Mei berjalan cepat. Baginya waktu adalah lawan, lawan yang selalu siap menghunuskan pedangnya ketika setumpuk pekerjaan dikejar deadline. Sedikit saja Mei telat, ia akan menyesal dan mengeluh sepanjang waktu seperti seorang pelancong yang ditinggal kereta. Setapak jalan di Amsterdam jadi saksi bisu sepanjang karir Mei; seperti jalan tersebut yang tak kenal lelah diinjak heels tajamnya, Mei pun tak pernah lelah bekerja pagi, siang, dan malam demi mendapat puncak karir yang ia idam-idamkan sejak masih duduk di bangku sekolah. Tangga karir yang tidak mudah ia jejaki, satu per satu anak tangga ia lewati, tidak sedikit tajamnya duri menghambat ambisi perempuan penyuka warna biru ini. Perempuan berusia 27 tahun yang sangat telaten dan tekun mengejar cita-cita. Tak heran jika ia lantas menuai padi berisi ketika panennya tiba dan terbang secepat roket ketika hitungan mundur bergema, melesat dengan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang sudah lebih dahulu berada di perusahaan yang sama. Mei disekolahkan di playgroup hingga universitas yang menjanjikan. Fasilitas tersebut ia gunakan dengan sangat baik, tak ada secuilpun waktu ia habiskan percuma. Buku-buku ekonomi dan manajemen di rumahnya berbaris rapi membentuk tumpukan setinggi langit-langit. Tiada waktu tanpa menyentuh buku-buku itu, tiada batasan waktu baginya merancang strategi perusahaan idaman sampai mau tidak mau ibunya menyuruh Mei tidur.
Mei dipromosikan menjadi General Manager. Sangatlah muda bagi Mei menduduki posisi ini untuk perusahaan parlente yang namanya bak jutaan jerami menumpuk jarum. Perusahaan yang sudah kebal dengan segala strategi marketing perusahaan lain yang berani menusuk dari belakang.
“Mei, istirahatlah. Kantung matamu sudah kaya agar-agar basi itu…” Alida, teman Mei yang sama-sama berasal dari Indonesia menghampiri Mei yang sedang menari-narikan jemarinya di atas keyboard komputer, menyuruh Mei beristirahat seraya meledeknya bercanda. Mei mendengus kesal, kembali meletakkan tangannya ke badan mouse dan mulai menggerak-gerakaan kursor tanpa memedulikan Alida. Alida hanya bisa menaikkan alisnya bingung.
Terdengar panggilan. Mei mendongak, menarik nafas panjang dan berusaha mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri. Alida melihat temannya berjalan sempoyongan menuju ruangan si bos, ia hanya mampu berdecak dan menggelengkan kepala.
***
Tiga tahun silam Belinda menginjak usia 5 tahun.
Indonesia sedang tersanjung. Negeri ini dipuji karena memiliki seorang pahlawan yang membela hak kaum wanita. Wanita ini berhasil mengizinkan pikiran para wanita untuk mendarat tepat pada hak mereka, yaitu mengenyam pendidikan seperti pria di zamannya. Setiap tahunnya, berita-berita di televisi menampilkan sosok wanita ini dengan karya terkenalnya, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
Belinda mengerjap-ngerjapkan mata, retinanya menangkap cahaya dan tulisan pada televisi di depannya, syaraf matanya mengantar tulisan tersebut untuk diterjemahkan di bagian otak yang bertugas. Mata bening itu tak berhenti melihat televisi. Sekejap pikirannya melayang pada Ibunda yang melahirkannya.
“Ayah, kata nenek, Bunda itu perempuan cerdas, apa karena itu Bunda tidak mau ikut menengok nenek ke sini? Karena Bunda tidak sanggup hidup dengan nenek lagi?” Pria itu menurunkan koran yang dibacanya, mengalihkan pandangan ke layar televisi lantas menangkap maksud dari buah hatinya. Pria itu tersenyum miris dan berusaha mencari penjelasan kalimat di televisi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 5 tahun.
“Bunda memang cerdas, Inda. Nenek moyang itu bukan nenek Inda, tapi orang yang hidup di zaman dahulu, makanya perempuan cerdas seperti Bunda pasti tidak mau hidup di waktu dahulu, kan dulu tidak sekeren dan semaju sekarang. Bunda tidak bisa menengok nenek karena Bunda sedang sibuk, sayang.” Kata terakhirnya keluar begitu saja, realita yang memang terjadi terucap dari mulut seorang suami yang lelah menasehati istrinya. Ia bingung, takut akan pertanyaan macam-macam dari Belinda yang mungkin saja sulit ia jawab. Namun Belinda yang akrab disapa Inda hanya bisa termangu diam, entah mengerti atau tidak ucapan Ayahnya. Yang pasti semenjak itu, Belinda memutuskan untuk menyukai Ibu Kartini, baginya ia seperti Bunda yang kata nenek, Bunda adalah wanita paling cerdas yang pernah ada di dunia, Bunda yang selalu tertidur di tumpukan buku-buku, Bunda yang tidak pernah berhenti bermimpi meraih cita-citanya. Kata nenek, Bunda sedang sibuk membuat banyak hadiah untuk Inda dengan segala kecerdasan yang Bunda miliki. Mata beningnya kembali ke layar televisi, kali ini mata Ayahnya ikut menyoroti tayangan tentang Ibu Kartini itu.
Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenernya kejam.
Berbagai kutipan karya Kartini diperdengarkan kepada penyimak. Ayah si kecil itu menarik nafas panjang, telinganya lamat-lamat dibisikkan kembali oleh pertengkaran dengan istrinya.
“Mas, ini sudah zamannya emansipasi wanita toh mas…aku sebagai perempuan punya hak untuk mengejar mimpi aku menjadi pemimpin perusahaan, tak ada salahnya perempuan bekerja banting tulang.”
“Mas ga pernah larang kamu untuk kejar mimpi kamu, mas hanya minta kamu untuk santai sedikit saja, jangan lembur tiap malam…waktu tidak akan protes jika kamu bersantai sedikit. Ia akan sabar menunggu kamu menuju mimpi yang kamu idam-idamkan. Inda butuh kamu, sayang.” Mei selalu kembali berputar pada argumen yang sama. Menurutnya perempuan punya hak besar menentukan pilihannya sendiri dalam berkarir, tentunya di zaman di mana emansipasi wanita dielu-elukan. Mei selalu percaya bahwa wanita dengan karir hebat adalah wanita terhormat yang telah berani menantang kerasnya zaman.
***
Keluar dari ruangan bosnya, timbul teriakan tercekat di tenggorokan Mei. Kesenangan menggerogotinya sampai udara di dalam paru-parunya enggan keluar. Alida yang melihat gerak-gerik rekannya bertanya menelisik, yang ditanya hanya menyodorkan surat, surat keputusan resmi promosi posisi General Manager.
“Hm, habis ini ke tangga paling atas ya?” Alida menyebut istilah direktur utama kesukaan Mei tanpa senyum sedikit pun. Alida tahu persis keadaan suami Mei yang terus-menerus memintanya mengurangi jam kerja, tahu pula situasi si kecil Belinda yang ‘dibohongi’ neneknya bahwa Mei sedang sibuk membuat hadiah untuk Belinda. Alida memasang wajah prihatin pada Mei. Mei mendengus sinis, memilih untuk tidak menjawab dan kembali ke meja kerjanya. Sebelum sempat ia duduk, telepon berdering, dari suaminya. Suaminya menelepon dari Indonesia tempat Mei dibesarkan. Mei mengangkat telepon malas, ia sudah bisa mengira akhir dari pembicaraan di telepon ini pasti berujung pada pertengkaran, Mei pun urung memberi kabar gembira yang mungkin kabar buruk bagi suaminya.
“Mei, apa kabar?”
“Baik, mas.”
“Kamu ingat kan besok hari apa?”
“Mm eh? Kamis?”
“Hari ulang tahun Inda, Mei. Bisakah kamu memesan tiket sekarang dan menyempatkan untuk ke Indonesia? Lagipula nenek sedang sakit, dia menanyakan kamu terus”
“Aduh mas, aku sibuk. Bilang sama Inda aku akan kirim hadiah ulang tahun untuknya. Tentu aku ingat ulang tahun Inda.” Mei tahu dirinya berbohong.
Percakapan itu terus berjalan. Suami Mei tak bosan-bosan membujuk Mei untuk datang ke Indonesia; ritual suami dan anaknya untuk berkunjung ke rumah nenek setiap kali Belinda berulang tahun. Dan benar saja, kedua suami-istri itu mulai beradu pendapat. Alhasil ketika mulai memainkan nada tinggi, Mei memutus telepon, terlalu lelah untuk berdebat.
Bayangan itu telah ada di pikiran Mei, perasaan yang tertimbun jauh di benaknya sekarang muncul malu-malu ke permukaan. Tinggal sedikit lagi ia mengangkat kakinya, menuju tangga karir teratas. Kebijakan perusahaan sebentar lagi akan dipegangnya. Tak cukup bulatan awan sebesar meja kerjanya untuk merancang satu demi satu strategi implementasi kebijakan di kepala cerdasnya. Ia tidak akan berhenti bekerja, ia akan lebih sibuk dari sebelumnya.
Dua puluh satu April 2014. Hari ini Inda menginjak usia 8 tahun.
Mei meraih mug birunya. Ia tertegun lama. Bertahun-tahun ia berlari mengejar mimpinya, terasa bahwa jantung yang membantunya berlari mulai protes, rangka tubuhnya yang selalu menopangnya ketika berlari mulai berteriak, hati yang mengiringi perasaannya ketika sampai pada checkpoint arena mulai gelisah, mereka semua bertanya, buat apa kami bantu Anda berlari? Pikirannya kosong, Mei tidak tahu mengapa ia melakukan ini semua selain karena ia menginginkan kehormatan dan harga diri. Matanya tertuju pada pintu kamar Belinda. Ia melangkah pelan, membuka pintu sambil haru,
“Dear Ibu Kartini, Inda dengar dari Ayah kalo Ibu adalah contoh bagi semua perempuan. Ibu mengizinkan semua perempuan termasuk Bunda untuk bersekolah dan bekerja, tapi Inda tahu, Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda untuk jauh dari Inda, Inda tahu Ibu Kartini tidak mengizinkan Bunda Inda, tidak lagi bersama menengok nenek di Indonesia, tidak mengizinkan Bunda tidak lagi memasak untuk Inda atau bercerita apapun untuk Inda. Inda sayang Bunda. Inda juga sayang Ibu Kartini, Inda minta kado ulang tahun dari Ibu, Inda mau Ibu Kartini muncul di mimpi Bunda dan beritahu Bunda kalau Ibu Kartini ingin Bunda tidak bekerja lama sampai lupa sama Inda ☹”
Hati Mei kini sebiru warna mugnya. Air matanya menetes perlahan, menyisakan tinta-tinta yang berdifusi meleber di atas kertas. Kertas yang ia temukan di balik bantal Belinda. Pemilik bantal itu terpisah ribuan kilometer darinya namun Belinda seolah tahu hati Bunda. Belinda enggan beranjak dari tempat tidur neneknya menuju pesta ulang tahun, menangis tersedu, ia menyesali Bunda yang tidak pernah hadir dalam ulang tahunnya. Namun di hati kecil anak mungil itu, entah mengapa terselip rasa bahagia. Belinda tersenyum, hari itu ia yakin Bunda sudah selesai membungkus hadiah-hadiah yang nenek bilang.
Mei meratapi dirinya di depan kaca, business attire yang ia gunakan membuat ia terlihat elegan, elok, dan berwibawa. Hatinya meracau. Dahulu Kartini tidak butuh pakaian ini untuk terlihat elegan, dahulu Kartini tidak perlu tertatih menaiki tangga karir untuk terlihat elok, pancaran itu telah ada pada dirinya yang cerdas secara batiniah. Niat tulus untuk menegakkan hak kaum wanita dan tekad kuat untuk mengizinkan wanita mengecap pendidikan adalah sumber pancaran segala wibawanya. Apalah artinya teori Maslow jika seseorang mengejar kebutuhan self esteem tanpa benar-benar berhasil melewati kebutuhan tujuan dan cintanya. Ambisi yang telah membutakannya melalui proses berkarir yang tak pernah ia tahu apa maknanya sehingga cinta untuk seorang anak lenyap begitu saja. Benar kata Freud dalam teori psikologinya, semua yang Mei lakukan adalah kendali alam bawah sadar. Kendali yang muncul dan bertransformasi menjadi ambisi luar biasa yang mengalahkan cinta tulus seorang Ibu, berbeda dengan Kartini yang mampu berdamai dengan ambisi.
***
Jalan setapak di Amsterdam itu tidak pernah lelah dan sakit dijejaki oleh Mei, tidak peduli seberapa tajam heels yang Mei gunakan. Mei menggenggam erat surat di tangannya. Ia melangkah pelan, sorot matanya redup, dilihatnya plang jalan berwarna hijau di tikungan jalan setapak. Sudah lama ia menyadari nama jalan itu, nama yang diambil dari seorang warga Negara Indonesia yang membangun sekolah wanita dibantu oleh Belanda. Namun tak pernah sedetikpun ia berpikir maksud seseorang tersebut dalam memperjuangkan hak kaum wanita. Hak seorang wanita untuk berkarir namun tidak lepas dari kewajibannya sebagai seorang Ibu. Jalan ini memang menjadi saksi bisu Mei akan seseorang yang kecewa terhadap satu wanita yang salah kaprah. Seseorang yang terlampau sedih akan wanita yang sewenang-wenang menyalahartikan hak pendidikan dan hak kebebasan. Mei membuka surat promosi yang tidak ia tandatangani, menatapnya penuh arti lantas mantap melangkah menuju kantor perusahaan tempat ia bekerja, meninggalkan jalan setapak yang setiap hari ia lewati, jalan setapak yang kini dan nanti akan selalu menjadi saksi bisu perjalanan karirnya, jalan dengan plang hijau bertuliskan “Kartinistraat”.
Jumat, 25 April 2014
Kamis, 10 April 2014
Syukuran Wisuda
Halo. Saya mahasiswi ITB. Di kampus saya ada suatu budaya yang namanya Syukuran Wisuda, bahasa kerennya Graduation Party.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Cerita sedikit, syukuran wisuda di kampus saya berbentuk wishnight dan arak-arakan. Wishnight biasanya malam, diisi dengan kebanyakan hiburan dan persembahan, lalu makan dan ngobrol-ngobrol bersama, baik antar wisudawan atau dengan massa himpunan. Yang kedua adalah arak-arakan, para wisudawan diarak dari Sabuga ke gerbang depan ITB sambil menyanyikan lagu dan yel-yel, kemudian junior-juniornya memberikan persembahan berupa performance yang dilombakan se-kampus.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Berawal dari rasa tidak suka saya akan waktu libur saya yang terganggu. Tidak henti-hentinya orang tua saya bertanya "kapan pulang?" masa itu adalah masa syukwis Juli, masa pasca osjur, masa liburan kenaikan tingkat. Berawal dari rasa kesal saya bahwa saya merasa hak liburan saya diganggu, hak 'bertemu dengan orang tua' saya diambil alih, digantikan dengan menjadi orang yang disuruh-suruh di acara syukwis, bahasa kerennya, 'Event Organizer'. Entah karena masa itu adalah pasca osjur, akhirnya saya beranggapan kepanitiaan syukwis adalah kepanitian Event Organizer semata, dimana panitia memang sejatinya "melayani" senior himpunan. Saya tidak rela waktu saya dengan orang tua harus dikorbankan untuk melayani senior himpunan yang bahkan saya tidak kenal sama sekali, yang saya tidak tahu bahwa mereka benar-benar layak untuk diapresiasi atau tidak.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Kala itu saya memang merasa sebagai event organizer yang tidak digaji. Wisudawan menyuruh saya melakukan ini dan itu, wisudawan mau bentuk acara yang seperti ini dan seperti itu, ketika diarak, wisudawan mau saya bawakan barang-barangnya; bukan meminta tolong, hanya meminta. Ketika performance, saya selalu mempertanyakan urgensi performance selain pengembangan kreativitas.
Katanya, syukwis adalah bentuk rasa syukur para wisudawan yang akhirnya lulus dari kampus terbaik negeri ini. Saya setuju.
Katanya, syukwis adalah bentuk apresiasi dari junior kepada wisudawan yang telah lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
Katanya, syukwis adalah salah satu motivasi untuk junior agar belajar giat dan cepat lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
syukwis dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun.
kemudian muncul pertanyaan,
apakah rasaya syukur, apresiasi, dan motivasi harus diekspresikan dalam bentuk syukuran wisuda yang seperti di ITB ini?
Jawabannya tidak harus. Tapi bisa menjadi salah satunya.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Sampai suatu waktu saya menyadari suatu hal, bukan bentuk acara syukwisnya yang tidak saya suka, tapi ada poin tertentu yang menganggu saya.
Saya tidak suka syukwis jadi ajang suruh-suruh junior. Saya bukan EO dan saya sedang tidak osjur toh lol.
Saya lebih suka syukwis itu bentuknya pengabdian masyarakat, bukan hura-hura.
Saya ingin syukwis itu jadi ajang silaturahmi antar junior dan seniornya.
Saya ingin syukwis jadi salah satu fasilitas pengembangan diri, bukan tempatnya EO.
Saya tidak suka syukwis seolah mengganggu waktu saya dengan keluarga. Melayani banyak orang yang tidak saya kenal?
Sebenarnya keinginan saya di atas bisa diselesaikan dengan pikiran dan sikap saya sendiri.
Kenapa tidak pengabdian masyarakat? Jawabannya simple, setiap himpunan sudah punya kegiatan pengabdian masyarakat masing-masing, yah sekarang wisudawan kita mau senang-senang habis lulus ga boleh? Boleh kok.
Sisanya adalah harapan,
saya hanya berharap bahwa kakak-kakak wisudawan menjadikan syukwis ini memang benar-benar ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas kelulusannya.
saya hanya berharap saya dan teman-teman panitia memanfaatkan kepanitiaan ini dengan baik sebagai ajang pengembangan diri bukan kewajiban EO karena anggota himpunan.
saya hanya berharap adanya saling mengerti satu sama lain bahwa syukwis ini tidak usahlah megah dilaksanakan, sederhana namun bermakna saja. Ini tiga kali setahun loh, waktu kita setahun bukan hanya untuk mengurusi syukwis. Kenapa mau mengurus syukwis tapi baksos dll tidak mau?
saya hanya berharap, kakak-kakak wisudawan sehabis lulus benar-benar mengabdikan diri untuk Tuhan, orang tua, dan masyarakat, karena pada hakikatnya itulah tugas manusia beradab. kalau begini kan, junior tidak salah mengapresiasi kakak-kakak dengan menjadi panitia syukwis :)
Ini juga pesan masa depan untuk saya sendiri ketika diwisuda nanti.
Saya mungkin masih hijau untuk urusan beginian, maaf kalau menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Saya hanya ingin kita semua melaksanakan sesuatu punya tujuan yang jelas, bukan karena mengikuti budaya semata :)
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Cerita sedikit, syukuran wisuda di kampus saya berbentuk wishnight dan arak-arakan. Wishnight biasanya malam, diisi dengan kebanyakan hiburan dan persembahan, lalu makan dan ngobrol-ngobrol bersama, baik antar wisudawan atau dengan massa himpunan. Yang kedua adalah arak-arakan, para wisudawan diarak dari Sabuga ke gerbang depan ITB sambil menyanyikan lagu dan yel-yel, kemudian junior-juniornya memberikan persembahan berupa performance yang dilombakan se-kampus.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Berawal dari rasa tidak suka saya akan waktu libur saya yang terganggu. Tidak henti-hentinya orang tua saya bertanya "kapan pulang?" masa itu adalah masa syukwis Juli, masa pasca osjur, masa liburan kenaikan tingkat. Berawal dari rasa kesal saya bahwa saya merasa hak liburan saya diganggu, hak 'bertemu dengan orang tua' saya diambil alih, digantikan dengan menjadi orang yang disuruh-suruh di acara syukwis, bahasa kerennya, 'Event Organizer'. Entah karena masa itu adalah pasca osjur, akhirnya saya beranggapan kepanitiaan syukwis adalah kepanitian Event Organizer semata, dimana panitia memang sejatinya "melayani" senior himpunan. Saya tidak rela waktu saya dengan orang tua harus dikorbankan untuk melayani senior himpunan yang bahkan saya tidak kenal sama sekali, yang saya tidak tahu bahwa mereka benar-benar layak untuk diapresiasi atau tidak.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Kala itu saya memang merasa sebagai event organizer yang tidak digaji. Wisudawan menyuruh saya melakukan ini dan itu, wisudawan mau bentuk acara yang seperti ini dan seperti itu, ketika diarak, wisudawan mau saya bawakan barang-barangnya; bukan meminta tolong, hanya meminta. Ketika performance, saya selalu mempertanyakan urgensi performance selain pengembangan kreativitas.
Katanya, syukwis adalah bentuk rasa syukur para wisudawan yang akhirnya lulus dari kampus terbaik negeri ini. Saya setuju.
Katanya, syukwis adalah bentuk apresiasi dari junior kepada wisudawan yang telah lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
Katanya, syukwis adalah salah satu motivasi untuk junior agar belajar giat dan cepat lulus dari kampus terbaik negeri ini. saya setuju.
syukwis dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun.
kemudian muncul pertanyaan,
apakah rasaya syukur, apresiasi, dan motivasi harus diekspresikan dalam bentuk syukuran wisuda yang seperti di ITB ini?
Jawabannya tidak harus. Tapi bisa menjadi salah satunya.
WAKTU TPB, saya sangat anti sekali dengan kegiatan ini. Menurut saya, bentuk syukuran wisuda di kampus saya hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran tanpa feedback yang esensial. Sampai suatu waktu saya menyadari suatu hal, bukan bentuk acara syukwisnya yang tidak saya suka, tapi ada poin tertentu yang menganggu saya.
Saya tidak suka syukwis jadi ajang suruh-suruh junior. Saya bukan EO dan saya sedang tidak osjur toh lol.
Saya lebih suka syukwis itu bentuknya pengabdian masyarakat, bukan hura-hura.
Saya ingin syukwis itu jadi ajang silaturahmi antar junior dan seniornya.
Saya ingin syukwis jadi salah satu fasilitas pengembangan diri, bukan tempatnya EO.
Saya tidak suka syukwis seolah mengganggu waktu saya dengan keluarga. Melayani banyak orang yang tidak saya kenal?
Sebenarnya keinginan saya di atas bisa diselesaikan dengan pikiran dan sikap saya sendiri.
Kenapa tidak pengabdian masyarakat? Jawabannya simple, setiap himpunan sudah punya kegiatan pengabdian masyarakat masing-masing, yah sekarang wisudawan kita mau senang-senang habis lulus ga boleh? Boleh kok.
Sisanya adalah harapan,
saya hanya berharap bahwa kakak-kakak wisudawan menjadikan syukwis ini memang benar-benar ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas kelulusannya.
saya hanya berharap saya dan teman-teman panitia memanfaatkan kepanitiaan ini dengan baik sebagai ajang pengembangan diri bukan kewajiban EO karena anggota himpunan.
saya hanya berharap adanya saling mengerti satu sama lain bahwa syukwis ini tidak usahlah megah dilaksanakan, sederhana namun bermakna saja. Ini tiga kali setahun loh, waktu kita setahun bukan hanya untuk mengurusi syukwis. Kenapa mau mengurus syukwis tapi baksos dll tidak mau?
saya hanya berharap, kakak-kakak wisudawan sehabis lulus benar-benar mengabdikan diri untuk Tuhan, orang tua, dan masyarakat, karena pada hakikatnya itulah tugas manusia beradab. kalau begini kan, junior tidak salah mengapresiasi kakak-kakak dengan menjadi panitia syukwis :)
Ini juga pesan masa depan untuk saya sendiri ketika diwisuda nanti.
Saya mungkin masih hijau untuk urusan beginian, maaf kalau menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Saya hanya ingin kita semua melaksanakan sesuatu punya tujuan yang jelas, bukan karena mengikuti budaya semata :)
Minggu, 06 April 2014
ga cuma FKK
It is fun to have a small class with 39 people in it. Feel like going back to high school, you got classmates that you can remember the names and the characters for the rest of your life!
We got only 3 boys. They all come in handy ^^
We also have line group, whatsapp group, and fb group like any major would have. And...we got stereotype.
They said...FKK stands for Fakultas Kebelet Kawin. Oh man. Really.
LOL. I remember my sister said that college life somehow will full with people talking about marriage. But come on, you got life in ITB whose students' majority are guys, are you going to talk about marriage with them? Of course not.
BUT IN PHARMACY, you would do that. Why not? Girls are all around. In a class, in a hallways, in a canteen, in himpunan, in everywhere. When girls gather, they talk much. When girls sit together, they would laugh at something unimportant, comment how people dress up, gesturing dislike to anyone she dislikes, and of course talk about guys.
So...the stereotype, is it true? You think?
They also name FKK as Fakultas Ketawa Ketiwi, which to me is the loveliest stereotype. HAHA. I know it is. It's not a stereotype, it's fact. I love how Windha comment in line group, how Irka sings like a crazy lovely girl, how Femi would make fun of Esa, how Asti scolded everyone, how Beti laughs with her doll cheek, How Modi talks in sweet funny accent, how Lea walks with a bitter smile, how Silmi behaves like Pou, how Zahra and Ima Princess being sampis, how Tien sells delicious molen, how Toto sells yummy naskun, how a calm Ninu plays cookierun, how Bhekti becomes excited, how Yahya becomes contaminated *lah*, how Prima suddenly 'toa' in the middle of the class, how Amyra becomes husbanded *?* and how everyone has their own way to express their happiness. They're just them!
Hereby I attached my love to you and some messages to get love stickers.
We are small in amount, it should be easy to remember each other's names and characters, it should be easy to actually notice who absent in class, it should be easy to notice who is sad in class, it should be easy to notice who confused while doing assignments, so it's not hard helping each other eventhough wasn't asked.
It should be easy to remember faces and names by the time we're invited to a reunion. So it's not hard to actually asking how each other's doing later after we graduate.
Yet the amount of people should not be the reason to not ask everyone. We got friends to remind us. So, it should be easy to ask how Hygeiaarda's doing later after we graduate :)
We got only 3 boys. They all come in handy ^^
We also have line group, whatsapp group, and fb group like any major would have. And...we got stereotype.
They said...FKK stands for Fakultas Kebelet Kawin. Oh man. Really.
LOL. I remember my sister said that college life somehow will full with people talking about marriage. But come on, you got life in ITB whose students' majority are guys, are you going to talk about marriage with them? Of course not.
BUT IN PHARMACY, you would do that. Why not? Girls are all around. In a class, in a hallways, in a canteen, in himpunan, in everywhere. When girls gather, they talk much. When girls sit together, they would laugh at something unimportant, comment how people dress up, gesturing dislike to anyone she dislikes, and of course talk about guys.
So...the stereotype, is it true? You think?
They also name FKK as Fakultas Ketawa Ketiwi, which to me is the loveliest stereotype. HAHA. I know it is. It's not a stereotype, it's fact. I love how Windha comment in line group, how Irka sings like a crazy lovely girl, how Femi would make fun of Esa, how Asti scolded everyone, how Beti laughs with her doll cheek, How Modi talks in sweet funny accent, how Lea walks with a bitter smile, how Silmi behaves like Pou, how Zahra and Ima Princess being sampis, how Tien sells delicious molen, how Toto sells yummy naskun, how a calm Ninu plays cookierun, how Bhekti becomes excited, how Yahya becomes contaminated *lah*, how Prima suddenly 'toa' in the middle of the class, how Amyra becomes husbanded *?* and how everyone has their own way to express their happiness. They're just them!
Hereby I attached my love to you and some messages to get love stickers.
We are small in amount, it should be easy to remember each other's names and characters, it should be easy to actually notice who absent in class, it should be easy to notice who is sad in class, it should be easy to notice who confused while doing assignments, so it's not hard helping each other eventhough wasn't asked.
It should be easy to remember faces and names by the time we're invited to a reunion. So it's not hard to actually asking how each other's doing later after we graduate.
Yet the amount of people should not be the reason to not ask everyone. We got friends to remind us. So, it should be easy to ask how Hygeiaarda's doing later after we graduate :)
Selasa, 11 Maret 2014
Monumen Toilet
Minggu kemarin, 3 Maret 2014 saya dan teman-teman Debust ITB (Ka Ucup, Wayan, dan Ka Dika) mengunjungi dua desa di daerah Pontang, Serang-Banten sebagai salah satu proker Debust, yaitu Community Development.Sudah sejak 2011 kalau saya tidak salah, pembangunan toilet dan sanitasi air di Desa Sukamanah digalakkan, pembangunan ini adalah hasil dari perlombaan seorang alumni Debust ITB bernama kang Alven yang memenangkan Technopreuner Bank Mandiri. Kemudian beliau mengamanahkan Debust ITB untuk turun dalam pembangunan ini khusus di bidang sosialisasi air bersih.
Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.
.........
Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.
Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.
Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?
Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.
Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.
"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"
Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.
"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.
"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"
Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.
Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.
"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.
Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...
Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.
Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.
"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"
Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.
Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.
Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)
Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.
Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.
.........
Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.
Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.
Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?
Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.
Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.
"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"
Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.
"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.
"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"
Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.
Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.
"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.
Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...
Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.
Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.
"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"
Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.
Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.
Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)
Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.
Sabtu, 15 Februari 2014
Valentine
Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya di notes FB atau blog ini (saya lupa) bulan Februari 2011, mungkin tahu bagaimana suasana Valentine saya di USA saat itu. Salah satu dari sekian banyak hari menyenangkan dan istimewa bagi saya.
Saya mau bernostalgia dulu...
Bangun pagi seperti biasa saya mendengar hostmom saya sedang menyiapkan sarapan di dapur, yang berbeda dari sarapan hari itu adalah cokelat di atas meja makan yang sengaja disiapkan untuk saya dari beliau seraya mengucapkan “Happy Valentine”. Itu senyum pertama saya di hari itu.
Senyum selanjutnya adalah ketika saya sampai di sekolah. Cukup banyak kejadian lucu, sweet, and lovely at that time ^^
Buka pintu gedung sekolah, saya melihat banyak orang membawa balon-balon berbentuk hati. Masuk kelas US History, salah satu sahabat saya menghampiri dan memberikan cokelat dengan kertas ucapan lucu untuk saya, cokelat kedua dan senyum kedua di hari itu. Di awal pelajaran, ada seorang laki-laki masuk kelas dengan membawa bunga mawar dan memberikan mawar itu kepada seorang perempuan. Masuk kelas Algebra, saya melihat salah satu guru favorit saya mengenakan baju bersuasana merah muda, dengan anting berbentuk hati, dan cincin berbentuk hati menyambut kami-kami bahagia seraya berbicara dengan gesture khasnya “Happy Valentine! This ring was a cake garnish by the way”, itu senyum ke-tiga saya di hari itu, rasanya sangat senang melihat guru yang dikenal galak ini membuat lelucon kecil ditambah senyum ke-empat saya untuk cokelat ke-tiga dari sahabat saya yang lain.
Masuk kelas biologi, guru kami memberikan tugas yang membuat alis saya naik sambil bergumam “well..”, yaitu tugas ‘Bio-Tine’, tugas membuat puisi atas kecintaan kami terhadap biologi; itu senyum saya yang kelima. Lunch time. Geng makan siang saya membawa cokelat dan saling berbagi diiringi dengan senyum saya yang keenam, ketujuh, delapan dst. Masuk kelas Choir. Kami mengadakan Valentine Party kecil-kecilan di kelas; sebelumnya, students yang termasuk ke dalam Chorale berkeliling sekolah masuk ke kelas-kelas dengan pakaian serba merah, mereka melakukan drama musical berdurasi 10 menit di setiap kelas dan tidak ada guru yang keberatan dipotong waktunya. Party di kelas choir ini pun diinisiasi oleh guru kami sendiri. Kami bernyanyi bersama, makan, dan minum bersama. Ini senyum saya yang entah ke sekian.
Sweet and beautiful isnt it?
Saya memang tidak menceritakan semua bagian, khususnya bagian di mana saya melihat banyak pasangan yang saling memberi cokelat dan berciuman (ah, tapi akhirnya diceritakan juga haha)
Memperingati hari Valentine ya...kenapa kaum muslim sangat melarangnya?
St. Valentine, seorang pendeta yang tetap memberkati pernikahan pasangan yang dilarang menikah oleh Kaisar Claudius yang dikenal kejam. Tertanggal 14 Februari, St. Valentine dipenggal. Sejak itu, tanggal 14 Februari diperingat sebagai hari Kasih Sayang.
Pertama, itu jelas-jelas budaya barat yang lahir dari meninggalnya seorang pendeta. Logikanya, kenapa muslim harus merayakan kematian seorang pendeta? Walau atas dasar kemanusiaan, namun agama Islam memiliki batas toleransi.
Kedua, budaya tersebut berkembang menjadi budaya memberi kasih sayang kepada pacar, tepatnya memberi cokelat kepada pacar. Sudah jelas Islam tidak membolehkan hal ini terjadi.
Padahal, Februari 2011 silam, saya sebagai makhluk yang sebelumnya tidak memedulikan valentine, tersenyum sumringah mendapatkan banyak cokelat dan mendapati suasana gembira dari guru sekolah. Rasa kasih sayang dari sahabat dan guru yang begitu luar biasa, bahkan rasa kasih sayang terhadap ilmu pengetahuan! Apalagi keadaannya saat itu saya sedang jauh dari negeri sendiri ^^
Sebenarnya konsep hari kasih sayang itu tidak salah. Memang sih kasih sayang itu harus setiap hari, tapi apa bedanya dengan hari ibu atau hari ayah? Hormat Ibu dan Ayah juga harusnya setiap hari kok. Islam tidak menerimanya karena latar belakang sejarah dan budaya yang berkembangnya.
Saya sangat menghargai teman-teman non-muslim yang memberikan saya cokelat di hari Valentine mereka sebagai bentuk kasih sayang sahabat, mengingatkan saya akan situasi kasih dan sayang Februari 2011, senang rasanya. Karena pada kenyataannya, kasih sayang itu bukan saja antara laki-laki dan wanita yang memiliki hubungan. Hari Valentine ini punya mereka yang non-muslim, dan mereka hanya ingin berbagi kasih sayang mereka ke semua orang dan bagi muslim yang ingin membalasnya, balaslah dengan apapun, mungkin tidak di hari valentine untuk menghindari anggapan miring orang-orang dan juga untuk menghormati ideologi agama Islam ^^ inilah bentuk kerukunan antar umat beragama; saya merasa tidak perlu memasang propaganda anti-valentine yang sangat ekstrem, yang diperlukan adalah pemahaman, yup pemahaman bahwa kepemilikan simbolik hari Valentine memang punya mereka tapi konsep kasih sayang adalah milik semua :)
*big bear hugsss for Eleny and Esa*
Saya mau bernostalgia dulu...
Bangun pagi seperti biasa saya mendengar hostmom saya sedang menyiapkan sarapan di dapur, yang berbeda dari sarapan hari itu adalah cokelat di atas meja makan yang sengaja disiapkan untuk saya dari beliau seraya mengucapkan “Happy Valentine”. Itu senyum pertama saya di hari itu.
Senyum selanjutnya adalah ketika saya sampai di sekolah. Cukup banyak kejadian lucu, sweet, and lovely at that time ^^
Buka pintu gedung sekolah, saya melihat banyak orang membawa balon-balon berbentuk hati. Masuk kelas US History, salah satu sahabat saya menghampiri dan memberikan cokelat dengan kertas ucapan lucu untuk saya, cokelat kedua dan senyum kedua di hari itu. Di awal pelajaran, ada seorang laki-laki masuk kelas dengan membawa bunga mawar dan memberikan mawar itu kepada seorang perempuan. Masuk kelas Algebra, saya melihat salah satu guru favorit saya mengenakan baju bersuasana merah muda, dengan anting berbentuk hati, dan cincin berbentuk hati menyambut kami-kami bahagia seraya berbicara dengan gesture khasnya “Happy Valentine! This ring was a cake garnish by the way”, itu senyum ke-tiga saya di hari itu, rasanya sangat senang melihat guru yang dikenal galak ini membuat lelucon kecil ditambah senyum ke-empat saya untuk cokelat ke-tiga dari sahabat saya yang lain.
Masuk kelas biologi, guru kami memberikan tugas yang membuat alis saya naik sambil bergumam “well..”, yaitu tugas ‘Bio-Tine’, tugas membuat puisi atas kecintaan kami terhadap biologi; itu senyum saya yang kelima. Lunch time. Geng makan siang saya membawa cokelat dan saling berbagi diiringi dengan senyum saya yang keenam, ketujuh, delapan dst. Masuk kelas Choir. Kami mengadakan Valentine Party kecil-kecilan di kelas; sebelumnya, students yang termasuk ke dalam Chorale berkeliling sekolah masuk ke kelas-kelas dengan pakaian serba merah, mereka melakukan drama musical berdurasi 10 menit di setiap kelas dan tidak ada guru yang keberatan dipotong waktunya. Party di kelas choir ini pun diinisiasi oleh guru kami sendiri. Kami bernyanyi bersama, makan, dan minum bersama. Ini senyum saya yang entah ke sekian.
Sweet and beautiful isnt it?
Saya memang tidak menceritakan semua bagian, khususnya bagian di mana saya melihat banyak pasangan yang saling memberi cokelat dan berciuman (ah, tapi akhirnya diceritakan juga haha)
Memperingati hari Valentine ya...kenapa kaum muslim sangat melarangnya?
St. Valentine, seorang pendeta yang tetap memberkati pernikahan pasangan yang dilarang menikah oleh Kaisar Claudius yang dikenal kejam. Tertanggal 14 Februari, St. Valentine dipenggal. Sejak itu, tanggal 14 Februari diperingat sebagai hari Kasih Sayang.
Pertama, itu jelas-jelas budaya barat yang lahir dari meninggalnya seorang pendeta. Logikanya, kenapa muslim harus merayakan kematian seorang pendeta? Walau atas dasar kemanusiaan, namun agama Islam memiliki batas toleransi.
Kedua, budaya tersebut berkembang menjadi budaya memberi kasih sayang kepada pacar, tepatnya memberi cokelat kepada pacar. Sudah jelas Islam tidak membolehkan hal ini terjadi.
Padahal, Februari 2011 silam, saya sebagai makhluk yang sebelumnya tidak memedulikan valentine, tersenyum sumringah mendapatkan banyak cokelat dan mendapati suasana gembira dari guru sekolah. Rasa kasih sayang dari sahabat dan guru yang begitu luar biasa, bahkan rasa kasih sayang terhadap ilmu pengetahuan! Apalagi keadaannya saat itu saya sedang jauh dari negeri sendiri ^^
Sebenarnya konsep hari kasih sayang itu tidak salah. Memang sih kasih sayang itu harus setiap hari, tapi apa bedanya dengan hari ibu atau hari ayah? Hormat Ibu dan Ayah juga harusnya setiap hari kok. Islam tidak menerimanya karena latar belakang sejarah dan budaya yang berkembangnya.
Saya sangat menghargai teman-teman non-muslim yang memberikan saya cokelat di hari Valentine mereka sebagai bentuk kasih sayang sahabat, mengingatkan saya akan situasi kasih dan sayang Februari 2011, senang rasanya. Karena pada kenyataannya, kasih sayang itu bukan saja antara laki-laki dan wanita yang memiliki hubungan. Hari Valentine ini punya mereka yang non-muslim, dan mereka hanya ingin berbagi kasih sayang mereka ke semua orang dan bagi muslim yang ingin membalasnya, balaslah dengan apapun, mungkin tidak di hari valentine untuk menghindari anggapan miring orang-orang dan juga untuk menghormati ideologi agama Islam ^^ inilah bentuk kerukunan antar umat beragama; saya merasa tidak perlu memasang propaganda anti-valentine yang sangat ekstrem, yang diperlukan adalah pemahaman, yup pemahaman bahwa kepemilikan simbolik hari Valentine memang punya mereka tapi konsep kasih sayang adalah milik semua :)
*big bear hugsss for Eleny and Esa*
Cerita Tentang Mahasiswa #2 (Dosen mungkin sudah lelah...)
Sepi. Sunyi. Ini entah yang ke sekian kali saya berada di posisi seperti ini. Posisi di mana setiap individu di dalam kelas hanya bisa diam mendengar pertanyaan dari dosen tercinta....
Rasanya intensitas kesunyian hampir limit mendekati nol desibel, bisa-bisa suara aliran darah dan pompa jantung terdengar. Oke, ini ga lucu ^^
Anyway, klimaksnya adalah dua hari yang lalu, ketika saya benar-benar merasakan bahwa saya kuliah masih sekedar kuliah. Dari dulu ingin sekali mengerti dan memahami setiap ilmu pengetahuan tapi apa daya ujian dan kesibukan tumpang tindih; akhirnya memilih shortcut belajar andalan tiap semester, dengan metode: “yaudah, telen aja dulu”. Awalnya saya kira hanya saya yang melakukan metode ini, namun ternyata secara kasat mata, ini salah satu dari sekian tipikal mahasiswa; at least tipikal mahasiswa yang tidak berpredikat ip selalu cum laude atau suma cum laude ^^’
Metode “yaudah, telen aja dulu” atau metode hafalan mati biasanya terjadi pada mahasiswa yang kurang pandai mengatur waktu dan prioritas, seperti saya. Masalahnya adalah, kata “dulu” dalam metode ini entah sampai kapan bertengger, maksudnya kalau memang mau menggunakan metode ini, seharusnya ditambahkan kata seperti “yaudah, telen aja dulu; nanti kalau ada waktu baru dimengerti dengan sungguh-sungguh”. Masalah lain, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Yap. Klimaksnya adalah dua hari yang lalu. Ketika salah satu dosen mata kuliah ‘x’ menanyakan materi semester lalu, dan tidak ada satupun yang bisa menjawab. Beliau mempertanyakan kami, khususnya mahasiswa yang mendapat nilai A di mata kuliah tersebut, “nilai A kemarin dari mana?”. Bukan hanya di mata kuliah ini, dosen matkul lain pun bertanya materi semester lalu yang mungkin bagi mahasiswa seperti kami, dianggap seperti angin lalu. Bagaimana mau menjawab materi semester lalu jika belajar saja pakai metode “yaudah, telen aja dulu” yang melahirkan short term memory? Dosen mungkin sudah lelah....
Sedih.
Sedih kalau ingat kata-kata sahabat saya ketika SMA “belajar itu untuk tahu, bukan untuk lulus”.
Namun di satu sisi, memang IPK bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari IPK. Beasiswa (apalagi beasiswa yang tidak perlu SKTM) melihat IPK. Mencari kerja? Okay banyak yang bilang bahwa di dunia kerja, yang nomor satu itu softskill, tapi IPK juga dilihat toh mas, mbak. Belum lagi orang tua, memang banyak orang tua yang mungkin tidak mengharap anaknya ber IPK bagus, tapi alangkah senangnya ketika kita bisa membuat mereka lebih dari bangga dengan IPK bagus kita? Kalau kata teman saya “IPK itu bentuk tanggung jawab kita untuk orang tua”. Ini yang membuat metode itu lahir, “yang penting ujian lulus dulu, mengerti kalau ada waktu saja”, tapi sekali lagi, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Waktu satu hari itu 24 jam. Dua puluh empat jam.
Banyak buku-buku soal manajemen waktu, banyak motivator yang memberikan metode menejemen waktunya, sudah sering kita mendengar teori-teori klasik manajemen waktu, entah itu dari sisi prioritas, harus memiliki tujuan, harus fokus, dsb.
Jangan menganggap tulisan ini untuk aktivis, mengatur waktu itu kewajiban setiap orang. Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerap pelajaran secepat orang lain, harusnya saya tahu bagaimana mengakali ini dengan teori-teori waktu itu. Bukan juga orang yang sangat sibuk sesibuk orang lain, seharusnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya dengan baik.
Kenapa sulit sekali mengatur waktu? Kenapa sulit sekali untuk memulai? Kenapa sulit sekali untuk bersifat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya? Seharusnya tahu waktu kapan harus belajar, tahu waktu berorganisasi, tahu waktu ngobrol, tahu waktu ini dan itu. Seharusnya bisa. Seharusnya bisa mengubah metode “yaudah telen aja dulu” ini jadi metode yang seharusnya. Mengerti dan memahami, bukan menghafal :’’’
Dimulai dari niat yang lurus ^^
Walaupun, sekarang semuanya menumpuk, pelajaran-pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk.....
Help meeh -.-
Rasanya intensitas kesunyian hampir limit mendekati nol desibel, bisa-bisa suara aliran darah dan pompa jantung terdengar. Oke, ini ga lucu ^^
Anyway, klimaksnya adalah dua hari yang lalu, ketika saya benar-benar merasakan bahwa saya kuliah masih sekedar kuliah. Dari dulu ingin sekali mengerti dan memahami setiap ilmu pengetahuan tapi apa daya ujian dan kesibukan tumpang tindih; akhirnya memilih shortcut belajar andalan tiap semester, dengan metode: “yaudah, telen aja dulu”. Awalnya saya kira hanya saya yang melakukan metode ini, namun ternyata secara kasat mata, ini salah satu dari sekian tipikal mahasiswa; at least tipikal mahasiswa yang tidak berpredikat ip selalu cum laude atau suma cum laude ^^’
Metode “yaudah, telen aja dulu” atau metode hafalan mati biasanya terjadi pada mahasiswa yang kurang pandai mengatur waktu dan prioritas, seperti saya. Masalahnya adalah, kata “dulu” dalam metode ini entah sampai kapan bertengger, maksudnya kalau memang mau menggunakan metode ini, seharusnya ditambahkan kata seperti “yaudah, telen aja dulu; nanti kalau ada waktu baru dimengerti dengan sungguh-sungguh”. Masalah lain, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Yap. Klimaksnya adalah dua hari yang lalu. Ketika salah satu dosen mata kuliah ‘x’ menanyakan materi semester lalu, dan tidak ada satupun yang bisa menjawab. Beliau mempertanyakan kami, khususnya mahasiswa yang mendapat nilai A di mata kuliah tersebut, “nilai A kemarin dari mana?”. Bukan hanya di mata kuliah ini, dosen matkul lain pun bertanya materi semester lalu yang mungkin bagi mahasiswa seperti kami, dianggap seperti angin lalu. Bagaimana mau menjawab materi semester lalu jika belajar saja pakai metode “yaudah, telen aja dulu” yang melahirkan short term memory? Dosen mungkin sudah lelah....
Sedih.
Sedih kalau ingat kata-kata sahabat saya ketika SMA “belajar itu untuk tahu, bukan untuk lulus”.
Namun di satu sisi, memang IPK bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari IPK. Beasiswa (apalagi beasiswa yang tidak perlu SKTM) melihat IPK. Mencari kerja? Okay banyak yang bilang bahwa di dunia kerja, yang nomor satu itu softskill, tapi IPK juga dilihat toh mas, mbak. Belum lagi orang tua, memang banyak orang tua yang mungkin tidak mengharap anaknya ber IPK bagus, tapi alangkah senangnya ketika kita bisa membuat mereka lebih dari bangga dengan IPK bagus kita? Kalau kata teman saya “IPK itu bentuk tanggung jawab kita untuk orang tua”. Ini yang membuat metode itu lahir, “yang penting ujian lulus dulu, mengerti kalau ada waktu saja”, tapi sekali lagi, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Waktu satu hari itu 24 jam. Dua puluh empat jam.
Banyak buku-buku soal manajemen waktu, banyak motivator yang memberikan metode menejemen waktunya, sudah sering kita mendengar teori-teori klasik manajemen waktu, entah itu dari sisi prioritas, harus memiliki tujuan, harus fokus, dsb.
Jangan menganggap tulisan ini untuk aktivis, mengatur waktu itu kewajiban setiap orang. Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerap pelajaran secepat orang lain, harusnya saya tahu bagaimana mengakali ini dengan teori-teori waktu itu. Bukan juga orang yang sangat sibuk sesibuk orang lain, seharusnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya dengan baik.
Kenapa sulit sekali mengatur waktu? Kenapa sulit sekali untuk memulai? Kenapa sulit sekali untuk bersifat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya? Seharusnya tahu waktu kapan harus belajar, tahu waktu berorganisasi, tahu waktu ngobrol, tahu waktu ini dan itu. Seharusnya bisa. Seharusnya bisa mengubah metode “yaudah telen aja dulu” ini jadi metode yang seharusnya. Mengerti dan memahami, bukan menghafal :’’’
Dimulai dari niat yang lurus ^^
Walaupun, sekarang semuanya menumpuk, pelajaran-pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk.....
Help meeh -.-
Selasa, 11 Februari 2014
Cinta dan Komitmen
Jarang-jarang saya bicara tentang cinta :)
Anyway, mungkin sebagian dari kalian pernah baca novel Tere Liye yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Cinta seorang bocah terhadap om-om yang membuat ia dewasa sebelum waktunya dan cinta om-om terhadap bocah ini, di ending saya cuma bisa pasang muka sipit ala komik sambil bergumam ‘pedofil’ haha. Well, entah apa latar belakang penulis novel ini sampai-sampai ia menulis plot cerita seperti itu.
Ada satu hal yang menggelitik sepanjang saya membacanya. Rentang usia yang begitu jauh ternyata tidak membatasi keduanya untuk saling cinta walaupun sang om bisa dibilang malu mengakuinya; namun toh mereka berdua tidak menutup hati satu sama lain. Saya teringat teman saya yang selalu bilang “Jen, umur itu cuma angka..” saya cuma bisa menggurat senyum tipis setengah cemberut (ekspresi macam apa itu?) setiap mendengar itu. Mungkin dia gatal dengan sifat saya yang terlalu menutup hati dengan laki-laki di bawah usia saya haha. Jangan samakan saya dengan tokoh dalam novel itu, saya perempuan toh. Terus kalau perempuan kenapa? Ada yang bilang bahwa perempuan itu secara biologis akan lebih dewasa 3 tahun di atas laki-laki seusianya. Tapi bukan itu alasan saya, saya percaya biology maturity tidak selamanya mengikuti hukum alam, melainkan juga intervensi dari hukum sosial. Tidak ada yang menjamin kedewasaan biologis dan sosial berbanding lurus dengan usia. Lantas kenapa? Mungkin karena pemikiran konvensional dan pengaruh paradigma kolot dari orang tua...bahwa pendamping itu harus lebih tua dari yang wanita. Serta alasan lain, bahwa pendamping pria harus lulus duluan, mapan duluan, lalu siap melamar :p
Maaf kalau saya terkesan curhat ^^
Selain hal di atas, ada hal lain yang menggelitik. Tentang komitmen.
Saya hanya mencoba berpikir visioner dan ingin membagi pikiran saya kepada pembaca. Saya bukan tipe orang yang mau pacaran; disamping larangan keluarga, prinsip agama mungkin jadi salah satunya, tapi ada hal lain yang lebih membuat saya tidak mau pacaran (saya bukan orang religius yang mengedepankan alasan agama atas apapun, walaupun saya sedang belajar untuk melakukan hal itu). Teman-teman pasti pernah merasakan perasaan itu, perasaan kepada lawan jenis. Saya pernah mendengar bahwa berdasarkan penelitian, perasaan cinta kepada lawan jenis paling lama bertahan hanya 4 tahun; belum tentu benar, tapi saya percaya bahwa rasa cinta itu akan hilang suatu saat; makanya Tuhan menciptakan suatu kata benda indah, suatu hal intrik pada diri manusia yang mungkin sulit diputuskan akan mendambanya atau tidak. Hal itu kita sebut dengan komitmen. Kemudian Tuhan memberikan tempat komitmen itu untuk berteduh selamanya dari hujan godaan, ikrar untuk berada dalam satu payung kehidupan selamanya, yaitu pernikahan.
Pernah dengar bahwa mungkin orang tua kita tidak lagi saling cinta? Pernah berada di antara pertengkaran orang tua? Mereka sedang tidak saling cinta. Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekarang, dikala mereka sedang akur. Namun pernikahan bukan diciptakan sebagai mangkuk cinta semata, itulah bentuk komitmen kaum Adam dan Hawa; tidak peduli apa yang terjadi, bagaimana pun, mereka telah berikrar untuk berdua sampai surga. Bersyukur Tuhan menciptakan sebuah pondasi komitmen tersebut, yaitu anak. Orang tua akan berpikir trilyunan kali untuk berpisah meninggalkan sang anak. Lantas, sekali cinta hilang, akankah ia hilang selamanya? Logika saya mengatakan tidak. Tuhan menciptakan hati dan pikiran untuk merespon segala bentuk warna-warni kehidupan lewat kejutan-kejutan yang bisa mengiris hati, menyimpul senyum, atau menebar tawa dan duka. Maka perlu sekali kejutan-kejutan itu dibangun di rumah, entah itu kejutan ulang tahun istri/suami, membelikan liontin bentuk hati untuk istri, dsb. Cinta itu bisa saja muncul kembali. Tidak ada yang lebih indah ketika cinta dan komitmen berjalan beriringan
Duh kenapa saya menulis sampai ke sini? Haha
Loh, lantas, orang pacaran juga bisa kan bangun komitmen? Bisa, boleh jadi sangat bisa. Namun saya bukan tipe orang yang bisa membangun komitmen hanya dengan “ikatan pacaran”; ikatan non-formal yang tidak ada di kurikulum kaderisasi, kamus hukum dan undang-undang, atau kitab agama apapun. Tidak ada jaminan apapun. Manusiawinya adalah ketika hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasangan dan mau tidak mau komitmen itu harus dilepas, yasudah lepaslah sudah; tidak ada ikatan ‘hukum’ yang mengharuskan mereka tetap bersama, beda halnya dengan ikatan pernikahan yang terjamin hukum negara, agama, dan sosial-moral. Ini kembali ke prinsip, bukan saya mengajak anda ramai-ramai putus dengan pacar anda,atau ramai-ramai menikah sbg bentuk komitmen sejati; hanya prinsip pribadi yang sangat mengistimewakan komitmen; ingin membawa satu komitmen kontinu sampai mati, hanya SATU.
Nah, biasanya orang seperti saya akan berpikir lama jika ditawari oleh mak comblang, atau akan berpikir ratusan kali jika ingin bercerita tentang laki-laki. Karena orang seperti saya tidak mau mengembangkan perasaan itu sekarang, tapi nanti. Alih-alih bicara ini, orang yang disukai menikah, mau gantung diri? ^^
Ada waktunya. Ketika komitmen siap lepas landas.
Silakan bebaskan komentar teman-teman semua yang bisa jadi menganggap saya berpikir konvensional, tidak modern dan tidak mengikuti zaman. Tulisan ini pun bukan pembelaan karena saya tidak diizinkan pacaran; hanya ingin berbagi, khususnya kepada teman-teman yang sering curhat mencari jodoh. Saya hanya ingin berbagi kepercayaan, tidak usah terlalu sibuk mencari atau khawatir bertepuk sebelah tangan; yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperpantas diri untuk pendamping di masa depan. Yup, hanya ingin berbagi kepercayaan, bahwa kalau kita sudah siap berkomitmen, jodoh pasti bertemu :p
Anyway, mungkin sebagian dari kalian pernah baca novel Tere Liye yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Cinta seorang bocah terhadap om-om yang membuat ia dewasa sebelum waktunya dan cinta om-om terhadap bocah ini, di ending saya cuma bisa pasang muka sipit ala komik sambil bergumam ‘pedofil’ haha. Well, entah apa latar belakang penulis novel ini sampai-sampai ia menulis plot cerita seperti itu.
Ada satu hal yang menggelitik sepanjang saya membacanya. Rentang usia yang begitu jauh ternyata tidak membatasi keduanya untuk saling cinta walaupun sang om bisa dibilang malu mengakuinya; namun toh mereka berdua tidak menutup hati satu sama lain. Saya teringat teman saya yang selalu bilang “Jen, umur itu cuma angka..” saya cuma bisa menggurat senyum tipis setengah cemberut (ekspresi macam apa itu?) setiap mendengar itu. Mungkin dia gatal dengan sifat saya yang terlalu menutup hati dengan laki-laki di bawah usia saya haha. Jangan samakan saya dengan tokoh dalam novel itu, saya perempuan toh. Terus kalau perempuan kenapa? Ada yang bilang bahwa perempuan itu secara biologis akan lebih dewasa 3 tahun di atas laki-laki seusianya. Tapi bukan itu alasan saya, saya percaya biology maturity tidak selamanya mengikuti hukum alam, melainkan juga intervensi dari hukum sosial. Tidak ada yang menjamin kedewasaan biologis dan sosial berbanding lurus dengan usia. Lantas kenapa? Mungkin karena pemikiran konvensional dan pengaruh paradigma kolot dari orang tua...bahwa pendamping itu harus lebih tua dari yang wanita. Serta alasan lain, bahwa pendamping pria harus lulus duluan, mapan duluan, lalu siap melamar :p
Maaf kalau saya terkesan curhat ^^
Selain hal di atas, ada hal lain yang menggelitik. Tentang komitmen.
Saya hanya mencoba berpikir visioner dan ingin membagi pikiran saya kepada pembaca. Saya bukan tipe orang yang mau pacaran; disamping larangan keluarga, prinsip agama mungkin jadi salah satunya, tapi ada hal lain yang lebih membuat saya tidak mau pacaran (saya bukan orang religius yang mengedepankan alasan agama atas apapun, walaupun saya sedang belajar untuk melakukan hal itu). Teman-teman pasti pernah merasakan perasaan itu, perasaan kepada lawan jenis. Saya pernah mendengar bahwa berdasarkan penelitian, perasaan cinta kepada lawan jenis paling lama bertahan hanya 4 tahun; belum tentu benar, tapi saya percaya bahwa rasa cinta itu akan hilang suatu saat; makanya Tuhan menciptakan suatu kata benda indah, suatu hal intrik pada diri manusia yang mungkin sulit diputuskan akan mendambanya atau tidak. Hal itu kita sebut dengan komitmen. Kemudian Tuhan memberikan tempat komitmen itu untuk berteduh selamanya dari hujan godaan, ikrar untuk berada dalam satu payung kehidupan selamanya, yaitu pernikahan.
Pernah dengar bahwa mungkin orang tua kita tidak lagi saling cinta? Pernah berada di antara pertengkaran orang tua? Mereka sedang tidak saling cinta. Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekarang, dikala mereka sedang akur. Namun pernikahan bukan diciptakan sebagai mangkuk cinta semata, itulah bentuk komitmen kaum Adam dan Hawa; tidak peduli apa yang terjadi, bagaimana pun, mereka telah berikrar untuk berdua sampai surga. Bersyukur Tuhan menciptakan sebuah pondasi komitmen tersebut, yaitu anak. Orang tua akan berpikir trilyunan kali untuk berpisah meninggalkan sang anak. Lantas, sekali cinta hilang, akankah ia hilang selamanya? Logika saya mengatakan tidak. Tuhan menciptakan hati dan pikiran untuk merespon segala bentuk warna-warni kehidupan lewat kejutan-kejutan yang bisa mengiris hati, menyimpul senyum, atau menebar tawa dan duka. Maka perlu sekali kejutan-kejutan itu dibangun di rumah, entah itu kejutan ulang tahun istri/suami, membelikan liontin bentuk hati untuk istri, dsb. Cinta itu bisa saja muncul kembali. Tidak ada yang lebih indah ketika cinta dan komitmen berjalan beriringan
Duh kenapa saya menulis sampai ke sini? Haha
Loh, lantas, orang pacaran juga bisa kan bangun komitmen? Bisa, boleh jadi sangat bisa. Namun saya bukan tipe orang yang bisa membangun komitmen hanya dengan “ikatan pacaran”; ikatan non-formal yang tidak ada di kurikulum kaderisasi, kamus hukum dan undang-undang, atau kitab agama apapun. Tidak ada jaminan apapun. Manusiawinya adalah ketika hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasangan dan mau tidak mau komitmen itu harus dilepas, yasudah lepaslah sudah; tidak ada ikatan ‘hukum’ yang mengharuskan mereka tetap bersama, beda halnya dengan ikatan pernikahan yang terjamin hukum negara, agama, dan sosial-moral. Ini kembali ke prinsip, bukan saya mengajak anda ramai-ramai putus dengan pacar anda,atau ramai-ramai menikah sbg bentuk komitmen sejati; hanya prinsip pribadi yang sangat mengistimewakan komitmen; ingin membawa satu komitmen kontinu sampai mati, hanya SATU.
Nah, biasanya orang seperti saya akan berpikir lama jika ditawari oleh mak comblang, atau akan berpikir ratusan kali jika ingin bercerita tentang laki-laki. Karena orang seperti saya tidak mau mengembangkan perasaan itu sekarang, tapi nanti. Alih-alih bicara ini, orang yang disukai menikah, mau gantung diri? ^^
Ada waktunya. Ketika komitmen siap lepas landas.
Silakan bebaskan komentar teman-teman semua yang bisa jadi menganggap saya berpikir konvensional, tidak modern dan tidak mengikuti zaman. Tulisan ini pun bukan pembelaan karena saya tidak diizinkan pacaran; hanya ingin berbagi, khususnya kepada teman-teman yang sering curhat mencari jodoh. Saya hanya ingin berbagi kepercayaan, tidak usah terlalu sibuk mencari atau khawatir bertepuk sebelah tangan; yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperpantas diri untuk pendamping di masa depan. Yup, hanya ingin berbagi kepercayaan, bahwa kalau kita sudah siap berkomitmen, jodoh pasti bertemu :p
Langganan:
Postingan (Atom)