Jumat, 20 November 2015

Rekam Medis

Hari Minggu selalu identik dengan langit yang cerah. Langit yang biru terang, awannya putih menggumpal indah, setidaknya bagi Resa. Walau kenyataannya mendung menyergap, hari Minggu akan tetap terang di mata Resa.

Ayah sedang bercengkerama mesra dengan Ibu. Rupanya pemandangan itulah yang membuat mendung seolah cerah, panas seolah sejuk, dan lelah hilang diterpa semilir angin ramah. Itu adalah pemandangan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Bagi Resa, ke dua orang tuanya adalah berlian yang tidak bisa dibeli bahkan dengan jutaan dirham atau ratusan kerang berisi mutiara. Hari Minggu akan selalu menjadi hari favorit Resa di mana Ayah sejenak melepas jas putih dokter miliknya dan Ibu sejenak menyempatkan waktunya bersama Resa.

Resa menangkap mata Ayah yang berpapasan dengannya, seraya tersenyum dan mengangguk bijak, Ayah berkata, “Resa kemari, Ayah dan Ibu punya sesuatu untukmu”.

Ayah selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh anak semata wayangnya. Sebuah laptop baru. Sudah lama Resa menginginkan laptop baru karena laptop lamanya yang sudah sulit untuk diajak kerja sama. Tak berani bilang karena takut merepotkan, alih-alih Ayah memberikannya laptop lengkap dengan harddisk eksternal 1 terabyte. “Pokoknya, kamu harus selalu save skripsi kamu ya nak, kalau perlu tiap kali kamu mengetik satu huruf, langsung pindahkan di harddisk ini, dan harddisk ini tidak akan kehabisan memori walau skripsimu jutaan halaman, hahaha. Uhuk..uhuk..”. Tawa serak Ayah bercampur dengan batuknya mengisi ruang tengah keluarga kecil ini, Resa pun tersenyum dan memeluk Ayahnya. Rambut putih Ayah bergesekan dengan rambut hitam legam Resa saat ia memeluknya. Walau hanya sepermili detik warna rambut itu terlihat jelas di mata Resa, Resa tidak akan pernah lupa saat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, rasa khawatir yang tidak bisa ia deskripsikan. Tidak terasa waktu begitu cepat, Ayah sudah tak lagi muda. Kacamata dengan rantai menjulur hingga belakang telinga dengan lensa yang sangat tebal, guratan-guratan wajah yang terlihat jelas tanpa harus melihat ayah tersenyum sekalipun, dan getaran tangannya saat ia membalas pelukan Resa; walau kecil, ia bisa merasakannya, serta sikap linglung Ayah yang membuat Resa resah. Sifatnya yang ia bilang ia hanya pura-pura lupa.

Kesibukan Ayah berkeliling di pulau-pulau terpencil di Indonesia membuat Resa terkadang lupa untuk memerhatikan Ayah sedetail mungkin, yang penting Ayah pulang ke rumah dengan selamat, itu yang selalu menjadi perhatian Resa. Ia bisa melihat jas dokter yang selalu Ayah kenakan ke manapun, warna putihnya sudah bercampur dengan setianya matahari dan angin yang menemani Ayah kemanapun. Jas itu adalah saksi bisu perjuangan keras Ayah.

“Uhuk...uhuk..” Ayah kembali batuk.
“Dok, dokter jangan sakit. Masa dokter sakit. Hihi.” Resa tertawa kecil sambil bercanda menegur Ayahnya yang batuk. Candaan yang dibuat-buat untuk menutupi rasa cemasnya.
“Dokter juga manusia, bisa sakit. Tapi dokter ini beruntung punya anak calon farmasis, ayo beri dokter tua ini obat batuk yang mujarab. Hahaha.” Ayah tertawa lagi, Resa membalasnya dengan tawa gurih.

***

Hari ini mata kuliah Farmasi Klinik, mata kuliah yang paling Resa senangi. Mita, salah satu teman Resa menyapa Ka Ryan, dosen muda yang baru saja mendapat SK mengajar itu adalah dosen yang digandrungi mahasiswi-mahasiswi teman sekelas Resa.
“Halo Ka Ryan! Hari ini kita belajar apa?” Mita tersenyum bertanya, memamerkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Ka Ryan mendongakan kepalanya yang sedari tadi fokus pada sebuah koran. Ia menjawab, “Pemantauan Terapi Obat Mita, kan ada di jadwal”. Mita hanya membalas singkat, “Iya cuma mau konfirmasi ka hehe”. Sebenarnya bukan itu alasan Mita menyapa Ka Ryan, ia hanya iseng, genit mengganggu ka Ryan di depan teman-temannya. “Genit pisan mit!” Resa mendorong pelan Mita, yang didorong nyengir.
“Hari ini kita akan belajar pemantauan terapi obat dengan metode SOAP, kalian akan membaca rekam medis pasien dari sebuah rumah sakit.” Ka Ryan memulai kelas.

Resa memandangi tumpukan dokumen di atas meja sebelah ka Ryan. Ia penasaran apa isi dari rekam medis. Lebih dari tiga tahun berkuliah di jurusan Farmasi Klinis bahkan sudah lebih dari 20 tahun dia menjadi seorang anak dokter bedah, belum pernah ia membuka satu lembar pun rekam medis. Ia menyadari bahwa rekam medis adalah dokumen rahasia rumah sakit yang hanya boleh digunakan atau dilihat pada kondisi tertentu saja, misalnya untuk penelitian atau belajar seperti saat ini. Resa dan teman-teman mulai membentuk lingkaran berkelompok, masing-masing kelompok diberikan satu buah rekam medis yang harus dianalisis kondisinya serta dibuat rencana pengobatan lanjutan. Resa perlahan membuka lembaran dokumen itu, sudah lama ia menanti saat-saat ini. Lembaran demi lembaran dibuka, dahinya mulai mengkerut, matanya mulai menyipit, berusaha keras membaca tulisan dokter yang seperti cacing-cacing kecil bergelimpangan di atas kertas. Ayah pernah bilang pada Resa bahwa pendidikan tidak meminta dokter menulis tak jelas, hanya saja entah kenapa dokter masih saja melakukan itu.

Resa tiba-tiba ingat cerita Ibu ketika ia jatuh cinta pada Ayah. Saat itu mereka berbeda universitas dan dipertemukan pada sebuah forum; forum itu membuat mereka tak sengaja bertemu lagi dalam satu kepanitiaan. Ketika itu Ayah menuliskan pesannya dalam suatu kertas yang diserahkan pada Ibu, tulisan kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli oleh Ibu di warung sebelah masjid karena Ayah harus buru-buru mengisi acara menjadi seorang pembicara forum. Kebutuhan yang akan digunakan dalam simulasi games acara hari itu. Resa sungguh ingat ketika itu ibu bercerita sambil mukanya memerah karena tawa, secarik kertas saat itu yang ibu terima adalah format resep dengan tulisan Rx, ibu tahu betul tanda itu adalah simbol resep walaupun ibu bukan mahasiswi kesehatan. Tulisan di atas kertas itu benar saja seperti lambang integral dari berbagai arah, ibu hanya tersenyum dan berusaha sesabar mungkin menelusuri huruf demi huruf yang ada. Resa ikut tersenyum, ia selalu senang membayangkan wajah ibu ketika bercerita hal sederhana itu. Ibu bilang, Ayah dulu memang hobi mengerjai ibu dan ibu bilang kepada Resa bahwa di samping bijak dan baiknya Ayah, sisi humoris Ayahlah yang membuat ibu jatuh cinta.

“Heh Res! Udah selesai belum isi kolom subjektif-objektifnya, aku mau kerjain yang kolom assessment nih.” Mita membuyarkan lamunan indah Resa.
“Eh sori, hehehe belum Mit, give me another 10 minutes yak!” Resa nyengir kuda, sementara Mita sedikit kesal karena kerjaan temannya yang lama.
Resa kembali fokus pada rekam medisnya. Ia perlahan memindahkan identitas pasien, data anamnesa, diagnosis, dan hasil lab pada lembar jawaban. Selesai menuliskannya, Resa membaca kembali apa yang telah ia tulis. Resa terdiam. Matanya perlahan bolak-balik membaca ulang lembar jawaban, kemudian matanya berpindah pada rekam medis dan menemukan kolom berisi status kepulangan. Resa menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang. Kepalanya ia dongakan berusaha membendung air mata agar tidak jatuh. Tangannya mengepal pegangan kursi berusaha untuk menguatkan diri. Perlahan ia kembalikan posisi kepalanya seperti semula.
“Innalillahi...” Resa bergumam pelan.
“Ada apa Res?” Ima teman satu kelompoknya bertanya.
“Pasiennya meninggal” Ucap Resa pelan, semua pun terdiam untuk beberapa detik. Tiba-tiba Mita angkat bicara.
“Kita doakan saja Res, ini kali pertama kita membuka sebuah rekam medis, lama-lama kita akan terbiasa dengan ini, apalagi nanti ketika benar-benar kerja di rumah sakit. Semoga ini menjadi salah satu pengingat kita akan mati, pengingat kita untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kita nikmat sehat.”
Ima menimpali,
“Sepakat. Semoga pula, rekam medis ini akan selalu mengingatkan kita untuk terus belajar menjadi apoteker kompeten. Apoteker yang siap mendesign perencanaan pengobatan yang tepat untuk pasien.” Suasana diskusi itu jadi semakin haru bercampur segan karena Resa tidak pernah melihat temannya bicara serius seperti itu.
“Cieee pada mendadak bijak!” Lea yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha Lea, iya Le kadang baper itu dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini. Supaya kita bisa menjadi manusia yang lebih bijak.” Resa tersenyum ke arah Lea. Tentu saja Lea sepakat.

***

Resa paling senang ketika ia membayangkan kisah Ayahnya. Ayah menikahi Ibu setelah Ayah selesai koas dan berangkat internship ke Papua dalam keadaan ibu sedang hamil Resa. Satu tahun ibu hidup dalam kekhawatiran; menanti Ayah yang menghubungi Ibu dan menyampaikan pesan bahwa ia baik-baik saja. Dulu internet bukanlah barang lumrah, Ayah harus pergi puluhan km menuju kota menumpang truk yang tak sengaja lewat, hanya untuk mengakses telepon umum dan menelepon ibu. “Aku baik-baik saja”. Empat kata itu, hanya empat kata itu yang selalu ibu nantikan. Selain empat kata rutin itu setiap bulan, ibu bilang Ayah selalu menanyakan keadaan Resa, Ayah selalu meminta ibu untuk menyimpan gagang telepon di perutnya kemudian Ayah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayah pun bercerita bagaimana kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, betapa sulitnya mengakses air bersih, betapa Ayah takut membantu ibu-ibu desa melahirkan untuk pertama kalinya, betapa Ayah menahan sekuat tenaga untuk tetap tenang dikala ia melakukan operasi dengan alat seadanya, dan betapa ia ingin menjerit kencang ketika ia mendapati pasien yang dioperasinya meninggal dunia. Di akhir telepon, ibu bilang pada Resa bahwa Ayah selalu menitipkan pesan pada Resa di dalam janin, “Kelak, anak Ayah harus punya rasa empati yang besar, peduli pada sesama, dan selalu menolong karena Allah”. Resa sungguh tahu hati mulia Ayahnya, hati bersihnya lah yang menggerakan Ayah untuk tetap berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia mengabdikan diri sebagai dokter tak dibayar. Ketika itu usia Resa 5 tahun, bermodalkan doa dan tekad, Ayah sangat berharap ibu mau membantu merajutkan mimpi Ayah yang belum selesai.

“Sejatinya, setegak apapun seorang istri berdiri sendiri, ia butuh sandaran suaminya; sekuat apapun dan sehebat apapun seorang ibu membimbing anaknya, seorang anak tetap membutuhkan kasih Ayahnya. Mau apapun mimpimu, tujuan kita tetaplah sama, surga yang tak ada tandingannya. Maka pilihanku hanya dua, membantu merajutkan mimpimu atau aku memaksamu untuk membuat rajutan baru.” Ibu menanggapi Ayah setelah Ayah pelan-pelan menyampaikan maksudnya yang ingin tinggal di desa-desa, mengabdi sebagai seorang dokter. Belum sempat Ayah membuka mulutnya, ibu melanjutkan kata-katanya.
“Seorang istri mempunyai kewajiban untuk menuruti suaminya, membuat suaminya senang dan memuaskan keinginannya karena Allah. Lebih dari itu, Allah mau hambaNya saling tolong-menolong, memberikan manfaat niscaya kita mendapat syafaat. Aku harus menolak merajut mimpimu dengan warna yang sama, namun izinkan aku merajut mimpimu dengan warna berbeda karena warna itu akan datang bukan hanya dariku, namun juga dari anakmu.”
Ayah seketika memeluk Ibu erat. Ia menangis terharu.


Sejak saat itulah, hidup Resa berubah. Resa menjadi seorang anak yang tumbuh dengan masyarakat. Selama 5 tahun ia diwadahi dengan berbagai macam wahana indah. Air bersih, kamar berAC, tempat bermain, semuanya berganti dalam sekejap. Resa harus terbiasa menunggu air kali yang disaring ibu dengan saringan manual, Resa harus terbiasa duduk mengampar di tanah mendengarkan guru sekolah Resa membacakan pelajaran. Dirinya sering protes dan mengamuk memohon Ayah dan Ibu untuk kembali ke kota, namun Ayah tak pernah mengizinkan. Ia justru membuat Resa makin susah dengan memintanya mencuci baju sendiri, memasak makanan, dan mengajarkan teman-temannya berhitung dan menulis. Dengan kesabaran orang tuanya, Resa perlahan hidup menjadi seorang anak desa yang mandiri dan penuh empati. Desa dengan sanitasi rendah dan masyarakat yang tidak sadar akan kesehatan pun berubah karena keluarga kecil ini. Ayah lah yang paling pandai menyulap desa demi desa menjadi wahana yang asik dan sehat. Ayah dengan bisnis apotek bekerja sama dengan seorang apoteker pun telah menghasilkan banyak uang. Keuntungannya mereka gunakan untuk membangun berbagai desa yang dijejaki bergantian selama bertahun-tahun. Resa tak peduli harus berapa kali ia pindah sekolah, harus berapa kali ia mengurusi administrasi melobi sekolah formal menerima dirinya yang lulus dari sekolah informal, Resa tumbuh dengan didikan orang tua yang luar biasa. Orang tua yang akan selalu menjadi mata dan hati Resa.

“Rekam jejakmu ditulis oleh malaikat. Di kanan kirimu akan selalu ada malaikat yang mengawasi.” Ayah kala itu dengan mata tegasnya memarahi Resa yang ketahuan mencuri rekam medis. Saat itu usia Resa 10 tahun.
“Maaf, Yah.” Resa menundukkan kepala. Air matanya pelan-pelan mengalir.
“Dokumen ini rahasia. Ini memang bukan catatan keburukan yang ditulis malaikat Atid untuk dilaporkan pada yang berhak. Tapi kamu akan tahu apa itu kode etik. Kelak kamu mengerti mengapa Ayah melarang kamu membuka dokumen ini, sekalipun kamu anak Ayah.”
“Maaf, Yah.”
“Ini rekam medis, suatu catatan perjalanan pasien yang dirawat. Perjalanan menuju sehat. Dokter, perawat, apoteker, dan semua tenaga kesehatan berkomunikasi lewat dokumen ini. Mereka semua berusaha semampu mereka menolong pasien dengan tugasnya masing-masing, saling memberi tahu tenaga kesehatan mengenai kondisi pasien dan rencana ke depannya untuk menolong pasien. Kamu belum berhak tahu apa isinya.” Ayah memang selalu tahu bahwa yang Resa inginkan hanyalah penjelasan, penjelasan mengenai apa dokumen itu. Dokumen yang selalu membawa tanda tanya Resa, sayangnya Ayah akhir-akhir ini sibuk untuk membantu menghilangkan tanda tanya itu.
Ayah tersenyum. Ia mencium dahi Resa.
“Ayah maafkan, sayang. Kamu mau tahu isinya apa? Ayah tantang kamu buat jadi dokter atau apoteker atau perawat atau tenaga kesehatan lain! Gimana?” Ayah tersenyum menantang.
“Resa kan memang mau jadi kaya Ayah, Resa mau bangun desa juga, Resa mau nulis-nulis di rekam medis, menolong pasien!” Resa berteriak sambil sesenggukan menangis.
“Ayah tunggu.” Ayah tersenyum bijak.

Tibalah masa di mana Resa merantau untuk kuliah, Resa harus menetap di satu kota, memaksa diri mau tak mau melepas orang tuanya berkelana; hingga saat ini menginjak tahun ke empat. Selama tiga tahun lebih, setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu mengunjungi Resa di tempat rantaunya. Hari Minggu yang selalu menjadi hari favorit Resa, melihat kedua orang tuanya datang walaupun hanya satu hari. Ayah selalu memberi salam terbaiknya pada Resa, memberikan apresiasi tertinggi bagi Resa yang telah bekerja keras demi mencapai cita-citanya menjadi seorang apoteker handal. Salam tegas yang disampaikan Ayah sambil berdiri tegak dengan sikap hormat layaknya hormat pada pejabat.“Selamat pagi calon farmasis sukses!” Begitu lah yang selalu dilontarkan Ayah tiap kali Resa membuka pintu depan rumah menyambut orang tuanya datang.

Tahun pun berganti, rambut Ayah semakin putih, wajahnya pucat dan sering melamun, seringkali tangannya menggerak-gerakan mainan di depannya yang disediakan oleh ibu. Ternyata bukan batuk Ayah yang harus dikhawatirkan, bukan pula tangan-tangan kaku dan gemetar, tapi candaan-candaan Ayah yang pura-pura lupa. Sudah 4 bulan Ayah divonis Alzhaimer. Tentu Ayah sudah tak mampu bekerja berkeliling, kini ia menetap bersama Ibu dan Resa. Resa kini bekerja sebagai seorang apoteker di suatu rumah sakit sambil merawat Ayahnya. Ia tak mungkin meninggalkan ibu sendiri merawat Ayah. Rajutan mimpinya untuk sementara harus ditunda menyisakan benang-benang menggantung di atas meja rajut.

Hari ini Ayah bermain bola bersamaku. Aku belikan beliau sebuah bola besar untuk dimainkan, melatih otak Ayah. Ayah perlahan sudah bisa tersenyum walau aku tak yakin Ayah tersenyum padaku. Tak apa, yang penting aku tahu Ayah masih bersamaku. Sebuah catatan dituliskan Resa dalam sebuah map besar berisi kertas-kertas bergaris. Resa menyerahkan map itu pada ibunya.
“Bu tulis di sini, tuliskan apa saja yang ibu lakukan bersama Ayah hari ini.” Resa memohon.
“Ini apa sayang?’ Ibu bertanya heran.
“Ini rekam medis bu, sebuah catatan perjalanan Ayah. Segala kegiatan yang aku dan ibu lakukan untuk kesehatan dan kebahagiaan Ayah. Sebuah dokumen perencanaan agar Ayah tetap sehat. Resa bisa kok bu rawat Ayah, Resa bisa. Ayah pasti sembuh.” Resa tak kuasa menahan air matanya. Tetesan itu jatuh, ibu memeluk Resa.

***

Sebuah catatan perjalanan para pasien yang disimpan rapat dan rahasia itu ada di dalam sebuah ruangan rekam medis. Resa memerhatikan lamat-lamat ruangan itu, ruangan tepat di depan ruang konselingnya. Ingatannya berputar kembali pada kejadian di mana Ayah memarahi Resa karena mencuri rekam medis, ia teringat ketika Ayah menantangnya untuk berbuat sepertinya, ia teringat saat pertama kali ia membuka lembaran rekam medis. Ingatan itu jelas, tak bias.
“Kring...kring...”
Telepon itu keras berbunyi menganggu berbagai ratusan saraf Resa untuk bekerja mengembalikan Resa pada alam sadarnya. Ia menelan ludah. Telepon itu dari Ibu. Dahulu telepon Ibu selalu ditunggu-tunggu, namun akhir-akhir ini Resa selalu takut melihat nama Ibu ada di layar handphonennya.
“Halo...” Suara Resa seperti tercekat di tenggorokan, urung keluar. Air matanya tak perlu meminta izin lagi untuk keluar, bahkan sebelum suara di seberang sana membalas. Suara ambulans yang terdengar dari telepon sudah cukup menjadi alasan air mata itu mengalir; tak perlu air mata itu dianggap tak tahu diri. Suara ambulans itu semakin dekat dengan telinga Resa. Resa tetap menunggu jawaban Ibu.
“Ayahmu pingsan,” Cukup dua kata itu, Resa merasa gaya gravitasi sudah tak mengikuti teori.

***

Dulu Resa pernah bilang pada Ayah bahwa ia ingin menjadi seperti Ayah. Ia ingin menulis di rekam medis untuk menolong orang sakit, merencanakan pengobatan terbaik untuk para pasien; berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain. Kini ia benar-benar melakukan itu, untuk Ayahnya sendiri. Sebuah perencanaan yang ia rencanakan dengan sungguh-sungguh. Namun Tuhan tetaplah perencana terbaik yang pernah ada. Resa menyerahkan segala sisa usahanya pada Yang Kuasa.
Di balik segala usaha dan air matanya, Resa selalu bersyukur memiliki seorang Ayah hebat seperti Ayahnya.
Hari ini aku di samping Ayah
Aku hampir tak mendengar detak jantungnya
Jantung itu sepertinya sudah payah
Hai Ayah,
Terima kasih selama ini ini kau tidak pernah mengajakku berkenalan dengan lelah
Terima kasih telah mengajariku mengerti makna ikhlas
Terima kasih telah menuntunku untuk bekerja tulus dan tuntas
Terima kasih telah menjadi pendamping ibu yang baik dalam mendidikku
Aku bersyukur memilikimu



Sudah 2 minggu Ayah dirawat. Rekam medis itu penuh dengan kolom-kolom baru. Keadaan Ayah fluktuatif, kadang membaik, kadang memburuk. Hingga hari ini adalah masa kritis Ayah. Rekam medis Ayah akan selalu menjadi saksi kerja keras anaknya. Rekam perencanaan yang dibuat dengan harapan, rekam yang menyisakan jejak-jejak doa, hingga hari ini datang. Hari ini seolah memberi tahu Resa bahwa benang-benang rajutannya yang menggantung mungkin sudah saatnya dirajut kembali. Tentunya, untuk Ayah.

***Hindun Risni
Farmasi Klinik dan Komunitas ITB 2012
Selamat hari Ayah untuk seluruh Ayah hebat yang ada di dunia!