Selasa, 11 Maret 2014

Monumen Toilet

Minggu kemarin, 3 Maret 2014 saya dan teman-teman Debust ITB (Ka Ucup, Wayan, dan Ka Dika) mengunjungi dua desa di daerah Pontang, Serang-Banten sebagai salah satu proker Debust, yaitu Community Development.Sudah sejak 2011 kalau saya tidak salah, pembangunan toilet dan sanitasi air di Desa Sukamanah digalakkan, pembangunan ini adalah hasil dari perlombaan seorang alumni Debust ITB bernama kang Alven yang memenangkan Technopreuner Bank Mandiri. Kemudian beliau mengamanahkan Debust ITB untuk turun dalam pembangunan ini khusus di bidang sosialisasi air bersih.

Keadaan Desa Sukamanah hampir sama dengan desa-desa di sekitarnya; tidak ada air bersih. Keadaan ini memaksa penduduk desa untuk mandi, cuci, dan kakus di sungai yang sangat kotor. Ya, di aliran sungai yang sama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kang Alven bersama Debust mensurvey beberapa desa dan memilih satu desa yang paling feasible untuk dibangun toilet dan sanitasi air; terpilihlah desa Sukamanah. Alhamdulillah pembangunannya sudah selesai dan sudah bisa digunakan, hanya saja belum peresmian.

Yang ingin saya ceritakan di sini adalah desa lainnya. Debust ITB berencana untuk membuat proker Community Development baru secara mandiri, maka minggu kemarin kami survey ke Desa Kapaksaan, Pontang.

.........

Pagi itu saya melihat suasana yang berbeda, pikiran saya melayang pada suatu keadaan yang biasa saya lihat namun tak biasa saya resapi. Angin berjalan berlawanan dengan motor yang dikendarai teman saya, di belakang saya hanya mencoba memastikan posisi duduk yang benar. Saat itu saya tidak tahu bahwa perjalanan itu akan sangat melelahkan sekaligus membuat saya menghela nafas panjang.

Untuk seorang perempuan seperti saya yang tidak biasa menaiki motor dalam perjalanan lebih dari 1 1/2 jam, bukan aneh kalau berkali-kali saya menyipitkan mata berusaha menyerah dari matahari serta menutup hidung berusaha menekan reseptor olfaktori untuk tidak dihinggapi stimuli aroma polusi. Sampai akhirnya keramaian pasar mengusik rasa terganggu itu. Kemacetan pasar memaksa mata saya melihat-lihat sekeliling, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan semangat menawar harga sayur-sayuran, tidak ada teori ilmu bargaining untuk urusan satu ini; yang penting kocek di kantong cukup untuk membeli semua kebutuhan. Terlihat juga pemandangan orang hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain membakul beras di bahu dan menjinjing tas penuh sayuran. Ada pula anak-anak kecil yang berjalan di sisi jalan dengan riangnya entah hendak kemana mereka.

Kemacetan yang tak kunjung selesai ini mengalihkan pandangan saya ke titik lain, kemacetan itu sendiri. Mulai dari truk besar sampai becak ada di jalan ini; jalan berlubang penuh kubangan, jalan pembeli dan penjual, jalan anak sekolahan dan jalan pekerja. Masing-masing pengendara tak sabar salip sana-sini, beruntunglah pengendara motor yang punya chance menyalip lebih besar. Saya teringat host mother saya di Amerika yang selalu berkomentar banyak jika jalanan di Houston macet -padahal buat saya itu bukan macet-; kalau saya ajak beliau ke sini, komentar beliau bisa sampai berapa halaman ya ^^ kenapa pedagang pasar bisa berjualan di jalan raya? Kenapa anak kecil bisa sebebas itu berkeliaran di pinggir jalan tanpa ada orang dewasa? Kenapa orang-orang membawa barang di atas bahu, tidak adakah alat untuk membantu? Seahli apa para pengendara jalan ini sampai-sampai menyalip dengan jarak hanya sekian milimeter? Kenapa ada tempat berjualan seberantakan ini? Kenapa jalanan rusak dan tidak ada yang memperbaiki? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang berujung pada pertanyaan besar, sedang apa para pembuat kebijakan negeri ini?


Jalan rusak yang kami tempuh tidak habis di jalanan pasar itu; lebih menyedihkan lagi ketika kami melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar sawah, jalan menuju Desa Kapaksaan. Jika bisa bicara, motor yang kami kendarai mungkin sudah mengeluh semenjak awal melewati jalan ini. Gundukan tanah kering dan basah, kubangan air, dan batu-batu yang melekat di tanah seolah menyambut dan memberi tahu kami bahwa Desa di depan jauh dari akses dan fasilitas nyaman dan layak.

Seorang tokoh di desa tersebut menyambut kami ramah. Rasanya lega untuk melemaskan otot-otot skelet yang semenjak tadi berkontraksi, menyembunyikan ion-ion kalsium ke habitat awalnya. Sosok kebapakan itu menanyakan nama saya dan satu teman saya yang baru pertama kali datang; kami pun memulai percakapan itu.

"Belum selesai...hasil kerja Bunda Tercinta kita belum selesai..atau mungkin tidak akan pernah selesai"

Beliau menyebut panggilan halus penguasa negeri kecil kami, yang dahulu membangun bangunan toilet di Desa beliau namun terhenti dengan alasan tak jelas. Tidak berbeda dengan desa Sukamanah yang saya ceritakan di awal, masalah desa ini pun tidak jauh-jauh dari akses air bersih. Rupanya pemerintah sudah menyediakan toilet namun tidak menyediakan air bersihnya.

"Sekarang jadi monumen ya, Pak" kakak senior saya berkomentar seraya tersenyum kecil.

"Yang janji pemerintah, yang kena marah penduduk bukan mereka, bukan juga kepala desa, saya yang kena marah. Silahkan, terserah teman-teman mahasiswa ini jika memang mau melanjutkan, Allah memberi rahmat yang melimpah bagi siapapun penolong"

Saat itu saya bingung harus bicara apa. Itu kali pertama saya terjun langsung untuk survey desa dan mendengarkan keluhan dari penduduk desa soal kinerja pemerintah. Alih-alih beliau menaruh harapannya kepada mahasiswa yang uang jajan saja masih dari orang tua, yang mengatur jadwal belajar saja masih acak-acakan, yang diberi amanah jadi ketua acara kecil saja masih hilang-hilangan.

Mulut lambung saya yang terbuka, secara tidak sadar menutup dengan sendirinya. Rupanya sel saraf di otak saya sedang merespon kata-kata dari bapak tokoh desa itu dan memaksa asam lambung saya untuk tidak berproduksi sementara.

"Jalanan juga rusak, lihat kan? Kita ga pernah dapat bantuan dari pemerintah, ga pernah..."
Jalan yang mana? Tentu saja jalan gundukan tanah yang menyambut kami sebelum sampai di desa.

Setelah percakapan yang cukup membuat saya berpikir, kami melihat bangunan toilet yang diceritakan oleh tokoh desa tersebut.Saya membuka salah satu pintu toilet dan melihat banyak sekali bulat-bulat hitam mengkel di lantai toilet, sudah ada yang menggunakan toilet ini, mahkluk berkaki empat penghuni desa, luar biasa. Toilet itu berdiri gagah di sebelah sekolah dasar, seperti sengaja dibangun untuk menjadi sebuah monumen bersejarah tempat study tour anak-anak sekolahan. Monumen ya...

Kemudian, mata saya tertuju ke sekolah dasar tersebut.

Empat ruangan kelas tidak terurus, bangku-bangku sekolah bisa dihitung dengan satu tangan. Foto Pak SBY melambai-lambai, lekatannya terlepas dari dinding kelas, seolah menjadi bentuk protes anak SD kepada pemimpin negerinya karena tidak diberi pendidikan yang layak. Halo adik-adikku, siapa lagi yang pantas kita salahkan? Bukan hanya pemimpin seperti pak SBY, tidakkah adik-adik melihat mobil-mobil mewah menghiasi surat kabar Radar Banten, Fajar Banten, bahkan Kompas; meninggalkan sang empunya yang mendekam di jeruji besi? Namun itu tidak seberat anak-anak pewaris negeri kecil ini, Bunda, yang engkau tinggal bahkan ketika Bunda masih duduk bertahta emas.

"Bayangin deh, kelas ini bagus loh kalo bersih, gimana kalau kita beres-beres bareng massa yang lain? Terus kita tempel poster-poster edukasi di dindingnya"

Brilian. Kalimat tersebut membuat keriput dahi saya melonggar yang sejak tadi memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk desa ini. Ide itu simple dan brilian; untuk mahasiswa seperti kami yang mungkin berat ditaruhi harapan memberikan air bersih, beres-beres sekolah bisa jadi inisiasi pengabdian kami. Penyediaan air bersih akan masuk list kami, hanya saja perlu persiapan matang dalam pelaksanaannya, tidak untuk dekat-dekat ini.

Simpul senyum tergurat di bibir kami akan ide sederhana tersebut, namun senyum tersebut berubah menjadi tawa bingung ketika kami melihat board bertuliskan "Jika Guru tidak masuk lebih dari 3 hari, nama Guru bersangkutan akan dicoret dari daftar". Setelahnya kami diberi tahu tokoh desa bahwa Guru sekolah ini mendapatkan gaji dari BOS namun sering sekali uangnya datang terlambat; mungkin ini salah satu alasan kenapa tulisan di board tersebut muncul.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya lihat di desa ini tapi waktu membatasi, akhirnya kami berpamiyan.

Halo kawan, cerita di atas mungkin bukan hanya terjadi di negeri kecil saya, bahkan saya yakin masih banyak yang lebih miris. Negeri kecil saya telah melahirkan generasi-generasi akademisi yang sedang merantau di luar negeri kecil ini, termasuk saya dan tiga orang lain yang mengunjungi desa Kapaksaan. Jika ia bisa bicara, mungkin besar harapannya kepada kami untuk mengabdi dan tidak melupakannya begitu saja; terlepas dari alasan bahwa negeri kecil lain memberikan kesempatan yang jauh lebih indah. Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi ada keluarga yang juga membutuhkan bantuan-bantuan tertentu. Kalau kata orang "benerin diri sendiri dulu, baru urus orang lain", tidak salah, tapi mau sampai kapan memperbaiki diri dikala dinamisasi dunia semakin tinggi? Cukup berat untuk memikirkan negeri kecil ini dikala banyak kesempatan-kesempatan di luar sana yang menjanjikan improvisasi diri. Bisa jadi memang berat, sangat berat untuk kembali, untuk tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun mungkin Tuhan telah sengaja mengkotak-kotakan kita dalam satu bangsa yang berbeda, komunitas yang berbeda, daerah yang berbeda. Tuhan adalah koordinator dari perbaikan semua negeri kecil di negeri ini, Dia telah membagi anggotaNya ke dalam divisi-divisi dan setiap anggota secara otomatis memiliki kewajiban di setiap divisinya, untuk suatu organisasi dunia yang rapi dan sinergis, untuk ketercapaian tujuan, yaitu pemerataan kesejahteraan duniawi menuju kebahagiaan di akhirat ;)

Memang berat untuk mengabdi di daerah asal kita. Saya pun sedang berlatih.