Tuhan memang pandai membolak-balikkan hati manusia. Skenarionya begitu luar biasa menyulap hati riang menjadi gelisah, busur senyum terbalik seratus delapan puluh derajat, mata binar bahagia menjadi nanar karena pilu menyergap. Ah…begitu banyak yang patut disyukuri, begitu banyak yang patut ditelisik, apa dosa-dosaku selama ini?
Tuhan telah memintaku untuk sejenak melihat sekeliling. Lihatlah, ada banyak buku-buku yang masih kau hutangi janji untuk dibaca. Lihatlah anak-anak kecil itu berlarian meminta gendongan tanganmu dan sapa ramahmu, saudaramu sendiri. Perhatikan dengan seksama, air matamu yang terjatuh itu masih belum cukup, jauh masih belum cukup untuk membuktikan rasa cinta dan kasihmu kepada orang yang telah melahirkan dan merawatmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Di saat bersamaan, Tuhan telah memintaku untuk beristirahat sejenak. Untuk tidak memerhatikan orang lain. Tuhan bilang, mainkan egomu karena kau berhak egois saat ini. Biarkan musuh-musuh itu datang. Nikmati tangan bebasmu yang membuka lembaran-lembaran buku; nikmati matamu yang akan fokus pada ayat-ayat Quran yang kau janjikan akan kau hafal; nikmati hati dan pikiranmu yang harus kau gadaikan pada orang-orang yang diam-diam merindukanmu. Resapi janji-janjimu dulu.
Hai alam. Kereta ini bergerak, bergerak dengn membawa tujuan, pun penumpangnya; termasuk diriku. Rasanya aku seperti memainkan sebuah peran di suatu film atau peran dalam sebuah novel. Seseoarang yang sedang menikmati kesendirian tanpa harus diganggu oleh kepentingan-kepentingan orang lain. Seseoarang yang sedang menikmati pemandangan negeri melalui kaca jendela. Seseorang yang sebentar-sebentar sibuk dengan novelnya, menghayati kata demi kata mencoba berkontemplasi lewat bacaan dan tulisan, bahkan lewat dentuman mesin dan tabrakan besi-besi kereta. Aku berharap kereta ini membawaku jauh dari kehidupan orang-orang egois, orang-orang yang hanya mementingkan kehidupan dirinya tanpa kehidupan orang lain, Padahal kenyataannya sekarang aku sedang mencoba untuk menikmati hidupku sendiri. Paradoks. Begitulah bagaimana suatu kontemplasi diciptakan, ku pikir begitu. Mencoba lari dari orang lain untuk memikirkan orang lain. Melalui kepasrahan diri akan segala alam ciptaanNya, melalui air mata di sepertiga malam yang jatuh di atas sajadah, termasuk melalui kesendirian di dalam kereta tanpa mau mengenal siapapun, tanpa mau menerima telepon dari manapun.
Entah ini buah rasa jenuh, atau memang Tuhan memintaku untuk jenuh pada pekerjaan dan memintaku fokus pada orang-orang yang membutuhkanku namun aku tak sadar. Jangan-jangan selama ini aku mengurusi orang-orang yang nyatanya tak secuilpun membutuhkanku. Entah tegurannya bulan ini memang memaksaku untuk jenuh atau rasa jenuh ini sebenarnya rasa bersalahku pd Tuhan? I cant even describe how it feels...
Ah…ternyata kereta yang membawa tujuan ini membawaku pada orang-orang berkepentingan yang padahal ingin aku jauhi sementara. Ternyata aku hanya diziinkan untuk berkontemplasi melalui dentuman kereta dan tulisan selama 7 jam saja, sisanya, aku diminta kembali bekerja.
Namun aku yakin, Tuhan tidak akan pernah bosan memintaku untuk menyendiri, berserah padaNya dan kembali menyadari…bahwa,
Tuhan memang pandai membolak-balikkan hati manusia. Skenarionya begitu luar biasa menyulap hati riang menjadi gelisah, busur senyum terbalik seratus delapan puluh derajat, mata binary bahagia menjadi nanar karena pilu menyergap. Ah…begitu banyak yang patut disyukuri, begitu banyak yang patut ditelisik, apa dosa-dosaku selama ini?
Di kereta,
Menuju Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar