Saya lupa apa yang ada di pikiran saya sebelum jadi anak farmasi tentang persepsi seorang apoteker itu seperti apa. It is because I didnt care at all; baru kepikiran masuk jurusan farmasi aja di kelas 12, tidak pernah sebelumnya mencari-cari apa kerjaan seorang apoteker (duh, adek2 SMA, jangan dicontoh ya). Pilihan teman-teman SF ITB itu sepertinya tipikal, kalau ga pilihan pertamanya kedokteran (terus yang greget pgn masuk, akhirnya mengulang SBMPTN utk masuk FK) jadi cari yang menurut mereka agak berdekatan (is it?), atau masuk farmasi karena suka biologi tapi gamau jadi dokter, atau ada juga yang suka kimia, atau ada juga yang iseng-iseng, tapi ada juga yang sepertinya passion sekali di farmasi (yang pasti ini bukan gue) well. Tebak saya yang mana?? Ga peduli juga sih jen...
Dengan berbagai alasan pemilihan jurusan farmasi, secara kasat mata saya belum menemukan orang yang memang benar-benar paham tugas seorang apoteker, kecuali orang tuanya yang memang apoteker atau bergerak di bidang kesehatan, maybe. Saya sejujurnya merasa ga cerdas (dont call me stupid) kenapa juga saya pilih farmasi tanpa pikir panjang, di ITB lagi yang jelas-jelas farmasinya sudah dijuruskan. Saya ingat sekali ketika SMA melihat buku pengenalan jurusan ITB, saya membaca ada yang namanya STF (Sains dan Teknologi Farmasi) dan FKK (Farmasi Klinik dan Komunitas). Saya cuma baca sekilas, gada usaha tanya alumni SMA yang di farmasi ITB, terus tiba-tiba saya daftar. Thats why I feel not smart enough, pilih jurusan karena direkomendasikan seseorang bahwa “farmasi itu seru” plus sedikit kesukaan saya dengan biologi dan kimia, terus daftar weh kaya pasang togel. *efek pasrah ingin di jurusan sosial tapi malas belajar karena udah telanjur di jurusan IPA, again, jangan dicontoh*.
Maaf kebanyakan prolog, nyambi curhat ga dosa lah...
Terus apa maksud saya menulis blog dengan judul “Apoteker tuh yang ada di apotek?”
So two days ago, I had a conversation with a friend from another major,
“Ris, FKK atau STF yang harus ambil apoteker?”
“Dua-duanya boleh, tapi ga wajib”
“Oh, apoteker itu yang kerja di apotek kan? Kirain yang FKK aja”
Setelah mendengar pertanyaan dan pernyataan itu, saya jadi ingat tugas osjur di tingkat dua tentang wawancara apoteker yang di dalamnya terdapat pertanyaan mengenai persepsi masyarakat terhadap apoteker. Namun akhir-akhir ini saya lupa akan keadaan itu. Apalagi saya pikir anak ITB semuanya tahu kalo apoteker ga cuma kerja di apotek, ternyata anak teknik ga sekepo itu ya sama anak farmasi *loh #gagalpaham.
Anyway, saya bilang di awal bahwa I had no idea what pharmacist does sampai saya tingkat 2, bahkan pengetahuan saya kala itu ibaratnya baru menginjak halaman 2 dari sebuah novel dengan 1000 halaman. Baru setelah magang di tingkat 3, kunjungan rumah sakit, dan belajar matkul farmasi klinis, pengetahuan saya mengenai tugas seorang apoteker agak bertambah. Kenapa saya bilang agak? Karena saya percaya dengan pepatah “semakin banyak tahu, semakin banyak yang tidak kita tahu”. Nah loh, anak farmasinya aja ga begitu tahu tugasnya apa, apalagi yang bukan farmasi? So dont blame my friend who asked –a-somewhat-look like- a lame question.
Berkaca dari prolog saya, saya cukup yakin, tidak banyak calon mahasiswa yang benar-benar mencari tahu jurusan idamannya sampai mencari detail lahan kerja nanti. Misal, orang yang ingin kerja di perusahaan x, kadang hanya kepikiran karena memang itu perusahaan keren tapi dia tidak tahu ada bagian apa saja yang bisa ia duduki ketika nanti kerja. Baru kemudian di tingkat 3/4 mulai pusing mikir masa depan. So, I encourage you calon mahasiswa untuk benar-benar paham pilihan kamu.
