Minggu, 12 Agustus 2018

One Night Honeymoon

“Sayang, ada satu ayat surah Al-Baqarah yang artinya ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un’. Begitu. Selama satu bulan pernikahan, alhamdulillah kita diberi kemudahan hidup, tapi perjalanan masih panjang sayang, Allah akan menguji kita, jadi harus tetap sabar dan semangat ya!”

Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Saat itu angin pantai Lombok Utara mengelus mesra udara sore; matahari perlahan bersembunyi. Aku dan kakak –panggilan untuk suamiku- memutuskan untuk kembali ke kamar hotel.

Hingga waktu menunjukkan pukul 18.46 waktu Indonesia Tengah. Aku baru saja meletakkan Al-Quran di atas meja dan sejenak mengistirahatkan badan di atas kasur; kakak masih asyik dengan tilawahnya. Saat itulah…. Aku seperti sedang dilanda mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Gempa berkekuatan 7.0 SR menghantam Lombok…. Allah, sungguh Engkau menguji kami dengan ketakutan yang luar biasa, walau mungkin bagiMu masih sedikit porsinya, seperti peringatan kakak tadi sore….”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

Izinkan aku mendokumentasikan cerita ini, kuusahakan tanpa bunga-bunga cerita yang hanya akan mengganggu hikmah sebenarnya dibalik kisah ini. Cerita aku dan suamiku dalam momen Honeymoon dengan pembuat scenario cerita terbaik, sang Maha Agung. Izinkan pula aku bercerita tentangmu kak, walau kakak pernah bilang padaku untuk tidak menceritakan keburukan dan kebaikanmu pada siapapun…maaf kak, untuk saat ini aku belum mampu. Kakak tahu sendiri aku tidak pandai mengucapkan terima kasih dalam balutan romantisme kata dalam ucap, maka biarkan aku… mengucap syukur memilikimu, dalam deret-deret huruf yang tertulis, atas semua kebaikanmu. Kali ini saja.

***
Kakak memintaku untuk melakukan shalat istikharah sebelum booking hotel dan penerbangan ke Lombok. Padahal saat itu, kabar gempa di Lombok belum terdengar. Aku mengernyitkan kening, untuk apa? Kok lebay? Kakak bilang sambil bercanda shalat istikharah itu bukan cuma buat milih jodoh loh. Aku cuma terkekeh geli, ya aku paham, hanya saja aku tak terbiasa melakukannya untuk keputusan bepergian liburan. I did it anyway…and then we decided to book.

Mungkin banyak orang berpikir kami tidak waras karena kami tetap pergi ke Lombok di saat berita gempa sudah terdengar berkali-kali. Well, aku tak malu untuk mengakui bahwa kami tak rela uang booking pergi begitu saja, ditambah lagi kami belum berlibur sejak menikah karena harus langsung bekerja. Dengan meminta restu dari kedua orang tua dan modal nekat, kami pun berangkat.

Hingga sampai resort semua berjalan cukup lancar kecuali kami yang bangun telat saat hendak ke bandara. Rupanya kami lelah setelah bepergian ke Purwakarta hari sebelumnya. Dini hari itu pun diwarnai dengan ricuhnya aku menyiapkan dan memastikan packing sudah lengkap. Kami pun pergi mengendarai Go Car tanpa mandi dan sarapan terlebih dahulu. Who want to miss a flight, eh? Oh, or is it better that we just missed that flight on that day?

“Kok tamunya bule-bule semua ya, cuma kita yang orang Indo” kakak melihat sekeliling resort, tamu yang sedang berenang ataupun makan, semuanya bule. Resort kami terletak di daerah Tanjung, Lombok Utara, kurang lebih 2,5 jam dari kota Mataram. Lokasinya bukan di kota; pinggir pantai dengan kanan-kiri jalan rerimbunan pohon-pohon. Sesuatu yang mungkin bagi turis sangatlah menarik.

“Iya yah..bener kata kakak mungkin, bule-bule pada lagi libur summer” Ouch, atau mungkin orang-orang Indonesia lebih waras dari kami untuk tidak menjadikan Lombok destinasi liburan di saat itu?

“Udah yuk ah, duduk di sana. Kita evaluasi perjalanan kita sebulan ini” kakak menunjuk tempat duduk di pinggir pantai. Kami pun asyik bercengkerama.

Hingga obrolan diakhiri dengan satu ayat Al-Baqarah yang terus terngiang di telingaku hingga aku menulis cerita ini. ”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan…”

***

“Aaaaa, astaghfirullah!”

“Keluar sayang!”

Kami berlari sebisa kami.

Praaang!

Buuuk!

Kami jatuh di rerumputan basah di samping bangunan kamar-kamar. Tepat saat listrik padam. Sekeliling gelap. Tangan kakak masih memelukku erat. Aku hanya menangis dengan nafas memburu. Aku pasrah. Aku pasrah jika bangunan jatuh dan menimpa kami. Aku pasrah dalam tangis.

“Kalian ga apa-apa?”

Entah rasa syukur seperti apa yang menyelimuti aku saat itu. Setitik senter HP muncul, membangunkan kesadaranku bahwa kami tidak tertimpa reruntuhan gedung. Seorang karyawan resort –sebut saja Mas Iwan- menghampiri kami yang terjatuh. Kakak menuntunku, aku hanya bisa memeluknya sambil menangis, memohon-mohon untuk pulang ke Jakarta saat itu juga.

“Is everyone okay? Does it often happen? This earthquake?” Rombongan turis berhamburan keluar, ada yang hanya mengenakan handuk; yang pasti kebanyakan keluar tanpa alas kaki dan barang apapun. Aku? Kepalaku terasa dingin tersapu angin malam…

“Kak, aku ga pake hijab” kataku masih dalam isak tangis. Kakak mencoba kembali ke kamar tapi mas Iwan melarang karena khawatir ada gempa susulan. Beberapa menit dilalui dalam kekalutan. Kakak memutuskan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang penting, termasuk hijabku.

Sorotan senter HP Mas Iwan memperlihatkan sepotong demi sepotong bangunan resort. Bulu kudukku terangkat. Aku memang pernah beberapa kali menyaksikan runtuhan bangunan akibat gempa lewat televisi. Aku pun pernah membayangkan bagaimana rasanya gempa besar melalui imajinasi liar hasil membaca novel. Apatah semua itu ketika aku merasakannya langsung, aku merasa ajal sedekat itu… Plafon kamar berjatuhan, beberapa tiang hancur, gelas-gelas pecah, air kolam masuk ke dalam kamar. Untung saja bangunan tidak roboh…selalu ada rasa syukur terselip saat itu.

“Mas Iwan, ini kelanjutannya bagaimana? Ada mobil ga mas buat ke bandara?” Aku berkata cepat, masih dalam sisa tangis yang mulai mereda.

“Ada tempat aman mas?” Kakak bertanya tanpa ada getaran di suaranya. Ah, aku bingung kenapa kakak sebegitu tenangnya. Apa aku bertingkah berlebihan atau memang kakak tidak ingin membuat panikku bertambah?

Mas Iwan bingung. Karyawan resort yang lain entah ke mana. Ia mengajak kami ke halaman resort; motor-motor sewaan berjatuhan, kami pun membantu Mas Iwan mengangkat motor-motor itu dengan bantuan senter HP. Seketika kepalaku pusing, sekelebat pikiran akan tsunami muncul. Aku menangis lagi. Nafasku semakin memburu ketika mendengar derap langkah kencang mendekat. Belasan karyawan berlari cepat menuju motor yang sedang kami berdirikan. Nafas mereka cepat, wajah meraka panik.

“Ada apa? Ada apa?” Aku berusaha mengontrol nafasku.

Seorang karyawan perempuan dengan wajah pucat berusaha menjawab “ki…ta di…suruh lari…air…surut…”

Aku panik bukan main.

“Mau ikut saya?” Mas Iwan seketika bertanya pada kami. Nada khawatir tidak bisa ia sembunyikan.

Aku dan kakak tidak punya pilihan lain. Kami duduk di motor bertiga, motor melaju sangat cepat, meninggalkan turis di belakang. Aku masih dapat mendengar beberapa dari mereka memohon dengan paniknya “can we go with you!?”. Ah, mungkin aku berdosa tidak memikirkan mereka…aku hanya fokus pada motor yang aku tumpangi. Aku tak tahu nasib mereka bagaimana. “Mas Iwan tenang aja mas jangan panik” Kakak mencoba menenangkan Mas Iwan, riding a motorcycle in panic isn’t a good idea, right.

Motor tetap melaju cepat. Aku merasa seperti dikejar gelombang ombak dalam gelap. Kalimat dzikir tak lepas dari mulutku selama perjalanan yang entah berapa km itu. Bangunan di kanan kiri kami hancur, kami melihat beberapa warga dipinggir jalan bertengkar, entah meributkan apa. Kondisi itu menambah pikiran kalutku, pikiran buruk akan tsunami… MasyaAllah, bagaimana bisa aku yang sering memuji pantai sebagai tempat paling menenangkan, pemicu inspirasi, dan tempat kontemplasi favoritku, kini menjadi musuhku.


It still felt like a dream, and yes I did hope it was only a dream. Yet it wasn’t.


“Di sini saja, lebih aman” Mas Iwan menurunkan kami di lapangan rumput sebrang masjid yang agak hancur. Warga desa sudah banyak yang berkumpul di sana, beberapa membawa terpal dan lampu emergensi. Raungan istigfar dan takbir bergema, membuat suasana terasa semakin mencekam. Bumi kembali bergetar… teriakan takbir semakin kencang. Aku menangis lagi.

Keluarga mas Iwan segera menyambut kami dengan hangat. Entah apa yang membuat mereka tenang, mereka mempersilakan aku dan kakak untuk duduk di terpal, kami diberi air minum dan diminta duduk menenangkan diri. Dalam kondisi gempa yang muncul setiap 15 – 30 menit sekali, kakak mencoba menenangkanku. Aku tak sudi sedetikpun berjarak dengannya saat itu.

Aku mengecek HP, Ah ada sinyal. Aku menelepon orang tuaku. Aku menangis keras, berusaha memberi kabar dan meminta pertolongan. Dengan sinyal naik turun, kami berusaha mengirimkan update kondisi kami. Aku dapat mendengar tangisan Umi di seberang telepon sementara Abah mulai sibuk menghubungi relasi di Mataram untuk segera menjemput kami.

Notifikasi DM mulai berdatangan, aku melirik sekilas, teman-temanku mulai menghubungi dan menanyakan kondisiku. Aku sempat mengangkat telepon dari sahabatku namun aku hanya bisa menangis dan memohon doanya. Telepon lain berdatangan.

“Kalau kondisi kamu masih belum tenang, jangan diangkat dulu, angkat yang dari Umi aja” aku pun mengikuti saran kakak.

***

“Di sini saja!”
“BMKG bilang berpotensi tsunami, kita harus ke tempat tinggi!”

It was just a short conversation. Aku tak yakin apa yang warga perdebatkan karena mereka menggunakan bahasa daerah, yang kutangkap, mereka beradu pendapat soal tempat paling aman menghindari tsunami. Beberapa menit berlalu, masih dengan teriakan takbir yang keras saat bumi kembali bergetar. Akhirnya, pengungsian kami dipindahkan.

***

SD Sokong 3, Pukul 19.30 WITA

Setidaknya tempat ini diyakini lebih aman oleh warga desa. Banyak warga dari desa lain berdatangan ke tempat ini, membawa terpal dan lampu.

“Sini mbak sini, duduk di sini, ini ada selimut, tidur aja mbak”

Hal lain yang harus aku syukuri saat itu, bertemu dengan keluarga Mas Iwan yang sangat membantu kami. Mereka bahkan enggan berbagi selimut dan terpal dengan kami. Aku diberikan space luas untuk tidur dan satu selimut tebal, sedangkam mereka berdesakan dengan space seadanya.

“Ini tamu dari Jakarta ini, kasihan” ucap seorang Kakek yang termasuk keluarga Mas Iwan saat warga desa terlihat bingung melihat rupa kami. Siapa dua orang yang sejak tadi dibawa-bawa si kakek? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

SD Sokong 3, Pukul 20.30 WITA
Tanah bergetar.

“Senter-senter!!!” Kata inilah yang selalu diteriakkan setiap kali gempa datang. Dengan sigap para pemuda yang memegang senter mengarahkan senternya ke pohon dan bangunan SD, memastikan keduanya tidak tumbang dan rubuh, jika ada tanda demikian maka warga harus siap menghindar.

“Jen, peringatan potensi Tsunami udah dicabut sama BMKG” hatiku berdesir antara kepanikan dan kelegaan membaca pesan whatsapp. Citra, sahabatku, memberi tahuku berita yang ia dapat dari Twitter. Kakak segera memberi tahu beberapa warga desa agar mereka tenang.

Bytheway, thank you for all of your attention and help sahabat-sahabatku…barakallah:’)

SD Sokong 3, Pukul 20.45 WITA
Percuma, ketenangan itu hanya sesaat. Bumi Lombok kembali bergoyang. Aku kembali berpikir Tsunami akan datang.

Tanah terbelah. Jalanan aspal sudah sejak tadi saling berbenturan, terangkat dan retak, membuat kendaraan bermotor sulit lewat.

SD Sokong 3, Pukul 21.00 WITA
Warga terbangun kembali karena guncangan, diiringi takbir dan istigfar. Mungkin di jam ini lah alur jalan Mataram-Tanjung tertutup oleh longsor.

“Air..air!”

Jantungku terasa akan lepas dari tempatnya.

Tsunami??

Aku pusing seketika, rasanya akan pingsan saat itu juga. Aku melihat wajah kakak, ia tenang, tetap memelukku.

“Ah dasar bikin kaget! Ternyata ada air minum yang datang!”

Seorang warga mengumpat sedikit kesal melihat pemuda berhamburan membagikan air mineral ke warga. Aku membuang nafas. Keparnoanku dan beberapa warga sudah semakin menjadi-jadi.


SD Sokong 3, Pukul 22.15 WITA

Gempa masih berlanjut. Ini adalah waktu yang paling lambat berjalan selama hidupku. Setiap kali terbangun karena gempa, angka di HP menunjukkan pukul segitu-segitu saja. Umi dan Abah masih berusaha menghubungi relasinya di Mataram, meminta tolong untuk menjemput kami.

SD Sokong 3, Pukul 23.15 WITA
Bumi masih diguncang.
Abah meminta aku dan kakak bergantian menyalakan HP untuk menghemat baterai. Kakak tidak henti-hentinya ditelepon oleh teman Abah, memastikan kondisi dan berusaha mencari jalan keluar untuk ke Mataram, tempat yang setidaknya lebih aman. Jalanan gelap, gempa masih tak bersahabat. Melengos keluar dari tempat pengungsian bukan ide yang bagus.

Aku tidak peduli. Aku mencoba mengontak travel yang rencananya akan kami gunakan esok hari ke Senggigi. Aku meminta travel menjemput lebih awal, jam 5 pagi. Awalnya driver pihak travel menyanggupi, ah, mungkin mereka belum tahu kondisi Tanjung seperti apa. Benar saja, tidak ada 2 menit kemudian, pihak travel menghubungi bahwa driver tidak bisa menjemput karena terkena musibah.

Tidak ada solusi.

SD Sokong 3, Pukul 01.00 WITA
Irama guncangan dan dzikir beriringan. Aku masih mencoba terlelap di bawah selimut. Beberapa warga desa mulai pasrah dan memilih tetap tidur walau guncangan datang. Beberapa masih tetap terbangun dan beristigfar, termasuk aku.

“Ada hikmahnya kita ada di sini” suara kakak sayup-sayup terdengar di telingaku

Aku melihat wajah kakak dalam kegelapan. Anggukan kepalaku sepertinya cukup menjelaskan bahwa aku setuju bahwa ini adalah peringatan dari Allah.

“Lihat ke atas deh” kakak melanjutkan, aku mendongak ke langit

“Kita bisa lihat bintang banyak banget, dan indah… di Jakarta mana bisa lihat ini” deretan kata itu dibisikkan syahdu di telingaku.

Saat itu rasanya aku ingin mendengus kesal, bagaimana kakak memikirkan hal itu di situasi genting begini. Tapi justru yang muncul dari wajahku adalah sesimpul senyum. Rupanya kakak ingin mencairkan suasana agar aku tidak cemas lewat kreasi andalannya, ‘mencoba membuat suasana romantis di manapun kami berada’. Biasanya aku menimpali dengan “apasih” atau ekspresi kesal karena aku tak suka digombali atau terjebak dalam suasana romantis. Tapi saat itu, sesimpul senyum aku berikan. Iya, indah. Aku bergumam pelan.

Tetap saja, gugusan bintang indah tak cukup ampuh membuatku tenang dan berpikir jernih. Aku mulai mengada-ada. Ah bisakah Abah mengirim helikopter saja ke sini?
Did I forget that I wasn’t a billionaire?

SD Sokong 3, Pukul 02.00 WITA
Ini nomor supir yang akan jemput

Kalimat Abah di whatsapp memberikan secercah harapan.

Namun sinyal Indosatku hilang. Sialnya, provider aku dan kakak sama.

SD Sokong 3, Pukul 02.30 WITA

Tangan dan kaki kakak dingin seperti es, aku bisa merasakannya sedikit gemetaran. Mas Iwan meminta kakak tidur di sebelahku alih-alih menjadikan pahanya bantalku untuk tidur. Kakak menurut.

Maafkan aku kak, bahkan di saat seperti ini egoku masih saja bermain.

SD Sokong 3, Pukul 05.00 WITA
Kami shalat subuh seadanya. Tayamum, di atas terpal kotor, mengenakan baju penuh debu dari lapangan SD.

“Yuk almatsurat” ujar kakak setelah shalat. Ternyata di kondisi seperti ini kakak tak melupakan ritual harian kami, ah, justru semakin ingat pastinya. Bukankah kondisi seperti ini yang membuat manusia semakin dekat denganMu, wahai penguasa alam? Engkau mendengar jerit kami memohon ampun melalui rentetan istighfar, memujiMu lewat teriakan takbir yang bertenaga, memohon dengan pasrah melalui lantunan doa tak berujung dengan tetes air mata yang tak kering-kering? Allah, terima kasih, Engkau rupanya merindukan kami.

Lombok Utara sebagai pusat gempa di Lombok, pukul 08.00 WITA
Tercatat jumlah gempa susulan sebanyak 132 gempa.

***

“Ka, ayo pinjam HP warga. Telepon Pak Rama” . Matahari sempurna naik ke atas, gempa-gempa kecil masih terasa. Aku mendesak kakak untuk cepat menghubungi Pak Rama, supir teman Abah yang akan menjemput kami. Warga tetap memperingati untuk tidak pergi sekarang karena kabar longsor menutupi jalan ke Mataram, tapi kami tetap berusaha menghubungi Pak Rama.

Untungnya beberapa warga menggunakan provider dengan sinyal cukup bagus. Telepon pertama diangkat, kami mengelus dada bersyukur. Kakek –keluarga mas Iwan- memberi arahan kepada Pak Rama di mana harus menjemput. Allah memang Maha Penolong. Posisi Pak Rama ada di Senggigi, jalan Senggigi-Tanjung aman dari longsor.

Kami menunggu dengan cemas.

“Kak, tilawah kak…” Aku memohon. Wajahku sepertinya sudah tidak keruan. Berantakan seperti hatiku yang meracau terus ingin segera meninggalkan Lombok. Setidaknya, lantunan ayat dari kakak sedikit membuatku merasa tenang dan aman.

“Mas, mbak, ini kopernya” Tiba-tiba Mas Iwan datang membawa koper besar kami dari kamar hotel. Aku tak henti-hentinya bingung dengan Mas Iwan ini. Bagaimana pula dia bisa sebaik itu pada kami dikala keluarganya pun membutuhkan perhatian darinya? Aku dan kakak sudah tidak peduli pada koper kami tapi mas Iwan peduli, ah, barakallah mas.

Kami mencoba menghubungi Pak Rama kembali, telepon direject. SMS tidak dibalas. Aku cemas….kakak masih dengan wajah tenangnya. Tangannya tidak pernah lepas dari tanganku.

Kakak sigap memperhatikan jalan, mencoba mengira-ngira dengan instingnya mana mobil Pak Rama yang lewat. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil Fortuner berhenti di depan masjid, kakak langsung berlari ke arah mobil itu….terlihat seorang Bapak keluar dari mobil…. waktu pengungsian kami pun berakhir….

***
Mataram ternyata sama, berisikan orang-orang yang berkumpul di lapangan terbuka, namun setidaknya suasana kota dan bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri sedikit membuatku bisa bernafas lega. Kami disambut oleh teman Abah, diberikan makan, dipersilakan bersih-bersih, tidur sebentar, dan dicarikan tiket. Kami pasrah ketika tahu tiket hari ini ke Jakarta sudah habis, aku pun berencana membujuk kakak untuk membeli tiket dengan tujuan apapun, yang penting keluar dari Lombok. Alhamdulillah, setelah mencoba mencari ke agen travel teman Abah, kami pun berhasil membeli tiket untuk berangkat malam harinya.

Bandara ramai. Antrian panjang di loket tiket mengular hingga ujung pintu bandara, kebanyakan dari mereka adalah turis. Yah, semua orang sepertinya tak sabar untuk pergi meninggalkan Lombok. Aku masih belum tenang, traumaku masih ada. Tiap kali menyentuh benda bergetar aku panik, padahal itu hanya kursi yang terdorong oleh orang yang duduk di sebelahku. Pikiranku masih saja buruk, Bagaimana kalau ada gempa di sini? Dengan ruangan pengap penuh orang, bagaimana bisa lari? Ah, aku hanya bisa melihat wajah kakak yang tenang, berusaha mencari ketenangan darinya.

Semua penerbangan sepertinya delay. Penerbanganku sendiri delay 2 jam, pukul 21.15 pesawatku take off; beberapa menit kemudian, setelah 12 jam Lombok terlelap, ia dilanda gempa kembali….

***

Percayalah, aku seringkali memaki-maki Jakarta; penat akan kemacetan dan cuaca panasnya, risih dengan suasana kotanya yang terasa tidak aman. Tapi saat itu, Jakarta terasa nyaman sekali. Tidak pernah senyaman itu sebelumnya. Umi dan Abah berhamburan memelukku.

“Makasih Bah, Mi, udah bantu banyak buat jemput…” aku cuma bisa berkata satu kalimat itu, satu kalimat dengan makna syukur yang mendalam, satu kalimat yang jika saja aku pandai berkata-kata mungkin rentetan paragraf manis sudah menyerbu orang tuaku, satu kalimat yang kuharap menjadi doa agar Allah membalas kebaikan mereka.

***
EPILOG
Seorang sahabat pernah bilang padaku “Ris, kamu tuh hidup di permukaan, sedangkan orang lain di bawah kamu tuh lagi megap-megap minta pertolongan”. Yah, itu yang selalu ia ucapkan ketika aku selalu takjub dan bergidik ngeri mendengarkan kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain. Menurutnya aku jarang terpapar dengan kondisi ‘susah’ sehingga mendengar kisah sulit orang lain aku mudah tercengang. Atau mungkin aku kurang merasa. Berbagai musibah sudah sering kulihat lewat media sosial ataupun layar televisi tapi rasanya hati hanya sedikit berempati. Ketika sahabat sendiri mengalami, barulah aku mulai merasa, ah apalagi diri sendiri yang mengalami langsung. Mungkin Allah sedang mencoba memoles hatiku untuk bisa lebih merasa…selain mengingatkanku akan dosa-dosa, tentunya.

Dan Allah mungkin sedang mengabulkan doaku dengan caranya yang unik dan cantik. Doaku untuk bisa lebih mencintai kakak, mensyukuri nikmat, dan menjadi lebih dekat dengan sang Maha Pencipta. Bukankah muhasabah diri terbaik adalah dengan mengingat mati? Mengingat potongan memori saat aku merasa reruntuhan gedung akan jatuh menimpaku atau saat aku merasa seperti dikejar gelombang ombak yang tinggi.

Kak, terima kasih. Thank you for everything, from the first time we met until a very sweet honeymoon we have in Lombok, (and of course until forever). It was only one day yet it will be a long-life time to remember. No, I wont tell people of what I thank for in detail and obvious way, I know you wont like it. That’s why I made this story. Hope you aren’t mad.

Tidak ada yang lebih romantis dari cara Allah mempersatukan dua hamba dan menumbuhkan cinta di antara keduanya, apapun caraNya…

Uhibbuka fillah, kak








Senin, 23 Juli 2018

Dear pride,

Awalnya saya ingin membuat tulisan opini yang sedikit ilmiah dengan menyertakan penelitian-penelitian psikologi or whatever related to scientific research, turns out I got houseworks to do, so well, mungkin opini sederhana melalui emotional thought might be useful as well, mumpung lagi ada mood buat nulis.

Berawal dari dua buah organisasi nasional yang saya ikuti saat kuliah. Saya menyadari penuh betapa tingkat pendidikan di Indonesia memiliki gap kualitas yang cukup jauh. Beberapa indikator yang bisa kita lihat secara objektif adalah akreditasi dan jumlah lulusan yang diterima di lapangan pekerjaan bonafid, atau jumlah ‘orang sukses’ yang berasal dari lulusan universitas tersebut. Indikator subjektif yang bisa kita lihat adalah pola pikir. Saya tidak bilang bahwa lulusan universitas ternama semuanya memiliki pola pikir yang make sense dan sophisticated, but well, boleh saya bilang mereka cenderung berpikiran terbuka? Ini bisa saja bukan soal popularitas sekolahnya, simply karena sekolah tersebut ada di tengah kota dan mahasiswanya sudah banyak terpapar dengan banyak akses pendidikan dan budaya yang universitas di daerah tidak bisa dapat. Efek input juga berperan, sekolah yang sudah kepalang populer akan dikerubungi oleh pelajar-pelajar yang memang sedari awal sudah ‘bagus’. Yah, banyak faktornya. But my point is, the quality gap does exist.

Then come this pride of having a status of “graduates from great university”. Kita pun terjebak dalam penjara self-worth. Kita merasa lebih baik dari universitas ABCD. We boast our chest as we walk, duh.

Itu baru bicara soal nama sekolah. Bagaimana dengan pride akan tingkat pendidikan? Bagaimana dengan pride akan sebuah profesi pekerjaan?
I’m going to get to my point. Mari bicara soal profesi kesehatan. Profesi yang baru saya geluti kurang dari setahun, mungkin akan banyak bias opini di dalamnya karena saya masih anak bawang untuk urusan ini, but to write doesn’t have to wait to be experienced right? Hehe

Berawal dari komentar sederhana,

“Ah, yang lanjut sekolah Apoteker itu cuma yang punya duit aja” – well, for your information, yes sekolah profesi memang mahal. Satu semester bisa ada yang puluhan juta, apalagi sekolah swasta.

“Kerjaan Apoteker enak ya, cuma gitu doang” kata profkes x, --- well for your information, yes, ada beberapa kerjaan kita yang emang ‘cuma gitu doang’

“Kasian itu TTK (tenaga teknis kefarmasian) kerjaannya, capek banget” --- frankly speaking, saya akui memang capek. Selama orientasi 2 bulan saya bekerja seperti mereka, stressfull? Sangat. Ditambah dengan profkes x dan y yang terkesan “nyuruh2” dan complain mulu. Baper? Iya gue baper. Bapernya tuh kayak gini: “Lu siapa nyuruh2 gue? Lu bukan atasan gue woy!” hehe

dan komentar lainnya yang kalau ditulis jadi panjang kayak kereta.

Okol Vs Akal
Terkait pekerjaan. Ketika ada yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang” saya cuma bisa tersenyum dan bilang “tuntutan kita memang belum besar karena pekerjaan kefarmasian di rumah sakit masih sangat berkembang (and that makes me so worthless)” and that’s true. Sampai akhirnya saya dimutasi ke ruangan lain dan melakukan banyak pekerjaan teknis yang bikin baper, haha. Gada lagi yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang”, karena memang kerjaan saya agak bikin pusing (dan pekerjaan ini bisa jadi akan bertahan sampe saya usia 30-40 tahun karena carreer path farmasi klinis ga banyak). Still, I feel worthless because it just something that I didn’t expect I would do as a pharmacist. Expectation kills, I know.

Apa yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana saya bisa bekerja more into critical thinking rather than physical or technical thing. Dari segi pendidikan dan ranah pekerjaan pun basically makes sense. Ranah teknis adalah ranah teknisi atau orang lapangan, misalnya bagian operator atau service mesin di sebuah perusahaan menjadi tugas lulusan SMK Mesin atau Vokasi (cmiiw). Supervisornya, yang berpikir soal design, konsep dan sebagainya diarahkan pada lulusan S1 yang notabene saat kuliah diajarkan lebih pada konsep besar ketimbang teknis lapangan. Mungkin bahasa strukturnya adalah atasan dan bawahan, but lets say, kita bekerja memang sesuai ranahnya saja; self-worth kita masing-masing, harganya sama.

Seniority and Quality
Senioritas. Saya muak dengan istilah ini haha. Sesimpel ada yang beranggapan “kalau di jalan, yang muda harus nyapa duluan” aja saya kesal hahaha *lah w baper. Please, sopan santun doesnt mean the younger harus nunduk-nunduk sampe mentok lantai buat menghormati yang tua and then yang tua bisa pasang muka jutek dengan bibir mencong-mencong. Sorry to say, gue ga lagi ospek SMP atau SMA. Hehe, ini hiperbola biar lucu aja, you know what I mean lah :p

Senioritas juga menjadi ajang naik jabatan. Yang kerjanya sudah lama disekolahin duluan supaya grade naik jabatan jadi proper dan objektif, ga peduli mereka punya kemampuan dan potensi seperti apa. Tapi saya yakin, perusahaan pemerintah yang baik ga melulu melihat lama kerja, pasti ada indikator lainnya hehe

Bicara soal kualitas, saya tidak memungkiri bagaimana sekolah profesi tercinta kita ini dijadikan lahan bisnis. Konsumen mereka adalah para senior yang diharuskan melanjutkan sekolah namun apa daya kemampuan mereka sudah tidak mumpuni untuk bisa ke sekolah negeri dengan harga yang lebih terjangkau atau mendapatkan beasiswa prestasi. Ya gimana, saya aja yang masih fresh graduate mumet buat belajar lagi, bagaimana mereka yang sudah senior? Alhasil sekolah swasta dengan kualitas seadanya dan biaya mahal menjadi target mereka. Muncullah anggapan “yang lanjut sekolah yang punya duit aja (belum tentu kompeten- red)”. Still, mau apapun underlying motivationnya, mau bagaimanapun hasilnya, tingkat pendidikan masih dilihat sebagai indikator objektif untuk naik jabatan (mainly di perusahaan punya pemerintah, probably).

To me, it is good to have such objective indicator. Tinggal kitanya yang mau memanfaatkan kesempatan itu dengan baik atau tidak, dengan etika elegan atau dengan pride yang berlebihan hehe. Dan saya berdoa, semoga sekolah-sekolah profesi makin baik kualitasnya, jadi bisa membimbing mahasiswanya buat jadi lulusan yang oke pisan. Aamiin.

Kekeluargaan Vs Profesionalisme
Ada yang menarik dengan profesi saya ini. Apoteker bekerja tim dengan TTK atau panjangannya adalah Tenaga Teknis Kefarmasian yang dulu biasa orang sebut asisten apoteker. I like TTK better as a term karena pola mindsetnya akan berbeda, TTK akan berpikir bahwa mereka melakukan pekerjaan teknis rather than jadi an obvious subordinate-nya Apoteker (apapula istilah saya ini), which will create a better team work, hopefully. Lucuknya, ada banyak rumah sakit yang TTKnya diminta panggil Apoteker dengan sapaan Ibu dan Bapak (regardless their age) rather than calling out their names kaya di tempat kerja saya sekarang. Ada positif-negatifnya dari segi Psikologis. Dengan sapaan ibu-bapak menurut saya suasana professional jadi lebih terbangun, contoh kecilnya, Apoteker muda tidak segan untuk meminta tolong pada TTK senior sesuai kewenangannya. Positifnya panggil nama, kekeluargaan jadi lebih terbangun, gap atasan-bawahan jadi lebih minim. Nah negatifnya? Pikir sendiri aja ya hehe. Intinya, mau panggil nama, ibu-bapak, nenek-kakek, bro-sis, bebeb dsb, ketika bekerja tentu kita harus professional, jangan kebanyakan baper minta dihormati karena kita senior yang akhirnya merusak kinerja kita. Yet, kekeluargaan juga harus dibangun, because team work won’t work out well without comfort from each other hehe. Ngomong gampang emang hehe.

Back to my point, self-worth kita berharga sama ketika kita menunjukkan kinerja terbaik kita sesuai kewenangan yang seharusnya, regardless our age, our position, education level, etc etc.

Kolaborasi Interprofesi (the title is so lame, I know)
Saya sempet baper di awal kerja, kenapa? Pertama, secara struktur dan pekerjaan saya merasa ga sesuai dengan yang digadang-gadang permenkes, (tp sy masih belum berani bahas ini). Kedua, kok ya kesannya kerjaan saya jadi kaya bawahannya profkes x dan y, seenak udel banget nyuruh-nyuruh, atasan-bawahan yang baik aja kalo nyuruh pake etika, lah ini? Point kedua, saya tahu kenapa. Kalau kata Pak siapa ya lupa, Farmasi itu rantai terakhir pelayanan, jadi harus sabar-sabar kena complain dari berbagai arah, diteriakin minta ini itu dsb, karena instruksi dokter tidak akan terlaksana oleh perawat kalau farmasi belum memberi obat (ujungnya sebut nama profesinya juga lol).

Jadi ingat meme di Instagram, ada percakapan pasien dan farmasi, pasien complain “my medicine is only one kind, why it takes so long?” terus farmasinya blg “because youre not the only one living in this world” yah semacam itulah, kasarnya “yang berobat dan ngantri obat kan bukan elu doang” wkwk.

Memang setiap pekerjaan pasti ada baper-baper jenis begini, yang begini harus disikapi secara professional. Saya yakin setiap dari kita tidak suka direndahkan, dan manifestasi merendahkan orang lain bisa dilihat dari etika seseorang berkomunikasi. Jadi yuk sama-sama perbaiki etika kita berkomunikasi, simply dengan menyelipkan kata tolong dan maaf itu sudah menjadi kata ajaib yang akan membangun team work yang baik, ye gak? Secara struktur professional pada umumnya, setiap profesi kesehatan pada dasarnya bukan atasan dan bawahan, tapi saya aware, jenjang dan durasi pendidikan, jenis pekerjaan kita dan rantai pelayanan somehow membuat diri kita seakan lupa bahwa kita adalah partner kerja, jadi harus pandai-pandai menempatkan diri. Sama-sama belajar yah.

Organisasi Profesi, you’ll be my savior!
Saya sempat terlibat dalam keorganisasian mahasiswa kesehatan lingkup nasional. Saya melihat bagaimana tanpa disadari, arogansi profesi muncul dari setiap ormawa kesehatan. Tidak jauh berbeda, organisasi profesi pun demikian. Setiap dari mereka seolah bersaing untuk membela hak profesinya. Terkadang saya meragukan pembelaan hak dari masing-masing organisasi, apa iya hal yang mereka tuntut benar adalah hak meraka? Apa sudah cukup objektif dan sesuai dengan self-worth masing-masing profesi? Karena biasanya berujung pada tujuan insentif, remunerasi, dsb, yah intinya kesejahteraan dan pengakuan. Semua aja ingin diakui sebagai profesi yang punya daya tawar tinggi untuk dihormati dan digaji tinggi, huft. Kalau sudah turun ke ranah kebijakan begini saya masih butuh banyak belajar. Yaudah gausah bicara ini dulu, biarkan saja yang berkompeten bicara soal kebijakan masing-masing profesi, tugas saya sekarang adalah melaksanakan amanah dari kebijakan yang dibuat, menuntuk hak dan melaksanakan kewajiban dari aturan yang sudah ada (kalau mampu ya kasi saran dan kritik utk kebijakannya). Untukku dan yang di luar sana, semangat menuntut hak dan melaksanakan kewajiban!

EPILOG
Mungkin terkesan tulisan saya isinya cuma baper-baper ga jelas. But well, gini loh, saya tidak bicara soal pride karena sebuah tingkat pendidikan atau nama universitas saya atau nama profesi saya, saya bicara soal self-worth based on job domain and competence. Pride dan dignity adalah dua hal yang berbeda. We talk pride as boasting because we are more successful or better than others, I talk dignity; dignity doesn’t see success nor failure, our self-worth is doing the best we can do based on our authority, sesuai yang seharusnya, sesuai dengan amanah undang-undang, sesuai dengan sumpah jabatan profesi, jikapun tingkat pendidikan perlu dipertimbangkan in some context, yah sesuaikan pula dengan itu, dan tak lupa sesuai pula dengan potensi diri. Intinya adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. I am looking for my self-worth –which is to me, isn’t a sin- its an emotional incentive I should get as my job is impactful, therefore, it’s valuable. hehe