Senin, 30 Desember 2013

Cerita tentang Mahasiswa #1


Ampuni tulisan saya yang polos ini.

Mahasiswa itu wakil rakyat
Mahasiswa itu tidak boleh apatis dengan masyarakat
Mahasiswa itu bebas dari tunggangan kepentingan apapun
Mahasiswa itu.....

Banyak hal yang saya dapat selama menjadi mahasiswa di kampus yang boleh jadi saya katakan ‘sangat internal’. Kampusnya kecil, karakter orangnya cukup homogen dibanding dengan kampus lain (hanya asumsi) mungkin karena satu disiplin ilmu, kebanyakan anak teknik. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau saya akan berada di kampus ini, kampus yang tidak pernah ada di list saya sejak SD, bahkan saking noraknya saya, saya tidak pernah tau kalau kampus ini banyak peminatnya, sampai saya kelas 12 barulah saya tahu. Tidak pernah diduga kalau fakultas saya adalah fakultas yang minim laki-laki (oke ini ga penting). Dan tidak pernah tahu sebelumnya kalau kehidupan kampus di sini....atau kehidupan kampus, memang seperti ini.

Terlepas dari stereotype kampus saya yang katanya banyak cowo keren, ceweknya ga suka dandan (kaos,jeans,sepatu kets,tas ransel, no make-up) yang buat kami tidak diminati (cowo2 lebih pilih cewe un***), terkenal sombong, lulusannya lebih pilih perusahaan swasta parlente, sistem belajar yang sadis, mahasiswa yang ambis, standar nilai yang tinggi, dan okey silakan tambahkan stereotype lain. Namun saya tertarik dengan budaya kampusnya (well kampus lain juga mungkin seperti ini) terutama KADERISASI dan BERHIMPUN.

Saya tipe orang skeptis. Selalu suudzon sama orang-orang yang berorasi, calon ketua apapun, dan paling utama, selalu suudzon dengan orang-orang yang mengagitasi. Mindset saya selalu seperti ini, “Mereka pasti punya kepentingan, mereka ga ikhlas”. Tapi saya tipe orang plegmatis dan agak introvert so saya bukan tipe orang yang rebel yang dengan pikirannya bisa mencaci-maki orang-orang dengan bicara sarkastik. Makanya, saya paling sensitif kalau sudah bicara kaderisasi...sensitif imajinasinya, maksudnya cuma bisa ngomel di hati, ga berani bilang kalau saya ga setuju dengan sistem ini dan itu.

Sifat saya yang seperti ini muncul ketika SMA kelas X. Ketika dimabis, saya terkagum-kagum sekali dengan Dewan Keamanan di sekolah saya, mereka yg ditugaskan tukang marah-marahnya. Tapi di mata saya kala itu, mereka bukan marah, mereka tegas, kece, disiplin, pokonya oke banget. Tapi suatu ketika, kakak saya bilang begini sambil tertawa “Haha kece apanya, mereka seperti itu cuma pas mabis aja, kalo kamu tahu aslinya....hmmm”. Dari situ saya tahu, kepolosan jiwa, hati, dan otak saya (?) telah hancur di makan topeng yang robek seketika setelah mabis selesai (?). Apa itu teriakan tepat waktu, apa itu teriakan gesit, apa itu teriakan disiplin. Hanya gertakan. Tidak lebih. Tidak ada role model setelah mabis selesai.

Haha.

Oh no. Itu bukan candaan, saya serius, sejak itu sifat saya yang mudah suudzon bagai magma yg cepat turun dari gunung yang baru saja meletus, panas (?). Alhasil, saya tidak pernah percaya orator dan agitator, kecuali saya tahu sifat aslinya yang memang berlagak sesuai apa yang diorasikannya. Apa itu idealisme yang diteriakan orator, apa itu kontribusi, apa itu awareness, apa itu kebersamaan, apa itu...satu angkatan? Sekarang saya tanya hai pembaca, kalau dengar orasi, perasaan kalian bagaimana? Buat saya, orasi is just a ritual. Kalau diagitasi? High salute buat agitator (?) yang bicara sesuai dengan perbuatannya  otherwise, please...prestise itu ga semurah jadi agitator. Kepentingan yang pengkader bawa mungkin dianggap sah-sah saja, karena memang bicara tak sesuai dengan perbuatan sudah menjadi hal lumrah di mata banyak orang. Sedih. Lama kelamaan standar moral dan etika di kampus saya semakin luntur kaya baju putih yang dicuci campur dengan baju merah (?).

Oknum. Memang hanya oknum yang buat kericuhan di kampus, memang hanya oknum yang berani ribut dengan himpunan lain di syukwis, memang hanya oknum yang akhirnya buat stigma di komunitas tertentu. Memang tidak semua orator dan agitator berniat melenceng. Mungkin oknum itu hanya 20%,30%, atau 40% dari massa himpunan. Tapi sejumlah itulah yang menguasai atmosfernya. Quotes “Dunia ini rusak bukan karena orang-orang jahat, tapi orang baik yang diam” memang itulah yang terjadi.

Maaf kalau saya sok lurus, yah mumpung saya lagi lurus, saya ingin berpesan kepada semua pengkader. Saya bisa jadi ga peduli sistem seperti apa yang dipakai di kaderisasi apapun, saya juga tidak punya solusi sistem kaderisasi apa yang berhasil guna dan berdaya guna. Yang saya yakini, sistem apapun yang dipakai, jika pengkadernya punya niat baik...sistem itu akan baik dengan sendirinya. Lagipula, bicara kaderisasi itu tidak akan pernah sebentar. Tapi kalau kelamaan berkutat dengan keadaan internal, kapan mau mengurusi rakyat? Denger2 mahasiswa itu wakil rakyat...

Minggu, 29 Desember 2013

Why should be it?

I am one of those people who keep questioning "why Islam?". Despite all the time questioning, I am also one of those people who follow a trail of majorities and great people, within their influences of saying wisdom words and a mirror of a happy life of them. I am also one of those who walk like a snail while seeking truth, sleep like a bear whose sleep-time much in winter while seeking answers, think like normal human being though fear to speak up while hating other's arguments.  

None. None of what I did was an effort.  

So far, I found these four points are said by many people to be considered when choosing an ideology. I only agree on number four or may agree on number three.
1. Comfort makes faith: One would stay whenever he finds a cozy place to live. It just suits him. One would stay in a mosque because he feels comfy. He was born in Muslim family, the heart of a Muslim at least has been there, the habit and the ‘have-to-do' rules has been transferred by the nerves system of sensory to the effectors because the existence of stimuli in environment. The stimuli is religion lesson. The pleasant moment he undergoes success in getting rid of depression and suppression. Thus, comes that faith of believing in God of Islam.

One also would stay in Church because he feels comfy.

2. Human's ratio is not there yet: One would not believe that there would be a box who can display pictures, voices, and movements that what so called a television. A muslim is confused how Muhammad could go to the seventh sky in just a day, how Nuh could make such a big ship, how a could make b and c could make d. Simple answers: our ratio is just not there yet, like people eons ago whose ratio couldn't accept the invention of television.

A Christian is confused how Jesus born without mother and how they believe in trinity. Simple answers: their ratio is just not there yet.

3. Valid Histories
Tell me how to integrate histories and and how to convince that the histories are valid.

4. The most makes sense
This would be it. But people's senses are not the same. Choosing which religion is up to you, after all.

Now tell me why you - the most religious people in each religion - choose your religion. I want to do effort.

Minggu, 15 Desember 2013

that ideology comes second

Hi. Have you ever had a friend that never stop searching truth? Im kinda that person-wanna be. Ive been losing an ideology that once i had. That ideology comes second now. But too bad, everytime im about to learn and decide something related to it, obstacle smiles at me. Hi people there, convince me to stay commit on what is true. Give me some motivations. Religion.

Selasa, 06 Agustus 2013

Peran Pemuda Sebagai Perintis Budaya Positif


Tumbuhan yang tumbuh di zaman purba menjadi salah satu makhluk hidup yang mempelopori pertumbuhan tumbuhan lainnya. Kosong dan tidak berpenghuni menjadi karakteristik utama keadaan suatu tempat yang mendukung keberlangsungan tumbuhan purba ini untuk menjadi vegetasi perintis. Memulai sendiri untuk selanjutnya menciptakan kehidupan yang bermanfaat untuk makhluk lain di sekitarnya adalah suatu hal yang sangat bernilai. Sungguh, suatu hal yang bernilai akan membawa dampak baik ke depannya. Contohnya adalah lumut yang memberikan kehidupan bagi tumbuhan lain sehingga tumbuhan lain tersebut dapat merasakan nikmatnya ‘lahir’ ke dunia, selain itu manfaat yang dapat dirasakan oleh makhluk hidup lainnya adalah sebuah rantai makanan kehidupan untuk mencukupi kebutuhan masing-masing. Hal yang sama berlaku untuk para pemuda. Titel pemuda secara general mengarah kepada eksistensinya di masyarakat sebagai seorang yang tidak ditunggangi oleh kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik. Maka dari itu, sangat besar ruang gerak pemuda untuk melakukan perubahan. Pemuda juga merupakan bibit generasi mendatang yang kelak akan menggantikan kursi-kursi pemilik kekuasaan di berbagai tempat; kelak merekalah pembuat regulasi Negara dan penanggungjawab kesejahteraan bangsa. Salah satu peran pemuda adalah secara mandiri menjadi perintis budaya positif. Layaknya kelahiran tanaman yang memulai kelahiran tanaman lainnya, seorang perintis adalah seorang yang bisa memulai (inisiasi) dengan mandiri suatu bentuk budaya atau kegiatan lainnya sehingga kelak akan mempelopori (inisiatif) orang-orang disekitarnya untuk bertindak positif. Dengan berbagai tindakan positif yang dapat saja menindih budaya negatif di bawahnya atau menciptakan budaya baru ditengah budaya-budaya lain, kemandirian bangsa bukanlah suatu mimpi belaka untuk diraih. Kemandirian bangsa yang dimaksud adalah suatu keadaan bangsa yang tidak bergantung pada bangsa lain dalam mencapai tujuan bangsa dan negaranya. Dengan karakteristik bangsa yang berinisiatif dan berani menginisiasi suatu gerakan atau budaya secara mandiri, kemandirian bangsa akan muncul ke permukaan. Peran pemuda sebagai perintis budaya positif dapat dilakukan dengan cara-cara, yaitu menanamkan nilai berdasarkan prinsip manfaat dan kebiasaan, mengedepankan identitas dan prinsip, dan mengkaji aplikasi budaya dari luar.

Penanaman Nilai Berdasarkan Prinsip Manfaat dan Kebiasaan
Sudah menjadi suatu kebutuhan manusia itu sendiri bahwa mereka terlahir untuk dapat bersosialisasi dan bermanfaat bagi orang lain. Mendapatkan manfaat menjadi poin penting tujuan seseorang melakukan suatu kegiatan; tanpa manfaat, hanya sedikit orang yang mau mengejar cita-citanya. Lihat saja Ir. BJ Habibie yang dengan ketekunannnya berhasil membuat rancangan pesawat produk dalam negeri, semata-semata beliau membuatnya untuk kepentingan masyarakat umum. Dalam artian, cita-cita beliau untuk membuat pesawat terbang karena dorongan pada diri bahwa kelak pesawat tersebut akan bermanfaat sebagai alat transportasi. Disinilah peran pemuda untuk menularkan nilai-nilai berdasarkan prinsip manfaat. Pemuda diharapkan mampu menyebarkan manfaat-manfaat dari sebuah nilai, tidak disimpan sendiri. Tentulah mereka memerlukan media penyebaran. Komunitas-komunitas yang terbentuk secara mandiri atas inisiatif anggotanya secara umum bergerak untuk tujuan tertentu demi kesejahteraan sasaran tujuan. Pemuda dapat menggunakan komunitas-komunitas itu sebagai media penyebaran nilai dan manfaatnya agar sasaran tujuan mendapatkan manfaat yang tepat. Penanaman nilai yang dimaksud di sini bukan saja hal-hal kompleks, melainkan hal sederhana yang terkadang banyak dilupakan orang-orang, seperti kedisiplinan, produktivitas, dan kepedulian.

Memang dibutuhkan usaha yang tidak sedikit untuk meyakinkan orang-orang di sekitar untuk menanamkan nilai tertentu pada dirinya, tetapi bukan berarti usaha ini mustahil dilakukan. Tahap selanjutnya ketika penyebaran nilai telah dilakukan adalah menjadikan nilai tersebut suatu kebiasaan, kebiasaan inilah yang menjadi air bagi tanaman yang baru saja ditanam. Dengan kebiasaan, nilai-nilai akan kokoh terbentuk menjadi suatu budaya. Namun, kebiasaan akan lebih mudah dibangun pada komunitas baru, maka dalam hal ini pemuda dituntut untuk berinovasi membuat pergerakan baru lewat komunitas untuk selanjutnya menerapkan peraturan-peraturan tertentu yang berlaku pada komunitas tersebut. Seperti sudah dikatakan di atas, keadaan kosong dan tak berpenghuni menjadi karakteristik yang cocok untuk sang vegetasi perintis memulai pertumbuhannya; begitu juga dengan pemuda yang akan lebih mudah membuat budaya baru pada suatu komunitas baru karena belum adanya jejak-jejak nilai terdahulu yang mengakar menjadi adat. Bagaimana dengan budaya negatif yang sudah ada sejak dulu? Pemuda tentunya dituntut untuk mampu menyisipkan budaya positif di tengah-tengah kebiasaan kurang baik sampai akhirnya hanya kebiasaan baik yang tersisa.

Identitas dan Prinsip di Garda Terdepan
Ir. Soekarno dalam pidato kemerdekaannya secara tidak langsung berhasil menginisiasi lahirnya sebuah identitas dan prinsip untuk negeri ini. Identitas Indonesia yang dimaksud adalah bendera Merah Putih, bahasa Indonesia, lambang Garuda, lagu kebangsaan, dsb yang menjadi salah satu tiang penyangga pondasi negeri ini. Identitas dapat menyamakan persepsi setiap orang bahwa kita adalah satu bangsa yang memiliki kesamaan prinsip dan ideologi, bahwa kita adalah individu yang tidak sendiri; muncullah rasa nasionalisme pada setiap individu, maka dari itu kemandirian bangsa akan muncul dari jiwa nasionalis tersebut. Dengan demikian, muncul rasa percaya diri bahwa bangsa ini dapat bersatu untuk mencapai tujuannya tanpa harus meminta iba bangsa lain.

Tertanggal 28 Oktober 1928, diputuskannya ikrar sumpah pemuda menjadi tonggak sejarah penting bangsa Indonesia.
1. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.
3. Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Tiga poin yang jika dilihat secara seksama tersebut, ternyata memuat satu bahasan penting, yaitu budaya memegang teguh identitas kebangsaan oleh para pemuda. Kasman Singodimedjo, salah satu dari 13 tokoh sumpah pemuda telah memegang teguh identitas bangsanya sendiri dengan menjadi perintis keberadaan Pramuka di Indonesia. Sebagaimana kita tahu, pendidikan Pramuka mencakup pendidikan nasionalisme bagi para pemuda. Disinilah apresiasi yang tinggi perlu diberikan kepada beliau sebagai perintis budaya kepramukaan yang melahirkan pemuda-pemuda peduli bangsa dan Negara. Maka dengan diikrarkannya sumpah pemuda, diharapkan pemuda di zaman sekarang tidak melupakan esensi dari rasa bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu seperti pemuda dahulu karena pada dasarnya perumusan ikrar pastinya dibuat dengan kajian yang mendalam. Esensi ikrar tersebut pada akhirnya harus mampu mempersatukan bangsa Indonesia menuju kemandirian bangsa. Selain budaya nasionalisme, contoh peristiwa yang patut dikaji berkaitan dengan pemuda sebagai perintis budaya misalnya nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang dipegang oleh pihak asing. Dengan esensi ikrar sumpah pemuda, seharusnya sebagai bangsa yang bersatu, Indonesia akan percaya terhadap bangsanya sendiri untuk mengelola perusahaan-perusahaan secara mandiri. Budaya memegang teguh identitas bangsa pada akhirnya diharapkan akan melahirkan pemuda-pemuda yang saling percaya satu sama lain atas dasar persatuan.

Pengkajian Budaya Luar
Suatu hal yang sering terdengar ketika orang-orang ‘mengelu-elukan’ kemajuan bangsa lain dan kebalikannya justru mencela kemunduran bangsa sendiri. Banyak pelajar bahkan mahasiswa masih saja berkomentar keras bahwa Indonesia harus mencontoh negeri lain dengan mengaplikasikan berbagai sistem yang berlaku di sana, seperti sistem pendidikan ataupun ekonominya. Padahal, segala sesuatu yang baik di negeri orang belum tentu baik di negeri sendiri. Latar belakang sejarah, budaya, dan norma yang berlaku di Indonesia menjadi faktor utama yang perlu disesuaikan dengan suatu sistem. Berkaitan dengan hal ini, pemuda memegang peran penting untuk membudayakan kajian pengimplementasian budaya dari luar Indonesia. Budaya yang dimaksud meliputi norma dan nilai, sistem pemerintahan, dan sistem lainnya berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan solutif, segala keputusan yang akan dilakukan akan cenderung pada arah yang benar bukan sekadar ikut-ikutan sistem bangsa lain (pencerminan ketergantungan terhadap Negara lain). Namun, permasalahan di Indonesia adalah terkadang pengkajian terlalu banyak dilakukan sampai mengulur waktu pelaksanaan keputusan sehingga di mata masyarakat, bangsa Indonesia tidak mampu mengefektifkan dan mengefesiensikan waktu. Akibatnya, kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi. Dalam permasalahan di atas, pemuda sebagai generasi mendatang pengganti para pembuat keputusan -yang memengaruhi kemaslahatan masyarakat banyak- dituntut untuk menjadi pribadi yang mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dan golongan. Maksudnya adalah meminimalisasi egoisme pribadi dalam mendiskusikan keputusan.

Pada intinya, pemuda berperan untuk mengkaji budaya dan permasalahan-permasalahan, baik lokal, nasional maupun internasional sebagai referensi untuk merintis suatu budaya yang akan diserap di negeri sendiri. Penyerapan budaya luar tanpa dikaji terlebih dahulu akan berakibat fatal, misalnya saja budaya berpakaian ala barat yang masuk ke Indonesia dikecam oleh beberapa orang; pergantian sistem pendidikan di Indonesia yang tidak stabil melecutkan kritik pedas dari masyarakat; dsb.

Kemandirian bangsa dimulai dari kemandirian pemuda di dalamnya dalam melahirkan suatu budaya. Pemuda sebagai perintis budaya positif melakukan penanaman nilai berdasarkan manfaat dan kebiasaan, mengedepankan identitas dan prinsip bangsa, serta melakukan pengkajian mendalam terhadap budaya luar. Tiga hal di atas adalah poin cara yang dapat dilakukan oleh pemuda untuk menjadi perintis budaya yang akan melahirkan budaya-budaya lain untuk selanjutnya diterapkan pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Penanaman nilai dan manfaat salah satunya dapat membuka mata dan hati orang-orang untuk peduli negerinya; lahirlah suatu nilai yang akan menjadi kebiasaan untuk dilakukan. Berpegang teguh pada identitas dan prinsip bangsa akan melahirkan pemuda yang berjiwa nasionalis untuk melahirkan budaya peduli bangsa dan Negara serta budaya percaya sesama atas dasar persatuan. Kajian yang mendalam akan melahirkan pemuda yang mampu menyaring hal-hal apa yang pantas dijadikan budaya untuk kemajuan negeri ini dan hal apa yang justru berpotensi untuk merusak negeri. Output seperti tumbuhnya kepedulian, jiwa nasionalis, dan saling percaya akan membawa bangsa ini mandiri karena dengan begitu setiap individu bangsa ini dapat menjadi pelopor gerakan-gerakan berbasis kebangsaan. Gerakan berbasis kebangsaan akan menimbulkan rasa percaya diri bahwasanya bangsa Indonesia mampu berdiri sendiri.

Ketiga hal tersebut hanyalah sebagian cara yang dapat dilakukan pemuda sebagai perintis budaya positif. Namun ketiganya merupakan dasar yang dapat dipegang oleh setiap pemuda dalam melakukan tindakannya sehingga tidak salah kaprah mempelopori suatu budaya. Harapannya adalah para pemuda negeri ini berkomitmen untuk melakukan perannya secara maksimal demi kemandirian bangsa.

Selasa, 30 Juli 2013

matter of flexibility?

So, guess imma start blogging again. Happens every time, I was about to start writing but then in the middle of writing, someone calls me, texts me or knocks my room door, or college homework attempts to persuade me do them. The worst one, I really have no idea what to write despite all my life's dynamic changes. Just didn't know how to start arranging words and occasions. Been a long time, think my fingers and brain getting stiff lol.

So a friend of mine just tagged me this fb note about mmmm a motivation? Yes, a motivation presented to his friends, he wanted me and others to write again, which is good. I threw a comment saying "Im focusing on my reading, I'll write after". Now, what am I reading? I'm reading this Middle East conflict, im reading MUN guide book, and probably I will have to read about international law. What to share? You want me to share the content, you'll have to read the lies and what so-called "filthy politic" in my write later - and of course my thought that is paradox with what im doing now- which is not recommended. Why? Lack of information and critical thinking still limit me to share and give opinions. That fears me to be vocal. Me still a baby. Or… let me just share my confusion about this..

I stick my handmade-life's goal poster on my bedroom wall, which sometimes make me excited on going to college and passionate about doing things related to my goals. Good things though, but then one day I noticed something. Friends see the poster, yes, because I stick it on. They would remember some words and points; they would observe and follow me; finally they'd be more than happy to see the future me could or instead, couldn't achieve the goals. The second one saddens me. How if I couldn't achieve all of them?

The goals made based on my passions, also made by consideration that outside comfort zone is your right spot to develop. The thing is I didn't consider my capability and the nature law, oh poor Risni now you're trapped by friends whose eyes on you. YES, I am saying that I think I cannot achieve the goals. What? Say it again? I'm coward? Well, say it loud because it is true. Having this fear of not succeed is overwhelming me. I'm kinda scared on trying and moving forward, recently.

Too comfort, just way too comfort in a zone.
I had this conversation with my friend:
Me : is it better to self-develop in comfort zone or out?
F : Have you settled enough in that comfort zone?
Me : Well, fluctuative…but at least I could say it is my comfort zone
F: Hm…you better go out, widen your comfort zone
Me : Ive tried for 2 years, it didn't work. What does it mean?
F : Can the comfort zone be widened or we just can't open the door toward changes?
Me : ………
Me : How exactly comfort zone be defined?
F : Place where you can go back. You feel comfortable. Accepted and Accepting
Me : ……..
Me : How if the changes in fact didn't suit my ideology? Well, okay, open minded but do we have to be open minded? Is it always beneficial to be an open minded girl?
F : So you wanna be open but limited, and you are searching for the limits?
Me : Maybe..

That's pretty much about it. It banged me. Trying to blend and adjust with any conditions indeed not that easy, to me. To reach my goals should be that ‘butterfly girl', you know.  So sad, though ive been accepted, doesn't mean ive accepted. If it what happened, me the one to blame like what F said cannot open the door toward changes. The fear of changes. It's getting serious lol. Some people may see me adaptable, some not. And that's me….. for a while. The comfort zone hampers me to make achievements. Incapability to be flexible in accepting anything.

I give you an example. I love research a lot, got this pleasure feeling when I know stuffs, so I join MUN. I passed some phases so far and had this role to be Israeli to talk about Iranian Nuclear Program. It worried me somehow since I and of course people know that ‘filthy politic' is happening around the world yet I was to talk in diplomacy. MUN teaches you to be other person haha. I would say that way.

Then it comes to the caucus phase. Overwhelmed. I feel terrible and nervous. Despite everything that I don't know yet, I read this book about Syria and it's multinational conflict. Again, that ‘filthy politic' I have to say in another rhetoric called Diplomacy. How that feeling to against your own opinion despite all facts and religion views? But people involved there think different…compare to me. You can name the people but just don't say it.  

It just one sample of ideology-contradicts.
Many occasions I couldn't manage in term of different paradigm.
Again, incapability to be flexible in accepting anything.
Well then, it hasn't been my comfort zone yet. Lets just see how I deal with it.
God speed.

Sabtu, 29 Juni 2013

Beasiswa Dataprint :D

Beasiswa yang dikhususkan untuk pelajar dan mahasiswa aktif :)

Check it out!
www.beasiswadataprint.com
www.dataprint.co.id