Rabu, 01 Januari 2014

Bukan soal Pluralismenya

Gue bukan orang yang mudah mengkritisi sesuatu dengan baik, kadang pikiran gue aneh sendiri, yang orang lain ga pikirkan, dan kadang dasar yang gue ambil adalah simpulan sendiri yang mungkin orang jarang setuju (kalimat ini pun hanya asumsi gue, bukan berdasar fakta data ataupun empiris haha). Pikiran macam gini yang buat gue takut speak up dan takut bertindak.

Anyway, selalu terjadi. Tiap kali gue mendapati suatu kalimat atau kejadian, gue cenderung mengkaitkannya dengan banyak hal dan cenderung GA menerima satu keburukan (menurut gue) seseorang dibalik sejuta kebaikannya. Misal, si A pinter,baik,kece, gue suka. Tapi dia merokok. Akhirnya, gue ga suka. Contoh lain, dia teriak-teriak soal idealisme, kontribusilah yang banyak ke masyarakat, dll, tapi dia kalo datang rapat selalu lelet. Cap gue ke dia langsung jelek. Sampailah tiba pada suatu pemikiran gue, “gue gasuka orang lelet, gasuka orang nyontek, gasuka orang korupsi, tapi kenapa gue masih aja gabisa belajar yang bener? Gabisa nurut sm org tua?gabisa shalat yang khusyuk? Gabisa ini dan gabisa itu?” Intinya. Semua orang itu munafik di mata gue haha termasuk gue, gue cenderung melihat kesempurnaan pada seseorang, tapi diri gue sendiri masih jauh dari sempurna. Oke, jgn sempurna deh, limit mendekati ideal. Selama liburan, gue mikirin itu. Pemikiran yang aneh dan ga manusiawi. Menuntut seseorang dan diri sendiri untuk ga bersifat paradoks dengan melihat aspek sekecil apapun.

Hal yang paling gue pikirkan semenjak liburan ini adalah persoalan kebaikan vs ajaran agama. Gue mulai berpikir, gue selama ini mengkritisi segala hal, diskusi dengan orang-orang tertentu berkaitan dengan banyak hal, tidak setuju dengan ini dan itu, menganjurkan ini dan itu, melakukan kebaikan ini dan itu dan lain sebagainya. Tapi persoalan agama jarang gue sentuh. Sulit merangkai katanya, yang pasti gue merasakan urgensi belajar agama sekarang. Berpikir kritis itu penting. Soal hal apa yang harus dikritisi itu jangan pilih2. Semuanya harus dikritisi kalau mau jadi manusia yang adil dan ideal, cuma soal porsi kritisnya aja yang disesuaikan. Dan lagi, agama itu menyangkut ideologi seseorang, ideologi yang nantinya jadi patokan lo untuk melaksanakan dan mengkritisi segala sesuatu. Gue mikir gini berdasar dari kata-kata gue di awal. Ga ngerti ya? Ga dapat korelasinya? Maaf gue kesulitan menyampaikan apa yang ada di pikiran gue sekarang.

Lantas muncul pertanyaan? Kenapa agama? Kenapa ga pilih ga beragama aja, simple, gada aturan lo dalam melakukan apapun ke depannya. Nah hal itu juga perlu dikritisi, mulai dengan cara mengkritisi agama dulu. Bukan hanya agama gue aja yang sekarang, tapi agama lain juga. Lantas setelah itu, silakan putuskan apa yang bakal lo lakukan.

Kenapa sih gue??

Oke. Gue habis baca buku tentang pluralisme. Kebhinekaan. Hal yang kompleks kalau kita sudah menyentuh ragam dengan berbagai variabelnya. Bukan soal pluralismenya, tapi soal bahwa banyak hal yang harus gue pelajari.

Pemikiran yang kadang terlintas di banyak mind orang adalah “hm gue Islam karena orang tua gue islam, mungkin kalo gue kristen, agama gue sekarang kristen” nah loh. Itu maksud gue. Tuhan memberi kita akal bukan hanya untuk memikirkan cos 45 + cos 60 sama dengan sekian kan, tapi juga untuk digunakan tentang segala aspek kehidupan.

Di buku yang gue baca itu, diceritakan mengenai penafsiran Al-Quran dengan berbagai metode yang gue ngerti konsepnya tapi ga ngerti bagaimana menerapkannya; penafsiran al-Quran itu berguna untuk mengetahui respon Al-Qur’an terhadap pluralisme agama. Sejauh ini, respon gue terhadap pluralisme agama bisa dibilang inklusif dan sangat toleran, apalagi semenjak exchange year gue di USA. Ada seseorang yang bilang dalam diarynya “Bagaimana mungkin gue menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk masuk neraka” (Farid Esack). Gue bisa bilang begitu untuk semua orang-orang baik di USA selama masa exchange gue. Mereka hanya korban status keluarga toh, sama seperti gue yang kebetulan ditakdirkan lahir di keluarga Islam dimana Allah menjanjikan surga untuk kaum muslim. Oh bukan, mereka dan gue bukan korban, gue yang bisa dibilang beruntung oleh umat muslim bahwa gue dilahirkan di keluarga Islam. Gue dan mereka sama-sama salah karena sama-sama tidak mengkaji agama-agama (jikapun gue berada di posisi mereka).

Toleransi. Batasnya sampai mana? Al-Qur’an lah yang menentukan. Maka dari itu, tafsir Al-Quran sangat dibutuhkan. Pada buku yang gue baca disebutkan sebuah penafsiran al-Quran secara totalitas, tidak parsial. Dalam menafsirkan al-Qur’an harus melihat segala sisi, asbabun nuzulnya, keadaaan zaman diturunkan al-Qur’annya, psikologi dari pada penafsirnya, etika dan moral, perkembangan zaman, gramatikal, dll. Semua itu sangat kualitatif; entah karena gue terbiasa dengan kehidupan orang-orang kampus yang menuntut data kuantitatif atau bagaimana, hal tersebut menjadi bias di mata gue. Bagaimana harus percaya dengan data kualitatif tersebut? Itu yang harus gue pelajari.

Sekarang, kalau gue sudah bisa menerima tafsir tersebut, muncul lagi pertanyaan, siapa yang menjamin Al-Qur’an itu orisinil? Jawabannya Allah. Lagi. Kualitatif. Jawaban tersebut bisa diterima keyakinan tapi sulit diterima rasio. Gue butuh mempelajari sejarah Al-Qur’an.

Banyak yang harus dipelajari. Kalau sudah belajar Islam dengan benar, barulah siap untuk compare and contrast dengan agama lain katanya begitu,harus kuat iman dulu sebelum mempelajari agama lain; tapi bukannya kalau seperti itu jadi cenderung subjektif ya ke agama sendiri? Karena pada akhirnya keyakinanlah yang membuat seseorang beragama. Dan keyakinan itu kualitatif. Haha silakan mau bilang gue aneh dan berpikiran pendek. Kalau ada komentar, silakan komentar.

Gue pernah buat cerita tentang Ayah dan Ibu yang mendidik anaknya cukup ekstrem. Ayah dan Ibunya membebaskan anaknya untuk memilih agama di kala dia sudah siap. Dari dia lahir dia ga dikasi status agama, Ayah dan Ibunya membiarkan dia mencari sendiri agama mana yang menurut dia benar. Ayahnya sering memindahkan dia dari satu negara ke negara lain agar semua lingkungan memengaruhinya, sebisa mungkin membuat keadaan di sekelilingnya netral sehingga objektif dalam menentukan pilihan. Haha. Kayanya kalau begitu konsistensi gue dalam beragama atau tidak akan sangat kaffah. Wk.

Anyway, itulah kegalauan gue di saat liburan ini. Gue berjanji pada diri gue untuk mendalami ajaran agama; entahlah hal itu akan terjadi atau tidak, yang pasti akan sangat menantang ;)

HAPPY NEW YEAR!


Kebanyakan orang membuat resolusi untuk tahun yang baru, tapi ga sedikit dari mereka yang ga berhasil menuntaskannya. Lucunya, resolusi tetap saja dibuat setiap tahunnya; sepertinya resolusi hanyalah sebuah kebiasaan akhir tahun ya...tapi ga masalah, gue pun termasuk orang yang ga 100% menuntaskan resolusi.

Pertama kali gue menyusun resolusi adalah ketika di tahun exchange gue di US, itupun bukan kemauan gue, my hostmom named it for me. Thanks to her, sejak itu gue selalu buat resolusi di setiap tahunnya. Sekarang, resolusi gue untuk tahun 2014, I want to make it more real.

1.Mentoring rutin setiap minggu
2.Hafalan Juz’ama dan perbanyak shalat sunnah dan shalat jamaah
3.Baca buku minimal 1 buku dalam 2 minggu, dalam 1 bulan harus ada minimal 1 buku kajian Agama
4.Minimal menyampaikan apa yang sudah dibaca ke dalam 1 bentuk tulisan dalam sebulan
5.Tahun ini, harus buat kegiatan nyata untuk masyarakat dengan gue sebagai kordinatornya
6.Nurut sama orang tua dan kakak (gada lagi ribut2)
7.Dalam satu kali kerja, hanya boleh ikut maksimal 2 kepanitiaan besar. Fokus!
8.Ikut minimal 1 perlombaan farmasi dan 1 perlombaan bebas dalam setahun
9.HARUS PUNYA PENDIRIAN, JANGAN IKUT-IKUTAN!
10.NIAT HARUS SELALU LURUS! (Okay, hanya Allah yg bisa menilai)

Yah, ga pernah gue buat resolusi sereal itu sih. Efesiensi mungkin gabisa 100%, tapi bisa kan 99%, kalo gitu bukan tidak mungkin untuk mengusahakan sesuatu, limit mendekati ideal ;)

Bismillah. Stop wishing, start doing.