Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya di notes FB atau blog ini (saya lupa) bulan Februari 2011, mungkin tahu bagaimana suasana Valentine saya di USA saat itu. Salah satu dari sekian banyak hari menyenangkan dan istimewa bagi saya.
Saya mau bernostalgia dulu...
Bangun pagi seperti biasa saya mendengar hostmom saya sedang menyiapkan sarapan di dapur, yang berbeda dari sarapan hari itu adalah cokelat di atas meja makan yang sengaja disiapkan untuk saya dari beliau seraya mengucapkan “Happy Valentine”. Itu senyum pertama saya di hari itu.
Senyum selanjutnya adalah ketika saya sampai di sekolah. Cukup banyak kejadian lucu, sweet, and lovely at that time ^^
Buka pintu gedung sekolah, saya melihat banyak orang membawa balon-balon berbentuk hati. Masuk kelas US History, salah satu sahabat saya menghampiri dan memberikan cokelat dengan kertas ucapan lucu untuk saya, cokelat kedua dan senyum kedua di hari itu. Di awal pelajaran, ada seorang laki-laki masuk kelas dengan membawa bunga mawar dan memberikan mawar itu kepada seorang perempuan. Masuk kelas Algebra, saya melihat salah satu guru favorit saya mengenakan baju bersuasana merah muda, dengan anting berbentuk hati, dan cincin berbentuk hati menyambut kami-kami bahagia seraya berbicara dengan gesture khasnya “Happy Valentine! This ring was a cake garnish by the way”, itu senyum ke-tiga saya di hari itu, rasanya sangat senang melihat guru yang dikenal galak ini membuat lelucon kecil ditambah senyum ke-empat saya untuk cokelat ke-tiga dari sahabat saya yang lain.
Masuk kelas biologi, guru kami memberikan tugas yang membuat alis saya naik sambil bergumam “well..”, yaitu tugas ‘Bio-Tine’, tugas membuat puisi atas kecintaan kami terhadap biologi; itu senyum saya yang kelima. Lunch time. Geng makan siang saya membawa cokelat dan saling berbagi diiringi dengan senyum saya yang keenam, ketujuh, delapan dst. Masuk kelas Choir. Kami mengadakan Valentine Party kecil-kecilan di kelas; sebelumnya, students yang termasuk ke dalam Chorale berkeliling sekolah masuk ke kelas-kelas dengan pakaian serba merah, mereka melakukan drama musical berdurasi 10 menit di setiap kelas dan tidak ada guru yang keberatan dipotong waktunya. Party di kelas choir ini pun diinisiasi oleh guru kami sendiri. Kami bernyanyi bersama, makan, dan minum bersama. Ini senyum saya yang entah ke sekian.
Sweet and beautiful isnt it?
Saya memang tidak menceritakan semua bagian, khususnya bagian di mana saya melihat banyak pasangan yang saling memberi cokelat dan berciuman (ah, tapi akhirnya diceritakan juga haha)
Memperingati hari Valentine ya...kenapa kaum muslim sangat melarangnya?
St. Valentine, seorang pendeta yang tetap memberkati pernikahan pasangan yang dilarang menikah oleh Kaisar Claudius yang dikenal kejam. Tertanggal 14 Februari, St. Valentine dipenggal. Sejak itu, tanggal 14 Februari diperingat sebagai hari Kasih Sayang.
Pertama, itu jelas-jelas budaya barat yang lahir dari meninggalnya seorang pendeta. Logikanya, kenapa muslim harus merayakan kematian seorang pendeta? Walau atas dasar kemanusiaan, namun agama Islam memiliki batas toleransi.
Kedua, budaya tersebut berkembang menjadi budaya memberi kasih sayang kepada pacar, tepatnya memberi cokelat kepada pacar. Sudah jelas Islam tidak membolehkan hal ini terjadi.
Padahal, Februari 2011 silam, saya sebagai makhluk yang sebelumnya tidak memedulikan valentine, tersenyum sumringah mendapatkan banyak cokelat dan mendapati suasana gembira dari guru sekolah. Rasa kasih sayang dari sahabat dan guru yang begitu luar biasa, bahkan rasa kasih sayang terhadap ilmu pengetahuan! Apalagi keadaannya saat itu saya sedang jauh dari negeri sendiri ^^
Sebenarnya konsep hari kasih sayang itu tidak salah. Memang sih kasih sayang itu harus setiap hari, tapi apa bedanya dengan hari ibu atau hari ayah? Hormat Ibu dan Ayah juga harusnya setiap hari kok. Islam tidak menerimanya karena latar belakang sejarah dan budaya yang berkembangnya.
Saya sangat menghargai teman-teman non-muslim yang memberikan saya cokelat di hari Valentine mereka sebagai bentuk kasih sayang sahabat, mengingatkan saya akan situasi kasih dan sayang Februari 2011, senang rasanya. Karena pada kenyataannya, kasih sayang itu bukan saja antara laki-laki dan wanita yang memiliki hubungan. Hari Valentine ini punya mereka yang non-muslim, dan mereka hanya ingin berbagi kasih sayang mereka ke semua orang dan bagi muslim yang ingin membalasnya, balaslah dengan apapun, mungkin tidak di hari valentine untuk menghindari anggapan miring orang-orang dan juga untuk menghormati ideologi agama Islam ^^ inilah bentuk kerukunan antar umat beragama; saya merasa tidak perlu memasang propaganda anti-valentine yang sangat ekstrem, yang diperlukan adalah pemahaman, yup pemahaman bahwa kepemilikan simbolik hari Valentine memang punya mereka tapi konsep kasih sayang adalah milik semua :)
*big bear hugsss for Eleny and Esa*
Sabtu, 15 Februari 2014
Cerita Tentang Mahasiswa #2 (Dosen mungkin sudah lelah...)
Sepi. Sunyi. Ini entah yang ke sekian kali saya berada di posisi seperti ini. Posisi di mana setiap individu di dalam kelas hanya bisa diam mendengar pertanyaan dari dosen tercinta....
Rasanya intensitas kesunyian hampir limit mendekati nol desibel, bisa-bisa suara aliran darah dan pompa jantung terdengar. Oke, ini ga lucu ^^
Anyway, klimaksnya adalah dua hari yang lalu, ketika saya benar-benar merasakan bahwa saya kuliah masih sekedar kuliah. Dari dulu ingin sekali mengerti dan memahami setiap ilmu pengetahuan tapi apa daya ujian dan kesibukan tumpang tindih; akhirnya memilih shortcut belajar andalan tiap semester, dengan metode: “yaudah, telen aja dulu”. Awalnya saya kira hanya saya yang melakukan metode ini, namun ternyata secara kasat mata, ini salah satu dari sekian tipikal mahasiswa; at least tipikal mahasiswa yang tidak berpredikat ip selalu cum laude atau suma cum laude ^^’
Metode “yaudah, telen aja dulu” atau metode hafalan mati biasanya terjadi pada mahasiswa yang kurang pandai mengatur waktu dan prioritas, seperti saya. Masalahnya adalah, kata “dulu” dalam metode ini entah sampai kapan bertengger, maksudnya kalau memang mau menggunakan metode ini, seharusnya ditambahkan kata seperti “yaudah, telen aja dulu; nanti kalau ada waktu baru dimengerti dengan sungguh-sungguh”. Masalah lain, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Yap. Klimaksnya adalah dua hari yang lalu. Ketika salah satu dosen mata kuliah ‘x’ menanyakan materi semester lalu, dan tidak ada satupun yang bisa menjawab. Beliau mempertanyakan kami, khususnya mahasiswa yang mendapat nilai A di mata kuliah tersebut, “nilai A kemarin dari mana?”. Bukan hanya di mata kuliah ini, dosen matkul lain pun bertanya materi semester lalu yang mungkin bagi mahasiswa seperti kami, dianggap seperti angin lalu. Bagaimana mau menjawab materi semester lalu jika belajar saja pakai metode “yaudah, telen aja dulu” yang melahirkan short term memory? Dosen mungkin sudah lelah....
Sedih.
Sedih kalau ingat kata-kata sahabat saya ketika SMA “belajar itu untuk tahu, bukan untuk lulus”.
Namun di satu sisi, memang IPK bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari IPK. Beasiswa (apalagi beasiswa yang tidak perlu SKTM) melihat IPK. Mencari kerja? Okay banyak yang bilang bahwa di dunia kerja, yang nomor satu itu softskill, tapi IPK juga dilihat toh mas, mbak. Belum lagi orang tua, memang banyak orang tua yang mungkin tidak mengharap anaknya ber IPK bagus, tapi alangkah senangnya ketika kita bisa membuat mereka lebih dari bangga dengan IPK bagus kita? Kalau kata teman saya “IPK itu bentuk tanggung jawab kita untuk orang tua”. Ini yang membuat metode itu lahir, “yang penting ujian lulus dulu, mengerti kalau ada waktu saja”, tapi sekali lagi, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Waktu satu hari itu 24 jam. Dua puluh empat jam.
Banyak buku-buku soal manajemen waktu, banyak motivator yang memberikan metode menejemen waktunya, sudah sering kita mendengar teori-teori klasik manajemen waktu, entah itu dari sisi prioritas, harus memiliki tujuan, harus fokus, dsb.
Jangan menganggap tulisan ini untuk aktivis, mengatur waktu itu kewajiban setiap orang. Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerap pelajaran secepat orang lain, harusnya saya tahu bagaimana mengakali ini dengan teori-teori waktu itu. Bukan juga orang yang sangat sibuk sesibuk orang lain, seharusnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya dengan baik.
Kenapa sulit sekali mengatur waktu? Kenapa sulit sekali untuk memulai? Kenapa sulit sekali untuk bersifat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya? Seharusnya tahu waktu kapan harus belajar, tahu waktu berorganisasi, tahu waktu ngobrol, tahu waktu ini dan itu. Seharusnya bisa. Seharusnya bisa mengubah metode “yaudah telen aja dulu” ini jadi metode yang seharusnya. Mengerti dan memahami, bukan menghafal :’’’
Dimulai dari niat yang lurus ^^
Walaupun, sekarang semuanya menumpuk, pelajaran-pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk.....
Help meeh -.-
Rasanya intensitas kesunyian hampir limit mendekati nol desibel, bisa-bisa suara aliran darah dan pompa jantung terdengar. Oke, ini ga lucu ^^
Anyway, klimaksnya adalah dua hari yang lalu, ketika saya benar-benar merasakan bahwa saya kuliah masih sekedar kuliah. Dari dulu ingin sekali mengerti dan memahami setiap ilmu pengetahuan tapi apa daya ujian dan kesibukan tumpang tindih; akhirnya memilih shortcut belajar andalan tiap semester, dengan metode: “yaudah, telen aja dulu”. Awalnya saya kira hanya saya yang melakukan metode ini, namun ternyata secara kasat mata, ini salah satu dari sekian tipikal mahasiswa; at least tipikal mahasiswa yang tidak berpredikat ip selalu cum laude atau suma cum laude ^^’
Metode “yaudah, telen aja dulu” atau metode hafalan mati biasanya terjadi pada mahasiswa yang kurang pandai mengatur waktu dan prioritas, seperti saya. Masalahnya adalah, kata “dulu” dalam metode ini entah sampai kapan bertengger, maksudnya kalau memang mau menggunakan metode ini, seharusnya ditambahkan kata seperti “yaudah, telen aja dulu; nanti kalau ada waktu baru dimengerti dengan sungguh-sungguh”. Masalah lain, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Yap. Klimaksnya adalah dua hari yang lalu. Ketika salah satu dosen mata kuliah ‘x’ menanyakan materi semester lalu, dan tidak ada satupun yang bisa menjawab. Beliau mempertanyakan kami, khususnya mahasiswa yang mendapat nilai A di mata kuliah tersebut, “nilai A kemarin dari mana?”. Bukan hanya di mata kuliah ini, dosen matkul lain pun bertanya materi semester lalu yang mungkin bagi mahasiswa seperti kami, dianggap seperti angin lalu. Bagaimana mau menjawab materi semester lalu jika belajar saja pakai metode “yaudah, telen aja dulu” yang melahirkan short term memory? Dosen mungkin sudah lelah....
Sedih.
Sedih kalau ingat kata-kata sahabat saya ketika SMA “belajar itu untuk tahu, bukan untuk lulus”.
Namun di satu sisi, memang IPK bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari IPK. Beasiswa (apalagi beasiswa yang tidak perlu SKTM) melihat IPK. Mencari kerja? Okay banyak yang bilang bahwa di dunia kerja, yang nomor satu itu softskill, tapi IPK juga dilihat toh mas, mbak. Belum lagi orang tua, memang banyak orang tua yang mungkin tidak mengharap anaknya ber IPK bagus, tapi alangkah senangnya ketika kita bisa membuat mereka lebih dari bangga dengan IPK bagus kita? Kalau kata teman saya “IPK itu bentuk tanggung jawab kita untuk orang tua”. Ini yang membuat metode itu lahir, “yang penting ujian lulus dulu, mengerti kalau ada waktu saja”, tapi sekali lagi, seseorang yang tidak pandai mengatur waktu, kapan merasa punya waktu?
Waktu satu hari itu 24 jam. Dua puluh empat jam.
Banyak buku-buku soal manajemen waktu, banyak motivator yang memberikan metode menejemen waktunya, sudah sering kita mendengar teori-teori klasik manajemen waktu, entah itu dari sisi prioritas, harus memiliki tujuan, harus fokus, dsb.
Jangan menganggap tulisan ini untuk aktivis, mengatur waktu itu kewajiban setiap orang. Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerap pelajaran secepat orang lain, harusnya saya tahu bagaimana mengakali ini dengan teori-teori waktu itu. Bukan juga orang yang sangat sibuk sesibuk orang lain, seharusnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya dengan baik.
Kenapa sulit sekali mengatur waktu? Kenapa sulit sekali untuk memulai? Kenapa sulit sekali untuk bersifat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya? Seharusnya tahu waktu kapan harus belajar, tahu waktu berorganisasi, tahu waktu ngobrol, tahu waktu ini dan itu. Seharusnya bisa. Seharusnya bisa mengubah metode “yaudah telen aja dulu” ini jadi metode yang seharusnya. Mengerti dan memahami, bukan menghafal :’’’
Dimulai dari niat yang lurus ^^
Walaupun, sekarang semuanya menumpuk, pelajaran-pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk.....
Help meeh -.-
Selasa, 11 Februari 2014
Cinta dan Komitmen
Jarang-jarang saya bicara tentang cinta :)
Anyway, mungkin sebagian dari kalian pernah baca novel Tere Liye yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Cinta seorang bocah terhadap om-om yang membuat ia dewasa sebelum waktunya dan cinta om-om terhadap bocah ini, di ending saya cuma bisa pasang muka sipit ala komik sambil bergumam ‘pedofil’ haha. Well, entah apa latar belakang penulis novel ini sampai-sampai ia menulis plot cerita seperti itu.
Ada satu hal yang menggelitik sepanjang saya membacanya. Rentang usia yang begitu jauh ternyata tidak membatasi keduanya untuk saling cinta walaupun sang om bisa dibilang malu mengakuinya; namun toh mereka berdua tidak menutup hati satu sama lain. Saya teringat teman saya yang selalu bilang “Jen, umur itu cuma angka..” saya cuma bisa menggurat senyum tipis setengah cemberut (ekspresi macam apa itu?) setiap mendengar itu. Mungkin dia gatal dengan sifat saya yang terlalu menutup hati dengan laki-laki di bawah usia saya haha. Jangan samakan saya dengan tokoh dalam novel itu, saya perempuan toh. Terus kalau perempuan kenapa? Ada yang bilang bahwa perempuan itu secara biologis akan lebih dewasa 3 tahun di atas laki-laki seusianya. Tapi bukan itu alasan saya, saya percaya biology maturity tidak selamanya mengikuti hukum alam, melainkan juga intervensi dari hukum sosial. Tidak ada yang menjamin kedewasaan biologis dan sosial berbanding lurus dengan usia. Lantas kenapa? Mungkin karena pemikiran konvensional dan pengaruh paradigma kolot dari orang tua...bahwa pendamping itu harus lebih tua dari yang wanita. Serta alasan lain, bahwa pendamping pria harus lulus duluan, mapan duluan, lalu siap melamar :p
Maaf kalau saya terkesan curhat ^^
Selain hal di atas, ada hal lain yang menggelitik. Tentang komitmen.
Saya hanya mencoba berpikir visioner dan ingin membagi pikiran saya kepada pembaca. Saya bukan tipe orang yang mau pacaran; disamping larangan keluarga, prinsip agama mungkin jadi salah satunya, tapi ada hal lain yang lebih membuat saya tidak mau pacaran (saya bukan orang religius yang mengedepankan alasan agama atas apapun, walaupun saya sedang belajar untuk melakukan hal itu). Teman-teman pasti pernah merasakan perasaan itu, perasaan kepada lawan jenis. Saya pernah mendengar bahwa berdasarkan penelitian, perasaan cinta kepada lawan jenis paling lama bertahan hanya 4 tahun; belum tentu benar, tapi saya percaya bahwa rasa cinta itu akan hilang suatu saat; makanya Tuhan menciptakan suatu kata benda indah, suatu hal intrik pada diri manusia yang mungkin sulit diputuskan akan mendambanya atau tidak. Hal itu kita sebut dengan komitmen. Kemudian Tuhan memberikan tempat komitmen itu untuk berteduh selamanya dari hujan godaan, ikrar untuk berada dalam satu payung kehidupan selamanya, yaitu pernikahan.
Pernah dengar bahwa mungkin orang tua kita tidak lagi saling cinta? Pernah berada di antara pertengkaran orang tua? Mereka sedang tidak saling cinta. Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekarang, dikala mereka sedang akur. Namun pernikahan bukan diciptakan sebagai mangkuk cinta semata, itulah bentuk komitmen kaum Adam dan Hawa; tidak peduli apa yang terjadi, bagaimana pun, mereka telah berikrar untuk berdua sampai surga. Bersyukur Tuhan menciptakan sebuah pondasi komitmen tersebut, yaitu anak. Orang tua akan berpikir trilyunan kali untuk berpisah meninggalkan sang anak. Lantas, sekali cinta hilang, akankah ia hilang selamanya? Logika saya mengatakan tidak. Tuhan menciptakan hati dan pikiran untuk merespon segala bentuk warna-warni kehidupan lewat kejutan-kejutan yang bisa mengiris hati, menyimpul senyum, atau menebar tawa dan duka. Maka perlu sekali kejutan-kejutan itu dibangun di rumah, entah itu kejutan ulang tahun istri/suami, membelikan liontin bentuk hati untuk istri, dsb. Cinta itu bisa saja muncul kembali. Tidak ada yang lebih indah ketika cinta dan komitmen berjalan beriringan
Duh kenapa saya menulis sampai ke sini? Haha
Loh, lantas, orang pacaran juga bisa kan bangun komitmen? Bisa, boleh jadi sangat bisa. Namun saya bukan tipe orang yang bisa membangun komitmen hanya dengan “ikatan pacaran”; ikatan non-formal yang tidak ada di kurikulum kaderisasi, kamus hukum dan undang-undang, atau kitab agama apapun. Tidak ada jaminan apapun. Manusiawinya adalah ketika hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasangan dan mau tidak mau komitmen itu harus dilepas, yasudah lepaslah sudah; tidak ada ikatan ‘hukum’ yang mengharuskan mereka tetap bersama, beda halnya dengan ikatan pernikahan yang terjamin hukum negara, agama, dan sosial-moral. Ini kembali ke prinsip, bukan saya mengajak anda ramai-ramai putus dengan pacar anda,atau ramai-ramai menikah sbg bentuk komitmen sejati; hanya prinsip pribadi yang sangat mengistimewakan komitmen; ingin membawa satu komitmen kontinu sampai mati, hanya SATU.
Nah, biasanya orang seperti saya akan berpikir lama jika ditawari oleh mak comblang, atau akan berpikir ratusan kali jika ingin bercerita tentang laki-laki. Karena orang seperti saya tidak mau mengembangkan perasaan itu sekarang, tapi nanti. Alih-alih bicara ini, orang yang disukai menikah, mau gantung diri? ^^
Ada waktunya. Ketika komitmen siap lepas landas.
Silakan bebaskan komentar teman-teman semua yang bisa jadi menganggap saya berpikir konvensional, tidak modern dan tidak mengikuti zaman. Tulisan ini pun bukan pembelaan karena saya tidak diizinkan pacaran; hanya ingin berbagi, khususnya kepada teman-teman yang sering curhat mencari jodoh. Saya hanya ingin berbagi kepercayaan, tidak usah terlalu sibuk mencari atau khawatir bertepuk sebelah tangan; yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperpantas diri untuk pendamping di masa depan. Yup, hanya ingin berbagi kepercayaan, bahwa kalau kita sudah siap berkomitmen, jodoh pasti bertemu :p
Anyway, mungkin sebagian dari kalian pernah baca novel Tere Liye yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Cinta seorang bocah terhadap om-om yang membuat ia dewasa sebelum waktunya dan cinta om-om terhadap bocah ini, di ending saya cuma bisa pasang muka sipit ala komik sambil bergumam ‘pedofil’ haha. Well, entah apa latar belakang penulis novel ini sampai-sampai ia menulis plot cerita seperti itu.
Ada satu hal yang menggelitik sepanjang saya membacanya. Rentang usia yang begitu jauh ternyata tidak membatasi keduanya untuk saling cinta walaupun sang om bisa dibilang malu mengakuinya; namun toh mereka berdua tidak menutup hati satu sama lain. Saya teringat teman saya yang selalu bilang “Jen, umur itu cuma angka..” saya cuma bisa menggurat senyum tipis setengah cemberut (ekspresi macam apa itu?) setiap mendengar itu. Mungkin dia gatal dengan sifat saya yang terlalu menutup hati dengan laki-laki di bawah usia saya haha. Jangan samakan saya dengan tokoh dalam novel itu, saya perempuan toh. Terus kalau perempuan kenapa? Ada yang bilang bahwa perempuan itu secara biologis akan lebih dewasa 3 tahun di atas laki-laki seusianya. Tapi bukan itu alasan saya, saya percaya biology maturity tidak selamanya mengikuti hukum alam, melainkan juga intervensi dari hukum sosial. Tidak ada yang menjamin kedewasaan biologis dan sosial berbanding lurus dengan usia. Lantas kenapa? Mungkin karena pemikiran konvensional dan pengaruh paradigma kolot dari orang tua...bahwa pendamping itu harus lebih tua dari yang wanita. Serta alasan lain, bahwa pendamping pria harus lulus duluan, mapan duluan, lalu siap melamar :p
Maaf kalau saya terkesan curhat ^^
Selain hal di atas, ada hal lain yang menggelitik. Tentang komitmen.
Saya hanya mencoba berpikir visioner dan ingin membagi pikiran saya kepada pembaca. Saya bukan tipe orang yang mau pacaran; disamping larangan keluarga, prinsip agama mungkin jadi salah satunya, tapi ada hal lain yang lebih membuat saya tidak mau pacaran (saya bukan orang religius yang mengedepankan alasan agama atas apapun, walaupun saya sedang belajar untuk melakukan hal itu). Teman-teman pasti pernah merasakan perasaan itu, perasaan kepada lawan jenis. Saya pernah mendengar bahwa berdasarkan penelitian, perasaan cinta kepada lawan jenis paling lama bertahan hanya 4 tahun; belum tentu benar, tapi saya percaya bahwa rasa cinta itu akan hilang suatu saat; makanya Tuhan menciptakan suatu kata benda indah, suatu hal intrik pada diri manusia yang mungkin sulit diputuskan akan mendambanya atau tidak. Hal itu kita sebut dengan komitmen. Kemudian Tuhan memberikan tempat komitmen itu untuk berteduh selamanya dari hujan godaan, ikrar untuk berada dalam satu payung kehidupan selamanya, yaitu pernikahan.
Pernah dengar bahwa mungkin orang tua kita tidak lagi saling cinta? Pernah berada di antara pertengkaran orang tua? Mereka sedang tidak saling cinta. Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekarang, dikala mereka sedang akur. Namun pernikahan bukan diciptakan sebagai mangkuk cinta semata, itulah bentuk komitmen kaum Adam dan Hawa; tidak peduli apa yang terjadi, bagaimana pun, mereka telah berikrar untuk berdua sampai surga. Bersyukur Tuhan menciptakan sebuah pondasi komitmen tersebut, yaitu anak. Orang tua akan berpikir trilyunan kali untuk berpisah meninggalkan sang anak. Lantas, sekali cinta hilang, akankah ia hilang selamanya? Logika saya mengatakan tidak. Tuhan menciptakan hati dan pikiran untuk merespon segala bentuk warna-warni kehidupan lewat kejutan-kejutan yang bisa mengiris hati, menyimpul senyum, atau menebar tawa dan duka. Maka perlu sekali kejutan-kejutan itu dibangun di rumah, entah itu kejutan ulang tahun istri/suami, membelikan liontin bentuk hati untuk istri, dsb. Cinta itu bisa saja muncul kembali. Tidak ada yang lebih indah ketika cinta dan komitmen berjalan beriringan
Duh kenapa saya menulis sampai ke sini? Haha
Loh, lantas, orang pacaran juga bisa kan bangun komitmen? Bisa, boleh jadi sangat bisa. Namun saya bukan tipe orang yang bisa membangun komitmen hanya dengan “ikatan pacaran”; ikatan non-formal yang tidak ada di kurikulum kaderisasi, kamus hukum dan undang-undang, atau kitab agama apapun. Tidak ada jaminan apapun. Manusiawinya adalah ketika hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasangan dan mau tidak mau komitmen itu harus dilepas, yasudah lepaslah sudah; tidak ada ikatan ‘hukum’ yang mengharuskan mereka tetap bersama, beda halnya dengan ikatan pernikahan yang terjamin hukum negara, agama, dan sosial-moral. Ini kembali ke prinsip, bukan saya mengajak anda ramai-ramai putus dengan pacar anda,atau ramai-ramai menikah sbg bentuk komitmen sejati; hanya prinsip pribadi yang sangat mengistimewakan komitmen; ingin membawa satu komitmen kontinu sampai mati, hanya SATU.
Nah, biasanya orang seperti saya akan berpikir lama jika ditawari oleh mak comblang, atau akan berpikir ratusan kali jika ingin bercerita tentang laki-laki. Karena orang seperti saya tidak mau mengembangkan perasaan itu sekarang, tapi nanti. Alih-alih bicara ini, orang yang disukai menikah, mau gantung diri? ^^
Ada waktunya. Ketika komitmen siap lepas landas.
Silakan bebaskan komentar teman-teman semua yang bisa jadi menganggap saya berpikir konvensional, tidak modern dan tidak mengikuti zaman. Tulisan ini pun bukan pembelaan karena saya tidak diizinkan pacaran; hanya ingin berbagi, khususnya kepada teman-teman yang sering curhat mencari jodoh. Saya hanya ingin berbagi kepercayaan, tidak usah terlalu sibuk mencari atau khawatir bertepuk sebelah tangan; yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperpantas diri untuk pendamping di masa depan. Yup, hanya ingin berbagi kepercayaan, bahwa kalau kita sudah siap berkomitmen, jodoh pasti bertemu :p
Langganan:
Postingan (Atom)