Terkadang sulit menyampaikan sesuatu lewat bicara, so please allow me to ‘wording’ my thoughts.
Saya ingin berdiskusi tentang sebuah seni menerima.
People say ‘its not a sword that kill you, expectation does’.
I couldnt agree more. Expectation does kill you. Saya pernah membaca suatu ilmu psikologi terkait Expectation Violation yang intinya bahwa ada tiga hal yang akan terjadi ketika kita berekspektasi akan sesuatu. Realita akan ada di atas ekspektasi, di bawah, atau sesuai dengan ekspektasi. Reality vs Expectation, things that we always learn from 9gag lol. Reality sometimes violate our expectation. Im talking about positive expectation, suatu harapan yang ingin kita dapatkan. Ketika realita sesuai dengan ekspektasi, senyum kitapun mekar; ketika realita di atas ekpektasi, senyum mekar dan matapun berbinar; ketika realita di bawah ekspektasi kita pun tersenyum hambar dan menghindar. Ini menjadi salah satu alasan ketika kita melihat bahwa tak sedikit orang yang mudah memulai namun mudah juga untuk berhenti. See, it kills you. Ibarat antibiotik, ekspektasi itu sifatnya bakterisid, membunuh tanpa harus ada antibodi yang membantu, ah naon maksa, efek belum bisa move on dari uas #lah.
Expectation is violated often when we know weaknesses that we never thought it existed. O my god, weaknesses is the culprit. When expectation is violated, -saya berbicara mengenai suatu realita di bawah ekspektasi- we actually have two options, classical options but people sometimes forget about this. Mengubah atau menghindar. Letting ourself achieve our expectation or letting expectation kills us. Tentunya setiap orang berharap untuk bisa membiarkan dirinya mencapai ekspektasi. Menurut saya di sinilah kita harus belajar mengenai seni menerima. Seni menerima itu adalah dengan mengubah. Bukan dengan mencaci maki atau menghindari, bukan dengan tuding sana-sini atau menanam rasa benci, melainkan dengan klarifikasi dan menciptakan sebuah revolusi.
Ada masa ketika alis kita terangkat dan dahi kita mengkerut ketika mengetahui sifat asli teman kita. Well, weve been expecting our friends are diligent, above average, cool, wise, etc. Setelah kita mengenalnya lebih dalam, nah loh, banyak sekali kekurangan pada dirinya. Are you gonna blame them? Yah bisa jadi orang pacaran yang putus atau orang menikah yang bercerai karena tak bisa menerima kekurangan pasangannya.
‘Ah. Makanya jadi diri sendiri saja. Tak usah lah pencitraan, jaga image, self-branding, sok-sok menawarkan keadaan ideal, topeng, errgghh.’ Buat saya, menjadi diri sendiri bukan dengan mengelupas kulit sendiri, tanpa sadar memamerkan kekurangan demi kekurangan. Menjadi diri sendiri adalah dengan bersifat adil, menempatkan diri kita sesuai pada tempatnya, and its definitely different with being hypocrite. Klarifikasi dahulu sebelum kita berani menjudge orang lain. Jika memang orang itu salah, terimalah ia dengan membimbingnya menjadi lebih baik. Susah ya? Ya memang susah tapi bukan berarti tak bisa :’)
Masalahnya adalah pada diri kita yang terkadang sulit menerima kekurangan orang lain, hal yang sama ketika kita sulit menerima kekurangan suatu organisasi. We keep questioning, kenapa di setiap osjur ini kakak-kakak menawarkan keadaan ideal namun memberikan kami realita yang jauh dari ekspektasi. Itu mimpi kami dek, mimpi kami yang kami titipkan pada kalian. Klarifikasi terlebih dahulu sebelum kita memutuskan akan lari dari kenyataan. Klarifikasikan segala hal, mengapa hal ini terjadi? Mengapa hal itu terjadi? Setelah kita klarifikasi, terima lah. Terima apapun klarifikasi itu dan mainkan seninya. Menerima dengan membiarkan atau menerima dengan mengubahnya ke arah yang lebih baik. Terima kekurangan itu sebagai bahan refleksi dan evaluasi. Then run, run as far as you can, bukan berlari sendiri dan mencari hal lain yang sesuai dengan ekspektasi, namun berlarilah bersama kekurangan itu, let the weakness see the finish line you want, let the weakness learn from that.
Berdamailah dengan ekspektasi. Dont let it kills you and please never attempt to kill back. When we try to kill back, itu artinya kita pasrah dengan keadaan. Make peace and better change will emerge.
Aanndd, when expectation is about to kill us, ingatlah bahwa semua yang kita punya, semua yang kita lalui ini adalah titipan Tuhan yang akan dhisab di akhirat. If we choose tu run away, just think what would happen. Ah ya, hari ini maulid nabi. Jadikan juga hari maulid nabi ini sebagai ajang refleksi kita, untuk mencontoh role model terbaik dunia yang jiwa amanahnya tidak akan pernah tertandingi. Yuk shalawat.
One more thing, hati-hati juga ketika realita berada di atas ekspektasi kita, rasa puas yang berlebihan bisa saja membuat kita berhenti atau membelokan niat baik kita :) wallahualam.
#selfreminder
Rabu, 23 Desember 2015
Jumat, 20 November 2015
Rekam Medis
Hari Minggu selalu identik dengan langit yang cerah. Langit yang biru terang, awannya putih menggumpal indah, setidaknya bagi Resa. Walau kenyataannya mendung menyergap, hari Minggu akan tetap terang di mata Resa.
Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.
Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.
Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.
Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.
“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.
***
Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.
Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.
Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.
“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.
***
Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.
“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.
Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.
“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.
Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.
Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.
Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.
***
Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.
***
Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu
Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.
***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!
Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.
Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.
Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.
Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.
“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.
***
Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.
Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.
Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.
“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.
***
Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.
“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.
Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.
“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.
Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.
Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.
Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.
***
Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.
***
Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu
Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.
***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!
Selasa, 27 Oktober 2015
Untuk Ummi #2
Sudah lama aku tak membuat puisi
Terakhir kali ternyata untuk Ummi,
Saat itu dua puluh dua Desember
Hari ini dua puluh tujuh Oktober
Sudah setengah abad lebih tanganmu membelaiku halus
Masih halus tangan itu di kepalaku
Walau sudah kurasakan getaran tangan yang kau coba sembunyikan
Sudah setengah abad lebih senyum dan tawamu yang bijak
Masih bijak raut wajahmu
Walau sudah kulihat keriputmu
Guratan wajah kerja keras dan sabarmu
Hari ini dua puluh tujuh Oktober 2015,
Dikala hingga detik ini mungkin maafku bisa dihitung
Maafmu entah sudah berapa kali kugantung
Maafmu karena belum memberikan yang terbaik untukku
Maafmu karena merasa belum membantuku
Sungguh,
Seharusnya maaf itu keluar dari mulutku
Bukan darimu
Seperti tiba-tiba saja usiamu berganti lagi
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang belum banyak memberi
Dan menjadi yang berbakti?
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang masih belum bisa berdiri sendiri
Dikala usiamu semakin dekat
Untuk menjadi tanggung jawab anak-anakmu
Setidaknya,
Izinkan aku menyampaikan sebuah doa pada Tuhan
Untuk selalu memberimu keberkahan dan kesehatan
Berikan aku waktu, untuk terus memperbaiki diri
Menjadi seorang anak yang engkau cari
Untuk Ummi #1
http://risnizen.blogspot.co.id/2014/12/untuk-ummi.html
Terakhir kali ternyata untuk Ummi,
Saat itu dua puluh dua Desember
Hari ini dua puluh tujuh Oktober
Sudah setengah abad lebih tanganmu membelaiku halus
Masih halus tangan itu di kepalaku
Walau sudah kurasakan getaran tangan yang kau coba sembunyikan
Sudah setengah abad lebih senyum dan tawamu yang bijak
Masih bijak raut wajahmu
Walau sudah kulihat keriputmu
Guratan wajah kerja keras dan sabarmu
Hari ini dua puluh tujuh Oktober 2015,
Dikala hingga detik ini mungkin maafku bisa dihitung
Maafmu entah sudah berapa kali kugantung
Maafmu karena belum memberikan yang terbaik untukku
Maafmu karena merasa belum membantuku
Sungguh,
Seharusnya maaf itu keluar dari mulutku
Bukan darimu
Seperti tiba-tiba saja usiamu berganti lagi
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang belum banyak memberi
Dan menjadi yang berbakti?
Sudikah Ummi memaklumi
Diri ini yang masih belum bisa berdiri sendiri
Dikala usiamu semakin dekat
Untuk menjadi tanggung jawab anak-anakmu
Setidaknya,
Izinkan aku menyampaikan sebuah doa pada Tuhan
Untuk selalu memberimu keberkahan dan kesehatan
Berikan aku waktu, untuk terus memperbaiki diri
Menjadi seorang anak yang engkau cari
Selayang pesan elektronik itu masih selalu ada setiap pagi
Siang dan malam hari
Pesan itu masih terus mengalir tak berhenti
“Jangan lupa berdzikir kepada Illahi”
Begitu kata Ummi
Dan pesan itulah yang akan terus kucari
Setiap hari
Barakallah, Ummi.
Untuk Ummi #1
http://risnizen.blogspot.co.id/2014/12/untuk-ummi.html
Selasa, 13 Oktober 2015
Apoteker tuh yang ada di apotek?
Saya lupa apa yang ada di pikiran saya sebelum jadi anak farmasi tentang persepsi seorang apoteker itu seperti apa. It is because I didnt care at all; baru kepikiran masuk jurusan farmasi aja di kelas 12, tidak pernah sebelumnya mencari-cari apa kerjaan seorang apoteker (duh, adek2 SMA, jangan dicontoh ya). Pilihan teman-teman SF ITB itu sepertinya tipikal, kalau ga pilihan pertamanya kedokteran (terus yang greget pgn masuk, akhirnya mengulang SBMPTN utk masuk FK) jadi cari yang menurut mereka agak berdekatan (is it?), atau masuk farmasi karena suka biologi tapi gamau jadi dokter, atau ada juga yang suka kimia, atau ada juga yang iseng-iseng, tapi ada juga yang sepertinya passion sekali di farmasi (yang pasti ini bukan gue) well. Tebak saya yang mana?? Ga peduli juga sih jen...
Dengan berbagai alasan pemilihan jurusan farmasi, secara kasat mata saya belum menemukan orang yang memang benar-benar paham tugas seorang apoteker, kecuali orang tuanya yang memang apoteker atau bergerak di bidang kesehatan, maybe. Saya sejujurnya merasa ga cerdas (dont call me stupid) kenapa juga saya pilih farmasi tanpa pikir panjang, di ITB lagi yang jelas-jelas farmasinya sudah dijuruskan. Saya ingat sekali ketika SMA melihat buku pengenalan jurusan ITB, saya membaca ada yang namanya STF (Sains dan Teknologi Farmasi) dan FKK (Farmasi Klinik dan Komunitas). Saya cuma baca sekilas, gada usaha tanya alumni SMA yang di farmasi ITB, terus tiba-tiba saya daftar. Thats why I feel not smart enough, pilih jurusan karena direkomendasikan seseorang bahwa “farmasi itu seru” plus sedikit kesukaan saya dengan biologi dan kimia, terus daftar weh kaya pasang togel. *efek pasrah ingin di jurusan sosial tapi malas belajar karena udah telanjur di jurusan IPA, again, jangan dicontoh*.
Maaf kebanyakan prolog, nyambi curhat ga dosa lah...
Terus apa maksud saya menulis blog dengan judul “Apoteker tuh yang ada di apotek?”
So two days ago, I had a conversation with a friend from another major,
“Ris, FKK atau STF yang harus ambil apoteker?”
“Dua-duanya boleh, tapi ga wajib”
“Oh, apoteker itu yang kerja di apotek kan? Kirain yang FKK aja”
Setelah mendengar pertanyaan dan pernyataan itu, saya jadi ingat tugas osjur di tingkat dua tentang wawancara apoteker yang di dalamnya terdapat pertanyaan mengenai persepsi masyarakat terhadap apoteker. Namun akhir-akhir ini saya lupa akan keadaan itu. Apalagi saya pikir anak ITB semuanya tahu kalo apoteker ga cuma kerja di apotek, ternyata anak teknik ga sekepo itu ya sama anak farmasi *loh #gagalpaham.
Anyway, saya bilang di awal bahwa I had no idea what pharmacist does sampai saya tingkat 2, bahkan pengetahuan saya kala itu ibaratnya baru menginjak halaman 2 dari sebuah novel dengan 1000 halaman. Baru setelah magang di tingkat 3, kunjungan rumah sakit, dan belajar matkul farmasi klinis, pengetahuan saya mengenai tugas seorang apoteker agak bertambah. Kenapa saya bilang agak? Karena saya percaya dengan pepatah “semakin banyak tahu, semakin banyak yang tidak kita tahu”. Nah loh, anak farmasinya aja ga begitu tahu tugasnya apa, apalagi yang bukan farmasi? So dont blame my friend who asked –a-somewhat-look like- a lame question.
Berkaca dari prolog saya, saya cukup yakin, tidak banyak calon mahasiswa yang benar-benar mencari tahu jurusan idamannya sampai mencari detail lahan kerja nanti. Misal, orang yang ingin kerja di perusahaan x, kadang hanya kepikiran karena memang itu perusahaan keren tapi dia tidak tahu ada bagian apa saja yang bisa ia duduki ketika nanti kerja. Baru kemudian di tingkat 3/4 mulai pusing mikir masa depan. So, I encourage you calon mahasiswa untuk benar-benar paham pilihan kamu.
Anyhow, maaf saya kebanyakan bacot :” inti dari tulisan ini adalah ingin memberi tahu apa sih sebenarnya tugas seorang apoteker? Siapa tahu informasi ini berguna untuk calon mahasiswa yang lagi galau pilih jurusan farmasi atau ngga dan sekaligus memberi tahu masyarakat yang tidak tahu menahu apa tugas apoteker; sekaligus pula memberi tahu realita apa yang terjadi. Pengetahuan saya mungkin belum seberapa, tapi ya...ini bisa jadi gambaran :D
Basically, ranah apoteker ini secara garis besar dibagi ke dalam ranah industri dan ranah klinis-komunitas (orientasi klinis di rumah sakit, orientasi komunitas di apotek). Sejujurnya, saya tidak banyak tahu apa kerjaan apoteker di industri selain kaitannya dengan managerial, QA QC, research and development, hm maaf karena saya sudah telanjur kebanyakan terpapar pengetahuan farmasi klinis&komunitas (selanjutnya saya cukup sebut klinis aja ya), izinkan saya untuk berbicara farmasi klinis saja hehehe daripada sok tahu :”
For your information, farmasi klinis di Indonesia belum begitu berkembang. Farmasi industri lah yang telah menduduki singgasana istana kefarmasian sejak manusia masih menulis di atas batu (oke lebay), jadi wajar ketika STF lebih banyak peminatnya daripada FKK ITB karena prospek kerjanya pun lebih menjanjikan. Setelah keluarnya PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, barulah isu farmasi klinis muncul ke permukaan. Organisasi profesi bersama dengan para aktivis farmasi Indonesia mulai berjibaku meningkatkan eksistensi farmasi klinis yang orientasinya adalah memberikan pelayanan optimal kepada pasien. Muncul proyek HPEQ DIKTI yang menekankan pada uji kompetensi, akreditasi, dan nilai kolaborasi interprofesi; wadah ini dimanfaatkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia dan APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) untuk memperbaiki sistem farmasi klinis di Indonesia. Kolaborasi dalam optimasi pelayanan klinis menjadi nilai fundamental untuk dijadikan pondasi penggadaian arogansi profesi. Isu peningkatan eksistensi apoteker kemudian digadang-gadang diiringi dengan perbaikan kurikulum farmasi serta adanya uji kompetensi apoteker indonesia sebagai salah satu cara pemerataan kompetensi. So, are pharmacists important in clinical workfield? Why then everyone trying to sell pharmacists? What pharmacist do? Seberapa pentingkah peran farmasi di dunia klinis sampai hak eksistensi dan kesejahteraannya harus diperjuangkan?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.58, standar pelayanan farmasi klinik (this time, im speaking about hospital, not community) mencakup: (baca selengkapnya di http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regulasi/PMK_No._58_ttg_Standar_Yanfar_RS_.pdf)
1. pengkajian dan pelayanan Resep
2. penelusuran riwayat penggunaan Obat
3. rekonsiliasi Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5. konseling
6. visite
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Makhluk apa itu semua ya?
Well, poin di atas adalah hal ideal yang seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker yang bekerja di rumah sakit. Pertama, pengkajian dan pelayanan resep. Sejujurnya saya belum tahu banget bagaimana seharusnya seorang apoteker memverifikasi resep dari dokter. Berdasarkan pengetahuan di kelas, bekal magang, dan kunjungan rumah sakit, dalam memverifikasi resep, apoteker akan melihat berdasarkan prinsip DRPs (Drug Related Problem) seperti, apakah dokter meresepkan obat sesuai penggunaannya? Jangan-jangan dokter kasi obat tertentu hanya karena tuntutan dari industri, padahal pasien ga sakit apa-apa? Apakah dokter memberikan dosis yang tepat? Apakah ada interaksi obat yang dapat membahayakan pasien? Apakah ada kemungkinan pasien ini gagal menebus obat karena diberi obat paten yang super mahal (so people, if you cant afford such a branded drug, yes you may ask your pharmacist to give you generic one! Dont be afraid of losing the efficacy, youll be fine)? Ketika saya belajar verifikasi resep di kampus, I needed like an hour to check the prescription, karena detail setiap obat harus diperhatikan. Namun pada kenyataannya, verifikasi resep tidak membutuhkan waktu barang 5 menit, hal ini bisa jadi karena apoteker yang sudah berpengalaman, apoteker yang percaya “dokter ga mungkin sebego itu” atau “dokter ga mungkin sejahat itu” atau “ah paling dokter kasi obat off label” atau “ah paling rekomendasi gue ditolak dokter” haha ya ga semua begitu lah yaa, saya yakin verifikasi resep yang cepat karena memang apoteker yang sudah berpengalaman. Amin. Selama saya magang, banyak kejadian yang ditunjukkan dan diceritakan oleh apoteker di sana terkait proses verifikasi resep, dan hal itu membuat saya cukup terkejut, seperti resep yang tidak rasional, pasien yang protes ini itu, apoteker pandai dan apoteker ga pandai, apoteker yang sering dimarahi dokter karena kebanyakan telepon minta konfirmasi, dll yang somehow membuat perasaan saya campur aduk antara takut dan ingin kerja di rumah sakit. Anyway, inti dari paragraf ini adalah bahwa peran apoteker dalam verifikasi resep sangat penting untuk menghindari DRPs yang saya bilang di atas tadi.
Poin 2 dan 3. Penelusuran riwayat penggunaan obat dan rekonsiliasi obat. Tidak semua apoteker di rumah sakit melakukan ini. Bahkan apoteker terakre internasional di jakarta sana, memberikan ranah rekonsiliasi obat pada dokter dengan alasan keterbatasan SDM apoteker. Rekonsiliasi obat itu apa? Jadi apoteker ini menanyakan obat apa saja yang sedang diminum atau dibawa pasien rawat inap yang baru masuk ruangan rawat, selanjutnya obat itu akan dianalisis apakah layak dikatakan obat, kemudian apakah akan dilanjutkan atau tidak oleh pasien. Sebenarnya kalau dilihat-lihat memang itu ranahnya apoteker, tapi kalau pikiran nakal saya mengatakan ya udah dokter aja sekalian...nanti datanya dikasi ke apoteker terus dikaji deh supaya menghemat waktu. Haha. (Its probably only a matter of technical thingy(?)). Tapi saya merasakan pentingnya poin ini, karena dengan mengetahui obat yang dibawa pasien, apoteker jadi siaga terhadap interaksi obat dan membantu pasien tidak perlu membeli obat lagi jika dia punya obat yang sama dengan yang diresepkan dokter.
Poin 4, 5, dan 6 terkait pemberian informasi obat, konseling dan visite. Pemberian informasi obat biasanya bersifat satu arah pada saat apoteker menyerahkan obat ke pasien. Konseling lebih dua arah dan detail. Kriteria pasiennya pun berbeda. Sementara visite merupakan kunjungan ke ruang rawat. Saya merasa semuanya penting, apalagi bagi pasien-pasien lansia, anak-anak, pasien dengan multiobat dan penggunaan obat khusus, serta pasien dengan kecacatan tertentu yang butuh perhatian khusus terkait pengobatan.
Poin selanjutnya, PTO, MESO, dan EPO. Poin yang paling saya soroti adalah penanganan efek samping obat. Ketika saya mengunjungi rumah sakit di Thailand, sistem pelaporan efek samping obat terlihat lebih rapi dari rumah sakit yang baru saja hari ini saya kunjungi. Kata dosen saya pun memang sistem dari negaranya sudah berbeda. Jadi, ketika terjadi reaksi obat merugikan yang dialami pasien, apoteker akan mengumpulkan data-data kejadian tersebut kemudian melaporkannya kepada Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di rumah sakit. Apa yang dilakukan oleh PFT RS negara-negara lain adalah melaporkan kejadian tersebut pada badan obat pusat di negaranya (kalo di Indonesia BPOM), kemudian tiap rumah sakit di negara tersebut dapat mengakses database efek samping obat sehingga menjadi referensi dalam pemilihan terapi. Di Indonesia, data kejadian tersebut masih bersifat internal rumah sakit saja. But basically, peran apoteker tentunya penting dalam pengkajian efek samping obat ini. Apoteker dan dokter harus bersama-sama menganalisis apakah suatu kejadian merugikan pada pasien disebabkan karena obat yang dikonsumsinya atau bukan, jika iya apoteker harus mampu memberikan solusinya.
Selanjutnya adalah dispensing sediaan steril, yaitu menyiapkan obat-obat steril. Yah tentunya apoteker dibekali ilmu dispensing ini sehingga sudah sewajarnya apoteker yang melakukannya karena butuh keahlian khusus. Namun pada kenyataannya, dispensing ini masih dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang bukan apoteker (biasanya lulusan D3 Farmasi). Hm mungkin saya belum begitu paham urgensinya ketika memang TTK dibekali keterampilan ini, kenapa tidak mereka saja yang melakukan dispensing, tidak perlu apoteker seperti yang dicantumkan di Peraturan Menkes, mungkin ada pertimbangan yang saya belum tahu (?)
Poin terakhir saya kurang paham dan jarang dibahas juga sama apoteker-apoteker -.-
Yap. Itulah yang dilakukan oleh apoteker di rumah sakit. Rumah sakit masih menganggap pekerjaan farmasi klinis sangatlah banyak sehingga beberapa tugasnya kemudian masih dilakukan oleh TTK karena kekurangan SDM. Wait, kekurangan SDM? Teman-teman saya serempak terkejut dengan alasan itu karena kami sama-sama tahu bahwa lulusan farmasi bejubel jumlahnya di Indonesia tercinta ini. Kemudian kami berpikir, bisa jadi rumah sakit tidak mampu menemukan apoteker yang kriteria kompetensinya memenuhi apa yang mereka mau atau apakah rumah sakit tidak punya anggaran untuk merekrut apoteker baru atau rumah sakit masih merasa tugas apoteker dapat didelegasikan pada TTK yang cenderung digaji lebih rendah dari apoteker. Ini asumsi kok bro asumsi behehe. Yang pasti, setiap kali otak saya ini terpapar terkait isu farmasi klinis, saya selalu mengkaitkannya dengan kompetensi. Saya tidak mau bicara soal kesejahteraan dulu (apalagi untuk farmasi komunitas –apotek-), idealisme saya masih berkata bahwa yang terpenting sekarang adalah menyiapkan apoteker-apoteker kompeten sehingga peran apoteker memang benar-benar dibutuhkan (belajar yang bener Jen!). Selain itu, saya merasa database terkait kesehatan (seperti database MESO, peta kuman) di Indonesia kita tercinta ini mesti diperbaiki agar kita benar-benar tahu permasalahan kesehatan yang memang benar-benar membutuhkan keterlibatan apoteker yang mendalam. Ah, saya masih mahasiswa, saya saja tidak peduli soal prospek kerjaan makanya saya pilih FKK, ya toh saya ingin berhubungan dengan manusia as simple as that. Semoga idealisme ini tidak terkikis. Bytheway, kalau kata ka Tisa yang baru pulang S2 Farmasi Klinis di Inggris “UK has the same problem like Indonesia 20 years ago, where pharmacists weren’t exist yet” semoga farmasi klinis di Indonesia akan membaik tanpa harus menunggu 20 tahun lagi :’)
Okaay. I come to the end of my post. Quite boring? Sorry :”””””” maybe you could spread this to your little fella who are going to go to college or your friends who are interested at clinical pharmacy and they dont know yet what actually their roles are. Saya yakin masih ada hal yang tidak saya tahu terkait peran farmasi klinis, yah sambil jalan deh ya saya cari tahu~
I might talk about community pharmacist in my next post! Good night! Viva la pharmacie!
*ini bonus foto FKK 2012 setelah kuliah lapangan di rumah sakit hari ini, semoga kami jadi apoteker yang kompeten! amin* #jangandiabaikan
Dengan berbagai alasan pemilihan jurusan farmasi, secara kasat mata saya belum menemukan orang yang memang benar-benar paham tugas seorang apoteker, kecuali orang tuanya yang memang apoteker atau bergerak di bidang kesehatan, maybe. Saya sejujurnya merasa ga cerdas (dont call me stupid) kenapa juga saya pilih farmasi tanpa pikir panjang, di ITB lagi yang jelas-jelas farmasinya sudah dijuruskan. Saya ingat sekali ketika SMA melihat buku pengenalan jurusan ITB, saya membaca ada yang namanya STF (Sains dan Teknologi Farmasi) dan FKK (Farmasi Klinik dan Komunitas). Saya cuma baca sekilas, gada usaha tanya alumni SMA yang di farmasi ITB, terus tiba-tiba saya daftar. Thats why I feel not smart enough, pilih jurusan karena direkomendasikan seseorang bahwa “farmasi itu seru” plus sedikit kesukaan saya dengan biologi dan kimia, terus daftar weh kaya pasang togel. *efek pasrah ingin di jurusan sosial tapi malas belajar karena udah telanjur di jurusan IPA, again, jangan dicontoh*.
Maaf kebanyakan prolog, nyambi curhat ga dosa lah...
Terus apa maksud saya menulis blog dengan judul “Apoteker tuh yang ada di apotek?”
So two days ago, I had a conversation with a friend from another major,
“Ris, FKK atau STF yang harus ambil apoteker?”
“Dua-duanya boleh, tapi ga wajib”
“Oh, apoteker itu yang kerja di apotek kan? Kirain yang FKK aja”
Setelah mendengar pertanyaan dan pernyataan itu, saya jadi ingat tugas osjur di tingkat dua tentang wawancara apoteker yang di dalamnya terdapat pertanyaan mengenai persepsi masyarakat terhadap apoteker. Namun akhir-akhir ini saya lupa akan keadaan itu. Apalagi saya pikir anak ITB semuanya tahu kalo apoteker ga cuma kerja di apotek, ternyata anak teknik ga sekepo itu ya sama anak farmasi *loh #gagalpaham.
Anyway, saya bilang di awal bahwa I had no idea what pharmacist does sampai saya tingkat 2, bahkan pengetahuan saya kala itu ibaratnya baru menginjak halaman 2 dari sebuah novel dengan 1000 halaman. Baru setelah magang di tingkat 3, kunjungan rumah sakit, dan belajar matkul farmasi klinis, pengetahuan saya mengenai tugas seorang apoteker agak bertambah. Kenapa saya bilang agak? Karena saya percaya dengan pepatah “semakin banyak tahu, semakin banyak yang tidak kita tahu”. Nah loh, anak farmasinya aja ga begitu tahu tugasnya apa, apalagi yang bukan farmasi? So dont blame my friend who asked –a-somewhat-look like- a lame question.
Berkaca dari prolog saya, saya cukup yakin, tidak banyak calon mahasiswa yang benar-benar mencari tahu jurusan idamannya sampai mencari detail lahan kerja nanti. Misal, orang yang ingin kerja di perusahaan x, kadang hanya kepikiran karena memang itu perusahaan keren tapi dia tidak tahu ada bagian apa saja yang bisa ia duduki ketika nanti kerja. Baru kemudian di tingkat 3/4 mulai pusing mikir masa depan. So, I encourage you calon mahasiswa untuk benar-benar paham pilihan kamu.
Anyhow, maaf saya kebanyakan bacot :” inti dari tulisan ini adalah ingin memberi tahu apa sih sebenarnya tugas seorang apoteker? Siapa tahu informasi ini berguna untuk calon mahasiswa yang lagi galau pilih jurusan farmasi atau ngga dan sekaligus memberi tahu masyarakat yang tidak tahu menahu apa tugas apoteker; sekaligus pula memberi tahu realita apa yang terjadi. Pengetahuan saya mungkin belum seberapa, tapi ya...ini bisa jadi gambaran :D
Basically, ranah apoteker ini secara garis besar dibagi ke dalam ranah industri dan ranah klinis-komunitas (orientasi klinis di rumah sakit, orientasi komunitas di apotek). Sejujurnya, saya tidak banyak tahu apa kerjaan apoteker di industri selain kaitannya dengan managerial, QA QC, research and development, hm maaf karena saya sudah telanjur kebanyakan terpapar pengetahuan farmasi klinis&komunitas (selanjutnya saya cukup sebut klinis aja ya), izinkan saya untuk berbicara farmasi klinis saja hehehe daripada sok tahu :”
For your information, farmasi klinis di Indonesia belum begitu berkembang. Farmasi industri lah yang telah menduduki singgasana istana kefarmasian sejak manusia masih menulis di atas batu (oke lebay), jadi wajar ketika STF lebih banyak peminatnya daripada FKK ITB karena prospek kerjanya pun lebih menjanjikan. Setelah keluarnya PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, barulah isu farmasi klinis muncul ke permukaan. Organisasi profesi bersama dengan para aktivis farmasi Indonesia mulai berjibaku meningkatkan eksistensi farmasi klinis yang orientasinya adalah memberikan pelayanan optimal kepada pasien. Muncul proyek HPEQ DIKTI yang menekankan pada uji kompetensi, akreditasi, dan nilai kolaborasi interprofesi; wadah ini dimanfaatkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia dan APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) untuk memperbaiki sistem farmasi klinis di Indonesia. Kolaborasi dalam optimasi pelayanan klinis menjadi nilai fundamental untuk dijadikan pondasi penggadaian arogansi profesi. Isu peningkatan eksistensi apoteker kemudian digadang-gadang diiringi dengan perbaikan kurikulum farmasi serta adanya uji kompetensi apoteker indonesia sebagai salah satu cara pemerataan kompetensi. So, are pharmacists important in clinical workfield? Why then everyone trying to sell pharmacists? What pharmacist do? Seberapa pentingkah peran farmasi di dunia klinis sampai hak eksistensi dan kesejahteraannya harus diperjuangkan?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.58, standar pelayanan farmasi klinik (this time, im speaking about hospital, not community) mencakup: (baca selengkapnya di http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regulasi/PMK_No._58_ttg_Standar_Yanfar_RS_.pdf)
1. pengkajian dan pelayanan Resep
2. penelusuran riwayat penggunaan Obat
3. rekonsiliasi Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5. konseling
6. visite
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Makhluk apa itu semua ya?
Well, poin di atas adalah hal ideal yang seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker yang bekerja di rumah sakit. Pertama, pengkajian dan pelayanan resep. Sejujurnya saya belum tahu banget bagaimana seharusnya seorang apoteker memverifikasi resep dari dokter. Berdasarkan pengetahuan di kelas, bekal magang, dan kunjungan rumah sakit, dalam memverifikasi resep, apoteker akan melihat berdasarkan prinsip DRPs (Drug Related Problem) seperti, apakah dokter meresepkan obat sesuai penggunaannya? Jangan-jangan dokter kasi obat tertentu hanya karena tuntutan dari industri, padahal pasien ga sakit apa-apa? Apakah dokter memberikan dosis yang tepat? Apakah ada interaksi obat yang dapat membahayakan pasien? Apakah ada kemungkinan pasien ini gagal menebus obat karena diberi obat paten yang super mahal (so people, if you cant afford such a branded drug, yes you may ask your pharmacist to give you generic one! Dont be afraid of losing the efficacy, youll be fine)? Ketika saya belajar verifikasi resep di kampus, I needed like an hour to check the prescription, karena detail setiap obat harus diperhatikan. Namun pada kenyataannya, verifikasi resep tidak membutuhkan waktu barang 5 menit, hal ini bisa jadi karena apoteker yang sudah berpengalaman, apoteker yang percaya “dokter ga mungkin sebego itu” atau “dokter ga mungkin sejahat itu” atau “ah paling dokter kasi obat off label” atau “ah paling rekomendasi gue ditolak dokter” haha ya ga semua begitu lah yaa, saya yakin verifikasi resep yang cepat karena memang apoteker yang sudah berpengalaman. Amin. Selama saya magang, banyak kejadian yang ditunjukkan dan diceritakan oleh apoteker di sana terkait proses verifikasi resep, dan hal itu membuat saya cukup terkejut, seperti resep yang tidak rasional, pasien yang protes ini itu, apoteker pandai dan apoteker ga pandai, apoteker yang sering dimarahi dokter karena kebanyakan telepon minta konfirmasi, dll yang somehow membuat perasaan saya campur aduk antara takut dan ingin kerja di rumah sakit. Anyway, inti dari paragraf ini adalah bahwa peran apoteker dalam verifikasi resep sangat penting untuk menghindari DRPs yang saya bilang di atas tadi.
Poin 2 dan 3. Penelusuran riwayat penggunaan obat dan rekonsiliasi obat. Tidak semua apoteker di rumah sakit melakukan ini. Bahkan apoteker terakre internasional di jakarta sana, memberikan ranah rekonsiliasi obat pada dokter dengan alasan keterbatasan SDM apoteker. Rekonsiliasi obat itu apa? Jadi apoteker ini menanyakan obat apa saja yang sedang diminum atau dibawa pasien rawat inap yang baru masuk ruangan rawat, selanjutnya obat itu akan dianalisis apakah layak dikatakan obat, kemudian apakah akan dilanjutkan atau tidak oleh pasien. Sebenarnya kalau dilihat-lihat memang itu ranahnya apoteker, tapi kalau pikiran nakal saya mengatakan ya udah dokter aja sekalian...nanti datanya dikasi ke apoteker terus dikaji deh supaya menghemat waktu. Haha. (Its probably only a matter of technical thingy(?)). Tapi saya merasakan pentingnya poin ini, karena dengan mengetahui obat yang dibawa pasien, apoteker jadi siaga terhadap interaksi obat dan membantu pasien tidak perlu membeli obat lagi jika dia punya obat yang sama dengan yang diresepkan dokter.
Poin 4, 5, dan 6 terkait pemberian informasi obat, konseling dan visite. Pemberian informasi obat biasanya bersifat satu arah pada saat apoteker menyerahkan obat ke pasien. Konseling lebih dua arah dan detail. Kriteria pasiennya pun berbeda. Sementara visite merupakan kunjungan ke ruang rawat. Saya merasa semuanya penting, apalagi bagi pasien-pasien lansia, anak-anak, pasien dengan multiobat dan penggunaan obat khusus, serta pasien dengan kecacatan tertentu yang butuh perhatian khusus terkait pengobatan.
Poin selanjutnya, PTO, MESO, dan EPO. Poin yang paling saya soroti adalah penanganan efek samping obat. Ketika saya mengunjungi rumah sakit di Thailand, sistem pelaporan efek samping obat terlihat lebih rapi dari rumah sakit yang baru saja hari ini saya kunjungi. Kata dosen saya pun memang sistem dari negaranya sudah berbeda. Jadi, ketika terjadi reaksi obat merugikan yang dialami pasien, apoteker akan mengumpulkan data-data kejadian tersebut kemudian melaporkannya kepada Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di rumah sakit. Apa yang dilakukan oleh PFT RS negara-negara lain adalah melaporkan kejadian tersebut pada badan obat pusat di negaranya (kalo di Indonesia BPOM), kemudian tiap rumah sakit di negara tersebut dapat mengakses database efek samping obat sehingga menjadi referensi dalam pemilihan terapi. Di Indonesia, data kejadian tersebut masih bersifat internal rumah sakit saja. But basically, peran apoteker tentunya penting dalam pengkajian efek samping obat ini. Apoteker dan dokter harus bersama-sama menganalisis apakah suatu kejadian merugikan pada pasien disebabkan karena obat yang dikonsumsinya atau bukan, jika iya apoteker harus mampu memberikan solusinya.
Selanjutnya adalah dispensing sediaan steril, yaitu menyiapkan obat-obat steril. Yah tentunya apoteker dibekali ilmu dispensing ini sehingga sudah sewajarnya apoteker yang melakukannya karena butuh keahlian khusus. Namun pada kenyataannya, dispensing ini masih dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang bukan apoteker (biasanya lulusan D3 Farmasi). Hm mungkin saya belum begitu paham urgensinya ketika memang TTK dibekali keterampilan ini, kenapa tidak mereka saja yang melakukan dispensing, tidak perlu apoteker seperti yang dicantumkan di Peraturan Menkes, mungkin ada pertimbangan yang saya belum tahu (?)
Poin terakhir saya kurang paham dan jarang dibahas juga sama apoteker-apoteker -.-
Yap. Itulah yang dilakukan oleh apoteker di rumah sakit. Rumah sakit masih menganggap pekerjaan farmasi klinis sangatlah banyak sehingga beberapa tugasnya kemudian masih dilakukan oleh TTK karena kekurangan SDM. Wait, kekurangan SDM? Teman-teman saya serempak terkejut dengan alasan itu karena kami sama-sama tahu bahwa lulusan farmasi bejubel jumlahnya di Indonesia tercinta ini. Kemudian kami berpikir, bisa jadi rumah sakit tidak mampu menemukan apoteker yang kriteria kompetensinya memenuhi apa yang mereka mau atau apakah rumah sakit tidak punya anggaran untuk merekrut apoteker baru atau rumah sakit masih merasa tugas apoteker dapat didelegasikan pada TTK yang cenderung digaji lebih rendah dari apoteker. Ini asumsi kok bro asumsi behehe. Yang pasti, setiap kali otak saya ini terpapar terkait isu farmasi klinis, saya selalu mengkaitkannya dengan kompetensi. Saya tidak mau bicara soal kesejahteraan dulu (apalagi untuk farmasi komunitas –apotek-), idealisme saya masih berkata bahwa yang terpenting sekarang adalah menyiapkan apoteker-apoteker kompeten sehingga peran apoteker memang benar-benar dibutuhkan (belajar yang bener Jen!). Selain itu, saya merasa database terkait kesehatan (seperti database MESO, peta kuman) di Indonesia kita tercinta ini mesti diperbaiki agar kita benar-benar tahu permasalahan kesehatan yang memang benar-benar membutuhkan keterlibatan apoteker yang mendalam. Ah, saya masih mahasiswa, saya saja tidak peduli soal prospek kerjaan makanya saya pilih FKK, ya toh saya ingin berhubungan dengan manusia as simple as that. Semoga idealisme ini tidak terkikis. Bytheway, kalau kata ka Tisa yang baru pulang S2 Farmasi Klinis di Inggris “UK has the same problem like Indonesia 20 years ago, where pharmacists weren’t exist yet” semoga farmasi klinis di Indonesia akan membaik tanpa harus menunggu 20 tahun lagi :’)
Okaay. I come to the end of my post. Quite boring? Sorry :”””””” maybe you could spread this to your little fella who are going to go to college or your friends who are interested at clinical pharmacy and they dont know yet what actually their roles are. Saya yakin masih ada hal yang tidak saya tahu terkait peran farmasi klinis, yah sambil jalan deh ya saya cari tahu~
I might talk about community pharmacist in my next post! Good night! Viva la pharmacie!
*ini bonus foto FKK 2012 setelah kuliah lapangan di rumah sakit hari ini, semoga kami jadi apoteker yang kompeten! amin* #jangandiabaikan
Selasa, 08 September 2015
They call it Debust, I call it Family #tsah
Banten-Bandung itu ga seberapa. You only need to go to bus station or travel pool and it only takes 3-4 hours to finally get to that special place of ours. Who is ours? Debust ITB. Sebuah unit kebudayaan yang dibentuk -if im not mistaken- di tahun 2010. Saya dengar berbagai hal terkait pendiriannya yang menyita tenaga, waktu dan pikiran. They had to do the strategies how to reach the minimum human resources that was needed, how to make a right AD/ART and stuffs, how to arrange the dances and all those beautiful Banten arts, yahh pokoknya bagaimana agar semua requirements dari LK bisa terpenuhi so Debust would be crowned as a college culture club. Terima kasih kakak-kakak :D
Iya, cuma 3-4 jam aja kok. Bukan Bandung-Sumatera yang beda pulau atau Bandung-Sulawesi yang akan menghabiskan banyak uang untuk tiket pesawat. We are not that “orang rantau banget” yang butuh suasana rantauannya at some points. Tapi kebersamaan bukan suatu hal yang harus dibentuk karena pautan jarak jauh kan? :)
Iya, Banten itu bahkan pecahan Jawa Barat loh. Budayanya ga akan beda jauh dg Bandung. The chance to get culture shock is probably just as small as a dot of mole in your face. Its not like everything outside Banten are our enemies. Tp kebersamaan tak melulu tercipta karena musuh bersama kan? Gathering is a nice word since people are meant to help each other.
The fact is, the people are there to help each other. Entah sudah berapa kali mulut, tangan, pikiran, dan semua anggota tubuh ini meminta bantuan teman-teman Debust. Dari Citra yang satu jurusan, Jarrah Iqbal yang beda jurusan, sampai Rahayu dan Maryam yang super sibuk, dan masih banyak lagi. Entah sudah berapa dari mereka yang selalu ada when I need them, even when I don’t need them! Ini lebih dari sekedar tebengan dini hari karena harus ke travel atau sejenisnya (thanks to the guys! :p), ini juga lebih dari minta tolong temani makan dan jalan hura-hura, tapi apa dong? Yaahhh all things that I justtt cant describe, sadar atau tidak, they give me much new and fresh spirit.
Debust itu rumah kami di Bandung, please tell me that I am true. A place to go home, am I right? Please again say yes. Duh I will not have you to read about kebersamaan dan semacamnya yang mungkin massa ITB apalagi, sudah muak karena dijejali pentingnya kebersamaan di osjur-osjur. Wait what? Yes I will make you to read such things because I am about to write them. Come on, I know repetitive sometimes annoy you, the essence kind of gone when you are forced to be into it like maybe thousand times. But I learn how to feel normative words. To respect repetitive words, routine advices, and a true-natural sentence.
Kebersamaan ya? Keluarga?
Layaknya sebuah keluarga kecil kita di rumah, mereka akan membimbing kita dan tidak mau kita berada di jalan yang salah. Why? Because they love us. They don’t want us trapped in malignancy. Kebersamaanlah yang akan melahirkan cinta itu. Cinta yang akan berbuah manis. Adakah cinta itu diciptakan untuk saling menghardik? Adakah Cinta itu diciptakan untuk membungkus harapan seseorang dan membuangnya jauh ke sungai? Seseorang yang mencintai kita akan membimbing kita menjadi lebih baik dari hari ke hari. They motivate us, they remind us, they help us achieve the better us.
Well, so, Debust makes me a better person? I feel people there are trying to make me so, langsung maupun tidak langsung. Dari hal yang sangat jelas sampai yang tidak terlihat dan tidak terasa. Not every individual, though. But Debust has been a place in Bandung where I can meet many people who I can share a lot of stories, they will listen and will not dare to make me fall. True family motivates you in any way they think it might suit you.
Besides motivating you, a true family doesn’t want to lose you despite the distance apart. Let me quoted someone’s words “Belajar menghargai kebersamaan, sebelum merasa sakit saat kehilangan”. Hargailah setiap kebersamaan yang ada. Ketika saatnya perpisahan itu ada, memang akan sakit rasanya, tapi ketika dulu kita telah belajar menghargai kebersamaan itu, sakitnya merindu akan menjadi pahala karena doa yang terus mengalir dari kita dan teman kita. Titipan doa agar teman-teman kita tetap dilindungi olehNya. Then our friends will do the same for us. Menghargai kebersamaan adalah sebuah investasi doa dari sahabat-sahabat kita.
And yes, my pray definitely goes to you. Semangat adik-adik Debust. Katanya kalau sudah nyaman sebagai satu keluarga, segala hal akan nyaman dilakukan ya? Maafkan diri ini yang hilang-timbul, mungkinkah pada kenyataannya nyaman tak selalu menjadi alasan untuk terus di permukaan? Atau….ada satu hal yang membuat nyaman itu terganggu? :’) Ini PR kita. Let me know what I can do for you :’’ Sukses <3
Iya, cuma 3-4 jam aja kok. Bukan Bandung-Sumatera yang beda pulau atau Bandung-Sulawesi yang akan menghabiskan banyak uang untuk tiket pesawat. We are not that “orang rantau banget” yang butuh suasana rantauannya at some points. Tapi kebersamaan bukan suatu hal yang harus dibentuk karena pautan jarak jauh kan? :)
Iya, Banten itu bahkan pecahan Jawa Barat loh. Budayanya ga akan beda jauh dg Bandung. The chance to get culture shock is probably just as small as a dot of mole in your face. Its not like everything outside Banten are our enemies. Tp kebersamaan tak melulu tercipta karena musuh bersama kan? Gathering is a nice word since people are meant to help each other.
The fact is, the people are there to help each other. Entah sudah berapa kali mulut, tangan, pikiran, dan semua anggota tubuh ini meminta bantuan teman-teman Debust. Dari Citra yang satu jurusan, Jarrah Iqbal yang beda jurusan, sampai Rahayu dan Maryam yang super sibuk, dan masih banyak lagi. Entah sudah berapa dari mereka yang selalu ada when I need them, even when I don’t need them! Ini lebih dari sekedar tebengan dini hari karena harus ke travel atau sejenisnya (thanks to the guys! :p), ini juga lebih dari minta tolong temani makan dan jalan hura-hura, tapi apa dong? Yaahhh all things that I justtt cant describe, sadar atau tidak, they give me much new and fresh spirit.
Debust itu rumah kami di Bandung, please tell me that I am true. A place to go home, am I right? Please again say yes. Duh I will not have you to read about kebersamaan dan semacamnya yang mungkin massa ITB apalagi, sudah muak karena dijejali pentingnya kebersamaan di osjur-osjur. Wait what? Yes I will make you to read such things because I am about to write them. Come on, I know repetitive sometimes annoy you, the essence kind of gone when you are forced to be into it like maybe thousand times. But I learn how to feel normative words. To respect repetitive words, routine advices, and a true-natural sentence.
Kebersamaan ya? Keluarga?
Layaknya sebuah keluarga kecil kita di rumah, mereka akan membimbing kita dan tidak mau kita berada di jalan yang salah. Why? Because they love us. They don’t want us trapped in malignancy. Kebersamaanlah yang akan melahirkan cinta itu. Cinta yang akan berbuah manis. Adakah cinta itu diciptakan untuk saling menghardik? Adakah Cinta itu diciptakan untuk membungkus harapan seseorang dan membuangnya jauh ke sungai? Seseorang yang mencintai kita akan membimbing kita menjadi lebih baik dari hari ke hari. They motivate us, they remind us, they help us achieve the better us.
Well, so, Debust makes me a better person? I feel people there are trying to make me so, langsung maupun tidak langsung. Dari hal yang sangat jelas sampai yang tidak terlihat dan tidak terasa. Not every individual, though. But Debust has been a place in Bandung where I can meet many people who I can share a lot of stories, they will listen and will not dare to make me fall. True family motivates you in any way they think it might suit you.
Besides motivating you, a true family doesn’t want to lose you despite the distance apart. Let me quoted someone’s words “Belajar menghargai kebersamaan, sebelum merasa sakit saat kehilangan”. Hargailah setiap kebersamaan yang ada. Ketika saatnya perpisahan itu ada, memang akan sakit rasanya, tapi ketika dulu kita telah belajar menghargai kebersamaan itu, sakitnya merindu akan menjadi pahala karena doa yang terus mengalir dari kita dan teman kita. Titipan doa agar teman-teman kita tetap dilindungi olehNya. Then our friends will do the same for us. Menghargai kebersamaan adalah sebuah investasi doa dari sahabat-sahabat kita.
And yes, my pray definitely goes to you. Semangat adik-adik Debust. Katanya kalau sudah nyaman sebagai satu keluarga, segala hal akan nyaman dilakukan ya? Maafkan diri ini yang hilang-timbul, mungkinkah pada kenyataannya nyaman tak selalu menjadi alasan untuk terus di permukaan? Atau….ada satu hal yang membuat nyaman itu terganggu? :’) Ini PR kita. Let me know what I can do for you :’’ Sukses <3
Minggu, 23 Agustus 2015
dear (calon) mahasiswa tingkat akhir,
Dear teman2ku, (calon) mahasiswa tingkat akhir,
Senang ketika bertanya pada kalian "IPKmu berapa?", masih banyak dari kalian yang mau jawab (walaupun itu tidak saya rasakan di ITB, tp setidaknya di kampus lain). Saling memotivasi dan meluruskan niat utk menjadi seorang profesional yang kompeten. Saling mendukung satu sama lain bahwa di tingkat akhir adalah kesempatan lain untuk memperbaiki diri.
Senang rasanya ketika bicara skripsi, setiap dari kalian seperti tahu apa yang sedang kalian lakukan. I see you guys with that white lab coat covered with tremendous spirit. I see your fingers ready to burn on your laptop keyboard, the nerves are preparing to receive a signal from your very excellent brain.
Senang rasanya, ketika saya mengeluh takut, kalian hadir dengan senyum. Bahkan orang nomor satunya yang sering mengeluh salah jurusan turut memotivasi bukan dengan tepukan bahu atau pelukan hangat, tapi dengan berbagi rasa syukurnya yang masih diberi kesempatan utk duduk di bangku kuliah.
And ... I am more than happy ketika bertanya pada kalian "kapan rencana lulus?" Setiap dari kalian menjawab macam2 dengan anak kalimat yang super panjang. Anak kalimat itu adalah mimpi, mimpi2 yang dirajut bukan dengan benang termahal dunia, tp dengan tangan berurat penuh tekad. Mimpi untuk orang tua, untuk negeri, untuk agama, dan untuk hal baik lainnya. Mimpi yang bukan sekedar ada di dinding kamar atau selipan dompet, melainkan mimpi yang ada di lubuk hati.
Seorang teman yang merasa belum banyak berkontribusi untuk kampus, dengan gagahnya memutuskan lulus 5 tahun. Seorang teman yang merasa ingin mendidik adik2nya memutuskan lulus belakangan. Seseorang yang ingin cepat mengabdi pada profesinya berikrar untuk lulus secepatnya. Seorang teman yang bermimpi akan kelahiran mujahid mujahidah negeri, berjanji lulus cepat dan segera menikah. Seorang teman yang....ah you really know what youre doing.
Terima kasih sahabat2ku, you inspire me, you motivate me, you wake me up from asleep, you push me from a comfort zone, I owe you many things. Semoga niat kita untuk melangkahkan kaki dari kampus masing2 adalah untuk kebaikan. Semoga kita tersadar akan orang2 yang membutuhkan kita. My pray goes to us, wish we had a blast and a blessed senior year! :)
*duh masih harus ambil apoteker*
23 Agustus,
Menuju Bandung setelah menyempatkan pulang sedetik :3
Senang ketika bertanya pada kalian "IPKmu berapa?", masih banyak dari kalian yang mau jawab (walaupun itu tidak saya rasakan di ITB, tp setidaknya di kampus lain). Saling memotivasi dan meluruskan niat utk menjadi seorang profesional yang kompeten. Saling mendukung satu sama lain bahwa di tingkat akhir adalah kesempatan lain untuk memperbaiki diri.
Senang rasanya ketika bicara skripsi, setiap dari kalian seperti tahu apa yang sedang kalian lakukan. I see you guys with that white lab coat covered with tremendous spirit. I see your fingers ready to burn on your laptop keyboard, the nerves are preparing to receive a signal from your very excellent brain.
Senang rasanya, ketika saya mengeluh takut, kalian hadir dengan senyum. Bahkan orang nomor satunya yang sering mengeluh salah jurusan turut memotivasi bukan dengan tepukan bahu atau pelukan hangat, tapi dengan berbagi rasa syukurnya yang masih diberi kesempatan utk duduk di bangku kuliah.
And ... I am more than happy ketika bertanya pada kalian "kapan rencana lulus?" Setiap dari kalian menjawab macam2 dengan anak kalimat yang super panjang. Anak kalimat itu adalah mimpi, mimpi2 yang dirajut bukan dengan benang termahal dunia, tp dengan tangan berurat penuh tekad. Mimpi untuk orang tua, untuk negeri, untuk agama, dan untuk hal baik lainnya. Mimpi yang bukan sekedar ada di dinding kamar atau selipan dompet, melainkan mimpi yang ada di lubuk hati.
Seorang teman yang merasa belum banyak berkontribusi untuk kampus, dengan gagahnya memutuskan lulus 5 tahun. Seorang teman yang merasa ingin mendidik adik2nya memutuskan lulus belakangan. Seseorang yang ingin cepat mengabdi pada profesinya berikrar untuk lulus secepatnya. Seorang teman yang bermimpi akan kelahiran mujahid mujahidah negeri, berjanji lulus cepat dan segera menikah. Seorang teman yang....ah you really know what youre doing.
Terima kasih sahabat2ku, you inspire me, you motivate me, you wake me up from asleep, you push me from a comfort zone, I owe you many things. Semoga niat kita untuk melangkahkan kaki dari kampus masing2 adalah untuk kebaikan. Semoga kita tersadar akan orang2 yang membutuhkan kita. My pray goes to us, wish we had a blast and a blessed senior year! :)
*duh masih harus ambil apoteker*
23 Agustus,
Menuju Bandung setelah menyempatkan pulang sedetik :3
Minggu, 02 Agustus 2015
Tuhan meminta....
Tuhan memang pandai membolak-balikkan hati manusia. Skenarionya begitu luar biasa menyulap hati riang menjadi gelisah, busur senyum terbalik seratus delapan puluh derajat, mata binar bahagia menjadi nanar karena pilu menyergap. Ah…begitu banyak yang patut disyukuri, begitu banyak yang patut ditelisik, apa dosa-dosaku selama ini?
Tuhan telah memintaku untuk sejenak melihat sekeliling. Lihatlah, ada banyak buku-buku yang masih kau hutangi janji untuk dibaca. Lihatlah anak-anak kecil itu berlarian meminta gendongan tanganmu dan sapa ramahmu, saudaramu sendiri. Perhatikan dengan seksama, air matamu yang terjatuh itu masih belum cukup, jauh masih belum cukup untuk membuktikan rasa cinta dan kasihmu kepada orang yang telah melahirkan dan merawatmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Di saat bersamaan, Tuhan telah memintaku untuk beristirahat sejenak. Untuk tidak memerhatikan orang lain. Tuhan bilang, mainkan egomu karena kau berhak egois saat ini. Biarkan musuh-musuh itu datang. Nikmati tangan bebasmu yang membuka lembaran-lembaran buku; nikmati matamu yang akan fokus pada ayat-ayat Quran yang kau janjikan akan kau hafal; nikmati hati dan pikiranmu yang harus kau gadaikan pada orang-orang yang diam-diam merindukanmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Hai alam. Kereta ini bergerak, bergerak dengn membawa tujuan, pun penumpangnya; termasuk diriku. Rasanya aku seperti memainkan sebuah peran di suatu film atau peran dalam sebuah novel. Seseoarang yang sedang menikmati kesendirian tanpa harus diganggu oleh kepentingan-kepentingan orang lain. Seseoarang yang sedang menikmati pemandangan negeri melalui kaca jendela. Seseorang yang sebentar-sebentar sibuk dengan novelnya, menghayati kata demi kata mencoba berkontemplasi lewat bacaan dan tulisan, bahkan lewat dentuman mesin dan tabrakan besi-besi kereta. Aku berharap kereta ini membawaku jauh dari kehidupan orang-orang egois, orang-orang yang hanya mementingkan kehidupan dirinya tanpa kehidupan orang lain, Padahal kenyataannya sekarang aku sedang mencoba untuk menikmati hidupku sendiri. Paradoks. Begitulah bagaimana suatu kontemplasi diciptakan, ku pikir begitu. Mencoba lari dari orang lain untuk memikirkan orang lain. Melalui kepasrahan diri akan segala alam ciptaanNya, melalui air mata di sepertiga malam yang jatuh di atas sajadah, termasuk melalui kesendirian di dalam kereta tanpa mau mengenal siapapun, tanpa mau menerima telepon dari manapun.
Entah ini buah rasa jenuh, atau memang Tuhan memintaku untuk jenuh pada pekerjaan dan memintaku fokus pada orang-orang yang membutuhkanku namun aku tak sadar. Jangan-jangan selama ini aku mengurusi orang-orang yang nyatanya tak secuilpun membutuhkanku. Entah tegurannya bulan ini memang memaksaku untuk jenuh atau rasa jenuh ini sebenarnya rasa bersalahku pd Tuhan? I cant even describe how it feels...
Ah…ternyata kereta yang membawa tujuan ini membawaku pada orang-orang berkepentingan yang padahal ingin aku jauhi sementara. Ternyata aku hanya diziinkan untuk berkontemplasi melalui dentuman kereta dan tulisan selama 7 jam saja, sisanya, aku diminta kembali bekerja.
Namun aku yakin, Tuhan tidak akan pernah bosan memintaku untuk menyendiri, berserah padaNya dan kembali menyadari…bahwa,
Tuhan memang pandai membolak-balikkan hati manusia. Skenarionya begitu luar biasa menyulap hati riang menjadi gelisah, busur senyum terbalik seratus delapan puluh derajat, mata binary bahagia menjadi nanar karena pilu menyergap. Ah…begitu banyak yang patut disyukuri, begitu banyak yang patut ditelisik, apa dosa-dosaku selama ini?
Di kereta,
Menuju Yogyakarta
Tuhan telah memintaku untuk sejenak melihat sekeliling. Lihatlah, ada banyak buku-buku yang masih kau hutangi janji untuk dibaca. Lihatlah anak-anak kecil itu berlarian meminta gendongan tanganmu dan sapa ramahmu, saudaramu sendiri. Perhatikan dengan seksama, air matamu yang terjatuh itu masih belum cukup, jauh masih belum cukup untuk membuktikan rasa cinta dan kasihmu kepada orang yang telah melahirkan dan merawatmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Di saat bersamaan, Tuhan telah memintaku untuk beristirahat sejenak. Untuk tidak memerhatikan orang lain. Tuhan bilang, mainkan egomu karena kau berhak egois saat ini. Biarkan musuh-musuh itu datang. Nikmati tangan bebasmu yang membuka lembaran-lembaran buku; nikmati matamu yang akan fokus pada ayat-ayat Quran yang kau janjikan akan kau hafal; nikmati hati dan pikiranmu yang harus kau gadaikan pada orang-orang yang diam-diam merindukanmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Hai alam. Kereta ini bergerak, bergerak dengn membawa tujuan, pun penumpangnya; termasuk diriku. Rasanya aku seperti memainkan sebuah peran di suatu film atau peran dalam sebuah novel. Seseoarang yang sedang menikmati kesendirian tanpa harus diganggu oleh kepentingan-kepentingan orang lain. Seseoarang yang sedang menikmati pemandangan negeri melalui kaca jendela. Seseorang yang sebentar-sebentar sibuk dengan novelnya, menghayati kata demi kata mencoba berkontemplasi lewat bacaan dan tulisan, bahkan lewat dentuman mesin dan tabrakan besi-besi kereta. Aku berharap kereta ini membawaku jauh dari kehidupan orang-orang egois, orang-orang yang hanya mementingkan kehidupan dirinya tanpa kehidupan orang lain, Padahal kenyataannya sekarang aku sedang mencoba untuk menikmati hidupku sendiri. Paradoks. Begitulah bagaimana suatu kontemplasi diciptakan, ku pikir begitu. Mencoba lari dari orang lain untuk memikirkan orang lain. Melalui kepasrahan diri akan segala alam ciptaanNya, melalui air mata di sepertiga malam yang jatuh di atas sajadah, termasuk melalui kesendirian di dalam kereta tanpa mau mengenal siapapun, tanpa mau menerima telepon dari manapun.
Entah ini buah rasa jenuh, atau memang Tuhan memintaku untuk jenuh pada pekerjaan dan memintaku fokus pada orang-orang yang membutuhkanku namun aku tak sadar. Jangan-jangan selama ini aku mengurusi orang-orang yang nyatanya tak secuilpun membutuhkanku. Entah tegurannya bulan ini memang memaksaku untuk jenuh atau rasa jenuh ini sebenarnya rasa bersalahku pd Tuhan? I cant even describe how it feels...
Ah…ternyata kereta yang membawa tujuan ini membawaku pada orang-orang berkepentingan yang padahal ingin aku jauhi sementara. Ternyata aku hanya diziinkan untuk berkontemplasi melalui dentuman kereta dan tulisan selama 7 jam saja, sisanya, aku diminta kembali bekerja.
Namun aku yakin, Tuhan tidak akan pernah bosan memintaku untuk menyendiri, berserah padaNya dan kembali menyadari…bahwa,
Tuhan memang pandai membolak-balikkan hati manusia. Skenarionya begitu luar biasa menyulap hati riang menjadi gelisah, busur senyum terbalik seratus delapan puluh derajat, mata binary bahagia menjadi nanar karena pilu menyergap. Ah…begitu banyak yang patut disyukuri, begitu banyak yang patut ditelisik, apa dosa-dosaku selama ini?
Di kereta,
Menuju Yogyakarta
Kamis, 16 Juli 2015
Cinta
I was just playing with my and my friends' pieces of love story. Sometimes what we laugh in a drama actually happen to us though we might not notice it. I notice some "apa deh" statements in this short story, but anyway, just want to cheer up many friends whose life never stop seeking their love one. Friends who always share their story about love and marriage, just put in mind, God is indeed the best planner ever. Cheers :p
Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.
Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.
“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.
“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.
Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.
“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.
“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.
“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.
***
Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.
“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.
“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.
Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.
***
Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.
Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”
Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.
“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.
“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.
***
Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.
Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat
Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang
Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,
Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.
“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.
“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.
Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.
Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.
“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.
Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?
“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?
Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.
“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.
***
Oktober, 2012.
Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.
Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku
Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita
Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.
Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.
***
April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.
“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.
“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.
“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.
***
April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.
Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.
Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.
“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.
“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.
Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.
“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.
“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.
“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.
***
Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.
“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.
“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.
Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.
***
Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.
Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”
Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.
“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.
“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.
***
Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.
Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat
Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang
Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,
Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.
“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.
“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.
Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.
Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.
“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.
Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?
“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?
Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.
“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.
***
Oktober, 2012.
Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.
Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku
Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita
Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.
Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.
***
April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.
“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.
“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.
“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.
***
April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.
Senin, 06 Juli 2015
orang tua bilang "kamu ga sopan", kita bilang "mah, itu wajar"
My mom and my hostmom are both very social persons, and yes they always ask me to make your faraway guests as your Kings and Queens. They want me to salam to everyone; your hospitality is number one. They also always encourage me to give and share. They basically want kids do that, every kids in the world. But whats happening now?
Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.
Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.
My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”
Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”
Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.
Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.
I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.
Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.
Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.
Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.
My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”
Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”
Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.
Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.
I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.
Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.
Sabtu, 04 Juli 2015
Thank you, dear!
Betapa luar biasanya berada di sekeliling orang-orang seperti kalian. Bukan cerita-cerita yang mengalir dari mulut sang ratu lebah yang ingin dihormati, bukan pula mimpi yang terajut rapi dari sang pangeran yang hanya berniat mencari sang kekasih, I can feel your sincerity. Ah…apalah semua hari-hari ini jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang sudah para tetua lewati, apalah semua benih-benih yang hendak tumbuh ini jika dibandingkan dengan kecambah yang para pengabdi negeri ini miliki, entah…yang kudapat ini mungkin belum seberapa jika dibandingkan dengan asam garam kehidupan para pekerja buruh, para pegawai swasta, pemiliki perusahaan, para professional, guru, orang tua dan kakek nenek kita, mungkin belum seberapa. But I can feel it, how a drop of ink can spread fast on certain papers.
Saya ingat ketika saya menghadiri sebuah seminar motivasi ketika saya SMP, sang motivator berkata “hidup di SMA itu tidak akan pernah terlupakan, sepakat?” peserta yang kebanyakan adalah anak SMA berseru ‘sepakat!’ kemudian menyimpulkan senyum malu-malu, entah mungkin mereka teringat kerja kerasnya belajar mengejar nilai, cerita persahabatan kepompongnya, atau teringat kisah asmara bodoh yang buat merah pipi pemiliknya. Saya kala itu tidak tersenyum, melainkan fokus memperhatikan kakak saya yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Alis saya terangkat.
Namun kemudian sang motivator tersenyum lebar seraya berkata “hmm…tunggu saja sampai kalian nanti kuliah” Alis saya semakin terangkat.
Si polos Risni menghabiskan masa SMPnya dengan mendengarkan cerita-cerita sang kakak. Ya, saya adalah salah satu penggemar berat kakak saya, walaupun saya yakin beliau tidak tahu sampai sekarang. Kisahnya selalu membuat saya tak sabar masuk SMA, betapa seru…dan anehnya…. cerita-cerita beliau. Cerita ketika beliau bertengkar dengan sahabat baiknya, cerita ketika bersama-sama main mendaki gunung, kisah teman-temannya yang selalu membicarakan soal pernikahan, nasihatnya tentang pakaian baik seorang wanita, permintaannya padaku agar ikut mentoring ketika nanti SMA, keberaniannya dan menurutku dulu…keanehan dia dan teman-temannya yang berani turun ke jalan, berdemo dengan membawa spanduk dan memakai ikat kepala, berorasi di depan gedung DPR serta kebingungan dan tawa saya yang muncrat keluar karena selalu mendengar takbir dikumandangkan dengan lantang setiap kali saya diajak acara keagamaan olehnya. Cerita kakaklah yang menjadi sebuah scene di SMA yang saya bayangkan…
Ternyata, masa SMAku berbeda dengannya. Si polos Risni tak mengalami apa yang dialami kakaknya. Ketika itu saya berpikir, zaman mungkin berubah? Haha. Saya pun kemudian hanya mengikuti alur air yang entah saat itu saya tidak tahu akan bawa saya kemana. Yang pasti, saya dahulu selalu mempertanyakan “mana kisah-kisah yang diceritakan oleh kakak? Di mana?” Dari sini lah saya belajar bahwa memang, ekspektansi bisa menjadi moodbreaker sepanjang masa. Now if you didnt get what you want, are you gonna give up?
Kakak saya tidak lagi bercerita banyak tentang masa kuliahnya ketika saya SMA, mungkin karena jarak yang memaksa kami untuk jarang bertemu dan berkomunikasi. Tapi beliau dan teman-temannya tetap menjadi cerminan scene masa depan yang saya bayangkan. Ah…jadi, kalimat “kakak adalah contoh bagi adiknya” itu benar adanya, setidaknya, saya mengamini hal itu.
Ternyata, begini ya hidup di masa perkuliahan? Saya sedikit banyak mengalami apa yang kakak saya alami, namun dengan cara dan jalur yang cukup jauh berbeda. Kalau saya ingat ketika saya menghadiri seminar motivasi dulu, saya sepertinya mengerti senyuman lebar pembicara yang berucap “tunggu ketika kalian nanti kuliah” haha kok lucu. Well…
Duh, saya sebenarnya mau nulis apa sih :’)
Entah…akhir-akhir ini, grateful feels like tighten me in every second of life. Betapa, tidak selamanya ekspektasi membunuh keinginan kita untuk berjalan bahkan berlari. Betapa masih banyak orang yang peduli dengan kita dan tak pernah lelah membantu memperbaiki diri kita, bukan semata untuk mengejar apa yang kita inginkan, namun apa yang terbaik untuk kita. Entah sudah berapa hal yang terjadi, sudah berapa orang yang menegur, sudah berapa orang yang memukul pundak, sudah berapa kejadian yang membuat saya berpikir bahwa life is too beautiful. Pembelajaran-pembelajaran yang saya sadar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang lain sudah dapatkan ternyata di mata saya sangat berharga, yes I learn how to feel normative words.
Mendengar memang terkadang lebih indah daripada mengucapkannya, mengamati ternyata bisa lebih nikmat daripada melakukannya. I do learn a lot from you guys. Orang-orang yang berada di sekeliling saya, terima kasih telah memunculkan scene yang pernah kakak saya alami haha, terima kasih telah menjadi kalian yang membenci saya, mencintai saya, menghormati, mengucilkan, mengagumi, mengkhianati dan lain sebagainya. Apalah saya berkata seperti ini, sudah seperti orang tua yang merasakan asam garam kehidupan setumpuk puluhan meter dan mencoba mengambil gula di tengah garam. Ini hanya rasa syukur yang ingin saya bagi dan pesan untuk selalu berhati-hati, bahwa hidup kita yang masih muda ini…masih panjang ya…entah akan ada pelajaran-pelajaran apa lagi yang mungkin akan membuat kita makin membuka mata dan pikiran yang kemudian akan menjadi pedang bermata dua. Are we going to be able to deal with it atau justru kejadian di depan akan mengubah kita kepada hal yang tidak baik. Haha seperti saya yang labil, sampai teman-teman tarik ulur untuk mencoba memperbaiki diri ini yang serba kekurangan. Pelajaran-pelajaran yang terkadang buat bingung untuk bersikap memaksa saya untuk selalu sadar kalimat If youre confused what people want you to do, just do what God wants you to do. Terima kasih kalian yang selalu memberi tausiyah, yang selalu mengingatkan, yang selalu tahu kapan saya turun, kemudian mencoba mengajak saya bertemu tatap muka untuk menegur langsung kesalahan yang telah saya perbuat, yang selalu bersusah payah mengajak saya bertemu hanya untuk bilang “jangan lupa hafalannya, jangan lupa amalannya”, bukan…itu bukan hanya…itu kata mutiara yang begitu luar biasa. Terima kasih :’) *efek tak terasa sudah tingkat empat ya, jen?*
Terima kasih telah membantu saya mengejar ekpektasi. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Saya ingat ketika saya menghadiri sebuah seminar motivasi ketika saya SMP, sang motivator berkata “hidup di SMA itu tidak akan pernah terlupakan, sepakat?” peserta yang kebanyakan adalah anak SMA berseru ‘sepakat!’ kemudian menyimpulkan senyum malu-malu, entah mungkin mereka teringat kerja kerasnya belajar mengejar nilai, cerita persahabatan kepompongnya, atau teringat kisah asmara bodoh yang buat merah pipi pemiliknya. Saya kala itu tidak tersenyum, melainkan fokus memperhatikan kakak saya yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Alis saya terangkat.
Namun kemudian sang motivator tersenyum lebar seraya berkata “hmm…tunggu saja sampai kalian nanti kuliah” Alis saya semakin terangkat.
Si polos Risni menghabiskan masa SMPnya dengan mendengarkan cerita-cerita sang kakak. Ya, saya adalah salah satu penggemar berat kakak saya, walaupun saya yakin beliau tidak tahu sampai sekarang. Kisahnya selalu membuat saya tak sabar masuk SMA, betapa seru…dan anehnya…. cerita-cerita beliau. Cerita ketika beliau bertengkar dengan sahabat baiknya, cerita ketika bersama-sama main mendaki gunung, kisah teman-temannya yang selalu membicarakan soal pernikahan, nasihatnya tentang pakaian baik seorang wanita, permintaannya padaku agar ikut mentoring ketika nanti SMA, keberaniannya dan menurutku dulu…keanehan dia dan teman-temannya yang berani turun ke jalan, berdemo dengan membawa spanduk dan memakai ikat kepala, berorasi di depan gedung DPR serta kebingungan dan tawa saya yang muncrat keluar karena selalu mendengar takbir dikumandangkan dengan lantang setiap kali saya diajak acara keagamaan olehnya. Cerita kakaklah yang menjadi sebuah scene di SMA yang saya bayangkan…
Ternyata, masa SMAku berbeda dengannya. Si polos Risni tak mengalami apa yang dialami kakaknya. Ketika itu saya berpikir, zaman mungkin berubah? Haha. Saya pun kemudian hanya mengikuti alur air yang entah saat itu saya tidak tahu akan bawa saya kemana. Yang pasti, saya dahulu selalu mempertanyakan “mana kisah-kisah yang diceritakan oleh kakak? Di mana?” Dari sini lah saya belajar bahwa memang, ekspektansi bisa menjadi moodbreaker sepanjang masa. Now if you didnt get what you want, are you gonna give up?
Kakak saya tidak lagi bercerita banyak tentang masa kuliahnya ketika saya SMA, mungkin karena jarak yang memaksa kami untuk jarang bertemu dan berkomunikasi. Tapi beliau dan teman-temannya tetap menjadi cerminan scene masa depan yang saya bayangkan. Ah…jadi, kalimat “kakak adalah contoh bagi adiknya” itu benar adanya, setidaknya, saya mengamini hal itu.
Ternyata, begini ya hidup di masa perkuliahan? Saya sedikit banyak mengalami apa yang kakak saya alami, namun dengan cara dan jalur yang cukup jauh berbeda. Kalau saya ingat ketika saya menghadiri seminar motivasi dulu, saya sepertinya mengerti senyuman lebar pembicara yang berucap “tunggu ketika kalian nanti kuliah” haha kok lucu. Well…
Duh, saya sebenarnya mau nulis apa sih :’)
Entah…akhir-akhir ini, grateful feels like tighten me in every second of life. Betapa, tidak selamanya ekspektasi membunuh keinginan kita untuk berjalan bahkan berlari. Betapa masih banyak orang yang peduli dengan kita dan tak pernah lelah membantu memperbaiki diri kita, bukan semata untuk mengejar apa yang kita inginkan, namun apa yang terbaik untuk kita. Entah sudah berapa hal yang terjadi, sudah berapa orang yang menegur, sudah berapa orang yang memukul pundak, sudah berapa kejadian yang membuat saya berpikir bahwa life is too beautiful. Pembelajaran-pembelajaran yang saya sadar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang lain sudah dapatkan ternyata di mata saya sangat berharga, yes I learn how to feel normative words.
Mendengar memang terkadang lebih indah daripada mengucapkannya, mengamati ternyata bisa lebih nikmat daripada melakukannya. I do learn a lot from you guys. Orang-orang yang berada di sekeliling saya, terima kasih telah memunculkan scene yang pernah kakak saya alami haha, terima kasih telah menjadi kalian yang membenci saya, mencintai saya, menghormati, mengucilkan, mengagumi, mengkhianati dan lain sebagainya. Apalah saya berkata seperti ini, sudah seperti orang tua yang merasakan asam garam kehidupan setumpuk puluhan meter dan mencoba mengambil gula di tengah garam. Ini hanya rasa syukur yang ingin saya bagi dan pesan untuk selalu berhati-hati, bahwa hidup kita yang masih muda ini…masih panjang ya…entah akan ada pelajaran-pelajaran apa lagi yang mungkin akan membuat kita makin membuka mata dan pikiran yang kemudian akan menjadi pedang bermata dua. Are we going to be able to deal with it atau justru kejadian di depan akan mengubah kita kepada hal yang tidak baik. Haha seperti saya yang labil, sampai teman-teman tarik ulur untuk mencoba memperbaiki diri ini yang serba kekurangan. Pelajaran-pelajaran yang terkadang buat bingung untuk bersikap memaksa saya untuk selalu sadar kalimat If youre confused what people want you to do, just do what God wants you to do. Terima kasih kalian yang selalu memberi tausiyah, yang selalu mengingatkan, yang selalu tahu kapan saya turun, kemudian mencoba mengajak saya bertemu tatap muka untuk menegur langsung kesalahan yang telah saya perbuat, yang selalu bersusah payah mengajak saya bertemu hanya untuk bilang “jangan lupa hafalannya, jangan lupa amalannya”, bukan…itu bukan hanya…itu kata mutiara yang begitu luar biasa. Terima kasih :’) *efek tak terasa sudah tingkat empat ya, jen?*
Terima kasih telah membantu saya mengejar ekpektasi. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Kamis, 23 April 2015
TC Research Dissemination
Jadi, ceritanya begini.
I was quite a newbie in tobacco control things. Bulan lalu iseng-iseng kirim abstrak tentang tobacco control policy-relevant research bersama adik tingkat yang juga anak farmasi (credits to Intan Dinny, thanks for doing a great job!). Selayang kuesioner online, simple, dan mengacuhkan variable inklusi dan semacamnya saya sebarkan lewat media sosial kemudian dibuat posternya. I was happy knowing that our abstract was accepted to a poster exhibition in Yogyakarta. Tibalah tanggal 19 April, I flew to Yogya for attending the exhibition what so called Indonesian Tobacco Control Research Dissemination Conference and Capacity Building Program. Program ini diadakan oleh MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control Center UMY); John Hopkins Bloomberg School of Publich Health, an IGTC; International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases; and National Cancer Institute USA. Well, I just knew such things were actually exist in this world lol.
During the preparation, baik itu kirim biografi, foto, poster, tiket pesawat, panitia selalu menghubungi saya lewat sms dengan kata sapaan ‘Ibu’, biasanya kalau ada kegiatan semacam gini, paling barter saya dihubungi dengan kata sapaan ‘mbak’, tapi kenapa ini ‘ibu’ ya?
So I was wondering why everyone calling me ‘Ibu’, it was answered when I attended the welcoming event. I could barely find students -.-“ Kebanyakan participant adalah aktivis tobacco control (TC) dari komunitas-komunitas TC yang sudah lulus S1 atau sedang mengeyam pendidikan S2, S3; dosen-dosen FISIP, Psikologi, FKM, FK, Farmasi dan rumpun kesehatan lain; orang-orang dinkes, kemenkes, dll yang penelitian tobacco controlnya luar biasa kompleks. Ilmu farmakoekonomi saya mungkin baru 1/1000000nya. I was like “Ok, here we go, jen.”
Berawal dari sarapan pagi bersama roommate yang merupakan dosen muda dari Aceh, rasa penasaran saya dengan acara ini semakin meningkat. Beliau menceritakan penelitian yang beliau lakukan dan berdiskusi sedikit tentang KTR di daerah-daerah yang tidak terimplementasi dengan baik; beliau pun menceritakan penelitian mengenai rokok herbal yang justru bahayanya tidak jauh dengan rokok biasa; kemudian mengenai PHW (pictorial health warning) yang ada di bungkus-bungkus rokok sekarang ternyata memang memengaruhi keinginan orang-orang untuk tidak merokok, namun industry rokok kemudian mengakali PHW tersebut dengan membuat kemasan rokok dalam kaleng yang PHWnya dimasukkan ke dalam kaleng tersebut (duh!).
Sampai pada keynote speech oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany yang merupakan founder JKN, pembawaan sarkasnya yang kadang bikin ketawa buat saya manggut-manggut mendengar berbagai informasi yang beliau sampaikan. Kemudian diskusi panel oleh Steve Tamplin, Jeffrey Drope, dan Mark Parascandola yang tidak kalah menarik. Pertanyaan yang paling menarik muncul di diskusi ini adalah “Can you guys tell us why USA has not yet ratify FCTC?” yup, I just noticed that! Saya tahu ada 9 negara yang belum meratifikasi FCTC (framework tobacco control dari WHO), salah satunya Indonesia dan USA, even USA has not sign yet -.- tapi tiga pembicara di panel diskusi itu American loh. Then they said “It’s political reason, but despite that I believe USA are really eager in conducting tobacco control research activity around the world” ya, sebagaimana teman saya dari FKM UI bilang, “Amerika memang belum ratify, tapi kegiatan tobacco control mereka gila-gilaan” That makes me curious what the political reasons are. Selanjutnya ada presentasi dari Prof. dr. Tjandra Yoga, pihak Puslitbangkes Kemenkes RI yang memberikan informasi-infomrasi up to date mengenai jumlah perokok Indonesia dan data-data terkait lainnya. I was like “Come one Indonesia, can you make an update database for everything in internet just like USA has been doing? It’s a very useful materials instead of making your students create a blog for posting their laboratory report (if you know what I mean). We’re living in Z generation, hurray!” (but eventually I know that CDC has smoking-related database for all countries including Indonesia, which is awesome)
Lunch break saya makan dengan roommate dan partner in crime saya selama conference, lol, Khansa yang juga mahasiswa S1 and her roommate Ibu dari dinas keuangan Indramayu. Diskusi seputar rokok mencuat kembali, Ibu dari Indramayu tersebut menceritakan berbagai hal terkait dana cukai rokok yang tidak boleh dipakai untuk dana pendidikan ataupun dana lain di luar hal yang dapat menguntungkan industri rokok. Rasanya kesal dengar itu -.-
Kegiatan selanjutnya adalah presentasi-presentasi penelitian terkait rokok, berikut judul intinya:
1. Mapping the Indonesia government position in decision making on FCTC ratification
2. Harmonizing international trade policies and right for health protection measures
3. Content analysis of cigarette advertisement in newspaper
4. Economic burden of smoking attributable disease to government health expenditure
5. Warranties and certainty of legal protection of children from cigarette addiction
6. Analysing tobacco control policy initiation through survey on public opinion
7. Monitoring and evaluation of implementation of regional regulation no. 5 year 2008 surabaya
8. Effect of home cigarette smoke exposure to respiratory diseases
9. Monitoring and evaluation PHW
10. Economic impact of smoking : premature mortality cost and YPLL study
When I listened to the first five presentation, I was like “uwow so cooool”. But then I was like “Dang, why you’re not inviting policy maker in this session! This incredibly important for advocacy!’ Well, I don’t know. I guess theyre gonna make things like bank of TC research in bank of advocacy until then policy maker can read them. Hopefully so.
Sesi lain yaitu presentasi dari dr. Hasto Wardoyo yang merupakan Bupati Kulonprogo Yogyakarta. I admire this mayor, he’s such a nice and supportive leader. Daerah Kulonprogo telah sukses mengimplementasi berbagai kebijakan kawasan tanpa rokok berikut pencabutan iklan-iklan rokok. You must know, pendapatan daerah Kulonprogo sebelum dan setelah adanya pencabutan iklan rokok ternyata justru bertambah! How cool! Sebagaimana beliau bilang “Rezeki itu bisa datang dari mana saja”. Beliau pun sedang mengusahakan approach ke Bupati lain di Yogyakarta untuk sama-sama mengimplementasikan kebijakan tobacco control. Semangat pak!
Yah begitulah sekilas kegiatan yang saya ikuti di Yogya kemarin, masih ada hal menarik lainnya. Sayangnya karena ada presentasi tugas dan praktikum saya harus pulang lebih awal padahal acara belum selesai. Di perjalanan menuju airport, saya satu mobil dengan dr. Tara Singh Bam, seorang Nepalian dari the Union. He said hes gonna come to Bandung next week meeting up with Ridwan Kamil to talk about tobacco control. My eyes dilated, yay! Then I told him about K3 policy that has been all over the street regarding its garbage disposing but not the KTR policy. So readers, Bandung kita tercinta ini sudah punya aturan KTR (kawasan tanpa rokok) yang sayangnya masih bergabung dengan kebijakan lainnya di perda K3 No. 11, as you see di jalan-jalan, propaganda buang sampah sembarangan denda 5 juta rupiah itu loh, sampai walkot kita finally urge drivers to have trash can inside their cars, I was happy to know that happened. Silakan baca perda tersebut, you will see how our local government actually already wrote which places are smoke free areas and you’ll see also that the violator will be fined 5 million rupiah as well as garbage disposing violator. Sayangnya aturan tersebut belum sehits aturan buang sampah sembarangan, salah satunya mungkin karena aturan KTR belum difokuskan menjadi perda yang terpisah. This is the content I brought in my very simple research for conference. How can Im not happy hearing that dr. Tara will meet Ridwan Kamil to arrange a tobacco control stuffs! “You know why KTR in your place isn’t implemented well? Because your local government officer smoke, just like other local governments. But I will meet Ridwan Kamil, Bandung needs a separate policy for tobacco control” there he said after telling him a little about what happened in Bandung. Yayness hopefully youll do a great job, sir!
Yah yaudalah, bahaya rokok sih udah mainstream, semua orang juga udah tahu. Sekarang gimana orang-orangnya aja mau aware sama sekitar dan gimana caranya ada political will included, kita mainkan saja dengan kebijakan-kebijakan yang ada termasuk KTR, rising taxes, ratify FCTC, u yeaah. Semangat para policy-maker influencer! :)
Semoga Bandung menjadi daerah selanjutnya yang akan mengimplementasikan KTR sebaik mungkin. Tak lupa harapan besar untuk kampusku tercinta, I realize most of the students in ITB are guys as well as the lecturers -.- come on dudes, I believe youre well-educated enough to know that cigarette’s smoke kills you and others! I will share the update research data to tell you later on. Banyak orang-orang miskin yang kemudian sulit berhenti merokok dan membunuh passive smokers karena tempat kerja mereka terbuka untuk asap rokok, bandingkan dengan orang-orang menengah atau orang-orang kaya yang bisa jadi adiksi rokoknya sama dengan orang-orang miskin namun karena tuntutan tempat kerja yang smoke free area, konsumsi rokok mereka menjadi lebih sedikit. It could applies in campus environment. With KTR policy in my campus being well-implemented, I really hope you smokers can stop slowly, no need to hurry, just think about people around you who smoke your smoke, just think your parent that want you healthy, having kids, and achieve all of your dreams without worrying any diseases. Mungkin belum terasa ya, yaudah tunggu aja, kalau kata kaos GP3nya HMF “Want more information about lung cancer? Keep smoking” :)
I was quite a newbie in tobacco control things. Bulan lalu iseng-iseng kirim abstrak tentang tobacco control policy-relevant research bersama adik tingkat yang juga anak farmasi (credits to Intan Dinny, thanks for doing a great job!). Selayang kuesioner online, simple, dan mengacuhkan variable inklusi dan semacamnya saya sebarkan lewat media sosial kemudian dibuat posternya. I was happy knowing that our abstract was accepted to a poster exhibition in Yogyakarta. Tibalah tanggal 19 April, I flew to Yogya for attending the exhibition what so called Indonesian Tobacco Control Research Dissemination Conference and Capacity Building Program. Program ini diadakan oleh MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control Center UMY); John Hopkins Bloomberg School of Publich Health, an IGTC; International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases; and National Cancer Institute USA. Well, I just knew such things were actually exist in this world lol.
During the preparation, baik itu kirim biografi, foto, poster, tiket pesawat, panitia selalu menghubungi saya lewat sms dengan kata sapaan ‘Ibu’, biasanya kalau ada kegiatan semacam gini, paling barter saya dihubungi dengan kata sapaan ‘mbak’, tapi kenapa ini ‘ibu’ ya?
So I was wondering why everyone calling me ‘Ibu’, it was answered when I attended the welcoming event. I could barely find students -.-“ Kebanyakan participant adalah aktivis tobacco control (TC) dari komunitas-komunitas TC yang sudah lulus S1 atau sedang mengeyam pendidikan S2, S3; dosen-dosen FISIP, Psikologi, FKM, FK, Farmasi dan rumpun kesehatan lain; orang-orang dinkes, kemenkes, dll yang penelitian tobacco controlnya luar biasa kompleks. Ilmu farmakoekonomi saya mungkin baru 1/1000000nya. I was like “Ok, here we go, jen.”
Berawal dari sarapan pagi bersama roommate yang merupakan dosen muda dari Aceh, rasa penasaran saya dengan acara ini semakin meningkat. Beliau menceritakan penelitian yang beliau lakukan dan berdiskusi sedikit tentang KTR di daerah-daerah yang tidak terimplementasi dengan baik; beliau pun menceritakan penelitian mengenai rokok herbal yang justru bahayanya tidak jauh dengan rokok biasa; kemudian mengenai PHW (pictorial health warning) yang ada di bungkus-bungkus rokok sekarang ternyata memang memengaruhi keinginan orang-orang untuk tidak merokok, namun industry rokok kemudian mengakali PHW tersebut dengan membuat kemasan rokok dalam kaleng yang PHWnya dimasukkan ke dalam kaleng tersebut (duh!).
Sampai pada keynote speech oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany yang merupakan founder JKN, pembawaan sarkasnya yang kadang bikin ketawa buat saya manggut-manggut mendengar berbagai informasi yang beliau sampaikan. Kemudian diskusi panel oleh Steve Tamplin, Jeffrey Drope, dan Mark Parascandola yang tidak kalah menarik. Pertanyaan yang paling menarik muncul di diskusi ini adalah “Can you guys tell us why USA has not yet ratify FCTC?” yup, I just noticed that! Saya tahu ada 9 negara yang belum meratifikasi FCTC (framework tobacco control dari WHO), salah satunya Indonesia dan USA, even USA has not sign yet -.- tapi tiga pembicara di panel diskusi itu American loh. Then they said “It’s political reason, but despite that I believe USA are really eager in conducting tobacco control research activity around the world” ya, sebagaimana teman saya dari FKM UI bilang, “Amerika memang belum ratify, tapi kegiatan tobacco control mereka gila-gilaan” That makes me curious what the political reasons are. Selanjutnya ada presentasi dari Prof. dr. Tjandra Yoga, pihak Puslitbangkes Kemenkes RI yang memberikan informasi-infomrasi up to date mengenai jumlah perokok Indonesia dan data-data terkait lainnya. I was like “Come one Indonesia, can you make an update database for everything in internet just like USA has been doing? It’s a very useful materials instead of making your students create a blog for posting their laboratory report (if you know what I mean). We’re living in Z generation, hurray!” (but eventually I know that CDC has smoking-related database for all countries including Indonesia, which is awesome)
Lunch break saya makan dengan roommate dan partner in crime saya selama conference, lol, Khansa yang juga mahasiswa S1 and her roommate Ibu dari dinas keuangan Indramayu. Diskusi seputar rokok mencuat kembali, Ibu dari Indramayu tersebut menceritakan berbagai hal terkait dana cukai rokok yang tidak boleh dipakai untuk dana pendidikan ataupun dana lain di luar hal yang dapat menguntungkan industri rokok. Rasanya kesal dengar itu -.-
Kegiatan selanjutnya adalah presentasi-presentasi penelitian terkait rokok, berikut judul intinya:
1. Mapping the Indonesia government position in decision making on FCTC ratification
2. Harmonizing international trade policies and right for health protection measures
3. Content analysis of cigarette advertisement in newspaper
4. Economic burden of smoking attributable disease to government health expenditure
5. Warranties and certainty of legal protection of children from cigarette addiction
6. Analysing tobacco control policy initiation through survey on public opinion
7. Monitoring and evaluation of implementation of regional regulation no. 5 year 2008 surabaya
8. Effect of home cigarette smoke exposure to respiratory diseases
9. Monitoring and evaluation PHW
10. Economic impact of smoking : premature mortality cost and YPLL study
When I listened to the first five presentation, I was like “uwow so cooool”. But then I was like “Dang, why you’re not inviting policy maker in this session! This incredibly important for advocacy!’ Well, I don’t know. I guess theyre gonna make things like bank of TC research in bank of advocacy until then policy maker can read them. Hopefully so.
Sesi lain yaitu presentasi dari dr. Hasto Wardoyo yang merupakan Bupati Kulonprogo Yogyakarta. I admire this mayor, he’s such a nice and supportive leader. Daerah Kulonprogo telah sukses mengimplementasi berbagai kebijakan kawasan tanpa rokok berikut pencabutan iklan-iklan rokok. You must know, pendapatan daerah Kulonprogo sebelum dan setelah adanya pencabutan iklan rokok ternyata justru bertambah! How cool! Sebagaimana beliau bilang “Rezeki itu bisa datang dari mana saja”. Beliau pun sedang mengusahakan approach ke Bupati lain di Yogyakarta untuk sama-sama mengimplementasikan kebijakan tobacco control. Semangat pak!
Yah begitulah sekilas kegiatan yang saya ikuti di Yogya kemarin, masih ada hal menarik lainnya. Sayangnya karena ada presentasi tugas dan praktikum saya harus pulang lebih awal padahal acara belum selesai. Di perjalanan menuju airport, saya satu mobil dengan dr. Tara Singh Bam, seorang Nepalian dari the Union. He said hes gonna come to Bandung next week meeting up with Ridwan Kamil to talk about tobacco control. My eyes dilated, yay! Then I told him about K3 policy that has been all over the street regarding its garbage disposing but not the KTR policy. So readers, Bandung kita tercinta ini sudah punya aturan KTR (kawasan tanpa rokok) yang sayangnya masih bergabung dengan kebijakan lainnya di perda K3 No. 11, as you see di jalan-jalan, propaganda buang sampah sembarangan denda 5 juta rupiah itu loh, sampai walkot kita finally urge drivers to have trash can inside their cars, I was happy to know that happened. Silakan baca perda tersebut, you will see how our local government actually already wrote which places are smoke free areas and you’ll see also that the violator will be fined 5 million rupiah as well as garbage disposing violator. Sayangnya aturan tersebut belum sehits aturan buang sampah sembarangan, salah satunya mungkin karena aturan KTR belum difokuskan menjadi perda yang terpisah. This is the content I brought in my very simple research for conference. How can Im not happy hearing that dr. Tara will meet Ridwan Kamil to arrange a tobacco control stuffs! “You know why KTR in your place isn’t implemented well? Because your local government officer smoke, just like other local governments. But I will meet Ridwan Kamil, Bandung needs a separate policy for tobacco control” there he said after telling him a little about what happened in Bandung. Yayness hopefully youll do a great job, sir!
Yah yaudalah, bahaya rokok sih udah mainstream, semua orang juga udah tahu. Sekarang gimana orang-orangnya aja mau aware sama sekitar dan gimana caranya ada political will included, kita mainkan saja dengan kebijakan-kebijakan yang ada termasuk KTR, rising taxes, ratify FCTC, u yeaah. Semangat para policy-maker influencer! :)
Semoga Bandung menjadi daerah selanjutnya yang akan mengimplementasikan KTR sebaik mungkin. Tak lupa harapan besar untuk kampusku tercinta, I realize most of the students in ITB are guys as well as the lecturers -.- come on dudes, I believe youre well-educated enough to know that cigarette’s smoke kills you and others! I will share the update research data to tell you later on. Banyak orang-orang miskin yang kemudian sulit berhenti merokok dan membunuh passive smokers karena tempat kerja mereka terbuka untuk asap rokok, bandingkan dengan orang-orang menengah atau orang-orang kaya yang bisa jadi adiksi rokoknya sama dengan orang-orang miskin namun karena tuntutan tempat kerja yang smoke free area, konsumsi rokok mereka menjadi lebih sedikit. It could applies in campus environment. With KTR policy in my campus being well-implemented, I really hope you smokers can stop slowly, no need to hurry, just think about people around you who smoke your smoke, just think your parent that want you healthy, having kids, and achieve all of your dreams without worrying any diseases. Mungkin belum terasa ya, yaudah tunggu aja, kalau kata kaos GP3nya HMF “Want more information about lung cancer? Keep smoking” :)
Jumat, 06 Maret 2015
Datulaya!!
Salah satu hal yang tidak semua unit kampus Indonesia tekuni adalah ini. Tidak pernah tahu sebelumnya bahwa kentalnya lestari budaya daerah ada di kampus ini. Namanya Sunken Court dan CC Barat; tempat berkumpulnya semua unit Budaya dari Sabang sampai Merauke; and there we are, Debust ITB yang telah berdiri sejak 2010 sebagai Unit resmi mulai menampakkan hidungnya di kampus gajah.
Di tengah budaya kampus sarat kaderisasi (osjur), periodisasi (pemira), dan apresiasi (syukwis) yang kadang buat sipit mata, dahi mengkerut, jengah rasa, lelah badan dan pikiran; buat saya, budaya yang satu ini, memperkenalkan budaya daerah, menjadi relaksasi tersendiri.
Siapa yang tahu Banten?
Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway.
Tidak sedikit komentar lucu dari teman-teman di kampus ketika tahu saya anak Debust ITB untuk pertama kalinya,
“Wuis, serem, makan beling ris?”
“Oh kamu anak Debust? Kalian beneran belajar debust ga sih?”
Sampai beberapa komentar yang makin lama makin absurd karena dengan semena-menanya teman-teman jurusan saya membuat saya dan Citra menjadi sample tipikal anak Banten -.-‘’ hahaha
Well, despite the comments, people will know eventually what Debust in ITB for real. Ya, kami perkumpulan anak Banten, yang tinggal di Banten atau lahir di Banten atau pernah tinggal di Banten atau bahkan tertarik dengan budaya Banten. Kami pun sama seperti unit lainnya yang memiliki sistem kaderisasi untuk mencari generasi baru, memiliki struktur kepengurusan, memiliki program kerja kekeluargaan, pendidikan, pengabdian masyarakat, dl; serta memiliki sekretariat tempat kami berkumpul. Kami belajar Debust? Not quite right, but yes some people do that.
This year is a milestone, another awesome breakthrough yet full of a random zig-zag processes. Ketua Debust tahun ini dengan berani mengambil tantangan untuk melakukan pagelaran Debust pertama. Saya ingat ketika hearing kala itu, I was just being me, being pessimistic; well no, everyone is just trying to be realistic by throwing a little sarcastic questions. Pertanyaan-pertanyaan seputar sumber daya manusia, budaya Banten yang entah apa, tarian yang anak Banten saja mungkin tak tahu, sejarah Banten yang seperti tertelan cerita modern lain, menjadi pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan pagelaran ini. Banten masih tergolong baru, budayanya masih banyak yang belum tahu, orang-orang pribuminya seperti saya ini makin banyak tergantikan dengan pendatang, Who will design the show then?
We do have courage. Ketua pagelaran pun terpilih, seorang perempuan asal Tangerang Selatan yang kemudian sibuk menggali Budaya Banten selama berbulan-bulan with her fantastic enthusiasm. Pedalaman baduy disantroni, berbagai sanggar dikunjungi, kesenian-kesenian batik, rumah penduduk, dan spot lain yang bisa menjadi sumber dijejaki. She did a really good job together with others.
Datulaya namanya. Sebuah ruang kekeluargaan di Kesultanan Banten. Nama ini kemudian dipilih sebagai nama pagelaran pertama kami. Banten dulu, kini, dan nanti menjadi tagline pagelaran kami; meminta kami sebagai orok Banten yang sudah dewasa untuk menggambar masa depan seraya memegang cermin; to arrange the dreams without forgetting the past; to be confidence that future will welcome us just right, oh no, it will welcome us with brightness at its best.
Datulaya memperkenalkan Banten. Kuliner, pameran budaya, serta kolaborasi drama, tarian, dan atraksi Debust dipertunjukkan. Rasa makanan Banten menjalari lidah-lidah pembeli, sure they love the foods!
Night comes and the show will start soon. I wasn’t involved in this show, but my heart beat fast when the show started, lol, andddddd you guys did amazing! Totally amazing.
I am not trying to be an annoying melancholic girl, tapi gue beneran terharu liat kalian! Bangga banget! I know how you guys arrange everything since I was invited as well in the committee group line, awalnya tak sudi untuk sekedar join grup kepanitiaan ini karena saya memang tidak bisa bantu, namun seorang teman bilang “gpp ris, supaya lo tau update pagelaran aja”. Rasa bersalah dan beban moral sering muncul ketika baca grup dan mendapati berbagai naik-turunnya kepanitiaan ini tapi belum bisa bantu apa-apa. Well, it is not a mistake after all, setiap kepanitiaan pasti ada konfliknya, setiap kepanitiaan pasti ada senangnya. Terima kasih buat siapapun yang mencoba membuat saya dan beberapa lainnya terlibat di sini, walaupun pada akhirnya saya hanya bisa bantu lewat doa, so sorry guys :’’’
Ayo sama-sama jadikan ini pelajaran. Sebagaimana ketua pagelaran kita tercinta bilang, “Datulaya itu bukan hasil, tapi proses.” Untuk saat ini saya bisa jadi tidak peduli apa itu identitas Banten, kenapa kita harus mengenalkan Banten? Apa esensi budaya sebagai identitas bangsa dan lain sebagainya. Mungkin buat saya itu proses untuk akhirnya benar-benar tahu karena sejauh ini yang saya tahu masih sebatas ‘identitas sebagai pemersatu’. Proses pun bukan hanya itu saja. Proses untuk saling mengenal kembali satu sama lain, proses untuk saling mengerti bahwa kita keluarga #tsah. Proses untuk menyadari bahwa kita anak Banten dan Banten butuh kita #ea
Siapa yang tahu Banten?
Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway. Setelah pagelaran ini, mungkin akan ada identitas baru untuk Banten?
Di tengah budaya kampus sarat kaderisasi (osjur), periodisasi (pemira), dan apresiasi (syukwis) yang kadang buat sipit mata, dahi mengkerut, jengah rasa, lelah badan dan pikiran; buat saya, budaya yang satu ini, memperkenalkan budaya daerah, menjadi relaksasi tersendiri.
Siapa yang tahu Banten?
Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway.
Tidak sedikit komentar lucu dari teman-teman di kampus ketika tahu saya anak Debust ITB untuk pertama kalinya,
“Wuis, serem, makan beling ris?”
“Oh kamu anak Debust? Kalian beneran belajar debust ga sih?”
Sampai beberapa komentar yang makin lama makin absurd karena dengan semena-menanya teman-teman jurusan saya membuat saya dan Citra menjadi sample tipikal anak Banten -.-‘’ hahaha
Well, despite the comments, people will know eventually what Debust in ITB for real. Ya, kami perkumpulan anak Banten, yang tinggal di Banten atau lahir di Banten atau pernah tinggal di Banten atau bahkan tertarik dengan budaya Banten. Kami pun sama seperti unit lainnya yang memiliki sistem kaderisasi untuk mencari generasi baru, memiliki struktur kepengurusan, memiliki program kerja kekeluargaan, pendidikan, pengabdian masyarakat, dl; serta memiliki sekretariat tempat kami berkumpul. Kami belajar Debust? Not quite right, but yes some people do that.
This year is a milestone, another awesome breakthrough yet full of a random zig-zag processes. Ketua Debust tahun ini dengan berani mengambil tantangan untuk melakukan pagelaran Debust pertama. Saya ingat ketika hearing kala itu, I was just being me, being pessimistic; well no, everyone is just trying to be realistic by throwing a little sarcastic questions. Pertanyaan-pertanyaan seputar sumber daya manusia, budaya Banten yang entah apa, tarian yang anak Banten saja mungkin tak tahu, sejarah Banten yang seperti tertelan cerita modern lain, menjadi pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan pagelaran ini. Banten masih tergolong baru, budayanya masih banyak yang belum tahu, orang-orang pribuminya seperti saya ini makin banyak tergantikan dengan pendatang, Who will design the show then?
We do have courage. Ketua pagelaran pun terpilih, seorang perempuan asal Tangerang Selatan yang kemudian sibuk menggali Budaya Banten selama berbulan-bulan with her fantastic enthusiasm. Pedalaman baduy disantroni, berbagai sanggar dikunjungi, kesenian-kesenian batik, rumah penduduk, dan spot lain yang bisa menjadi sumber dijejaki. She did a really good job together with others.
Datulaya namanya. Sebuah ruang kekeluargaan di Kesultanan Banten. Nama ini kemudian dipilih sebagai nama pagelaran pertama kami. Banten dulu, kini, dan nanti menjadi tagline pagelaran kami; meminta kami sebagai orok Banten yang sudah dewasa untuk menggambar masa depan seraya memegang cermin; to arrange the dreams without forgetting the past; to be confidence that future will welcome us just right, oh no, it will welcome us with brightness at its best.
Datulaya memperkenalkan Banten. Kuliner, pameran budaya, serta kolaborasi drama, tarian, dan atraksi Debust dipertunjukkan. Rasa makanan Banten menjalari lidah-lidah pembeli, sure they love the foods!
Night comes and the show will start soon. I wasn’t involved in this show, but my heart beat fast when the show started, lol, andddddd you guys did amazing! Totally amazing.
I am not trying to be an annoying melancholic girl, tapi gue beneran terharu liat kalian! Bangga banget! I know how you guys arrange everything since I was invited as well in the committee group line, awalnya tak sudi untuk sekedar join grup kepanitiaan ini karena saya memang tidak bisa bantu, namun seorang teman bilang “gpp ris, supaya lo tau update pagelaran aja”. Rasa bersalah dan beban moral sering muncul ketika baca grup dan mendapati berbagai naik-turunnya kepanitiaan ini tapi belum bisa bantu apa-apa. Well, it is not a mistake after all, setiap kepanitiaan pasti ada konfliknya, setiap kepanitiaan pasti ada senangnya. Terima kasih buat siapapun yang mencoba membuat saya dan beberapa lainnya terlibat di sini, walaupun pada akhirnya saya hanya bisa bantu lewat doa, so sorry guys :’’’
Ayo sama-sama jadikan ini pelajaran. Sebagaimana ketua pagelaran kita tercinta bilang, “Datulaya itu bukan hasil, tapi proses.” Untuk saat ini saya bisa jadi tidak peduli apa itu identitas Banten, kenapa kita harus mengenalkan Banten? Apa esensi budaya sebagai identitas bangsa dan lain sebagainya. Mungkin buat saya itu proses untuk akhirnya benar-benar tahu karena sejauh ini yang saya tahu masih sebatas ‘identitas sebagai pemersatu’. Proses pun bukan hanya itu saja. Proses untuk saling mengenal kembali satu sama lain, proses untuk saling mengerti bahwa kita keluarga #tsah. Proses untuk menyadari bahwa kita anak Banten dan Banten butuh kita #ea
Siapa yang tahu Banten?
Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway. Setelah pagelaran ini, mungkin akan ada identitas baru untuk Banten?
Langganan:
Postingan (Atom)