Senin, 30 Desember 2013
Cerita tentang Mahasiswa #1
Ampuni tulisan saya yang polos ini.
Mahasiswa itu wakil rakyat
Mahasiswa itu tidak boleh apatis dengan masyarakat
Mahasiswa itu bebas dari tunggangan kepentingan apapun
Mahasiswa itu.....
Banyak hal yang saya dapat selama menjadi mahasiswa di kampus yang boleh jadi saya katakan ‘sangat internal’. Kampusnya kecil, karakter orangnya cukup homogen dibanding dengan kampus lain (hanya asumsi) mungkin karena satu disiplin ilmu, kebanyakan anak teknik. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau saya akan berada di kampus ini, kampus yang tidak pernah ada di list saya sejak SD, bahkan saking noraknya saya, saya tidak pernah tau kalau kampus ini banyak peminatnya, sampai saya kelas 12 barulah saya tahu. Tidak pernah diduga kalau fakultas saya adalah fakultas yang minim laki-laki (oke ini ga penting). Dan tidak pernah tahu sebelumnya kalau kehidupan kampus di sini....atau kehidupan kampus, memang seperti ini.
Terlepas dari stereotype kampus saya yang katanya banyak cowo keren, ceweknya ga suka dandan (kaos,jeans,sepatu kets,tas ransel, no make-up) yang buat kami tidak diminati (cowo2 lebih pilih cewe un***), terkenal sombong, lulusannya lebih pilih perusahaan swasta parlente, sistem belajar yang sadis, mahasiswa yang ambis, standar nilai yang tinggi, dan okey silakan tambahkan stereotype lain. Namun saya tertarik dengan budaya kampusnya (well kampus lain juga mungkin seperti ini) terutama KADERISASI dan BERHIMPUN.
Saya tipe orang skeptis. Selalu suudzon sama orang-orang yang berorasi, calon ketua apapun, dan paling utama, selalu suudzon dengan orang-orang yang mengagitasi. Mindset saya selalu seperti ini, “Mereka pasti punya kepentingan, mereka ga ikhlas”. Tapi saya tipe orang plegmatis dan agak introvert so saya bukan tipe orang yang rebel yang dengan pikirannya bisa mencaci-maki orang-orang dengan bicara sarkastik. Makanya, saya paling sensitif kalau sudah bicara kaderisasi...sensitif imajinasinya, maksudnya cuma bisa ngomel di hati, ga berani bilang kalau saya ga setuju dengan sistem ini dan itu.
Sifat saya yang seperti ini muncul ketika SMA kelas X. Ketika dimabis, saya terkagum-kagum sekali dengan Dewan Keamanan di sekolah saya, mereka yg ditugaskan tukang marah-marahnya. Tapi di mata saya kala itu, mereka bukan marah, mereka tegas, kece, disiplin, pokonya oke banget. Tapi suatu ketika, kakak saya bilang begini sambil tertawa “Haha kece apanya, mereka seperti itu cuma pas mabis aja, kalo kamu tahu aslinya....hmmm”. Dari situ saya tahu, kepolosan jiwa, hati, dan otak saya (?) telah hancur di makan topeng yang robek seketika setelah mabis selesai (?). Apa itu teriakan tepat waktu, apa itu teriakan gesit, apa itu teriakan disiplin. Hanya gertakan. Tidak lebih. Tidak ada role model setelah mabis selesai.
Haha.
Oh no. Itu bukan candaan, saya serius, sejak itu sifat saya yang mudah suudzon bagai magma yg cepat turun dari gunung yang baru saja meletus, panas (?). Alhasil, saya tidak pernah percaya orator dan agitator, kecuali saya tahu sifat aslinya yang memang berlagak sesuai apa yang diorasikannya. Apa itu idealisme yang diteriakan orator, apa itu kontribusi, apa itu awareness, apa itu kebersamaan, apa itu...satu angkatan? Sekarang saya tanya hai pembaca, kalau dengar orasi, perasaan kalian bagaimana? Buat saya, orasi is just a ritual. Kalau diagitasi? High salute buat agitator (?) yang bicara sesuai dengan perbuatannya otherwise, please...prestise itu ga semurah jadi agitator. Kepentingan yang pengkader bawa mungkin dianggap sah-sah saja, karena memang bicara tak sesuai dengan perbuatan sudah menjadi hal lumrah di mata banyak orang. Sedih. Lama kelamaan standar moral dan etika di kampus saya semakin luntur kaya baju putih yang dicuci campur dengan baju merah (?).
Oknum. Memang hanya oknum yang buat kericuhan di kampus, memang hanya oknum yang berani ribut dengan himpunan lain di syukwis, memang hanya oknum yang akhirnya buat stigma di komunitas tertentu. Memang tidak semua orator dan agitator berniat melenceng. Mungkin oknum itu hanya 20%,30%, atau 40% dari massa himpunan. Tapi sejumlah itulah yang menguasai atmosfernya. Quotes “Dunia ini rusak bukan karena orang-orang jahat, tapi orang baik yang diam” memang itulah yang terjadi.
Maaf kalau saya sok lurus, yah mumpung saya lagi lurus, saya ingin berpesan kepada semua pengkader. Saya bisa jadi ga peduli sistem seperti apa yang dipakai di kaderisasi apapun, saya juga tidak punya solusi sistem kaderisasi apa yang berhasil guna dan berdaya guna. Yang saya yakini, sistem apapun yang dipakai, jika pengkadernya punya niat baik...sistem itu akan baik dengan sendirinya. Lagipula, bicara kaderisasi itu tidak akan pernah sebentar. Tapi kalau kelamaan berkutat dengan keadaan internal, kapan mau mengurusi rakyat? Denger2 mahasiswa itu wakil rakyat...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar