Selasa, 11 Februari 2014

Cinta dan Komitmen

Jarang-jarang saya bicara tentang cinta :)

Anyway, mungkin sebagian dari kalian pernah baca novel Tere Liye yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Cinta seorang bocah terhadap om-om yang membuat ia dewasa sebelum waktunya dan cinta om-om terhadap bocah ini, di ending saya cuma bisa pasang muka sipit ala komik sambil bergumam ‘pedofil’ haha. Well, entah apa latar belakang penulis novel ini sampai-sampai ia menulis plot cerita seperti itu.

Ada satu hal yang menggelitik sepanjang saya membacanya. Rentang usia yang begitu jauh ternyata tidak membatasi keduanya untuk saling cinta walaupun sang om bisa dibilang malu mengakuinya; namun toh mereka berdua tidak menutup hati satu sama lain. Saya teringat teman saya yang selalu bilang “Jen, umur itu cuma angka..” saya cuma bisa menggurat senyum tipis setengah cemberut (ekspresi macam apa itu?) setiap mendengar itu. Mungkin dia gatal dengan sifat saya yang terlalu menutup hati dengan laki-laki di bawah usia saya haha. Jangan samakan saya dengan tokoh dalam novel itu, saya perempuan toh. Terus kalau perempuan kenapa? Ada yang bilang bahwa perempuan itu secara biologis akan lebih dewasa 3 tahun di atas laki-laki seusianya. Tapi bukan itu alasan saya, saya percaya biology maturity tidak selamanya mengikuti hukum alam, melainkan juga intervensi dari hukum sosial. Tidak ada yang menjamin kedewasaan biologis dan sosial berbanding lurus dengan usia. Lantas kenapa? Mungkin karena pemikiran konvensional dan pengaruh paradigma kolot dari orang tua...bahwa pendamping itu harus lebih tua dari yang wanita. Serta alasan lain, bahwa pendamping pria harus lulus duluan, mapan duluan, lalu siap melamar :p

Maaf kalau saya terkesan curhat ^^

Selain hal di atas, ada hal lain yang menggelitik. Tentang komitmen.

Saya hanya mencoba berpikir visioner dan ingin membagi pikiran saya kepada pembaca. Saya bukan tipe orang yang mau pacaran; disamping larangan keluarga, prinsip agama mungkin jadi salah satunya, tapi ada hal lain yang lebih membuat saya tidak mau pacaran (saya bukan orang religius yang mengedepankan alasan agama atas apapun, walaupun saya sedang belajar untuk melakukan hal itu). Teman-teman pasti pernah merasakan perasaan itu, perasaan kepada lawan jenis. Saya pernah mendengar bahwa berdasarkan penelitian, perasaan cinta kepada lawan jenis paling lama bertahan hanya 4 tahun; belum tentu benar, tapi saya percaya bahwa rasa cinta itu akan hilang suatu saat; makanya Tuhan menciptakan suatu kata benda indah, suatu hal intrik pada diri manusia yang mungkin sulit diputuskan akan mendambanya atau tidak. Hal itu kita sebut dengan komitmen. Kemudian Tuhan memberikan tempat komitmen itu untuk berteduh selamanya dari hujan godaan, ikrar untuk berada dalam satu payung kehidupan selamanya, yaitu pernikahan.

Pernah dengar bahwa mungkin orang tua kita tidak lagi saling cinta? Pernah berada di antara pertengkaran orang tua? Mereka sedang tidak saling cinta. Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekarang, dikala mereka sedang akur. Namun pernikahan bukan diciptakan sebagai mangkuk cinta semata, itulah bentuk komitmen kaum Adam dan Hawa; tidak peduli apa yang terjadi, bagaimana pun, mereka telah berikrar untuk berdua sampai surga. Bersyukur Tuhan menciptakan sebuah pondasi komitmen tersebut, yaitu anak. Orang tua akan berpikir trilyunan kali untuk berpisah meninggalkan sang anak. Lantas, sekali cinta hilang, akankah ia hilang selamanya? Logika saya mengatakan tidak. Tuhan menciptakan hati dan pikiran untuk merespon segala bentuk warna-warni kehidupan lewat kejutan-kejutan yang bisa mengiris hati, menyimpul senyum, atau menebar tawa dan duka. Maka perlu sekali kejutan-kejutan itu dibangun di rumah, entah itu kejutan ulang tahun istri/suami, membelikan liontin bentuk hati untuk istri, dsb. Cinta itu bisa saja muncul kembali. Tidak ada yang lebih indah ketika cinta dan komitmen berjalan beriringan

Duh kenapa saya menulis sampai ke sini? Haha

Loh, lantas, orang pacaran juga bisa kan bangun komitmen? Bisa, boleh jadi sangat bisa. Namun saya bukan tipe orang yang bisa membangun komitmen hanya dengan “ikatan pacaran”; ikatan non-formal yang tidak ada di kurikulum kaderisasi, kamus hukum dan undang-undang, atau kitab agama apapun. Tidak ada jaminan apapun. Manusiawinya adalah ketika hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasangan dan mau tidak mau komitmen itu harus dilepas, yasudah lepaslah sudah; tidak ada ikatan ‘hukum’ yang mengharuskan mereka tetap bersama, beda halnya dengan ikatan pernikahan yang terjamin hukum negara, agama, dan sosial-moral. Ini kembali ke prinsip, bukan saya mengajak anda ramai-ramai putus dengan pacar anda,atau ramai-ramai menikah sbg bentuk komitmen sejati; hanya prinsip pribadi yang sangat mengistimewakan komitmen; ingin membawa satu komitmen kontinu sampai mati, hanya SATU.

Nah, biasanya orang seperti saya akan berpikir lama jika ditawari oleh mak comblang, atau akan berpikir ratusan kali jika ingin bercerita tentang laki-laki. Karena orang seperti saya tidak mau mengembangkan perasaan itu sekarang, tapi nanti. Alih-alih bicara ini, orang yang disukai menikah, mau gantung diri? ^^

Ada waktunya. Ketika komitmen siap lepas landas.

Silakan bebaskan komentar teman-teman semua yang bisa jadi menganggap saya berpikir konvensional, tidak modern dan tidak mengikuti zaman. Tulisan ini pun bukan pembelaan karena saya tidak diizinkan pacaran; hanya ingin berbagi, khususnya kepada teman-teman yang sering curhat mencari jodoh. Saya hanya ingin berbagi kepercayaan, tidak usah terlalu sibuk mencari atau khawatir bertepuk sebelah tangan; yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperpantas diri untuk pendamping di masa depan. Yup, hanya ingin berbagi kepercayaan, bahwa kalau kita sudah siap berkomitmen, jodoh pasti bertemu :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar