Sabtu, 23 April 2016

Hayo 23 April hari apa?

“Kita bisa jadi tahu banyak hal dari sekitar kita, namun buku membuat segalanya lebih terdefinisi.”

Mentor saya pernah berkata hal demikian. I was smiling that time, because yes I couldn’t agree more on that. I’m not that bookworm person walau banyak orang menganggap saya demikian. Mungkin karena kacamata tebal saya lol. Tapi saya sepakat. Buku memang membuat segalanya lebih terdefinisi. Hal yang terdefinisi memungkinkan seseorang menjadi lebih terbuka akan sesuatu, open minded, serta mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam menanggapi lingkungan sekitar. Membaca buku psikologi bagi saya adalah upaya menelanjangi karakter orang dengan cara yang bijak; membaca buku sejarah adalah upaya untuk belajar dari masa lalu melalui pandangan orang lain, menekan ego dan asumsi yang sering tak berdasar; membaca buku agama adalah upaya memperbaiki diri dan mencari kebenaran dibalik abstraknya arti ‘percaya’; membaca novel adalah upaya bersenang-senang tanpa harus takut kehilangan manfaat; membaca komik adalah cara mengistirahatkan otak dengan cara yang elegan #naon ini. Hehehe.

Indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001 which means in every 1000 Indonesians, we only have 1 person that love to read. I’m not judging you, saya sendiri masih sulit meluangkan waktu untuk membaca. But trust me, kata-kata klasik ‘buku adalah jendela ilmu’, well it is.

Contohnya ketika kita membaca buku psikologi.

In daily life we see many people with their own caharacters. Kadang kita melihat orang yang pendiam lantas kita tidak mau berteman dengannya, merasa “lo ga asik ah!” padahal she’s just being introvert with her own power. Susan Cain dalam bukunya menulis “I have seen firsthand how difficult it is for introverts to take stock of their own talents, and how powerful it is when finally they do.” Dalam bukunya pun Ia mengenalkan tentang Extrovert Ideal and stuff like that. Buat saya, membaca buku itu memberi definisi baru tentang karakter manusia yang pada dasarnya will help us to socialize. It helps us to accept people and help people to build their character in the right way. Because we know some terms. Terms define everything.

Atau ketika kita membaca novel.

Banyak novel yang memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian sehari-hari dengan berbagai peran di dalamnya. Kadang kita merasakan apa yang ada di dalam cerita dan memiliki asumsi tersendiri tentang suatu kejadian. Namun ketika melihat berbagai pendapat orang lain melalui peran yang dimainkan, rasanya kita bisa lebih pandai memaknai hidup. Haha.

Membaca buku agama?

Well, just be honest to ourselves. Kadang kita masih sering bertanya hal-hal kecil seperti jamak-qashar sholat yang benar seperti apa.

Membaca buku pelajaran?

Wkwk ini juga harus kok. Saya masih belajar banget buat yang ini. But here I talk more to books outside our field. Kalau hanya baca buku sesuai bidang kita, I guess its going to be hard to survive the world. Hahaha. Ekstremnya begitu. Sama seperti dengan blending with variety of people. Kalau kita hanya berteman dengan orang-orang yang sejenis dengan kita, gimana kita mau berkembang? Jika kita cuma bergaul dengan orang-orang pintar yang hobi baca farmakope tiap hari, we’re going to be a freak nerd that doesn’t have any other capability and doesn’t have wider value to others. Padahal untuk survive, we need skills more than we think.

Ilmu pengetahuan yang kita dapat dari sebuah bacaan dapat menyerap di otak kita sebagai sebuah fakta hingga pemahaman. Hal-hal yang masih membuat kita buta, membaca buku akan membuka mata kita. Hal-hal yang kita sudah tahu dasarnya, akan memperluas lagi wawasan kita. Hal-hal yang sudah kita tahu banyak, mungkin kita butuh suatu buku untuk membantu kita membuat segalanya jadi lebih terdefinisi dan terstruktur. Eventually, everything makes sense for us.

Membuat sesuatu menjadi lebih tertanam di otak harus lebih dari sekedar mendatangi seminar, browsing artikel, atau berdiskusi dengan orang lain. Books come to explain things comprehensively. Dari buku, seminar, dan berdiskusi, its going to be the perfect combination to, hopefully, create a real action toward our understanding. Hehe

Giving time to read is not easy, I know. Saya baru saja baca ini kemarin di akun line Metagraf, and I guess we can try this out to practice.

1. Borrow more books that you can read. Atau bisa juga beli buku sebanyak-banyaknya. Saya suka gatal kalau lihat buku masih banyak yang tersusun dan masih dalam plastik. Somehow akan ada urge buat baca. Bisa juga pinjam sama teman yang tipenya kasi deadline waktu pinjam, supaya termotivasi. Atau pinjam buku ke perpus dengan deadline juga.
2. Read more than one book at a time. Ini baru saya praktikan semester ini. Its not that bad though. Cukup efektif dalam eskalasi menambah pengetahuan wkwk. Hanya harus dijatah waktunya, misal baca novel di sela menunggu, baca buku lain sebelum tidur.
3. Set a goal per reading session. Yah misal setiap hari minimal harus baca 50 halaman.
4. Ignore what you ‘should’ be reading. Haha ini lagi saya coba banget. Biasanya saya baca buku-buku mainstream yang memang direkomendasikan orang, bukan atas dasar rasa ingin tahu diri sendiri. Tapi katanya, kita akan lebih termotivasi untuk membaca yang sesuai interest dan kita nikmati!
5. Practice speed-reading. Baca scanning gitu ya. It needs a lot of practice.
6. Read digitally across all your mobile devices. Untuk efektivitas dan efisiensi ini bagus banget. We can ready anytime and anywhere. Sayangnya mata saya cepat lelah kalau baca di smartphone lama-lama -.-
7. Read before going to bed. Menurut saya, ini cara yang paling ga buat merasa bersalah. Terkadang kita merasa bersalah membaca buku ketika tugas kuliah sedang menumpuk. Membaca di siang hari terus keasikan hingga lupa mengerjakan tugas. Well, read before going to bed will be the right choice, after we did all of our works.

Nah, semoga bermanfaat ya. Semoga kita bisa sama-sama sedikit-sedikit meluangkan waktu untuk membaca. Soal bacaan apa yang harus dibaca, mmmm, to me, We are what we read :)

Hayo 23 April hari apa?

Happy World Book Day!

Rabu, 20 April 2016

Farmasi dan Perempuan


Jurusan farmasi sepertinya menjadi incaran kaum hawa. Tanyakan pada sahabat perempuanmu di farmasi, berapa dari mereka yang baru tahu bahwa jurusan ini didominasi oleh perempuan setelah ia masuk ke dalamnya. Tanyakan apakah mereka menyesal masuk ke jurusan ini, karena jawabannya akan terdiri dari ‘tidak’ karena farmasi menyenangkan dan menantang dan ‘ya’ karena farmasi miskin kaum adam. Ga deng, canda.

Menjadi mahasiswi farmasi, mau tak mau bergelut dengan kebaperan di atas rata-rata karena perasaan lunak wanita, perbedaan standar banjir air mata, sikap bocah yang merajalela walau usia menua, tapi banyak juga yang dewasa, hanya saja, sepertinya peran logika kurang ada.

Menjadi mahasiswa farmasi, mau tak mau menjadi tumbal kemanjaan sekaligus kemalasan perempuan. Mulai dari menjadi ketua segala kelas, ahli menyalakan proyektor, hingga menjadi andalan segala kebutuhan logistik.

Saya masih ingat kala itu, teman saya dari jurusan teknik X menawarkan saya membawakan tas yang padahal dari fisiknya terlihat tas itu tidak berat sama sekali. Saya spontan berkata “apaan sih?”. Saya lupa, kampus saya penuh dengan laki-laki yang terdidik bahwa kaum adam harus membawakan tas wanita. Ga deng, maksudnya harus peka dengan beban perempuan. Apalagi saat itu, lagi masa-masanya ospek jurusan di mana semua laki-laki berubah menjadi tukang ojeg yang bahkan tak perlu dipanggil dan dibayar sudah menawarkan jok belakang motor; berubah menjadi tukang kuli sukarela yang mungkin kalau diminta membuat candi prambanan tadingan pun akan legowo saja. Hehe.

Terbayang seperti apa ospek jurusan farmasi? Mungkin akan terlihat merepotkan ketika membayangkan secuil laki-laki harus mengantar bolak-balik teman perempuannya ke rumah hingga harus tumpuk empat. Mungkin akan terlihat menggemaskan ketika para lelaki mencoba membawa tas teman perempuannya, ya di lengan kanan ada 3, lengan kiri ada 2, di leher 2, bahkan di kaki? Ini hanya contoh ekstrem. Lol. No, they don’t do that. Lelaki farmasi mungkin dituntut untuk melakukan segala aktivitas secara efektif dan efisien tanpa harus membebani perempuan.

Memang, ada apa dengan perempuan?

An-Nisa ayat 34 berbunyi (eits, mainnya udah ayat aja, gpp ya hitung-hitung nambah ilmu agama, bukan bahasan berat kok, selow ae)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

Agama pun mengajarkan betapa pentingnya peran seorang lelaki, khususnya dalam hal memimpin. Memimpin ini kemudian diinterpretasikan dalam segi tanggung jawab, mengayomi, dan melindungi perempuan. Sementara perempuan dinobatkan sebagai seorang yang layaknya dilindungi serta sebagai madrasah utama anak-anak, penjamin lahirnya generasi emas masa depan #tsah.

Norma dan sosial pun berperan. Warga Asia dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda terkait perempuan sampai Raden Ajeng Kartini pun terinspirasi oleh sahabatnya di Belanda dalam melihat peran perempuan. Terbitlah terang, emansipasi wanita di Indonesia muncul ke permukaan. Waktu berjalan, affirmative action dielu-elukan, hingga muncul juga paham feminisme. Entahlah sejarahnya seperti apa (lagi malas browsing sis), intinya perempuan hari ini sudah mendapatkan hak dan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun, mungkin karena kentalnya ajaran Islam di Indonesia serta norma penghuni dunia belahan timur kebanyakan, kultur laki-laki adalah pelindung wanita masih sangat kuat.

Secara ilmiahnya, laki-laki memiliki kodrat yang memang condong sebagai orang yang mampu untuk melindungi perempuan. Fisik yang cenderung lebih kuat, ambang baper yang berbeda dengan wanita, duh yah pokoknya tahu kan maksudnya apa. Lelaki memang dikodratkan demikian.

Sungguh, saya sebagai perempuan merasa sangat terhormat diberikan kedudukan seperti itu. Siapa perempuan yang tidak ingin dilindungi? Payung saja tidak cukup untuk menghalau badai dan jaket berlapis tak cukup ampuh menahan sengatan panas jika dibandingkan dengan seorang lelaki yang kuatnya melebihi tameng baja. *ini apaan sih*

Perempuan di sisi lain memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan berarti perempuan tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, bukan berarti perempuan harus bermanja-manja dan menggantungkan hidupnya penuh pada seorang lelaki, bukan berarti perempuan sah untuk mengeluh meminta menikah ketika beban kuliah dirasa berlimpah *lah*. Perempuan dan laki-laki memiliki porsi tanggung jawab dan kepemimpinan masing-masing sesuai dengan kodratnya.

Perempuan dan farmasi (ini judul dan konten kok agak ga nyambung ya). Menjadi perempuan yang kesehariannya dikelilingi oleh perempuan mungkin membuat tabiat anak farmasi berbeda? Entahlah. Mungkin. Bisa jadi. Namun yang saya rasakan sedikit banyak adalah soal keterlibatan perempuan untuk membangun himpunan. Posisi sekjen hingga ketua divisi yang kemudian didominasi oleh ciwi-ciwi haruslah menjadi momen pembelajaran yang luar biasa dalam menjadi seorang pemimpin. Menjadi anggota perempuan yang dipimpin lagi oleh perempuan kadang mungkin sulit, penuh toleransi dan bawa perasaan. Menyadari ketua himpunan yang sering adalah seorang laki2 (HMF pernah punya kahim cewek ga ya?), seharusnya dijadikan wadah kami untuk lebih mengerti peran perempuan. Jangan sampai jadi manusia yang hanya ingin dimengerti, namun harus juga memberi pengertian #yuhu. Menjadi penggerak himpunan harusnya bisa dijadikan alat untuk mengelola baper. Saya jadi teringat seorang pimpinan organisasi yang bilang bahwa saya bersifat passive agresive dalam memimpin, yah mungkin itu karena saya yang sudah sakit hati dan berniat profesional, tapi malah gagal karena baper sepertinya sulit untuk disembunyikan wkwk. Kan perempuan juga ingin dimengerti #nahloh.

Anyway, bukan hanya farmasi yang didominasi perempuan, beberapa jurusan lain pun ada. Semoga kondisi ini tidak mengurangi peran perempuan yang sebenarnya. Karena sejatinya perempuan hidup bukan hanya untuk mereview drama korea, bukan pula untuk sekedar bergosip ria dan belanja, bukan juga untuk menjustifikasi kebaperan-kebaperan yang ada, bukan juga untuk memamer2kan rupa yang jelita. Apa yang harus dilakukan perempuan jelas jauh lebih dari itu. Kalau kata akun Teh Jasmine, perempuan janga cuma modal cantik karena di tangannya lah kunci peradaban manusia. #tsah. Perempuan hari ini beruntung, tidak perlu repot2 memperjuangan haknya seperti di zaman kartini dulu. Sayang seribu sayang ketika perempuan hanya diam saja. Kuncinya adalah seimbang, memahami kodrat dan potensi perempuan. Kok ya saya ngomong kaya sudah paham benar tugas perempuan. Sambil sama2 belajar lah ya.

Terakhir, di hari kartini ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para sahabat lelaki di farmasi hehehe, khususnya untuk Femi, Yahya, dan Elkana, “cokiber”nya FKK. Para sahabat yang mengajarkan arti penting suplementer dan komplementer manusia. Sahabat yang tetap berusaha memposisikan diri mereka sebagai para pelindung wanita #ea. Para sahabat yang rela mendengar gosipan dan teriakan ciwi-ciwi walau dalam hati mungkin merasa tersiksa. Para sahabat yang sabar meladeni kebaperan dan kebocahan kami tanpa pernah menyalahkan perasaan yang menunggangi hati kami ini wkwk. Maaf jika kami kelewatan. Bimbing kami untuk menjadi perempuan yang sesuai kadarnya :p Semoga kita bisa saling peka dan peduli satu sama lain hingga nanti (duh baper mau pada lulus). Saya selalu ingat ketika menjadi peserta dan panitia ospek jurusan dengan kehadiran lelaki yang segelintir. Semoga kondisi tersebut yang tetap ada hingga sekarang, dapat mengajarkan para lelaki untuk tetap mengayomi tanpa memanjakan kami, memandirikan tanpa membebani kami :3

Yay. Selamat hari Kartini! Terbitkan terang secukupnya!