-after i read this over again, I know this sounds silly. But this note, really, for all my friends, who once shared their stories even their private family story.. i was so sad i couldnt help yall even said a thing cz i didnt know what to say and how to help. hopefully for everyone who read this, their prays are for you too fellas^^-
Danau Situ, Oktober 2020
Gina mengambil kertas secara acak, membuka satu persatu kertas berwarna biru.
Senja di Danau Situ, Oktober 2010
Ini Gina.
Sahabat:
Sebuah dorongan saat kita berhenti, sebuah kata saat kita sepi,sebuah tuntunan saat kita mencari, sebuah senyum saat kita sedih, sebuah lagu saat kita senang, seseorang yang memberi kita seluruh kebebasan, tapi menuntut kita jadi diri sendiri. (unknown-red)
“Rey!”
Teriakan itu terus menggelitik persendianku. Ligamenku terasa kaku, sulit menggerakkan kaki, tangan, dan seluruh bagian tubuhku. Otot bisep yang seharusnya relaksasi tetap melawan sifat alaminya. Tumbuhan seperti menyerap oksigen, tilakoid pada stomata seketika mati tergantikan stroma-stroma yang entah kenapa tidak berjalan sesuai fungsinya.
“Hu..hu..hu…”
Dingin. Syarafku seolah membeku. Sel otot jantung seolah lari dari peraduannya, sel motorik memaksaku tak menangkap apapun, stimuli terakhir yang kuterima, air. Dan cahaya menyilaukan mataku, kuraih genggaman tangan seseorang, mengajakku menuju pintu cahaya.
***
Danau Situ, Januari 2009
Ini Rey. Tempat yang Indah. Perahu memijit si danau tua. Aku tersenyum gembira.
“Waaaahh!! Bagus banget Rey!”
“Gimana? Dah baikan?”
“Hmmff (tersenyum) kamu gak salah ngajak aku ke tempat ini Rey. Huft… mungkin aku bakal sering kesini, aku pasti bakal lupa sama semua masalahku! Karena tempat ini! Thanks Rey, kamu emang sahabatku!”
Hal yang paling membuatku senang. Membuat Gina tersenyum. Aku akan sangat senang melihat dia datang tersenyum, memelukku, dan membisikkan satu kata…sebuah kata mutiara, sebuah kata yang jarang sekali keluar dari mulut Gina, dan kata itu hanya berani ia ucapkan padaku.
“Terima kasih…”
Kupu-kupu hendak menyapa pagi yang indah ini, menemani kami menikmati pemandangan yang Tuhan berikan. Ia berhenti di haltenya, memulai melaksanakan kegiatan rutinnya. Menjajakan kebaikan demi kebaikan, membuat bunga-bunga di tempat ini bermekaran dengan indah. Aku yakin, jika aku mampu berbahasa bunga, aku pasti sedang mendengar bunga-bunga itu mengucapkan terima kasih pada sang kupu-kupu.
Tuhan, alangkah senangnya jika orang disampingku ini seperti bunga-bunga itu. Mengucapkan kata mutiara yang indah. Memberikan senyumnya kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. Memberikan lambaian tangan, sejuta pelukan, dan banyak genggaman, mengajak mereka bernyanyi, menari, dan bermain bersama.
“Gin..”
“Ya..Rey?”
“Kamu tahu… kadang manusia tidak pernah bersyukur diciptakan oleh-Nya.”
“Ya…”
“Kadang manusia tidak mau tahu buat apa ia hidup.”
“Iya…”
“Kadang…” berhenti sejenak. Aku berpikir.
“Ya?” Gina menoleh ke arahku, aku memandangnya.
“Kadang manusia egois!” Aku setengah berteriak. Salah. Bukan itu yang ingin aku ucapkan. Kenapa yang keluar itu?
“Hmmmff..” Lagi-lagi Gina hanya tersenyum. Sudahlah.
***
Januari, 2008
Ini Gina T.T
Aku sering berantem sama mama! Mama gak pernah ngertiin aku. Aku mau mati! Biar ketemu papa!
Tapi aku bertemu dia! Tuhan… tidak ada yang seberuntung diriku.^^
“Gina mau pergi aja! Gak betah di rumah!” Gina menangis. Menangis sejadi-jadinya. Membanting apa saja yang ada di depan matanya.
“Silahkan! Kamu mau pergi kemana hah? Memang kamu punya teman? Siapa!? Siapa? Coba tunjukkan sama mama!”
“Hu..hu..hu..”
“Siapa? Ayo bilang sama mama! Kamu punya teman, hah? Mau kabur kemana? Mau kamu jadi gelandangan?”
Kepala Gina pusing, limbung, ia jatuh.
“Gina…sayang, mama minta maaf…hu..hu..hu” Aku memerhatikan kejadian itu lewat tempatku duduk, seorang Ibu menangis di depan seorang gadis yang seumuran denganku, gadis yang cantik. Aku penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi aku tahu, tidak baik untuk saat ini menanyakan macam-macam kepada mereka yang sedang menangis.
Bau rumah sakit menusuk hidungku. Zat-zat kimia seperti menampar udara, menusuk-nusukkan tombaknya menghancurkan senyawa oksigen menjadi butiran-butiran yang bercampur dengan unsur lain. Inilah kenapa aku bersih keras tak mau bergantian menjaga papa di rumah sakit. Sepuluh menit saja aku berada di rumah sakit, mulut lambungku seperti mengekam campuran biuret dan cairan Fehling. Mual.
“Gina mau ketemu papa…” pelan dengan isak tangis.
Papa? Tiba-tiba hati ini terenyuh. Seketika aku perhatikan wajah pucat papa di atas ranjang. Air mataku keluar. Pa.. aku minta maaf, aku ikhlas jaga papa..
Seperti kilat yang menyambar. Kalimat itu..kalimat yang diucapkan seorang gadis itu mengalahkan Aa Gym yang memberikan siraman ruhani dengan tema “Kasih Sayang Orang Tua”, kalimat itu mengalahkan ustadz ngajiku yang setiap hari memberikan bekal nasihat akan pentingnya mendoakan orang tua, kalimat itu … membuatku menangis. Bau rumah sakit seketika tergantikan dengan wangi yang lembut. Aku tersenyum …
“Hai..” Aku mencoba melontarkan kata itu. Tegas namun berhati-berhati. Yang disapa justru membuang muka. Sakit memang .. tapi biarlah, aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Mungkin ia mengalami trauma, sakit hati, atau apalah.
Hari berikutnya, aku mencoba lagi menyapa gadis yang satu kamar dengan papaku itu. Semenjak kalimat yang keluar dari mulutnya, aku tak perlu ditawari lagi oleh mama untuk menjaga papa. Dengan senang hati, setiap pulang sekolah aku berangkat dengan senyum, menengok papa. Kali ini aku tidak sekedar menyapa. Aku beranikan menghampiri ranjangnya –kebetulan ia sedang membaca-.
“Hei.. kamu sedang baca apa?” Aku tersenyum. Ia mengernyit, sedikit membuang muka. Namun ia memandangku setelahnya, kemudian menutup bukunya.
“Ada apa?”
“Gak ada apa-apa sih… nama kamu siapa?” Aku beranikan menanyai namanya.
“Gina.”
“Nama yang bagus…perkenalkan, aku Rey.”
”Hmm..”
Aku tak mengerti gadis di depanku ini. Cuek sekali. Baru kali ini aku menemukan orang seperti dia. Tapi aku tahu, kelak dia akan menyapaku juga. Hmmff…
***
Januari, 2010
Ini Rey!
Gina, aku sayang banget sama kamu! Aku senang kamu sudah mau tersenyum sama mereka! Gina. Satu tahun lebih aku mengenalmu. Sudah banyak kenangan bersamamu. Setelah aku mengajakmu ke Danau Situ, perlahan kamu mulai mau menyapa orang-orang. Kini temanmu bukan aku saja, banyak! Itu menurutku. Tapi…kenapa kamu sering menangis? Lihat Gin! Kamu dipercaya sebagai ketua kelas, kamu dipercaya memegang jabatan kordinator di berbagai organisasi. Teman-temanmu pun mempercayai kamu untuk menjadi ketua kelompok. Itu artinya teman-temanmu percaya! Percaya kamu pemimpin yang baik, pemimpin yang bertangung jawab, ayolah Gin…gak usah menangis lagi....
***
Danau Situ, September 2010
Ini Gina. Aku jatuh cinta, Rey! Hahaha (oh my… sangat menggelikan-red)
Iya! Ini Rey! Karena cinta, kamu jadi cuek..tapi aku senang, akhirnya kamu sadar..hihihi
“Rey!!!” Gina menyapaku dengan teriak.
“Hai.”
“Kok jawabnya ketus gitu sih?” Aku melihat bibir Gina membentuk busur dengan moncongnya ke utara. Huft.. kalau aku sudah melihat Gina cemberut, aku paling tak tega. “Aku mau ceritain Gandhi…sini deh sini…” Gandhi lagi. Huft! “Mmmm…raut muka kamu kok gitu, Rey? Kamu gak suka ya dengerin aku cerita? Aku mau minta pendapat kamu nih, Rey…”
“Gin…aku tahu…wajar kamu sedang jatuh cinta, cinta itu fitrah…tapi Gin...kamu tahu…aku sebagai teman kamu gak mengizinkan kamu suka sama Gandhi!” Ah..sudahlah! Mungkin ini saatnya aku bicarakan rasa kesalku pada Gina sebulan terakhir ini.
“Rey…kenapa?”
“Kita bertiga udah dua tahun bersahabat. Aku, kamu, dan Gandhi. Gin, aku ngerasa sendiri. Sangat sendiri. Kalau kamu lagi main sama Gandhi, kalau kamu lagi ngobrol sama Gandhi, aku kehilangan dua orang sahabatku, Gin! Aku gak ngelarang kamu buat suka sama Gandhi, asalkan kamu gak lupa sama aku.”
Cinta. Sebongkah perasaan itu datang begitu saja. Guratan senyum enggan melawan arah gradien konsentrasi hati. Angin utara akan berusaha berbalik ke selatan hanya demi memperbaiki keadaan. Reaksi kimia yang terjadi relevan dengan tingkah kita. Namun tingkah kita berbanding terbalik dengan perasaan ketika ada yang datang. Gina pun mengerti.
Senja di Danau Situ, Oktober 2010
Air di Danau Situ meninggi, habis hujan. Kedalamannya bisa mencapai 7 meter kalau begini.
Aku tak mengerti. Gina sering menangis. Dia ingin bertemu papanya, aku tahu. Tapi…bukankah salah kalau terus menangisi keadaan?
Gagal. Aku gagal mengerti keadaan. Aku ingin semuanya selesai. Semuanya! Masalah Gina sangat komplikasi. Banyak sekali –yang tidak bisa diceritakan disini-. Aku capek! Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku menangis! Hanya bisa menangis.
“Aku gak pernah bisa menganggap orang-orang disekitarku sebagai teman.”
Sakit. Sakit sekali. Aku ingin menangis ketika kudengar kalimat itu dari mulutnya. Sepanjang perjalananku dengannya, aku mencoba, berusaha sekuat tenaga mengembalikan ia kepada masa sekarang, bukan untuk meratapi masa lalunya. Tapi aku mencoba biasa, tak mau terlihat sedih di depannya.
“Gin, kamu gak akan pernah bisa menganggap orang-orang di sekitar kamu sebagai teman kamu! Kalau kamu gak mau mencoba!”
“Buat apa? Percuma, Rey. Aku selalu ngerasa sepi walaupun banyak orang di sekelilingku.”
“Paradoks.”
“Ya.”
“Aku mau kamu berusaha, Gin. Kamu tahu, orang-orang di sekitar kamu menganggap kamu sebagai teman. Orang-orang di sekitar kamu bahkan mempercayai kamu sebagai pemimpin dimanapun. Kamu seharusnya sadar, mereka bakal sakit, kalau mereka tahu kamu gak pernah nganggep mereka sebagai teman kamu.”
“Aku ngerasa gak punya siapapun.”
“Jangan menangisi masa lalu. Lihat Gin. Banyak pintu-pintu di depan kamu yang terbuka, mereka tidak pernah lelah terbuka. Mereka menunggu kamu disana. Kamu tahu itu apa?”
“Apa?”
“Kesempatan, Gin.”
“Ya..dan aku salah masuk ke dalam pintu itu.”
“Karena kamu tidak berpikir terlebih dahulu. Ketika kamu berhadapan dengan pintu itu, jangan langsung masuk. Lihatlah baik-baik pintu itu, Gin. Yang harus kamu perhatikan, bukan lebar atau tidaknya pintu itu terbuka. Tapi lihatlah, apakah engselnya masih bagus? Apakah warna pintu itu masih bersih bercahaya? Dan kamu tidak perlu melihat apakah daun pintu itu bergerak sendiri atau kamu yang menggerakkannya, kamu hanya perlu lihat niat kamu. Jika sudah, masuklah Gin. Masuk ke dalamnya.”
Gina menghela nafas.
Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Bukan raut muka Gina yang membuatku menangis, tapi ucapanku tadi. Aku menangis karena aku munafik. Aku berkata hal itu kepada Gina, tapi aku sendiri tak bisa melakukannya. Entahlah.
“Itu artinya, aku terlambat. Aku sudah salah memilih pintu kan Rey?”
“Yang salah tidak bisa dibiarkan.” Aku berkata sambil menahan isak tangis
“Ayo Gin, kita sama-sama intropeksi diri. Kita luruskan yang salah itu, ayo kita sama-sama perbaiki pintu itu!”
“Aku merasa tidak bisa.” Gina menimpali datar
“Ya sudah! Kita minta bantuan tukang bangunan!”
“Tukang bangunan?”
“Ya… tukang bangunan pasti tahu bagaimana cara memperbaiki pintu itu, mereka bisa membantu kita memperbaiki engsel yang sudah karatan dan hancur, mereka bisa membantu kita mengecat pintu, dan lain sebagainya!”
“Rey…”
“Ya Gina…”
“Siapa mereka?”
“Orang-orang di sekeliling kita, Gin…mereka siap membantu kita.”
Gina beranjak, mencoba mencerna kata-kataku. Ia berjalan menuju tepi danau. Jalan menuju tepi Danau Situ curam karena kami memang sedang berada di atas gundukan tanah yang tinggi. Ketika dia hendak mendekat ke danau, Gina terpeleset! Aku sontak berdiri, meraih tangan Gina dan menariknya sekuat tenaga. Sayangnya sulit! Aku terus berusaha! Sekuat tenaga! Keringatku mengucur, aku tapakkan kakiku di batu sebagai pijakan tekanan, syukurlah…Gina dapat kutarik ke atas! Tapi…
“Rey!”
Batu yang kupijak tiba-tiba terlepas dari tanahnya.
“Rey!”
Teriakan itu terus menggelitik persendianku. Ligamenku terasa kaku, sulit menggerakkan kaki, tangan, dan seluruh bagian tubuhku. Otot bisep yang seharusnya relaksasi tetap melawan sifat alaminya. Tumbuhan seperti menyerap oksigen, tilakoid pada stomata seketika mati tergantikan stroma-stroma yang entah kenapa tidak berjalan sesuai fungsinya.
Kugenggam erat tangan yang menjemputku.
***
Danau Situ, Oktober 2020
Gina melipat kembali kertas biru yang dibacanya, memasukkan kembali ke dalam kaleng baja, dan menguburnya. Setetes air mata menjadi saksi bisu akan rindunya ia pada sahabatnya.
***
Minggu, 30 Agustus 2009
Kawan, maaf…gue gak bisa ngasi apa-apa buat kalian. Mudah-mudahan kalian ngerti kenapa gue nulis ini^^… Doaku menyertai kalian .. GBU…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar