Rabu, 14 September 2016

Delicate Balancing~

Warna putih gading yang akhirnya dipilih menjadi simbol keberadaan apoteker, warna yang dipilih setelah melalui perdebatan cukup panjang di forum organisasi profesi….

Ah ka, do you know how it feels staring at all of you with that unique white color as if covering my eyes? Do you know how it feels mentioning your name one by one, calling out those beautiful names, asking you to come forward to greet the dean? Do you know how it feels to mention every great student who got an appreciation, highest GPA and highest test score? Rasanya….hambar. biasa saja. Yah, ada sedikit bangga. Haha. Itu satu tahun yang lalu. Saat saya berdiri menjadi MC sumpah apoteker di kampus tercinta.

Ka, rasanya berbeda sekarang. Ini kali ke dua saya berkesempatan datang melihat khidmatnya prosesi sumpah apoteker, walau tidak secara utuh. Saya melihat wajah orang tua kakak. Weren’t they proud? Wasn’t that the face of a mom who couldn’t stop smiling? Wasn’t that the proud of a dad who got more blossom like a flower never running out of water? Hehe. Manusia kadang terlambat menghayati sesuatu ya.

Ka, sekarang rasanya bagaimana jadi apoteker? Takutkah kakak dengan realita yang menanti kakak di depan? Hehe

Saya disuapi banyak hal ideal ketika duduk di bangku kuliah (eh sekarang masih kuliah juga deng). Saya diperkenalkan dengan tugas ideal seorang apoteker, moral value ideal yang seharusnya dimiliki seorang apoteker. Tapi saya juga mendengar cerita-cerita realita di lapangan bahkan sempat secara langsung merasakannya di pengalaman magang. Duh ka, dosen saya bilang, pekerjaan kita itu rawan, we have a job related to drugs for health and prosperity of a society. Obat kemudian menjadi media utama kita dalam mencari penghidupan. But then we remember the moral value we should hold on. Ah man, it’s a delicate balancing, indeed, a very delicate one between profit…and social. I might call it as well a fragile balancing.

Keseimbangan yang rapuh.

Apoteker dituntut untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui obat, di satu sisi tentu kita (yah sy belum apoteker, tp gpp ya bilang ‘kita’ aja biar doa wkwk) butuh uang untuk hidup. Saya ingat kala itu di tahun 2012 ada seorang kakak yang bilang “Risni, kamu yakin mau masuk farmasi? Kakak pernah lihat hasil survey penghasilan lulusan ITB, lulusan farmasi termasuk yang gajinya paling kecil”. Saya cuma pasang muka pilon. Karena dulu saya belum terpapar dengan kejamnya dunia orang dewasa #naon, saya pun masa bodo haha. Yah mungkin kakak tersebut salah membandingkan gaji apoteker dengan gaji anak teknik. Salah. Itu salah. Ahaha.

Waktu itu saya sedang magang di salah satu rumah sakit swasta yang oke punya, yang sistem farmasi klinisnya saya bangga-banggakan. Namun ada yang sangat mengganjal di hati. Turnover apotekernya sangat tinggi. Saya pun memberanikan bertanya pada seorang apoteker senior di sana, “Kenapa bu? Kenapa banyak yang ga betah?” sang ibu menjawab “Namanya juga anak muda, masih berani loncat2 cari yang gajinya lebih besar. Da ibu mah udah tua, gaji segini yang penting bisa makan juga Alhamdulillah.” Itu rumah sakit swasta yang oke punya. Iya, swasta yang oke punya.

Lain waktu, seorang dosen pemilik apotek dengan senyum lebarnya memperlihatkan BEP (Break Even Point) hasil usaha apoteknya yang membanggakan, laba yang menggiurkan. Wah pokoknya kalau anda mahasiswa farmasi klinis yang habis dijejali selama 4 tahun tentang realita gaji apoteker klinis yang kecil, lihat slide dosen itu anda bisa-bisa langsung telepon mama minta dimodalin bikin apotek wkwk.

Wah jadi buat apotek prospektif banget ya?

Ada pertanyaan. Kalau kamu lagi butuh uang, sangat urgen, sedangkan usaha apotek kamu belum establish, terus ada bapak-bapak beli komix 3 box atau beli antibiotic 50 strip tanpa resep dokter, kamu bakal kasi ga?

Yah apoteker pasti tahu ada sesuatu ga beres yang akan dilakukan oleh bapak-bapak ini terkait penyalahgunaan obat. Kalau alasannya tidak jelas pastilah apoteker yang berintegritas tidak akan memberikannya. Patient safety is number one? Geez, that pharmacist just did a good thing for society.
This is what I am talking about, as my lecturer says, a delicate balancing between social and profit. Too fragile. Anak farmasi merasa kuliahnya berat, tak pantas dihargai dengan rupiah yang tak seberapa. Lantas itu dirasa suatu pengorbanan luar biasa yang harus dibayar cepat dengan menggadaikan integritas? Berat amat jen ngomonginnya integritas 

I was about to give you another example…tapi ga jadi deh. Sepertinya satu contoh di atas sudah mewakili arti dari delicate balancing yang saya maksud.

Frankly speaking, I don’t know for real. Saya masih anak bawang yang cuma dengar-dengar cerita dari orang. But every job may bear moral consequences, with a different form of consequence. Kayak, kasarnya, dokter yang berharap meningkatkan kesehatan masyarakat tapi kalau gada orang sakit dapat duit dari mana, terus masa harus berdoa supaya banyak yang sakit wkwk

Bicara konsekuensi, tapi memang, idealnya kita mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita lalui. Mungkin ITB masih jadi favoritnya orang-orang karena kehidupan menjanjikannya seorang lulusan teknik atau FK masih jadi incaran semua kalangan karena katanya penghasilannya berdigit-digit. Tapi suami dosen saya yang lulusan tambang harus rela meninggalkan istri dalam waktu lama karena kerjaan jauh di luar pulau, cerita ayah teman saya seorang dokter yang harus rela “melarat” bersama keluarga karena lamanya pendidikan dokter. Look, they pay ‘money’ to get real money.

Anak farmasi yang katanya tadi susah belajar dan susah kerjanya…kok gajinya dikit? Hmm. We feel that we are worth something big after all the sacrifices. O yeah of course, I do hope govt appreciate pharmacist more. But then we might forget what actually we work for…….do we work solely for money? Do we live for things that we crave for without considering the social value? Memang tidak pernah ada istilah socialpreneur untuk seorang apoteker. But you want it or not, every health professional might have the soul of it haha now how we’re going to make it balance is truly depend on ourselves.

I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Pertanyaan itu terus lewat di pikiran saya saat melihat para kakak dengan jas putih gadingnya. Akankah putih gading itu kelak luntur karena kondisi yang memaksa? Akankah putih gading itu ternodai dengan dosa-dosa yang seolah tak terasa? Mungkin orang tua kita tersenyum melihat ‘betapa suksesnya’ sang anak, but how long the smile exists under a very delicate balancing?

Ah alangkah indahnya jika kita bisa saling mengingatkan satu sama lain untuk urusan ini.

I once was asked. Do you want to be something you want to be or thing that you value? Now I am asking you.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar