I was just playing with my and my friends' pieces of love story. Sometimes what we laugh in a drama actually happen to us though we might not notice it. I notice some "apa deh" statements in this short story, but anyway, just want to cheer up many friends whose life never stop seeking their love one. Friends who always share their story about love and marriage, just put in mind, God is indeed the best planner ever. Cheers :p
Rindu menjadi saksi bisu yang menemaniku dalam waktu dan ruang yang kugunakan untuk mendamba cinta. Betapa rindu tahu seberapa aku berusaha menghargai cinta, mengistimewakannya, dan mendefinisikannya sebijak mungkin dengan perasaan dan logika. Hampa pun menjadi saksi lain yang menyaksikan tiap detik sengalan nafasku; ia menangkap setiap momen sunggingan senyum yang pudar dihapus perasaan. Namun ia terkadang menyerah melihat, meminta tenang untuk menghampiriku dan mengembalikan senyum itu.
Cinta dibicarakan di seluruh pelosok dunia, dari Negara adidaya sampai Negara miskin membicarakannya karena toh bicara cinta tak butuh biaya. Kampus bonafide sampai kampus yang baru berdiri diisi dengan mahasiswanya yang sibuk mengeluhkan cinta sejati karena mengeluh cinta selalu jadi topik remaja dari setiap kalangan. Betapa tingginya nama cinta, keagungannya membuat ia menjadi buah bibir manusia; termasuk di kampusku, Institut Teknologi Priangan, yang mayoritas diduduki kalangan pria.
“Bro, janganlah kau buat cabang begitu, kasihan mereka, diphpkan. Kalau kau suka dengan seorang wanita, fokuslah pada satu wanita itu. Tenang saja, walau ITP penghuninya pria semua, pria ganteng seperti kau pasti mudah mendapat hati wanita!” Carlos menghardik temannya yang sedang berjalan sambil memainkan jemarinya di layar hp.
“Carlos, I’m not what you’re thinking. Aku tidak buat cabang, cewek-ceweknya saja yang keGRan. Lah aku memang seperti ini orangnya, berusaha ramah ke setiap orang, tapi orang menganggapku TP-TP” Jujur Rangga tak bermaksud defensif.
Carlos mengangkat bahunya, ia memperhatikan layar hp temannya. Tiba-tiba ia menabrak seorang wanita berbaju biru laut yang sedang membawa banyak buku. Layaknya sinetron-sinetron bertema cinta pada pandangan pertama, Carlos tersentak dan segera memungut buku-buku yang berjatuhan namun kepalanya terbentur kepala sang wanita yang mencoba mengambil buku juga. Matanya bertemu mata wanita itu, Carlos seperti mendapat mantra cinta yang ia tahu bahwa ia tak akan pernah menemukan penawarnya. Carlos mengamati lama satu buku bertuliskan Unpri, “Universitas Priangan” yang ia sentuh.
“Maaf mas, permisi. Makasih.” Wanita itu buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Ia pergi sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit, meninggalkan Carlos yang terpaku melamun.
“Rangga… pendiri ITP ga salah pilih tempat dekat dengan kampus surga ya…” Carlos berkata dengan tatapan terpikau.
“For God’s sake, did you just…get that damn love at the first sight? Ah..too drama.”
Rangga pun ikut meninggalkan Carlos yang masih diam.
***
Oktober, 2012.
“Carikan aku jodoh calon dokter dong.” Entah sudah berapa kali Binar meminta Rian mencarikannya jodoh, Rian memang sudah pantas diberikan status akreditasi A dari massa ITP untuk urusan mencari jodoh.
“List teman anak kedokteran aku sudah habis, sudah aku ceritakan satu per satu orangnya seperti apa tapi tidak ada yang menurutmu cocok. Aku harus apa? Mengelilingi setiap rumah sakit dan menarik mahasiswa-mahasiswa koas untuk diwawancarai?” Rian ketus setengah berteriak.
“Ck! Ah Rian! Yasudah deh, kita buat janji yuk, kalau sampai usia 50 tahun kita belum dapat jodoh, kamu nikahin aku ya hahaha!” Binar mendorong-dorong Rian bercanda.
Aku tersenyum menyaksikan pemandangan itu, dua orang ini memang selalu membuat laboratorium tidak terkesan menegangkan, namun di saat yang sama pembicaraan itu selalu menyesakkan. Tema pembicaraan soal jodoh dan pernikahan akhir-akhir ini sudah seperti kacang yang dijual murah; tidak kalah ramai dengan pembicaraan topik skripsi. Ah skripsi. Mataku kembali fokus pada mencit-mencit yang sedang tersiksa di dalam tabung berisi gas karbondioksida. Aku memperhatikan mencit tersebut dengan seksama. Dahulu, aku menangis dibuatnya sampai aku sempat berpikir untuk mengganti topik. Tapi sekarang mendislock mencit saja sudah jadi kegiatanku tiap minggu. Waktu memang tidak pernah bohong dalam menjanjikan perubahan, perubahan baik yang akan muncul dengan indah jika kesabaran ada untuk memimpin suatu proses.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku melepaskan jas lab yang semakin hari warna putihnya berganti menjadi kecokelatan. Selamat malam aku sampaikan pada mencit-mencit, kemudian aku menutup pintu lab menyisakan gelap tersisa menghiasi mimpi binatang lucu itu.
***
Rindu tahu ketika aku mulai mendongakkan kepala. Sebisa mungkin rindu tidak lewat di depanku untuk menahan barang setetes air dari ujung mataku. Gagal. Rindu tak kuasa untuk tidak menembus benteng logikaku.
Laci merah marun aku tarik pelan menimbulkan suara berdenyit dari tabrakan besi-besi teroksidasi, rupanya oksigen masih mampu menyelinap di sela-sela laci yang sempat tertutup selama berbulan-bulan. Air mataku akhirnya terjatuh di atas figura retak berwarna biru tua, tepat terjatuh di foto kepalaku. Aku menangis, membuat rintik-rintik hujan di atas foto tiga orang remaja yang tersenyum gembira menampakkan rentetan gigi putihnya; raut wajah yang terlihat seperti tidak pernah tahu bahwa takdir tak diinginkan telah digariskan terhadap salah satu di antaranya. Dering telepon menghentikan menit-menit tangisku. Aku mengusap mata dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aldila! Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya aku sebentar lagi ke sana, kamu sudah keluar dari Bale Unpri?”
“Sudah daritadi…ya ampun aku nunggu kamu loh dari tadi.”
“Iya…iya…maaf Christin, aku bawa motor kok, 10 menit aku pasti sampai.”
Christin, salah seorang wanita yang ada di foto figura biru tua itu sedang merayakan kelulusannya. Aku terpaksa telat datang menghadiri wisudanya karena jadwal lab yang padat ditambah dengan rindu yang datang tanpa diundang. Dengan cepat aku raih rangkaian bunga berwarna biru muda serta selempang S.Ked yang jauh-jauh hari sudah sengaja kubuat untuk sahabat baikku. Christin berhasil menyelesaikan studi kedokteran selama 3,5 tahun dengan predikat cumlaude; belum lagi ditambah dengan prestasi Mapres tingkat nasional di tengah kesibukannya mengurus organisasi sana-sini. Wanita ini pun dianugerahi Tuhan dengan keramahan dan jiwa sosial yang tinggi, tidak salah ketika banyak pria yang mengantri menunggu momen yang tepat untuk memasangkan cincin emas di jari manis cantiknya. Namun Christin tak pernah menerima pria manapun, karena baginya, Yoshua tetap pria nomor satu di hatinya. Pria yang tidak pernah tahu bahwa Christin sangat menyukainya, sampai akhirnya Tuhan menempatkan Yoshua di langit tempatNya berada.
“Kalau saja Yoshua ada di sini bersama kita…”
Christin menitikkan air mata. Aku memeluknya erat dan membisikkan beberapa kalimat yang kuharap dapat menenangkan hatinya.
“Yuk foto bareng Yoshua,” Christin mengeluarkan selembar foto yang sama persis dengan foto di figura retak yang kuhujani air mata tadi. Tiga remaja yang menampakkan gigi ikut tertangkap kamera hp Christin.
***
Desember, 2011.
Cinta katanya buta. Aku mengamini hal itu karena cinta memang tak punya mata, pun otak, ia cenderung bersahabat dengan perasaan. Aku tak membicarakan soal cinta orang tua atau cinta Tuhan, ini cinta yang sering para remaja bicarakan. Seseorang akan terlihat luar biasa sempurna bagi orang yang mengidolakannya; hal buruk pada seseorang itu pun akan terlihat baik bagi si pencinta. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih semua ruang perasaan, sang pencinta akan berusaha terlihat sebaik mungkin di mata orang yang ia cintai. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih logika, sang pencinta tak akan berpikir jauh tentang masa depan; pokoknya aku cinta kamu tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada dan seberapa tak jelasnya masa depan kita. Katanya, kalau cinta sudah mengambil alih dunia, cuaca panas akan terasa sejuk dan gelap akan terasa terang.
Dear, Aldila
Aku bukan penguntit
Walau aku selalu memperhatikan punggungmu
Aku bukan laki-laki buaya
Walau aku sering membuat puisi gombal
Aku bukan pengecut
Walau aku hanya berani berkata lewat selayang surat
Aku tahu kamu sedang bergidik geli membaca surat ini
Tapi ini isi hatiku
Aku tak paham kenapa Tuhan mengizinkan cinta mengalahkan logikaku
Aku tahu ini lucu
Aku hanya ingin tenang
Ya…aku mencintaimu
Walau aku tak tahu harus kuapakan cinta ini
Ah maafkan Yoshua yang bodoh ini,
Aku diam. Aku berharap pesan ini salah alamat. Nama Aldila bukan hanya milikku. Percuma, tidak mungkin ini salah alamat. Siapa lagi teman Yoshua yang bernama Aldila kalau bukan aku? Hening menyergap cukup lama. Aku tertawa. Kuraih gagang telepon rumahku.
“Yosh, lo apa-apain sih hahaha” Aku segera menyambar dengan tawa gurihku di gagang telepon sesaat setelah suara halo khas dari Yoshua.
“Aldila…” telepon pun terputus.
Sebagian otakku bilang pesan itu hanya candaan Yoshua. Aku mengabaikan pesan itu, berdecak, dan tertawa sendiri di kamar sampai tawa itu berhenti ketika pesan dari Yoshua yang mengajakku bertemu.
Pertemuan itu membuat mukaku memerah, bukan malu, namun marah. Mengapa manusia sepintar Yoshua tidak sadar akan kehadiran sahabatnya yang lebih dari sempurna untuknya. Mengapa ia tak tahu diri harus menyatakan cintanya padaku di saat ia tahu kita jelas berbeda? Mengapa dirinya cukup berani ketika ia sudah lama tahu bahwa background keluargaku yang jelas sangat agamis? Ah..tak perlulah ia omeli aku dengan haknya mencintai siapapun, tak perlulah ia menghakimi Tuhan dan menuntutNya menciptakan satu agama di dunia ini, tak perlu pula ia mengatasnamakan cinta sejati jika logikanya tak pernah ia gunakan. Aku menghardiknya, mengatainya bodoh dan tak masuk akal. Aku mencela dan menampikkan segala pembelaan yang ia utarakan. Aku marah. Ya, aku marah mengapa bukan Christin yang ia temui.
Aku menjauh dari Christin dan Yoshua. Jarak kampus kami yang hanya berbeda sekian menit seperti berbeda berpuluh-puluh jam. Aku selalu memberi alasan malas berkunjung karena jauh tiap kali Christin mengajakku bertemu. HPku sering kutinggalkan di pojok lemari meninggalkan pesan mailbox untuk Yoshua yang berkali-kali mencoba meneleponku. Tiga bulan sudah aku tak bertemu Yoshua. Suatu hari, Christin menemuiku. Matanya berkaca.
“Kamu pernah merasakan bagaimana cinta tak berpihak kepadamu?” Christin akhirnya bersuara setelah satu jam ia memilih diam duduk di atas kursi belajarku.
“Cintanya siapa? Setiap orang punya cinta yang berpihak padanya.” aku berbalas pelan.
“Cinta seseorang yang kau suka. Sukanya seseorang yang kau cinta. Kenapa aku begitu bodoh diperdaya oleh cinta? Ha..ha..kamu tahu Aldila, aku hampir saja bunuh diri karena cinta. Ternyata otakku yang terbiasa dengan ilmu sains masih saja dikalahkan oleh hal sepele itu. Padahal, sedikit saja logikaku bermain, cinta akan kalah telak.” Tawa miris Christin menggaung, lalu hening kembali.
Entah sudah berapa kali hening menyergapku akhir-akhir ini. Aku seperti sedang diwawancarai oleh keheningan, dipojokkan oleh kediaman hingga aku tak bisa menjawab keadaan. Aku tahu Christin bicara soal Yoshua yang menolak cintanya, tidak ada lagi orang lain yang ia bicarakan jika cinta sudah ikut berperan di dalamnya. Aku masih bersyukur mengetahui bahwa Yoshua tak menceritakan pada Christin mengenai pengakuan cintanya padaku. Sebentar, bunuh diri?
“Bu..nuh… diri?” aku mengeja pelan.
“Ya, Aldila. Tapi aku terselamatkan oleh seorang pria yang tak sengaja melihatku menangis masuk ke dalam toilet… Entah apa yang dipikirkannya, ia menungguku keluar toilet namun aku tak kunjung datang… Ia nekad masuk tolet cewek untuk mengecek keadaanku dan ia menemukanku menangis dengan silet di pergelangan tanganku.” Mataku mengintip pergelangan tangannya yang sejak tadi hilang dari pandanganku. Balutan kain putih melingkar rapi di pergelangan tangan Christin, nafasku tercekat. Aku penyebab dari semua hal yang terjadi ini. Aku hampir saja membunuh sahabatku sendiri. Kalau saja aku tak berteman dengan Yoshua, hal bodoh ini tidak akan terjadi. Aku menjerit dalam hati dan tertawa miris. Tak pernah aku bayangkan, cerita FTV yang sering aku tertawakan dan aku komentari bersama Christin ternyata dialami oleh kami sendiri. Apa yang sedang kami pikirkan? Apakah aku sedang bermimpi memainkan sebuah sinetron bertema Kejamnya Cinta?
Dering teleponku memecah suasana, seperti biasa aku tak mengindahkannya; namun dering itu terus berlanjut mewarnai suasana diam kami. Mataku melirik malas ke layar hp, kakak Yoshua menelepon. Ragu aku geser layar hpku menuju gambar gagang telepon hijau.
“Ha…lo” ucapku tegang.
“Aldila…Yoshua mencoba bunuh diri, sekarang dia di ICU…” hpku terpeleset dari genggaman.
***
Oktober, 2012.
Christin mengajakku pergi ke makam Yoshua.
Aku tak peduli, hari ini aku berbicara pada sebuah makam yang penghuninya entah sudah berbentuk seperti apa, entah telinganya ditiupkan ruh untuk dapat mendengar atau tidak.
Dear Yoshua,
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya,
Setelah mendengar kabarmu yang tidak bisa bertahan.
Padahal berbagai selang rumah sakit telah membanjirimu seluruh badan.
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa cinta membuat kita terperdaya
Membuat kita jatuh pada masa yang kelam
Ah..andaikan ini hanya cerita maya
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Aku tak paham,
Mengapa sungguh beraninya
Perasaanmu bergelut dengan logika
Sampai mungkin titik darah tak adayang tersisa
Maafkan aku yang membuatmu seperti itu
Kau tahu,
Sampai sekarang perempuan di sebelahku
Tak pernah tahu perasaanmu
Tapi, ia tetap setia padamu
Tenang saja, aku tak akan pernah cerita kisah kita
Kisah yang aku sudah kutuk ia menjadi batu
Dan kubuang jauh-jauh dari hidupku
Biarkan sahabatmu ini berlari dengan waktu
Karena waktu tak pernah berbohong
Ia selalu berjanji untuk mencapai garis finish lebih dulu
Memenangkan pertaruhan
Dan mengubah manusia untuk memahami realita
Aku belajar mengenai cinta. Bahwa cinta tak pernah memaksa manusia untuk menerimanya. Namun cinta tahu ada sesuatu yang salah ketika ia tidak diterima. Ketika cinta tahu ada yang salah dan manusia tak menyadarinya, ia menyampaikan pesan pada Tuhan untuk membisikkan manusia; bisikan memohon untuk memperbaiki cara manusia menyampaikan cinta, cara ia mengerti perasaan, cara ia mendefinisikan cinta, dan cara ia menerima keberpihakan cinta. Yoshua. Laki-laki inilah yang membuat rindu terus datang membuat bekas tapak kaki di kamar. Laki-laki inilah yang membuat air mata sering tak terbendung untuk keluar, dan akhirnya menyisakan hampa. Tapi laki-laki inilah yang kemudian mengajariku untuk memahami cinta secara bijak, karena aku tahu, kau pasti tak mau aku melakukan hal yang kau pernah lakukan.
Aku telah salah menanggapi cinta Yoshua, padahal ia tak memaksa cintanya kubalas. Aku hanya perlu memberi pemahaman. Maafkan aku.
***
April, 2013.
ITP ramai. Barisan arak-arakan dengan riuh suara massa kampus menggaung di setiap sudut jalanan kampus. Kepalaku menengok ke sana ke mari, mencari wanita dengan baju warna biru yang selalu ia kenakan.
“Aldila!”
“Christin!”
Aku setengah berlari, menyadari bahwa rok dan high heelsku tak memungkinkanku berlari kencang.
“Happy graduation Aldila!” Pelukan hangat itu datang, pelukan seorang sahabat. Aku tersenyum sumringah seraya mengucapkan terima kasih.
“Oya Al, kenalin, Carlos, mahasiswa ITP juga kok hehe”
Aku tersenyum ke arah Carlos yang membalas senyumku. Carlos bertubuh tegap, kelihatan sedikit preman tapi wajahnya tak menutupi kecerdasannya.
“Al, Carlos ini cowok yang waktu itu aku bilang nekad masuk toilet cewek. Hehe.” Aku tersenyum. Tentu saja aku ingat cerita Christin dengan mata berkacanya dan hari itu hari di mana Yoshua masuk ICU. Siapa menyangka ternyata laki-laki yang tak sengaja menyelamatkan Christin kini dekat dengan Christin. Di akhir pertemuan kami hari ini, aku pun mendapati bahwa Carlos ternyata pernah bertabrakan dengan Christin yang membuat Carlos tergila-gila padanya. Ah…sungguh lucu alur cerita yang Tuhan berikan.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan Carlos dan menitipkannya pada waktu sementara hidup Christin diwarnai dengan Yoshua. Tidak, Tuhan tidak mempermainkan kita seperti dulu kita bermain dengan boneka. Tuhan adalah sebaik-baik perencana yang telah mempertimbangkan berbagai unsur kehidupan yang mencampuri alur cerita setiap orang. Benar saja, tiga bulan berlalu setelah hari wisudaku, Christin dan Carlos pun menikah.
***
April, 2014.
Aku membuka kotak surat depan rumahku yang sudah satu bulan lebih tak ku buka. Aku mengernyitkan dahi ketika ada undangan pernikahan bertengger di dalamnya dengan cover depan bertuliskan inisial R&B. Perlahan ku buka undangan tersebut dan mataku mendapati nama Rian Bagus Dhika dan Binar Mentari Wijaya. Aku tersenyum. Bahkan tidak perlu menunggu usia 50 tahun cinta menemukan mereka. Lihatlah, betapa cinta tidak memandang perasaan manusia pada satu waktu saja. Ketika Tuhan membisikkan cinta untuk mempersatukan dua orang manusia, cinta akan datang dengan tulus tanpa perlu dewi fortuna menggunakan panahnya. Tidak ada yang akan tahu kisah cinta seseorang akan seperti apa sampai Tuhan benar-benar mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Beb, temanku ada yang menikah. Temani datang ya.” Aku membawa undangan itu masuk rumah, sekilas aku melihat yang diajak bicara mengangguk.
“Temanku yang menikah ini punya cerita asmara yang menarik loh beb, mau dengar?” Laki-laki yang kuajak bicara itu adalah suamiku, ia perlahan mengganti arah matanya dari televisi ke arahku.
“Kamu mau bilang kan, kisah asmara mereka tidak pernah ada yang tahu? Kamu mau bilang kan, bahwa Tuhan memang sebak-baik perencana?” Laki-laki bernama Rangga itu tersenyum.
“Iya beb, seperti kisah kita yang sudah Tuhan rencanakan dengan indah.” Aku pun tersenyum.
Kamis, 16 Juli 2015
Senin, 06 Juli 2015
orang tua bilang "kamu ga sopan", kita bilang "mah, itu wajar"
My mom and my hostmom are both very social persons, and yes they always ask me to make your faraway guests as your Kings and Queens. They want me to salam to everyone; your hospitality is number one. They also always encourage me to give and share. They basically want kids do that, every kids in the world. But whats happening now?
Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.
Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.
My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”
Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”
Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.
Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.
I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.
Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.
Ummi selalu heran ketika beliau berkunjung ke kos dan melihat penghuni kos yang hanya saling lewat ketika berpapasan, atau hanya tersenyum formalitas, and dang I cant stand on being nice myself while others not, but my mom keeps telling me “seorang muslim itu harus ramah dengan siapapun”. She always wondering why in the world these girls in my dormitory do not know each other but their friends that they already knew before.
Selalu ingat pesan ummi tiap kali saya pergi ke suatu kota dengan taking travel “ngobrol ya sama sebelahnya.” I am like, really? I don’t know them, should I? isn’t it weird? I know it’s a good point to talk to people like my mom often do, initiating herself to chit chat to people in bus, travels, or any transportation. Namun yang biasanya saya lakukan di travel ya….tidur. lol.
My hostmom, well not only my hostmom, but most of Americans will say ‘excuse me’ everytime they pass through people. Tapi banyak toh dari kita yang lewat begitu saja, untung saja di Bandung saya masih merasakan sedikit hal itu, ketika orang bilang “punten”, yah better lah daripada di ibukota lol. Tapi terkadang kalau sudah lelah pulang dari kampus, cuma bisa pasang wajah tidak semangat, melewati orang jadi lewat saja, sampai pernah anak kecil yang saya lewati menyindir saya “punten atuh teehhh”. Saya cuma bisa tersenyum sambil hati berkata “sorry kids, my bad.”
Yang paling saya soroti akhir-akhir ini adalah soal budaya menerima tamu. My mom often cooks for her guest khususnya tamu-tamu jauh, repot minta anak-anaknya beli kue sana sini. Beliau selalu mau menerima permintaan anak-anaknya yg bilang “mi, teman-teman aku mau rapat di sini, gpp?” “mi, teman-teman aku mau buka bersama di sini gpp?” hanya mungkin kadang tidak bisa terealiasi karena urusan Abah ehehe, peace Dad! What somewhat surprise me then is about how we treat the bules in a very special way. In pharmacy association, baik di himpunan kampus saya atau di organisasi nasional, we treat them really well, I guess, sampai score penerimaan mahasiswa asing di web SEP untuk asosiasi di Indonesia memang tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lain. Even theres this time I read in a magazine about exchange student that come to my association saying “Indonesians are very nice, they take us and guide us in every single path we walk, we were like kindergarten students” yah kurang lebih kata-katanya seperti itu. Tapi pernah juga ketika saya yang menemani the bules dan mau tidak mau harus menuruti budaya itu sampai I don’t let them to go alone by taxi to visit bars in Braga, they were like “Come on, we are adults, we can go without you guys”. Well. Haha anyway, jadi teringat artikel VOA yang bilang “orang Indonesia dicap ramah karena memang anak-anak kampung yang sangat welcome dengan para bule, tapi nyatanya hospitality Americans jauh lebih oke”
Anywaaay, budaya menerima tamu yang luar biasa ini sebenarnya bukan hanya terjadi ketika bule datang. Yah baru semenjak kuliah sih saya sering ke luar kota dan melihat bagaimana orang-orang di luar Jakarta dan Bandung luar biasanya menerima kita –bukan bule- sebagai tamu, teman saya pun merasa demikian. Sampai saya bingung hingga sekarang, budaya ini hanya terjadi di asosiasi saya atau memang orang Indonesia seperti ini? I don’t think so though haha. Namun saya bahagia, di tengah keheningan kos-kosan, protes ummi saya akan anak muda di travel yang saling diam, protes para tetua akan anak muda yang tidak sopan kalau melewati orang, masih ada etika berjudul “orang-orang Indonesia menghargai tamunya”. Walaupun saya tau, hospitality orang Indonesia di luar “kota” mungkin masih jauh lebih baik daripada ‘orang-orang kota’, I guess so.
Yah pengalaman saya mungkin belum bisa mengeneralisasi, seperti apa itu etika orang Indonesia atau seperti apa itu etika anak muda.
I just start to think bahwa etika jadi terlihat semakin bias standarnya. Orang tua bilang itu tak sopan, anak bilang itu wajar. Kakak tingkat bilang lo ‘ngelunjak’, adik tingkat bilang itu tanda mereka gamau ada gap senioritas. Akhirnya ada clash, tanda kita belum bisa menerima budaya dari masing-masing daerah? Tanda kita belum mampu terbuka dengan perubahan zaman? Atau tanda teknologi yang memaksa kita jarang bertatap muka, menurunkan rasa empati untuk beretika? Dari yang merasa “gila lu cuma ngeread line aja, ga sopan” sampai pada merasa itu sudah menjadi standard kebiasaan dan akhirnya ikut2 cuma read aja *curhat bu?. Dari yang dahulu ngobrol sama dosen pakai angguk-angguk badan untuk menjaga sopan santun hingga sekarang sudah bisa tertawa riang lewat whatsapp.
Ah biarlah, kalau bicara budaya dan perkembangan zaman memang agak sulit mana yang beretika mana yang tidak. Dahulu saya sangat berkiblat sekali dengan kalimat “its not right or wrong, its just different” membuat pikiran saya terlalu terbuka menerima segalanya sampai lupa ada standar agama yang harus saya pegang teguh selamanya, termasuk dalam hal etika. That’s why kita punya agama yang akan membimbing kita untuk tau bagaimana beretika yang baik. Memang, kata-kata ummi selalu benar “Islam kok yang mengajarkan untuk begini dan begitu” Yah saya pun masih sangat belajar.
Sabtu, 04 Juli 2015
Thank you, dear!
Betapa luar biasanya berada di sekeliling orang-orang seperti kalian. Bukan cerita-cerita yang mengalir dari mulut sang ratu lebah yang ingin dihormati, bukan pula mimpi yang terajut rapi dari sang pangeran yang hanya berniat mencari sang kekasih, I can feel your sincerity. Ah…apalah semua hari-hari ini jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang sudah para tetua lewati, apalah semua benih-benih yang hendak tumbuh ini jika dibandingkan dengan kecambah yang para pengabdi negeri ini miliki, entah…yang kudapat ini mungkin belum seberapa jika dibandingkan dengan asam garam kehidupan para pekerja buruh, para pegawai swasta, pemiliki perusahaan, para professional, guru, orang tua dan kakek nenek kita, mungkin belum seberapa. But I can feel it, how a drop of ink can spread fast on certain papers.
Saya ingat ketika saya menghadiri sebuah seminar motivasi ketika saya SMP, sang motivator berkata “hidup di SMA itu tidak akan pernah terlupakan, sepakat?” peserta yang kebanyakan adalah anak SMA berseru ‘sepakat!’ kemudian menyimpulkan senyum malu-malu, entah mungkin mereka teringat kerja kerasnya belajar mengejar nilai, cerita persahabatan kepompongnya, atau teringat kisah asmara bodoh yang buat merah pipi pemiliknya. Saya kala itu tidak tersenyum, melainkan fokus memperhatikan kakak saya yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Alis saya terangkat.
Namun kemudian sang motivator tersenyum lebar seraya berkata “hmm…tunggu saja sampai kalian nanti kuliah” Alis saya semakin terangkat.
Si polos Risni menghabiskan masa SMPnya dengan mendengarkan cerita-cerita sang kakak. Ya, saya adalah salah satu penggemar berat kakak saya, walaupun saya yakin beliau tidak tahu sampai sekarang. Kisahnya selalu membuat saya tak sabar masuk SMA, betapa seru…dan anehnya…. cerita-cerita beliau. Cerita ketika beliau bertengkar dengan sahabat baiknya, cerita ketika bersama-sama main mendaki gunung, kisah teman-temannya yang selalu membicarakan soal pernikahan, nasihatnya tentang pakaian baik seorang wanita, permintaannya padaku agar ikut mentoring ketika nanti SMA, keberaniannya dan menurutku dulu…keanehan dia dan teman-temannya yang berani turun ke jalan, berdemo dengan membawa spanduk dan memakai ikat kepala, berorasi di depan gedung DPR serta kebingungan dan tawa saya yang muncrat keluar karena selalu mendengar takbir dikumandangkan dengan lantang setiap kali saya diajak acara keagamaan olehnya. Cerita kakaklah yang menjadi sebuah scene di SMA yang saya bayangkan…
Ternyata, masa SMAku berbeda dengannya. Si polos Risni tak mengalami apa yang dialami kakaknya. Ketika itu saya berpikir, zaman mungkin berubah? Haha. Saya pun kemudian hanya mengikuti alur air yang entah saat itu saya tidak tahu akan bawa saya kemana. Yang pasti, saya dahulu selalu mempertanyakan “mana kisah-kisah yang diceritakan oleh kakak? Di mana?” Dari sini lah saya belajar bahwa memang, ekspektansi bisa menjadi moodbreaker sepanjang masa. Now if you didnt get what you want, are you gonna give up?
Kakak saya tidak lagi bercerita banyak tentang masa kuliahnya ketika saya SMA, mungkin karena jarak yang memaksa kami untuk jarang bertemu dan berkomunikasi. Tapi beliau dan teman-temannya tetap menjadi cerminan scene masa depan yang saya bayangkan. Ah…jadi, kalimat “kakak adalah contoh bagi adiknya” itu benar adanya, setidaknya, saya mengamini hal itu.
Ternyata, begini ya hidup di masa perkuliahan? Saya sedikit banyak mengalami apa yang kakak saya alami, namun dengan cara dan jalur yang cukup jauh berbeda. Kalau saya ingat ketika saya menghadiri seminar motivasi dulu, saya sepertinya mengerti senyuman lebar pembicara yang berucap “tunggu ketika kalian nanti kuliah” haha kok lucu. Well…
Duh, saya sebenarnya mau nulis apa sih :’)
Entah…akhir-akhir ini, grateful feels like tighten me in every second of life. Betapa, tidak selamanya ekspektasi membunuh keinginan kita untuk berjalan bahkan berlari. Betapa masih banyak orang yang peduli dengan kita dan tak pernah lelah membantu memperbaiki diri kita, bukan semata untuk mengejar apa yang kita inginkan, namun apa yang terbaik untuk kita. Entah sudah berapa hal yang terjadi, sudah berapa orang yang menegur, sudah berapa orang yang memukul pundak, sudah berapa kejadian yang membuat saya berpikir bahwa life is too beautiful. Pembelajaran-pembelajaran yang saya sadar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang lain sudah dapatkan ternyata di mata saya sangat berharga, yes I learn how to feel normative words.
Mendengar memang terkadang lebih indah daripada mengucapkannya, mengamati ternyata bisa lebih nikmat daripada melakukannya. I do learn a lot from you guys. Orang-orang yang berada di sekeliling saya, terima kasih telah memunculkan scene yang pernah kakak saya alami haha, terima kasih telah menjadi kalian yang membenci saya, mencintai saya, menghormati, mengucilkan, mengagumi, mengkhianati dan lain sebagainya. Apalah saya berkata seperti ini, sudah seperti orang tua yang merasakan asam garam kehidupan setumpuk puluhan meter dan mencoba mengambil gula di tengah garam. Ini hanya rasa syukur yang ingin saya bagi dan pesan untuk selalu berhati-hati, bahwa hidup kita yang masih muda ini…masih panjang ya…entah akan ada pelajaran-pelajaran apa lagi yang mungkin akan membuat kita makin membuka mata dan pikiran yang kemudian akan menjadi pedang bermata dua. Are we going to be able to deal with it atau justru kejadian di depan akan mengubah kita kepada hal yang tidak baik. Haha seperti saya yang labil, sampai teman-teman tarik ulur untuk mencoba memperbaiki diri ini yang serba kekurangan. Pelajaran-pelajaran yang terkadang buat bingung untuk bersikap memaksa saya untuk selalu sadar kalimat If youre confused what people want you to do, just do what God wants you to do. Terima kasih kalian yang selalu memberi tausiyah, yang selalu mengingatkan, yang selalu tahu kapan saya turun, kemudian mencoba mengajak saya bertemu tatap muka untuk menegur langsung kesalahan yang telah saya perbuat, yang selalu bersusah payah mengajak saya bertemu hanya untuk bilang “jangan lupa hafalannya, jangan lupa amalannya”, bukan…itu bukan hanya…itu kata mutiara yang begitu luar biasa. Terima kasih :’) *efek tak terasa sudah tingkat empat ya, jen?*
Terima kasih telah membantu saya mengejar ekpektasi. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Saya ingat ketika saya menghadiri sebuah seminar motivasi ketika saya SMP, sang motivator berkata “hidup di SMA itu tidak akan pernah terlupakan, sepakat?” peserta yang kebanyakan adalah anak SMA berseru ‘sepakat!’ kemudian menyimpulkan senyum malu-malu, entah mungkin mereka teringat kerja kerasnya belajar mengejar nilai, cerita persahabatan kepompongnya, atau teringat kisah asmara bodoh yang buat merah pipi pemiliknya. Saya kala itu tidak tersenyum, melainkan fokus memperhatikan kakak saya yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Alis saya terangkat.
Namun kemudian sang motivator tersenyum lebar seraya berkata “hmm…tunggu saja sampai kalian nanti kuliah” Alis saya semakin terangkat.
Si polos Risni menghabiskan masa SMPnya dengan mendengarkan cerita-cerita sang kakak. Ya, saya adalah salah satu penggemar berat kakak saya, walaupun saya yakin beliau tidak tahu sampai sekarang. Kisahnya selalu membuat saya tak sabar masuk SMA, betapa seru…dan anehnya…. cerita-cerita beliau. Cerita ketika beliau bertengkar dengan sahabat baiknya, cerita ketika bersama-sama main mendaki gunung, kisah teman-temannya yang selalu membicarakan soal pernikahan, nasihatnya tentang pakaian baik seorang wanita, permintaannya padaku agar ikut mentoring ketika nanti SMA, keberaniannya dan menurutku dulu…keanehan dia dan teman-temannya yang berani turun ke jalan, berdemo dengan membawa spanduk dan memakai ikat kepala, berorasi di depan gedung DPR serta kebingungan dan tawa saya yang muncrat keluar karena selalu mendengar takbir dikumandangkan dengan lantang setiap kali saya diajak acara keagamaan olehnya. Cerita kakaklah yang menjadi sebuah scene di SMA yang saya bayangkan…
Ternyata, masa SMAku berbeda dengannya. Si polos Risni tak mengalami apa yang dialami kakaknya. Ketika itu saya berpikir, zaman mungkin berubah? Haha. Saya pun kemudian hanya mengikuti alur air yang entah saat itu saya tidak tahu akan bawa saya kemana. Yang pasti, saya dahulu selalu mempertanyakan “mana kisah-kisah yang diceritakan oleh kakak? Di mana?” Dari sini lah saya belajar bahwa memang, ekspektansi bisa menjadi moodbreaker sepanjang masa. Now if you didnt get what you want, are you gonna give up?
Kakak saya tidak lagi bercerita banyak tentang masa kuliahnya ketika saya SMA, mungkin karena jarak yang memaksa kami untuk jarang bertemu dan berkomunikasi. Tapi beliau dan teman-temannya tetap menjadi cerminan scene masa depan yang saya bayangkan. Ah…jadi, kalimat “kakak adalah contoh bagi adiknya” itu benar adanya, setidaknya, saya mengamini hal itu.
Ternyata, begini ya hidup di masa perkuliahan? Saya sedikit banyak mengalami apa yang kakak saya alami, namun dengan cara dan jalur yang cukup jauh berbeda. Kalau saya ingat ketika saya menghadiri seminar motivasi dulu, saya sepertinya mengerti senyuman lebar pembicara yang berucap “tunggu ketika kalian nanti kuliah” haha kok lucu. Well…
Duh, saya sebenarnya mau nulis apa sih :’)
Entah…akhir-akhir ini, grateful feels like tighten me in every second of life. Betapa, tidak selamanya ekspektasi membunuh keinginan kita untuk berjalan bahkan berlari. Betapa masih banyak orang yang peduli dengan kita dan tak pernah lelah membantu memperbaiki diri kita, bukan semata untuk mengejar apa yang kita inginkan, namun apa yang terbaik untuk kita. Entah sudah berapa hal yang terjadi, sudah berapa orang yang menegur, sudah berapa orang yang memukul pundak, sudah berapa kejadian yang membuat saya berpikir bahwa life is too beautiful. Pembelajaran-pembelajaran yang saya sadar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang lain sudah dapatkan ternyata di mata saya sangat berharga, yes I learn how to feel normative words.
Mendengar memang terkadang lebih indah daripada mengucapkannya, mengamati ternyata bisa lebih nikmat daripada melakukannya. I do learn a lot from you guys. Orang-orang yang berada di sekeliling saya, terima kasih telah memunculkan scene yang pernah kakak saya alami haha, terima kasih telah menjadi kalian yang membenci saya, mencintai saya, menghormati, mengucilkan, mengagumi, mengkhianati dan lain sebagainya. Apalah saya berkata seperti ini, sudah seperti orang tua yang merasakan asam garam kehidupan setumpuk puluhan meter dan mencoba mengambil gula di tengah garam. Ini hanya rasa syukur yang ingin saya bagi dan pesan untuk selalu berhati-hati, bahwa hidup kita yang masih muda ini…masih panjang ya…entah akan ada pelajaran-pelajaran apa lagi yang mungkin akan membuat kita makin membuka mata dan pikiran yang kemudian akan menjadi pedang bermata dua. Are we going to be able to deal with it atau justru kejadian di depan akan mengubah kita kepada hal yang tidak baik. Haha seperti saya yang labil, sampai teman-teman tarik ulur untuk mencoba memperbaiki diri ini yang serba kekurangan. Pelajaran-pelajaran yang terkadang buat bingung untuk bersikap memaksa saya untuk selalu sadar kalimat If youre confused what people want you to do, just do what God wants you to do. Terima kasih kalian yang selalu memberi tausiyah, yang selalu mengingatkan, yang selalu tahu kapan saya turun, kemudian mencoba mengajak saya bertemu tatap muka untuk menegur langsung kesalahan yang telah saya perbuat, yang selalu bersusah payah mengajak saya bertemu hanya untuk bilang “jangan lupa hafalannya, jangan lupa amalannya”, bukan…itu bukan hanya…itu kata mutiara yang begitu luar biasa. Terima kasih :’) *efek tak terasa sudah tingkat empat ya, jen?*
Terima kasih telah membantu saya mengejar ekpektasi. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Langganan:
Postingan (Atom)