Sepi. Sunyi. Ini entah yang ke sekian kali saya berada di posisi seperti ini. Posisi di mana setiap individu di dalam kelas hanya bisa diam mendengar pertanyaan dari dosen tercinta....
Rasanya intensitas kesunyian hampir limit mendekati nol desibel, bisa-bisa suara aliran darah dan pompa jantung terdengar. Oke, ini ga lucu ^^
Anyway, klimaksnya adalah dua hari yang lalu, ketika saya benar-benar merasakan bahwa saya kuliah masih sekedar kuliah. Dari dulu ingin sekali mengerti dan memahami setiap ilmu pengetahuan tapi apa daya ujian dan kesibukan tumpang tindih; akhirnya memilih shortcut belajar andalan tiap semester, dengan metode: “yaudah, telen aja dulu”. Awalnya saya kira hanya saya yang melakukan metode ini, namun ternyata secara kasat mata, ini salah satu dari sekian tipikal mahasiswa; at least tipikal mahasiswa yang tidak berpredikat ip selalu cum laude atau suma cum laude ^^’
Metode “yaudah, telen aja dulu” atau metode hafalan mati biasanya terjadi pada mahasiswa yang kurang pandai mengatur waktu dan prioritas, seperti saya. Masalahnya adalah, kata “dulu” dalam metode ini entah sampai kapan bertengger, maksudnya kalau memang mau menggunakan metode ini, seharusnya ditambahkan kata seperti “yaudah, telen aja dulu; nanti kalau ada waktu baru dimengerti dengan sungguh-sungguh”. Masalah lain, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Yap. Klimaksnya adalah dua hari yang lalu. Ketika salah satu dosen mata kuliah ‘x’ menanyakan materi semester lalu, dan tidak ada satupun yang bisa menjawab. Beliau mempertanyakan kami, khususnya mahasiswa yang mendapat nilai A di mata kuliah tersebut, “nilai A kemarin dari mana?”. Bukan hanya di mata kuliah ini, dosen matkul lain pun bertanya materi semester lalu yang mungkin bagi mahasiswa seperti kami, dianggap seperti angin lalu. Bagaimana mau menjawab materi semester lalu jika belajar saja pakai metode “yaudah, telen aja dulu” yang melahirkan short term memory? Dosen mungkin sudah lelah....
Sedih.
Sedih kalau ingat kata-kata sahabat saya ketika SMA “belajar itu untuk tahu, bukan untuk lulus”.
Namun di satu sisi, memang IPK bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari IPK. Beasiswa (apalagi beasiswa yang tidak perlu SKTM) melihat IPK. Mencari kerja? Okay banyak yang bilang bahwa di dunia kerja, yang nomor satu itu softskill, tapi IPK juga dilihat toh mas, mbak. Belum lagi orang tua, memang banyak orang tua yang mungkin tidak mengharap anaknya ber IPK bagus, tapi alangkah senangnya ketika kita bisa membuat mereka lebih dari bangga dengan IPK bagus kita? Kalau kata teman saya “IPK itu bentuk tanggung jawab kita untuk orang tua”. Ini yang membuat metode itu lahir, “yang penting ujian lulus dulu, mengerti kalau ada waktu saja”, tapi sekali lagi, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Waktu satu hari itu 24 jam. Dua puluh empat jam.
Banyak buku-buku soal manajemen waktu, banyak motivator yang memberikan metode menejemen waktunya, sudah sering kita mendengar teori-teori klasik manajemen waktu, entah itu dari sisi prioritas, harus memiliki tujuan, harus fokus, dsb.
Jangan menganggap tulisan ini untuk aktivis, mengatur waktu itu kewajiban setiap orang. Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerap pelajaran secepat orang lain, harusnya saya tahu bagaimana mengakali ini dengan teori-teori waktu itu. Bukan juga orang yang sangat sibuk sesibuk orang lain, seharusnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya dengan baik.
Kenapa sulit sekali mengatur waktu? Kenapa sulit sekali untuk memulai? Kenapa sulit sekali untuk bersifat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya? Seharusnya tahu waktu kapan harus belajar, tahu waktu berorganisasi, tahu waktu ngobrol, tahu waktu ini dan itu. Seharusnya bisa. Seharusnya bisa mengubah metode “yaudah telen aja dulu” ini jadi metode yang seharusnya. Mengerti dan memahami, bukan menghafal :’’’
Dimulai dari niat yang lurus ^^
Walaupun, sekarang semuanya menumpuk, pelajaran-pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk.....
Help meeh -.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar