got. The other form of thanking our parents as well that had paid a lot of money so our dreams of going abroad come true. We do need the going-abroad experience to make our CV somewhat looks good or to make us happy, but it’s more like because we need to upgrade the value we believe in from variety point of views. Value that we use for making a better world with any way, sebebas kita merencanakan sesuatu, kalau mengutip kata seorang teman, “having fun while making the world a better place” haha.

Semangat (Ris)!

3 komentar: