Awalnya saya ingin membuat tulisan opini yang sedikit ilmiah dengan menyertakan penelitian-penelitian psikologi or whatever related to scientific research, turns out I got houseworks to do, so well, mungkin opini sederhana melalui emotional thought might be useful as well, mumpung lagi ada mood buat nulis.
Berawal dari dua buah organisasi nasional yang saya ikuti saat kuliah. Saya menyadari penuh betapa tingkat pendidikan di Indonesia memiliki gap kualitas yang cukup jauh. Beberapa indikator yang bisa kita lihat secara objektif adalah akreditasi dan jumlah lulusan yang diterima di lapangan pekerjaan bonafid, atau jumlah ‘orang sukses’ yang berasal dari lulusan universitas tersebut. Indikator subjektif yang bisa kita lihat adalah pola pikir. Saya tidak bilang bahwa lulusan universitas ternama semuanya memiliki pola pikir yang make sense dan sophisticated, but well, boleh saya bilang mereka cenderung berpikiran terbuka? Ini bisa saja bukan soal popularitas sekolahnya, simply karena sekolah tersebut ada di tengah kota dan mahasiswanya sudah banyak terpapar dengan banyak akses pendidikan dan budaya yang universitas di daerah tidak bisa dapat. Efek input juga berperan, sekolah yang sudah kepalang populer akan dikerubungi oleh pelajar-pelajar yang memang sedari awal sudah ‘bagus’. Yah, banyak faktornya. But my point is, the quality gap does exist.
Then come this pride of having a status of “graduates from great university”. Kita pun terjebak dalam penjara self-worth. Kita merasa lebih baik dari universitas ABCD. We boast our chest as we walk, duh.
Itu baru bicara soal nama sekolah. Bagaimana dengan pride akan tingkat pendidikan? Bagaimana dengan pride akan sebuah profesi pekerjaan?
I’m going to get to my point. Mari bicara soal profesi kesehatan. Profesi yang baru saya geluti kurang dari setahun, mungkin akan banyak bias opini di dalamnya karena saya masih anak bawang untuk urusan ini, but to write doesn’t have to wait to be experienced right? Hehe
Berawal dari komentar sederhana,
“Ah, yang lanjut sekolah Apoteker itu cuma yang punya duit aja” – well, for your information, yes sekolah profesi memang mahal. Satu semester bisa ada yang puluhan juta, apalagi sekolah swasta.
“Kerjaan Apoteker enak ya, cuma gitu doang” kata profkes x, --- well for your information, yes, ada beberapa kerjaan kita yang emang ‘cuma gitu doang’
“Kasian itu TTK (tenaga teknis kefarmasian) kerjaannya, capek banget” --- frankly speaking, saya akui memang capek. Selama orientasi 2 bulan saya bekerja seperti mereka, stressfull? Sangat. Ditambah dengan profkes x dan y yang terkesan “nyuruh2” dan complain mulu. Baper? Iya gue baper. Bapernya tuh kayak gini: “Lu siapa nyuruh2 gue? Lu bukan atasan gue woy!” hehe
dan komentar lainnya yang kalau ditulis jadi panjang kayak kereta.
Okol Vs Akal
Terkait pekerjaan. Ketika ada yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang” saya cuma bisa tersenyum dan bilang “tuntutan kita memang belum besar karena pekerjaan kefarmasian di rumah sakit masih sangat berkembang (and that makes me so worthless)” and that’s true. Sampai akhirnya saya dimutasi ke ruangan lain dan melakukan banyak pekerjaan teknis yang bikin baper, haha. Gada lagi yang bilang “enak ya kerjaan lo gitu doang”, karena memang kerjaan saya agak bikin pusing (dan pekerjaan ini bisa jadi akan bertahan sampe saya usia 30-40 tahun karena carreer path farmasi klinis ga banyak). Still, I feel worthless because it just something that I didn’t expect I would do as a pharmacist. Expectation kills, I know.
Apa yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana saya bisa bekerja more into critical thinking rather than physical or technical thing. Dari segi pendidikan dan ranah pekerjaan pun basically makes sense. Ranah teknis adalah ranah teknisi atau orang lapangan, misalnya bagian operator atau service mesin di sebuah perusahaan menjadi tugas lulusan SMK Mesin atau Vokasi (cmiiw). Supervisornya, yang berpikir soal design, konsep dan sebagainya diarahkan pada lulusan S1 yang notabene saat kuliah diajarkan lebih pada konsep besar ketimbang teknis lapangan. Mungkin bahasa strukturnya adalah atasan dan bawahan, but lets say, kita bekerja memang sesuai ranahnya saja; self-worth kita masing-masing, harganya sama.
Seniority and Quality
Senioritas. Saya muak dengan istilah ini haha. Sesimpel ada yang beranggapan “kalau di jalan, yang muda harus nyapa duluan” aja saya kesal hahaha *lah w baper. Please, sopan santun doesnt mean the younger harus nunduk-nunduk sampe mentok lantai buat menghormati yang tua and then yang tua bisa pasang muka jutek dengan bibir mencong-mencong. Sorry to say, gue ga lagi ospek SMP atau SMA. Hehe, ini hiperbola biar lucu aja, you know what I mean lah :p
Senioritas juga menjadi ajang naik jabatan. Yang kerjanya sudah lama disekolahin duluan supaya grade naik jabatan jadi proper dan objektif, ga peduli mereka punya kemampuan dan potensi seperti apa. Tapi saya yakin, perusahaan pemerintah yang baik ga melulu melihat lama kerja, pasti ada indikator lainnya hehe
Bicara soal kualitas, saya tidak memungkiri bagaimana sekolah profesi tercinta kita ini dijadikan lahan bisnis. Konsumen mereka adalah para senior yang diharuskan melanjutkan sekolah namun apa daya kemampuan mereka sudah tidak mumpuni untuk bisa ke sekolah negeri dengan harga yang lebih terjangkau atau mendapatkan beasiswa prestasi. Ya gimana, saya aja yang masih fresh graduate mumet buat belajar lagi, bagaimana mereka yang sudah senior? Alhasil sekolah swasta dengan kualitas seadanya dan biaya mahal menjadi target mereka. Muncullah anggapan “yang lanjut sekolah yang punya duit aja (belum tentu kompeten- red)”. Still, mau apapun underlying motivationnya, mau bagaimanapun hasilnya, tingkat pendidikan masih dilihat sebagai indikator objektif untuk naik jabatan (mainly di perusahaan punya pemerintah, probably).
To me, it is good to have such objective indicator. Tinggal kitanya yang mau memanfaatkan kesempatan itu dengan baik atau tidak, dengan etika elegan atau dengan pride yang berlebihan hehe. Dan saya berdoa, semoga sekolah-sekolah profesi makin baik kualitasnya, jadi bisa membimbing mahasiswanya buat jadi lulusan yang oke pisan. Aamiin.
Kekeluargaan Vs Profesionalisme
Ada yang menarik dengan profesi saya ini. Apoteker bekerja tim dengan TTK atau panjangannya adalah Tenaga Teknis Kefarmasian yang dulu biasa orang sebut asisten apoteker. I like TTK better as a term karena pola mindsetnya akan berbeda, TTK akan berpikir bahwa mereka melakukan pekerjaan teknis rather than jadi an obvious subordinate-nya Apoteker (apapula istilah saya ini), which will create a better team work, hopefully. Lucuknya, ada banyak rumah sakit yang TTKnya diminta panggil Apoteker dengan sapaan Ibu dan Bapak (regardless their age) rather than calling out their names kaya di tempat kerja saya sekarang. Ada positif-negatifnya dari segi Psikologis. Dengan sapaan ibu-bapak menurut saya suasana professional jadi lebih terbangun, contoh kecilnya, Apoteker muda tidak segan untuk meminta tolong pada TTK senior sesuai kewenangannya. Positifnya panggil nama, kekeluargaan jadi lebih terbangun, gap atasan-bawahan jadi lebih minim. Nah negatifnya? Pikir sendiri aja ya hehe. Intinya, mau panggil nama, ibu-bapak, nenek-kakek, bro-sis, bebeb dsb, ketika bekerja tentu kita harus professional, jangan kebanyakan baper minta dihormati karena kita senior yang akhirnya merusak kinerja kita. Yet, kekeluargaan juga harus dibangun, because team work won’t work out well without comfort from each other hehe. Ngomong gampang emang hehe.
Back to my point, self-worth kita berharga sama ketika kita menunjukkan kinerja terbaik kita sesuai kewenangan yang seharusnya, regardless our age, our position, education level, etc etc.
Kolaborasi Interprofesi (the title is so lame, I know)
Saya sempet baper di awal kerja, kenapa? Pertama, secara struktur dan pekerjaan saya merasa ga sesuai dengan yang digadang-gadang permenkes, (tp sy masih belum berani bahas ini). Kedua, kok ya kesannya kerjaan saya jadi kaya bawahannya profkes x dan y, seenak udel banget nyuruh-nyuruh, atasan-bawahan yang baik aja kalo nyuruh pake etika, lah ini? Point kedua, saya tahu kenapa. Kalau kata Pak siapa ya lupa, Farmasi itu rantai terakhir pelayanan, jadi harus sabar-sabar kena complain dari berbagai arah, diteriakin minta ini itu dsb, karena instruksi dokter tidak akan terlaksana oleh perawat kalau farmasi belum memberi obat (ujungnya sebut nama profesinya juga lol).
Jadi ingat meme di Instagram, ada percakapan pasien dan farmasi, pasien complain “my medicine is only one kind, why it takes so long?” terus farmasinya blg “because youre not the only one living in this world” yah semacam itulah, kasarnya “yang berobat dan ngantri obat kan bukan elu doang” wkwk.
Memang setiap pekerjaan pasti ada baper-baper jenis begini, yang begini harus disikapi secara professional. Saya yakin setiap dari kita tidak suka direndahkan, dan manifestasi merendahkan orang lain bisa dilihat dari etika seseorang berkomunikasi. Jadi yuk sama-sama perbaiki etika kita berkomunikasi, simply dengan menyelipkan kata tolong dan maaf itu sudah menjadi kata ajaib yang akan membangun team work yang baik, ye gak? Secara struktur professional pada umumnya, setiap profesi kesehatan pada dasarnya bukan atasan dan bawahan, tapi saya aware, jenjang dan durasi pendidikan, jenis pekerjaan kita dan rantai pelayanan somehow membuat diri kita seakan lupa bahwa kita adalah partner kerja, jadi harus pandai-pandai menempatkan diri. Sama-sama belajar yah.
Organisasi Profesi, you’ll be my savior!
Saya sempat terlibat dalam keorganisasian mahasiswa kesehatan lingkup nasional. Saya melihat bagaimana tanpa disadari, arogansi profesi muncul dari setiap ormawa kesehatan. Tidak jauh berbeda, organisasi profesi pun demikian. Setiap dari mereka seolah bersaing untuk membela hak profesinya. Terkadang saya meragukan pembelaan hak dari masing-masing organisasi, apa iya hal yang mereka tuntut benar adalah hak meraka? Apa sudah cukup objektif dan sesuai dengan self-worth masing-masing profesi? Karena biasanya berujung pada tujuan insentif, remunerasi, dsb, yah intinya kesejahteraan dan pengakuan. Semua aja ingin diakui sebagai profesi yang punya daya tawar tinggi untuk dihormati dan digaji tinggi, huft. Kalau sudah turun ke ranah kebijakan begini saya masih butuh banyak belajar. Yaudah gausah bicara ini dulu, biarkan saja yang berkompeten bicara soal kebijakan masing-masing profesi, tugas saya sekarang adalah melaksanakan amanah dari kebijakan yang dibuat, menuntuk hak dan melaksanakan kewajiban dari aturan yang sudah ada (kalau mampu ya kasi saran dan kritik utk kebijakannya). Untukku dan yang di luar sana, semangat menuntut hak dan melaksanakan kewajiban!
EPILOG
Mungkin terkesan tulisan saya isinya cuma baper-baper ga jelas. But well, gini loh, saya tidak bicara soal pride karena sebuah tingkat pendidikan atau nama universitas saya atau nama profesi saya, saya bicara soal self-worth based on job domain and competence. Pride dan dignity adalah dua hal yang berbeda. We talk pride as boasting because we are more successful or better than others, I talk dignity; dignity doesn’t see success nor failure, our self-worth is doing the best we can do based on our authority, sesuai yang seharusnya, sesuai dengan amanah undang-undang, sesuai dengan sumpah jabatan profesi, jikapun tingkat pendidikan perlu dipertimbangkan in some context, yah sesuaikan pula dengan itu, dan tak lupa sesuai pula dengan potensi diri. Intinya adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. I am looking for my self-worth –which is to me, isn’t a sin- its an emotional incentive I should get as my job is impactful, therefore, it’s valuable. hehe