Anyhow, maaf saya kebanyakan bacot :” inti dari tulisan ini adalah ingin memberi tahu apa sih sebenarnya tugas seorang apoteker? Siapa tahu informasi ini berguna untuk calon mahasiswa yang lagi galau pilih jurusan farmasi atau ngga dan sekaligus memberi tahu masyarakat yang tidak tahu menahu apa tugas apoteker; sekaligus pula memberi tahu realita apa yang terjadi. Pengetahuan saya mungkin belum seberapa, tapi ya...ini bisa jadi gambaran :D
Basically, ranah apoteker ini secara garis besar dibagi ke dalam ranah industri dan ranah klinis-komunitas (orientasi klinis di rumah sakit, orientasi komunitas di apotek). Sejujurnya, saya tidak banyak tahu apa kerjaan apoteker di industri selain kaitannya dengan managerial, QA QC, research and development, hm maaf karena saya sudah telanjur kebanyakan terpapar pengetahuan farmasi klinis&komunitas (selanjutnya saya cukup sebut klinis aja ya), izinkan saya untuk berbicara farmasi klinis saja hehehe daripada sok tahu :”
For your information, farmasi klinis di Indonesia belum begitu berkembang. Farmasi industri lah yang telah menduduki singgasana istana kefarmasian sejak manusia masih menulis di atas batu (oke lebay), jadi wajar ketika STF lebih banyak peminatnya daripada FKK ITB karena prospek kerjanya pun lebih menjanjikan. Setelah keluarnya PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, barulah isu farmasi klinis muncul ke permukaan. Organisasi profesi bersama dengan para aktivis farmasi Indonesia mulai berjibaku meningkatkan eksistensi farmasi klinis yang orientasinya adalah memberikan pelayanan optimal kepada pasien. Muncul proyek HPEQ DIKTI yang menekankan pada uji kompetensi, akreditasi, dan nilai kolaborasi interprofesi; wadah ini dimanfaatkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia dan APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) untuk memperbaiki sistem farmasi klinis di Indonesia. Kolaborasi dalam optimasi pelayanan klinis menjadi nilai fundamental untuk dijadikan pondasi penggadaian arogansi profesi. Isu peningkatan eksistensi apoteker kemudian digadang-gadang diiringi dengan perbaikan kurikulum farmasi serta adanya uji kompetensi apoteker indonesia sebagai salah satu cara pemerataan kompetensi. So, are pharmacists important in clinical workfield? Why then everyone trying to sell pharmacists? What pharmacist do? Seberapa pentingkah peran farmasi di dunia klinis sampai hak eksistensi dan kesejahteraannya harus diperjuangkan?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.58, standar pelayanan farmasi klinik (this time, im speaking about hospital, not community) mencakup: (baca selengkapnya di http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regulasi/PMK_No._58_ttg_Standar_Yanfar_RS_.pdf)
1. pengkajian dan pelayanan Resep
2. penelusuran riwayat penggunaan Obat
3. rekonsiliasi Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5. konseling
6. visite
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Makhluk apa itu semua ya?
