Yay im excited! Tonight im going to Porto, Portugal! Well, im afraid though. My pharmaceutical knowledge kind of not that good compare to other people, i gueess. And im only about to be a junior after i didnt feel my sophomore year gave me bunches of knowledges. My brain still kinda empty yet the participants will be those who already step into senior even 5th years.
I also lack of preparation on GA and competition. Lack of understanding the bundles, i wish the former official delegates gave me instruction what to do and what not to do according to last year experience. But naah theres nothing like it. Its okay, well
Bismillah. Hopefully this journey will bring many goods! Hopefully ill be back with full charges brain and nice experiences. Just dont make my attention bends, God, I want to learn this pharmacy thing, the social-pharmacy, broaden networks by making friends, discuss with them on purpose of searching recommendation for my country's good health. Aaand vacation for a bonus prize. Yayness goodluck to me and my friends!
By the way, i never write about delegation i experienced in ISMAFARSI, ill tell you later on my blog. Itd be fun to compare and contrast to this delegation of IPSF world congress ill be going. Yuhuu
Senin, 28 Juli 2014
Sabtu, 26 Juli 2014
Another 'Love' Post
Pernah jatuh cinta?
Wajahnya muncul tiap malam sampai-sampai kamu bergumam “jangan-jangan gue dipelet”. Minta teman dekat untuk cari tahu, ke-GR-an karena ditanya-tanya terus. Berpikir panjang kapan harus bicara dari hati ke hati? When is the right time to confess everything? Apalagi cewek, kebingungan harus bilang suka bagaimana, hanya bisa berharap “dude, come move and tell me!”. I won’t tell further how it feels and how we react as normal human being when we fall in love. Just...coba ingat berapa banyak perbuatan bodoh yang kamu lakukan? Dan tersenyumlah.
Mungkin sekarang kamu lagi GR karena merasa diperhatikan lebih oleh seseorang?
Tapi, pernah terbayang ga, kalau ternyata ada yang diam-diam melukis kamu di setiap kanvas yang dia punya, menggambar setiap tingkah kamu di buku catatannya lewat tulisan, tidak pernah terlihat melirikmu tiap kali ketemu, hanya memandang punggungmu di kala orang sekitar sibuk; tidak pernah terlihat dari sms atau gaya bicaranya bahwa dia sedang suka kamu?
Kamu tidak akan pernah sadar sampai orang yang saya maksud di atas benar-benar mendatangimu karena tidak kuasa menahan segala rasa itu. Finally when the confession comes to you, kamu punya dua kemungkinan respon: terkejut dan/atau tertawa.
Terkejut bagai dapat durian runtuh setelah merasa pungguk merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa mangap seraya hati bilang “Man, Ive been admiring you since ever! Ive never known you have the same feeling, you never showed it up!”
Tertawa bagai dikelitiki bulu ayam setelah pungguk tak pernah merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa tertawa seraya hati bilang “Dude, we’ve been friends since ever! You know my type...” Friendzone.
Atau terkejut sekaligus tertawa “Well, you know, I actually never notice you because you’re just not my type.” Atau “Why? Don’t you think I will not like you because....we’re ‘different’?”
Mungkin kamu tak enak hati untuk jawaban yang ke 2 dan 3, but hey somehow life could be that hurt. It is just a period of that stupid moment that guy probably repeated over, sorry to say. Love is blind, remember?
Atau...kamu terkejut atau tertawa karena memang tidak pernah punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, because he just didnt show it up. Tiba-tiba confess tanpa prolog yang kamu sebut, PDKT. Wah, kalau begini, hati-hati, jangan-jangan nanti kamu suka hanya sebatas karena diperhatikan dan ingin diperhatikan? You gotta think the future, be realistic.
Cinta katanya tak pernah salah. Yah bagaimana mau menyalahkan hal tak berwujud? But hey let’s try to accept love in a right way.
Naturally, we will be craving for attention. Tapi sebenarnya yang lebih kita butuhkan bukan atensi yang dibuat-buat atau atensi tak beralasan. What I see nowadays, with all ‘jomblo’ propaganda all over social media, tanpa sadar kita punya keinginan untuk punya pacar; jangan sampai ketika kesempatan itu datang, we don’t really think twice to accept the love. If you know what I mean..
Cinta diam-diam bagi saya terlihat lebih elegan. But really, I don’t need that stupid thing guys do like painting the girl’s face you like on your bedroom wall, for instance. Everyone will probably pardon the falling in love stupidity. But okay, whenever you passed the stupid phase, cobalah untuk berkaca dari kejadian itu.
Cinta diam-diam terlihat lebih elegan, tapi bukan berarti harus selamanya diam. PDKT itu memang penting kok, but it should be in the right time, just like what I said, jangan sampai kamu suka hanya karena sebatas ingin diperhatikan tanpa alasan lebih yang menyangkut hidup kamu ke depan.
Jangan sampai kamu suka hanya karena cinta bicara tanpa melihat ‘segala perbedaan’ yang tidak bisa dielakkan, entah pakai PDKT atau diam-diam.
Well, karena katanya cinta buta. Dia tidak punya mata apalagi otak untuk berpikir objektif dan realistis. Kalau begitu, buatlah cinta diam-diam itu dalam bentuk kagummu terhadapnya dan sampaikanlah kagum itu lewat doa. Tuhan yang akan menunjukkan segalanya.
Tidak perlu terburu-buru. Berdoalah untuk dia. Insya Allah ada orang di luar sana yang juga diam-diam mendoakan kamu :)
Wajahnya muncul tiap malam sampai-sampai kamu bergumam “jangan-jangan gue dipelet”. Minta teman dekat untuk cari tahu, ke-GR-an karena ditanya-tanya terus. Berpikir panjang kapan harus bicara dari hati ke hati? When is the right time to confess everything? Apalagi cewek, kebingungan harus bilang suka bagaimana, hanya bisa berharap “dude, come move and tell me!”. I won’t tell further how it feels and how we react as normal human being when we fall in love. Just...coba ingat berapa banyak perbuatan bodoh yang kamu lakukan? Dan tersenyumlah.
Mungkin sekarang kamu lagi GR karena merasa diperhatikan lebih oleh seseorang?
Tapi, pernah terbayang ga, kalau ternyata ada yang diam-diam melukis kamu di setiap kanvas yang dia punya, menggambar setiap tingkah kamu di buku catatannya lewat tulisan, tidak pernah terlihat melirikmu tiap kali ketemu, hanya memandang punggungmu di kala orang sekitar sibuk; tidak pernah terlihat dari sms atau gaya bicaranya bahwa dia sedang suka kamu?
Kamu tidak akan pernah sadar sampai orang yang saya maksud di atas benar-benar mendatangimu karena tidak kuasa menahan segala rasa itu. Finally when the confession comes to you, kamu punya dua kemungkinan respon: terkejut dan/atau tertawa.
Terkejut bagai dapat durian runtuh setelah merasa pungguk merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa mangap seraya hati bilang “Man, Ive been admiring you since ever! Ive never known you have the same feeling, you never showed it up!”
Tertawa bagai dikelitiki bulu ayam setelah pungguk tak pernah merindukan bulan. Mungkin kamu hanya bisa tertawa seraya hati bilang “Dude, we’ve been friends since ever! You know my type...” Friendzone.
Atau terkejut sekaligus tertawa “Well, you know, I actually never notice you because you’re just not my type.” Atau “Why? Don’t you think I will not like you because....we’re ‘different’?”
Mungkin kamu tak enak hati untuk jawaban yang ke 2 dan 3, but hey somehow life could be that hurt. It is just a period of that stupid moment that guy probably repeated over, sorry to say. Love is blind, remember?
Atau...kamu terkejut atau tertawa karena memang tidak pernah punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, because he just didnt show it up. Tiba-tiba confess tanpa prolog yang kamu sebut, PDKT. Wah, kalau begini, hati-hati, jangan-jangan nanti kamu suka hanya sebatas karena diperhatikan dan ingin diperhatikan? You gotta think the future, be realistic.
Cinta katanya tak pernah salah. Yah bagaimana mau menyalahkan hal tak berwujud? But hey let’s try to accept love in a right way.
Naturally, we will be craving for attention. Tapi sebenarnya yang lebih kita butuhkan bukan atensi yang dibuat-buat atau atensi tak beralasan. What I see nowadays, with all ‘jomblo’ propaganda all over social media, tanpa sadar kita punya keinginan untuk punya pacar; jangan sampai ketika kesempatan itu datang, we don’t really think twice to accept the love. If you know what I mean..
Cinta diam-diam bagi saya terlihat lebih elegan. But really, I don’t need that stupid thing guys do like painting the girl’s face you like on your bedroom wall, for instance. Everyone will probably pardon the falling in love stupidity. But okay, whenever you passed the stupid phase, cobalah untuk berkaca dari kejadian itu.
Cinta diam-diam terlihat lebih elegan, tapi bukan berarti harus selamanya diam. PDKT itu memang penting kok, but it should be in the right time, just like what I said, jangan sampai kamu suka hanya karena sebatas ingin diperhatikan tanpa alasan lebih yang menyangkut hidup kamu ke depan.
Jangan sampai kamu suka hanya karena cinta bicara tanpa melihat ‘segala perbedaan’ yang tidak bisa dielakkan, entah pakai PDKT atau diam-diam.
Well, karena katanya cinta buta. Dia tidak punya mata apalagi otak untuk berpikir objektif dan realistis. Kalau begitu, buatlah cinta diam-diam itu dalam bentuk kagummu terhadapnya dan sampaikanlah kagum itu lewat doa. Tuhan yang akan menunjukkan segalanya.
Tidak perlu terburu-buru. Berdoalah untuk dia. Insya Allah ada orang di luar sana yang juga diam-diam mendoakan kamu :)
Selasa, 15 Juli 2014
Sebut Saja Sosial-Kefarmasian
Mahasiswa farmasi adalah kader profesi kesehatan yang kelak akan menempati posisinya masing-masing –yang diharapkan- mencapai cita-cita masa depan sesuai dengan ilmu yang didapatnya. Dalam hal ini, perwujudan cita-cita tersebut secara real dapat berupa apoteker di industri, di rumah sakit, BPOM, sarjana farmasi di apotek, teknisi dan asisten apoteker, dll. Namun, peran serta apoteker dalam dunia kesehatan seyogyanya tidak terbatas pada ranah sains saja melainkan turut turun tangan dalam kebijakan kesehatan dan pengabdian masyarakat –saya tidak tahu sebutannya apa, mari kita sebut ‘sosial-kefarmasian’-. Sosial-kefarmasian ini diyakini penulis dapat mencapai tujuan taraf kesehatan Indonesia yang baik dan merata di segala bidang dan tempat.
Sangat disayangkan ketika kepedulian mahasiswa kini terfokus pada aspek sains saja. Siapa yang akan mengangkat isu farmasi di DPR nanti? Siapa yang akan memperbaiki sistem pendidikan farmasi? Siapa yang akan mensosialisasikan program farmasi kepada masyarakat kelas bawah? Siapa yang akan menjamin kesejahteraan apoteker kelak? Siapa yang bisa mengubah angka 20% apoteker yang ada di apotek menjadi 100%? Siapa yang akan memperjuangkan keterlibatan apoteker dalam sistem kesehatan yang baru? Siapa yang bisa memperjuangkan Undang-undang kefarmasian sesuai dengan ilmu farmasi dan kebutuhan masyarakat? Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan ilmu farmakokinetika? Anatomi fisiologi manusia? Farmasi Fisika? Silakan jawab sendiri.
Beban akademik kemudian berdiri di depan barisan membelakangi kepedulian. Potensi sosial-kefarmasian yang dimiliki mahasiswa kesehatan kemudian tanpa sadar terkubur oleh rasa acuh tak acuh itu. Potensi berpikir kritis terkalahkan oleh seorang yang lebih tau banyak fakta namun tak sarat analisis; potensi ide kreatif dan inovatif termakan oleh seorang yang kebetulan punya jejaring namun miskin gagasan; padahal jika saja kita mau peduli dan meluangkan waktu, potensi itu akan tergali dalam.
Lantas muncul passion yang bersisian dengan beban akademik di depan barisan. Passion dijadikan tameng penolakan sosial-kefarmasian padahal ketika ditanya balik passion kamu apa, masih geleng-geleng kepala. Tahukan kita akan seni ‘mencoba’ dan ‘menggali potensi yang terkubur’ dalam menemukan passion?
Pun kemalasan. Ia bisa jadi tameng paling kuat yang menahan rasa peduli. Bentuk tameng itu sebenarnya banyak, tameng yang hanya mengubur potensi semakin dalam, bahkan Hedonisme dan perkembangan teknologi smartphones masuk list tameng di mata saya yang akhirnya menumbuhkan kemalasan -.- (silakan berpikir apa hubungannya).
Kalau semua memakai alasan akademik, passion, dan kemalasan, lantas siapa yang peduli?
Inikah sebab kenapa derajat kesehatan Indonesia meningkat lamban?
Inikah sebab kenapa kesejahteraan apoteker Indonesia terpusat pada pemilik industri?
Mudah-mudahan tulisan ini hanya asumsi :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apoteker saat ini sedang diragukan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa?
1.Sebagian apoteker di apotek hanya mengkapitalisasikan ijasah (baca:menggadaikan)
2.Sebagian apoteker di apotek melakukan praktek kefarmasian secara paruh waktu, bahkan seperseribu paruh waktu (hanya 20% apoteker yang stand by di apotek)
3.Apoteker di apotek lebih terlibat pada kegiatan “profesi dagang” yakni jual beli obat ketimbang praktek kefarmasian
4.Apa sebenarnya tugas apoteker di RS dalam penyampaian informasi obat? Masih belum jelas
5.Masyarakat masih bingung apa sebenarnya fungsi apoteker yang sebenarnya
Sumber: handout seminar kefarmasian, UII Juni 2014
Jadi, ketika kita meminta untuk dilibatkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, jangan heran dengan pernyataan “Memang apoteker ada di masyarakat?”
Mari kita tengok definisi berikut:
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pharmacist DOES counseling but we don’t look like doing it.
Muncullah Uji Kompetensi skala nasional yang saya dengar soal-soalnya akan lebih condong pada pharmaceutical care. Kemudian mahasiswa farmasi yang berada di peminatan industri lantas complain, kalau begitu UKN kita pasti kecil dong nilainya? Apakah ini salah satu usaha untuk mengoptimalkan peran apoteker di bidang klinik? Kalau memang iya, saya merasa metode ini tidak sesuai.
Gagasan pelaksanan UKN sebenarnya bagus, nanti saya akan cerita di lain tulisan.
Intinya, ini hanya sebagian contoh permasalahan kefarmasian. Masih banyak lagi terkait dengan industri farmasi yang kongkalikong, kurikulum pendidikan farmasi yang tidak merata, permasalahan UU kefarmasian, regulasi untuk APA, obat palsu, dll.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah keterlibatan mahasiswa akan memengaruhi isu-isu ini?
Saya teringat teman saya yang sekarang menjabat sebagai Sekjen ISMAFARSI, dia pernah melakukan audiensi dengan menteri kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, mengenai keterlibatan apoteker pada JKN. Apa kata beliau? “Urusan itu biarlah kami, pemerintah yang mengurus, kalian mahasiswa tugasnya belajar, mempersiapkan diri menjadi apoteker yang baik (dengan perubahan redaksi)”
Teringat selayang pertanyaan yang saya ajukan pada mantan ketua BEM UI, Faldo Maldini, “Seberapa besar mahasiswa didengar pemerintah?” walaupun saya kurang puas dengan jawaban yang terlontar dari beliau, namun saya dapat poin yang disampaikan soal ‘proses berusaha’.
Jikalau kita sebagai mahasiswa merasa pemerintah menutup telinga, ingatlah bahwa mahasiswa tak kerja sendiri, apalagi kasusnya dalam profesi kesehatan. IAI, APTFI, IYPG, HPEQ adalah wadah kita untuk memberikan aspirasi terkait dengan dunia kefarmasian dan/atau kesehatan. IAI telah banyak melakukan advokasi ke KEMENKES dan beberapanya diapprove. Jangan pernah merasa miskin kesempatan dalam berusaha.
Seorang mahasiswa keperawatan yang berkali-kali mendesak pemerintah lewat DIKTI, MTKI, dll terkait Uji Kompetensi yang terlambat pun merupakan usaha yang patut diapresiasi. Terlepas dari didengar atau tidaknya, Uji Kompetensi keperawatan pun pada akhirnya dilaksanakan. Mungkin masih ada lagi usaha-usaha advokasi yang dilakukan mahasiswa untuk memperjuangakan kebijakan kesehatan.
Proses berusaha jelas membangun kepribadian kita sebagai mahasiswa serta mempersiapkan diri kita dalam menghadapi dunia keprofesian kelak. “Best result comes from best preparation”. Jika kita mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang, menumpuk pengalaman dan pengetahuan, hasilnya insyaAllah akan luar biasa. Indonesia butuh kader-kader tenaga kefarmasian yang berkualitas dengan ide cemerlang dalam mengatur regulasi kesehatan, menciptakan sistem kesehatan yang tepat guna, merancang kurikulum farmasi, menegaskan peran apoteker sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Siapakah kader-kader itu?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Sangat disayangkan ketika kepedulian mahasiswa kini terfokus pada aspek sains saja. Siapa yang akan mengangkat isu farmasi di DPR nanti? Siapa yang akan memperbaiki sistem pendidikan farmasi? Siapa yang akan mensosialisasikan program farmasi kepada masyarakat kelas bawah? Siapa yang akan menjamin kesejahteraan apoteker kelak? Siapa yang bisa mengubah angka 20% apoteker yang ada di apotek menjadi 100%? Siapa yang akan memperjuangkan keterlibatan apoteker dalam sistem kesehatan yang baru? Siapa yang bisa memperjuangkan Undang-undang kefarmasian sesuai dengan ilmu farmasi dan kebutuhan masyarakat? Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan ilmu farmakokinetika? Anatomi fisiologi manusia? Farmasi Fisika? Silakan jawab sendiri.
Beban akademik kemudian berdiri di depan barisan membelakangi kepedulian. Potensi sosial-kefarmasian yang dimiliki mahasiswa kesehatan kemudian tanpa sadar terkubur oleh rasa acuh tak acuh itu. Potensi berpikir kritis terkalahkan oleh seorang yang lebih tau banyak fakta namun tak sarat analisis; potensi ide kreatif dan inovatif termakan oleh seorang yang kebetulan punya jejaring namun miskin gagasan; padahal jika saja kita mau peduli dan meluangkan waktu, potensi itu akan tergali dalam.
Lantas muncul passion yang bersisian dengan beban akademik di depan barisan. Passion dijadikan tameng penolakan sosial-kefarmasian padahal ketika ditanya balik passion kamu apa, masih geleng-geleng kepala. Tahukan kita akan seni ‘mencoba’ dan ‘menggali potensi yang terkubur’ dalam menemukan passion?
Pun kemalasan. Ia bisa jadi tameng paling kuat yang menahan rasa peduli. Bentuk tameng itu sebenarnya banyak, tameng yang hanya mengubur potensi semakin dalam, bahkan Hedonisme dan perkembangan teknologi smartphones masuk list tameng di mata saya yang akhirnya menumbuhkan kemalasan -.- (silakan berpikir apa hubungannya).
Kalau semua memakai alasan akademik, passion, dan kemalasan, lantas siapa yang peduli?
Inikah sebab kenapa derajat kesehatan Indonesia meningkat lamban?
Inikah sebab kenapa kesejahteraan apoteker Indonesia terpusat pada pemilik industri?
Mudah-mudahan tulisan ini hanya asumsi :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apoteker saat ini sedang diragukan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa?
1.Sebagian apoteker di apotek hanya mengkapitalisasikan ijasah (baca:menggadaikan)
2.Sebagian apoteker di apotek melakukan praktek kefarmasian secara paruh waktu, bahkan seperseribu paruh waktu (hanya 20% apoteker yang stand by di apotek)
3.Apoteker di apotek lebih terlibat pada kegiatan “profesi dagang” yakni jual beli obat ketimbang praktek kefarmasian
4.Apa sebenarnya tugas apoteker di RS dalam penyampaian informasi obat? Masih belum jelas
5.Masyarakat masih bingung apa sebenarnya fungsi apoteker yang sebenarnya
Sumber: handout seminar kefarmasian, UII Juni 2014
Jadi, ketika kita meminta untuk dilibatkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, jangan heran dengan pernyataan “Memang apoteker ada di masyarakat?”
Mari kita tengok definisi berikut:
Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pharmacist DOES counseling but we don’t look like doing it.
Muncullah Uji Kompetensi skala nasional yang saya dengar soal-soalnya akan lebih condong pada pharmaceutical care. Kemudian mahasiswa farmasi yang berada di peminatan industri lantas complain, kalau begitu UKN kita pasti kecil dong nilainya? Apakah ini salah satu usaha untuk mengoptimalkan peran apoteker di bidang klinik? Kalau memang iya, saya merasa metode ini tidak sesuai.
Gagasan pelaksanan UKN sebenarnya bagus, nanti saya akan cerita di lain tulisan.
Intinya, ini hanya sebagian contoh permasalahan kefarmasian. Masih banyak lagi terkait dengan industri farmasi yang kongkalikong, kurikulum pendidikan farmasi yang tidak merata, permasalahan UU kefarmasian, regulasi untuk APA, obat palsu, dll.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah keterlibatan mahasiswa akan memengaruhi isu-isu ini?
Saya teringat teman saya yang sekarang menjabat sebagai Sekjen ISMAFARSI, dia pernah melakukan audiensi dengan menteri kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, mengenai keterlibatan apoteker pada JKN. Apa kata beliau? “Urusan itu biarlah kami, pemerintah yang mengurus, kalian mahasiswa tugasnya belajar, mempersiapkan diri menjadi apoteker yang baik (dengan perubahan redaksi)”
Teringat selayang pertanyaan yang saya ajukan pada mantan ketua BEM UI, Faldo Maldini, “Seberapa besar mahasiswa didengar pemerintah?” walaupun saya kurang puas dengan jawaban yang terlontar dari beliau, namun saya dapat poin yang disampaikan soal ‘proses berusaha’.
Jikalau kita sebagai mahasiswa merasa pemerintah menutup telinga, ingatlah bahwa mahasiswa tak kerja sendiri, apalagi kasusnya dalam profesi kesehatan. IAI, APTFI, IYPG, HPEQ adalah wadah kita untuk memberikan aspirasi terkait dengan dunia kefarmasian dan/atau kesehatan. IAI telah banyak melakukan advokasi ke KEMENKES dan beberapanya diapprove. Jangan pernah merasa miskin kesempatan dalam berusaha.
Seorang mahasiswa keperawatan yang berkali-kali mendesak pemerintah lewat DIKTI, MTKI, dll terkait Uji Kompetensi yang terlambat pun merupakan usaha yang patut diapresiasi. Terlepas dari didengar atau tidaknya, Uji Kompetensi keperawatan pun pada akhirnya dilaksanakan. Mungkin masih ada lagi usaha-usaha advokasi yang dilakukan mahasiswa untuk memperjuangakan kebijakan kesehatan.
Proses berusaha jelas membangun kepribadian kita sebagai mahasiswa serta mempersiapkan diri kita dalam menghadapi dunia keprofesian kelak. “Best result comes from best preparation”. Jika kita mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang, menumpuk pengalaman dan pengetahuan, hasilnya insyaAllah akan luar biasa. Indonesia butuh kader-kader tenaga kefarmasian yang berkualitas dengan ide cemerlang dalam mengatur regulasi kesehatan, menciptakan sistem kesehatan yang tepat guna, merancang kurikulum farmasi, menegaskan peran apoteker sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Siapakah kader-kader itu?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Minggu, 06 Juli 2014
Optimalisasi HPEQ DIKTI dalam Penentuan Akreditasi dan Uji Kompetensi Profesi Kesehatan
Visi Indonesia Sehat yang mengacu pada MDGs (Millenium Development Goals) merupakan suatu manifestasi cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya. Pihak dunia pun menantang dengan diberlakukannya AEC (ASEAN Economic Community) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) 2015; tenaga kesehatan Indonesia jelas butuh persiapan menghadapi persaingan profesionalisme dengan negara lain. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah yang bersinergi dengan lembaga masyarakat dan Ormawa (Organisasi Mahasiswa) untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan diyakini harus memiliki profesionalisme yang tinggi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga melahirkan kualitas masyarakat yang sehat; tentunya mutu pelayanan kesehatan dalam menjalankan tindakan preventif, kuratif, ataupun rehabilitasi. Selain itu, upaya tersebut dilakukan sebagai jawaban atas keresahan masyarakat yang menjadi korban malpraktik pelayanan kesehatan. Maka dari itu, diperlukan suatu lembaga dan keterangan yang dapat menjamin bahwa tenaga profesi kesehatan layak dan siap untuk turun ke lapangan. Dalam mempersiapkan kader-kader profesi kesehatan yang layak dan profesional tentunya dibutuhkan mutu pendidikan yang memadai bagi mahasiswa kesehatan Indonesia sehingga Indonesia jelas membutuhkan suatu badan dan berbagai stakeholders yang menaungi perguruan tinggi dan prodi (program studi) kesehatan.
Profesionalisme adalah kualitas atau mutu; profesionalisme profesi kesehatan berarti kualitas atau mutu suatu profesi kesehatan yang meliputi kualitas seorang dokter, apoteker, bidan, dokter gigi, perawat, ahli gizi, ahli kesehatan masyarakat, dan ahli kesehatan lainnya. DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) telah melaksanakan proyek HPEQ (Health Professional Education Quality) sejak 2010 yang sebagian pendanaannya dibiayai Bank Dunia melalui pinjaman (Loan Agreement No 77370-ID). Tujuan diadakannya proyek ini adalah untuk memperkuat kualitas kebijakan pendidikan profesional di bidang kesehatan di Indonesia dengan memastikan kompetensi profesional kesehatan melalui akreditasi lembaga; mengembangkan prosedur dan standar uji kompetensi dan sertifikasi tenaga profesional kesehatan skala nasional; dan membangun kapasitas institusi untuk menerapkan standar akreditasi dan sertifikasi melalui hibah kompetisi peningkatan kualitas pendidikan dokter. Secara garis besar, proyek HPEQ ini diharapkan dapat meningkatkan layanan kesehatan melalui peningkatan kualitas penyedia jasa kesehatan; jasa kesehatan ini dikhususkan pada dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan; maka suatu prestasi besar jika optimalisasi HPEQ dapat menghasilkan peningkatan kualitas profesi kesehatan.
Terdapat ratusan prodi kesehatan yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia; prodi-prodi kesehatan ini tidak lain adalah tempat bagi calon-calon profesional kesehatan untuk belajar sampai kelak siap untuk melakukan praktik kesehatan. Lembaga Akreditasi seperti LAMPTKes dan LPUK telah menjalankan proses penilaian melalui akreditasi prodi kesehatan di perguruan tinggi Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari website HPEQ, terlihat bahwa akreditasi A hanya dimiliki oleh prodi dengan perguruan tinggi tertentu, sedangkan masih banyak yang menyandang nilai C. Selain itu terdapat beberapa akreditasi prodi kesehatan yang belum diakreditasi dan beberapa sudah kadaluarsa. Sebagai contoh, berdasarkan Data Akreditasi Program Studi Farmasi per April 2012, terdapat 40 prodi Farmasi dari 153 prodi yang masih menyandang nilai C; 58 prodi farmasi Strata 1 dan Diploma III yang belum diakreditasi; dan akreditasi 5 prodi farmasi sudah kadaluarsa. Terlepas dari data yang mungkin belum diperbaharui oleh pihak HPEQ, penulis berharap penilaian akreditasi bagi yang belum dan kadaluarsa akan segera dilaksanakan.
Akreditasi adalah “pengesahan pihak ketiga terkait dengan menunjukan kompetensi Lembaga penilaian kesesuaian untuk melaksanakan tugas-tugas penilaian kesesuaian tertentu.“(ISO / IEC 17000:2004). Akreditasi dibutuhkan untuk melihat kompetensi suatu lembaga sebagai usaha peningkatan mutu pendidikan bidang kesehatan. Melalui akreditasi, suatu perguruan tinggi akan berusaha meningkatkan kompetensinya demi menciptakan lulusan-lulusan yang membanggakan dan menjadi agen problem solver kesehatan di Indonesia. Urgensi ini membawa pada suatu keharusan akan adanya monitoring dan evaluasi dalam keberjalanan dan follow up proses akreditasi. Melalui optimalisasi proyek HPEQ, diharapakan proyek ini mampu mendorong lembaga akreditasi untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta stakeholders lainnya dalam memberikan solusi peningkatan mutu pendidikan perguruan tinggi yang belum maksimal. Hal tersebut dapat dilakukan melalui rekomendasi penyesuaian kurikulum, upaya peningkatan mutu SDM pengajar, pemberian fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar, serta bantuan finansial dalam kegiatan-kegiatan perguruan tinggi yang mendukung peningkatan mutu pendidikan. Dengan solusi-solusi tersebut, diharapkan mahasiswa memiliki ruang yang memadai dalam mengembangkan kemampuannya sebagai calon profesional kesehatan. Bagaimanapun sinergisitas stakeholders dalam proyek HPEQ ini sangatlah dibutuhkan.
Selain akreditasi, diharapkan proyek HPEQ pun akan ikut andil dalam manajemen pengadaan jurusan kesehatan di perguruan tinggi. Berdasarkan berita Kompas, Oktober 2013, jumlah Fakultas Kedokteran dinilai berlebih, yaitu 73 Fakultas Kedokteran; padahal jika melihat jumlah penduduk, Indonesia cukup memiliki 60 Fakultas Kedokteran. Fakta lain menunjukkan bahwa tidak semua fakultas kedokteran memenuhi standar pendidikan dan kompetensi; hasil uji kompetensi mahasiswa kedokteran di fakultas baru pun menunjukkan nilai yang rendah. Pengadaan prodi yang dinilai baru menjadi salah satu faktor penyebab hal ini terjadi karena bagaimanapun prodi baru harus melewati proses pengadaan fasilitas KBM serta proses membangun kepercayaan kepada masyarakat untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Proyek HPEQ dapat saja membuat suatu standar tertentu yang lebih ideal dalam pengadaan prodi baru yang sesuai dengan standar kompetensi profesional yang dibutuhkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih membutuhkan profesional kesehatan –apoteker, dll-, apalagi semenjak program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) diberlakukan. Oleh karena itu, pengadaan prodi kesehatan sebenarnya merupakan upaya penambahan SDM kesehatan, hanya saja perlu diiringi dengan peningkatan kualitas SDM itu sendiri, salah satu caranya yaitu melalui perbaikan manajemen pengadaan prodi kesehatan yang menjamin kesiapan prodi untuk melahirkan profesional kesehatan yang mumpuni serta memperhatikan penerimaan mahasiswa yang disesuaikan dengan jumlah dosen atau standar dan prasarana pendidikan yang dimiliki.
Optimalisasi HPEQ selanjutnya yaitu melalui perbaikan Uji Kompetensi mahasiswa kesehatan. Uji Kompetensi adalah tes wajib yang diberlakukan kepada mahasiswa kesehatan sebagai syarat kelulusan (exit exam). Hal ini disahkan melalui Poin 2 Surat edaran DIKTI No 704/e.e3/dt/2013 yang dikeluarkan pada 24 juli 2013. Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa Uji Kompetensi dilakukan secara nasional dan serantak, menjadi syarat kelulusan mahasiswa kesehatan, dilakukan 3 kali dalam satu tahun, yaitu Bulan Maret, Juni dan November setiap tahunnya. Pemerintah telah berhasil mengadakan Uji Kompetensi 2013 untuk bidang keperawatan dan kebidanan, sedangkan Uji Kompetensi Nasional apoteker baru akan dilaksanakan di tahun 2015. Sayangnya, timbul masalah pada pelaksanaan Uji Kompetensi 2014 bidang keperawatan dan kebidanan ini. Uji Kompetensi yang seharusnya dilaksanakan bulan Maret 2014 justru baru akan dilaksanakan bulan Juli mendatang. Hal ini jelas menimbulkan protes dari mahasiswa yang sudah menyelesaikan SKSnya dari bulan-bulan lalu namun belum dinyatakan lulus karena belum mengikuti Uji Kompetensi ini sehingga menghambat rencana pekerjaan mereka. Dengan adanya proyek HPEQ, sejatinya akan banyak mata yang mengawasi keberjalanan Uji Kompetensi ini. Sekali lagi sinergitas dan koordinasi sangatlah dibutuhkan, dalam hal ini koordinasi antara DIKTI dengan MTKI (Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia), UKBI (Uji Kompetensi Bidang Indonesia), KOPERTIS (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta), dll.
Terlepas dari pelaksanaan Uji Kompetensi skala nasional tersebut, perlu adanya kajian mengenai metode yang ditawarkan. Uji Kompetensi prodi keperawatan menggunakan metode CBT (Computer-Based Test), yaitu ujian online melalui komputer, sedangkan untuk mahasiswa kedokteran dilakukan OSCE (Objective Structured Clinical Examination), yaitu suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara obyektif dan terstruktur (mahasiswa berkeliling melalui beberapa station untuk diberi tugas/soal yang harus dilakukan/didemonstrasikan). Metode yang digunakan sepatutnya merupakan metode yang dapat menjamin kompetensi mahasiswa kesehatan untuk layak dikatakan lulus. Dalam artian, pelaksanaan Uji Kompetensi harus relevan dengan Standar Kompetensi yang diekspektasikan. Penulis melihat bahwa OSCE merupakan penilaian yang cukup objektif karena peserta Uji Kompetensi diharuskan mendemonstrasikan praktik klinik, sedangkan CBT tidak semerta-merta merupakan simulasi sehingga unsur objektifitasnya tidak sekuat OSCE. Diharapkan metode yang digunakan ke depannya merupakan metode dengan objektifitas yang tinggi.
Berbagai upaya yang dijalankan dalam proyek HPEQ tentunya telah mendapat apresiasi, kritik, dan saran. Proyek ini tidak akan berjalan optimal jika tidak ada pihak-pihak tertentu yang mengkritisi dan mengawasi keberjalanannya bahkan turut berpartisipasi dalam proyek secara langsung. Salah satu pihak tersebut adalah mahasiswa. HPEQ DIKTI membentuk HPEQ Student sebagai wadah mahasiswa kesehatan untuk ikut berpartisipasi mengejar tujuan Indonesia sehat. HPEQ Student telah melaksanakan program-program seperti NHC (Nusantara Health Collaborative) serta usaha kajian dan advokasi; hal ini merupakan kemajuan yang ada dalam lingkaran keterlibatan mahasiswa kesehatan Indonesia karena di sini mahasiswa dapat berkoordinasi langsung dengan pemerintah. Besar harapan mahasiswa agar keterlibatan ini memberikan porsi suara yang dapat memengaruhi kebijakan kesehatan Republik Indonesia.
Proyek HPEQ DIKTI merupakan langkah awal untuk melatih profesionalisme profesi kesehatan. Eksistensi kader profesi kesehatan terhadap perkembangan dunia kesehatan dalam masa kini begitu fluktuasi; namun era global mengatakan bahwa tenaga kesehatan Indonesia butuh persiapan lebih matang lagi. Bukan hanya visi Indonesia sehat yang ditargetkan oleh bangsa Indonesia, namun AFTA 2015 dan AEC 2015 mau tidak mau memaksa Indonesia untuk mencapai MDGs secepat mungkin, dalam hal ini yaitu bidang kesehatannya. Optimalisasi HPEQ DIKTI dalam penentuan akreditasi dan pelaksanaan uji kompetensi yang memadai akan mempersiapkan kader profesi kesehatan dalam menjawab tantangan dunia dan mencapai visi Indonesia sehat. Menyadari bahwa fokus HPEQ tidak meliputi semua profesi kesehatan, penulis menghimbau pemerintah untuk memasukkan semua profesi kesehatan sebagai bentuk optimalisasi HPEQ dalam mempersiapkan kader profesi kesehatan yang menyeluruh. Tidak lupa perlunya sosialisasi mengenai isu-isu yang berhubungan dengan proyek HPEQ ini, seperti transparansi laporan Uji Kompetensi sebagai gambaran mahasiswa mengenai kualitas calon profesional kesehatan, sosialisasi Uji Kompetensi mahasiswa apoteker yang akan dilaksanakan, sosialisasi standar kompetensi, dan transparansi akreditasi. Dengan begitu diharapkan setiap mahasiswa kesehatan dapat mempersiapkan diri untuk menjadi profesional kesehatan yang mampu menjawab tantangan kesehatan Indonesia dan dunia.
Sumber Literatur:
Hardiyanti, Anggie, dkk. KAJIAN AWAL : TINGKAT PENGETAHUAN, PERSEPSI, DAN SIKAP MAHASISWA TERHADAP UJI KOMPETENSI PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN DI INDONESIA. HPEQ Student.
Achmad, Tri Hanggono, dkk. 2011. Panduan Penyelenggaran Ujian OSCE. DIKTI.
www.hpeq.dikti.go.id
http://www.kan.or.id/?page_id=86&lang=id
Jika Aku Menjadi Apoteker
Jika aku menjadi apoteker
Akan kuguncang dunia ini
dengan segala warna-warni lukisanku
‘Kan kutorehkan tinta-tinta pelangi pada kanvas persegi
Di bawah warnanya, tertangkap diriku
Menunjukkan tawa ekspresif tak berbunyi
Tersenyum simpul
Tegas bertanda
Bahwa hidupku secerah cipratan kuasku
Jika aku menjadi apoteker
Akan kubuat draf skenario
Kurekrut aktor-aktris berbakat
Untuk meracik dan memberi petuah kesehatan
Kubuat selayang film
Yang jauh dari kemasygulan
Tegas bertanda
Bahwa hidupku semulia teks percakapan itu
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan membuat sebuah novel
Tentang pengguna jas putih
Etalase tenggeran tangannya, tulisan cacing makanannya
Satu juta gajinya
Menolak si peminjam nama
Seorang muliawan
nan dermawan
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan menggaet calon presiden negeri ini
Seperti koala yang tak mau lepas dari bambunya
Aku mau menjadi mandataris
Duduk di gedung kementerian kesehatan
Mengelus mesra penduduk tahta tertinggi
Jika aku menjadi apoteker
Akan kutunjukkan senyum kambingku tanpa masker
Tak akan kuperawani senyawa-senyawa kimia itu
Aku mau sebagian kalian yang menjentiknya satu per satu
Sebagiannya ikut aku
Adakah kita yang peduli?
*terinspirasi dari Astiani yang ingin buat film tentang Apoteker so people will be interested to our job :p
Akan kuguncang dunia ini
dengan segala warna-warni lukisanku
‘Kan kutorehkan tinta-tinta pelangi pada kanvas persegi
Di bawah warnanya, tertangkap diriku
Menunjukkan tawa ekspresif tak berbunyi
Tersenyum simpul
Tegas bertanda
Bahwa hidupku secerah cipratan kuasku
Jika aku menjadi apoteker
Akan kubuat draf skenario
Kurekrut aktor-aktris berbakat
Untuk meracik dan memberi petuah kesehatan
Kubuat selayang film
Yang jauh dari kemasygulan
Tegas bertanda
Bahwa hidupku semulia teks percakapan itu
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan membuat sebuah novel
Tentang pengguna jas putih
Etalase tenggeran tangannya, tulisan cacing makanannya
Satu juta gajinya
Menolak si peminjam nama
Seorang muliawan
nan dermawan
Jika aku menjadi apoteker
Aku akan menggaet calon presiden negeri ini
Seperti koala yang tak mau lepas dari bambunya
Aku mau menjadi mandataris
Duduk di gedung kementerian kesehatan
Mengelus mesra penduduk tahta tertinggi
Jika aku menjadi apoteker
Akan kutunjukkan senyum kambingku tanpa masker
Tak akan kuperawani senyawa-senyawa kimia itu
Aku mau sebagian kalian yang menjentiknya satu per satu
Sebagiannya ikut aku
Adakah kita yang peduli?
*terinspirasi dari Astiani yang ingin buat film tentang Apoteker so people will be interested to our job :p
Langganan:
Postingan (Atom)