Well, poin di atas adalah hal ideal yang seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker yang bekerja di rumah sakit. Pertama, pengkajian dan pelayanan resep. Sejujurnya saya belum tahu banget bagaimana seharusnya seorang apoteker memverifikasi resep dari dokter. Berdasarkan pengetahuan di kelas, bekal magang, dan kunjungan rumah sakit, dalam memverifikasi resep, apoteker akan melihat berdasarkan prinsip DRPs (Drug Related Problem) seperti, apakah dokter meresepkan obat sesuai penggunaannya? Jangan-jangan dokter kasi obat tertentu hanya karena tuntutan dari industri, padahal pasien ga sakit apa-apa? Apakah dokter memberikan dosis yang tepat? Apakah ada interaksi obat yang dapat membahayakan pasien? Apakah ada kemungkinan pasien ini gagal menebus obat karena diberi obat paten yang super mahal (so people, if you cant afford such a branded drug, yes you may ask your pharmacist to give you generic one! Dont be afraid of losing the efficacy, youll be fine)? Ketika saya belajar verifikasi resep di kampus, I needed like an hour to check the prescription, karena detail setiap obat harus diperhatikan. Namun pada kenyataannya, verifikasi resep tidak membutuhkan waktu barang 5 menit, hal ini bisa jadi karena apoteker yang sudah berpengalaman, apoteker yang percaya “dokter ga mungkin sebego itu” atau “dokter ga mungkin sejahat itu” atau “ah paling dokter kasi obat off label” atau “ah paling rekomendasi gue ditolak dokter” haha ya ga semua begitu lah yaa, saya yakin verifikasi resep yang cepat karena memang apoteker yang sudah berpengalaman. Amin. Selama saya magang, banyak kejadian yang ditunjukkan dan diceritakan oleh apoteker di sana terkait proses verifikasi resep, dan hal itu membuat saya cukup terkejut, seperti resep yang tidak rasional, pasien yang protes ini itu, apoteker pandai dan apoteker ga pandai, apoteker yang sering dimarahi dokter karena kebanyakan telepon minta konfirmasi, dll yang somehow membuat perasaan saya campur aduk antara takut dan ingin kerja di rumah sakit. Anyway, inti dari paragraf ini adalah bahwa peran apoteker dalam verifikasi resep sangat penting untuk menghindari DRPs yang saya bilang di atas tadi.
Poin 2 dan 3. Penelusuran riwayat penggunaan obat dan rekonsiliasi obat. Tidak semua apoteker di rumah sakit melakukan ini. Bahkan apoteker terakre internasional di jakarta sana, memberikan ranah rekonsiliasi obat pada dokter dengan alasan keterbatasan SDM apoteker. Rekonsiliasi obat itu apa? Jadi apoteker ini menanyakan obat apa saja yang sedang diminum atau dibawa pasien rawat inap yang baru masuk ruangan rawat, selanjutnya obat itu akan dianalisis apakah layak dikatakan obat, kemudian apakah akan dilanjutkan atau tidak oleh pasien. Sebenarnya kalau dilihat-lihat memang itu ranahnya apoteker, tapi kalau pikiran nakal saya mengatakan ya udah dokter aja sekalian...nanti datanya dikasi ke apoteker terus dikaji deh supaya menghemat waktu. Haha. (Its probably only a matter of technical thingy(?)). Tapi saya merasakan pentingnya poin ini, karena dengan mengetahui obat yang dibawa pasien, apoteker jadi siaga terhadap interaksi obat dan membantu pasien tidak perlu membeli obat lagi jika dia punya obat yang sama dengan yang diresepkan dokter.
Poin 4, 5, dan 6 terkait pemberian informasi obat, konseling dan visite. Pemberian informasi obat biasanya bersifat satu arah pada saat apoteker menyerahkan obat ke pasien. Konseling lebih dua arah dan detail. Kriteria pasiennya pun berbeda. Sementara visite merupakan kunjungan ke ruang rawat. Saya merasa semuanya penting, apalagi bagi pasien-pasien lansia, anak-anak, pasien dengan multiobat dan penggunaan obat khusus, serta pasien dengan kecacatan tertentu yang butuh perhatian khusus terkait pengobatan.
Poin selanjutnya, PTO, MESO, dan EPO. Poin yang paling saya soroti adalah penanganan efek samping obat. Ketika saya mengunjungi rumah sakit di Thailand, sistem pelaporan efek samping obat terlihat lebih rapi dari rumah sakit yang baru saja hari ini saya kunjungi. Kata dosen saya pun memang sistem dari negaranya sudah berbeda. Jadi, ketika terjadi reaksi obat merugikan yang dialami pasien, apoteker akan mengumpulkan data-data kejadian tersebut kemudian melaporkannya kepada Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di rumah sakit. Apa yang dilakukan oleh PFT RS negara-negara lain adalah melaporkan kejadian tersebut pada badan obat pusat di negaranya (kalo di Indonesia BPOM), kemudian tiap rumah sakit di negara tersebut dapat mengakses database efek samping obat sehingga menjadi referensi dalam pemilihan terapi. Di Indonesia, data kejadian tersebut masih bersifat internal rumah sakit saja. But basically, peran apoteker tentunya penting dalam pengkajian efek samping obat ini. Apoteker dan dokter harus bersama-sama menganalisis apakah suatu kejadian merugikan pada pasien disebabkan karena obat yang dikonsumsinya atau bukan, jika iya apoteker harus mampu memberikan solusinya.
Selanjutnya adalah dispensing sediaan steril, yaitu menyiapkan obat-obat steril. Yah tentunya apoteker dibekali ilmu dispensing ini sehingga sudah sewajarnya apoteker yang melakukannya karena butuh keahlian khusus. Namun pada kenyataannya, dispensing ini masih dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang bukan apoteker (biasanya lulusan D3 Farmasi). Hm mungkin saya belum begitu paham urgensinya ketika memang TTK dibekali keterampilan ini, kenapa tidak mereka saja yang melakukan dispensing, tidak perlu apoteker seperti yang dicantumkan di Peraturan Menkes, mungkin ada pertimbangan yang saya belum tahu (?)
Poin terakhir saya kurang paham dan jarang dibahas juga sama apoteker-apoteker -.-
Yap. Itulah yang dilakukan oleh apoteker di rumah sakit. Rumah sakit masih menganggap pekerjaan farmasi klinis sangatlah banyak sehingga beberapa tugasnya kemudian masih dilakukan oleh TTK karena kekurangan SDM. Wait, kekurangan SDM? Teman-teman saya serempak terkejut dengan alasan itu karena kami sama-sama tahu bahwa lulusan farmasi bejubel jumlahnya di Indonesia tercinta ini. Kemudian kami berpikir, bisa jadi rumah sakit tidak mampu menemukan apoteker yang kriteria kompetensinya memenuhi apa yang mereka mau atau apakah rumah sakit tidak punya anggaran untuk merekrut apoteker baru atau rumah sakit masih merasa tugas apoteker dapat didelegasikan pada TTK yang cenderung digaji lebih rendah dari apoteker. Ini asumsi kok bro asumsi behehe. Yang pasti, setiap kali otak saya ini terpapar terkait isu farmasi klinis, saya selalu mengkaitkannya dengan kompetensi. Saya tidak mau bicara soal kesejahteraan dulu (apalagi untuk farmasi komunitas –apotek-), idealisme saya masih berkata bahwa yang terpenting sekarang adalah menyiapkan apoteker-apoteker kompeten sehingga peran apoteker memang benar-benar dibutuhkan (belajar yang bener Jen!). Selain itu, saya merasa database terkait kesehatan (seperti database MESO, peta kuman) di Indonesia kita tercinta ini mesti diperbaiki agar kita benar-benar tahu permasalahan kesehatan yang memang benar-benar membutuhkan keterlibatan apoteker yang mendalam. Ah, saya masih mahasiswa, saya saja tidak peduli soal prospek kerjaan makanya saya pilih FKK, ya toh saya ingin berhubungan dengan manusia as simple as that. Semoga idealisme ini tidak terkikis. Bytheway, kalau kata ka Tisa yang baru pulang S2 Farmasi Klinis di Inggris “UK has the same problem like Indonesia 20 years ago, where pharmacists weren’t exist yet” semoga farmasi klinis di Indonesia akan membaik tanpa harus menunggu 20 tahun lagi :’)
Okaay. I come to the end of my post. Quite boring? Sorry :”””””” maybe you could spread this to your little fella who are going to go to college or your friends who are interested at clinical pharmacy and they dont know yet what actually their roles are. Saya yakin masih ada hal yang tidak saya tahu terkait peran farmasi klinis, yah sambil jalan deh ya saya cari tahu~
I might talk about community pharmacist in my next post! Good night! Viva la pharmacie!
*ini bonus foto FKK 2012 setelah kuliah lapangan di rumah sakit hari ini, semoga kami jadi apoteker yang kompeten! amin* #jangandiabaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar