Jumat, 06 Maret 2015

Datulaya!!

Salah satu hal yang tidak semua unit kampus Indonesia tekuni adalah ini. Tidak pernah tahu sebelumnya bahwa kentalnya lestari budaya daerah ada di kampus ini. Namanya Sunken Court dan CC Barat; tempat berkumpulnya semua unit Budaya dari Sabang sampai Merauke; and there we are, Debust ITB yang telah berdiri sejak 2010 sebagai Unit resmi mulai menampakkan hidungnya di kampus gajah.

Di tengah budaya kampus sarat kaderisasi (osjur), periodisasi (pemira), dan apresiasi (syukwis) yang kadang buat sipit mata, dahi mengkerut, jengah rasa, lelah badan dan pikiran; buat saya, budaya yang satu ini, memperkenalkan budaya daerah, menjadi relaksasi tersendiri.

Siapa yang tahu Banten?

Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway.

Tidak sedikit komentar lucu dari teman-teman di kampus ketika tahu saya anak Debust ITB untuk pertama kalinya,
“Wuis, serem, makan beling ris?”
“Oh kamu anak Debust? Kalian beneran belajar debust ga sih?”
Sampai beberapa komentar yang makin lama makin absurd karena dengan semena-menanya teman-teman jurusan saya membuat saya dan Citra menjadi sample tipikal anak Banten -.-‘’ hahaha

Well, despite the comments, people will know eventually what Debust in ITB for real. Ya, kami perkumpulan anak Banten, yang tinggal di Banten atau lahir di Banten atau pernah tinggal di Banten atau bahkan tertarik dengan budaya Banten. Kami pun sama seperti unit lainnya yang memiliki sistem kaderisasi untuk mencari generasi baru, memiliki struktur kepengurusan, memiliki program kerja kekeluargaan, pendidikan, pengabdian masyarakat, dl; serta memiliki sekretariat tempat kami berkumpul. Kami belajar Debust? Not quite right, but yes some people do that.

This year is a milestone, another awesome breakthrough yet full of a random zig-zag processes. Ketua Debust tahun ini dengan berani mengambil tantangan untuk melakukan pagelaran Debust pertama. Saya ingat ketika hearing kala itu, I was just being me, being pessimistic; well no, everyone is just trying to be realistic by throwing a little sarcastic questions. Pertanyaan-pertanyaan seputar sumber daya manusia, budaya Banten yang entah apa, tarian yang anak Banten saja mungkin tak tahu, sejarah Banten yang seperti tertelan cerita modern lain, menjadi pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan pagelaran ini. Banten masih tergolong baru, budayanya masih banyak yang belum tahu, orang-orang pribuminya seperti saya ini makin banyak tergantikan dengan pendatang, Who will design the show then?

We do have courage. Ketua pagelaran pun terpilih, seorang perempuan asal Tangerang Selatan yang kemudian sibuk menggali Budaya Banten selama berbulan-bulan with her fantastic enthusiasm. Pedalaman baduy disantroni, berbagai sanggar dikunjungi, kesenian-kesenian batik, rumah penduduk, dan spot lain yang bisa menjadi sumber dijejaki. She did a really good job together with others.

Datulaya namanya. Sebuah ruang kekeluargaan di Kesultanan Banten. Nama ini kemudian dipilih sebagai nama pagelaran pertama kami. Banten dulu, kini, dan nanti menjadi tagline pagelaran kami; meminta kami sebagai orok Banten yang sudah dewasa untuk menggambar masa depan seraya memegang cermin; to arrange the dreams without forgetting the past; to be confidence that future will welcome us just right, oh no, it will welcome us with brightness at its best.

Datulaya memperkenalkan Banten. Kuliner, pameran budaya, serta kolaborasi drama, tarian, dan atraksi Debust dipertunjukkan. Rasa makanan Banten menjalari lidah-lidah pembeli, sure they love the foods!

Night comes and the show will start soon. I wasn’t involved in this show, but my heart beat fast when the show started, lol, andddddd you guys did amazing! Totally amazing.

I am not trying to be an annoying melancholic girl, tapi gue beneran terharu liat kalian! Bangga banget! I know how you guys arrange everything since I was invited as well in the committee group line, awalnya tak sudi untuk sekedar join grup kepanitiaan ini karena saya memang tidak bisa bantu, namun seorang teman bilang “gpp ris, supaya lo tau update pagelaran aja”. Rasa bersalah dan beban moral sering muncul ketika baca grup dan mendapati berbagai naik-turunnya kepanitiaan ini tapi belum bisa bantu apa-apa. Well, it is not a mistake after all, setiap kepanitiaan pasti ada konfliknya, setiap kepanitiaan pasti ada senangnya. Terima kasih buat siapapun yang mencoba membuat saya dan beberapa lainnya terlibat di sini, walaupun pada akhirnya saya hanya bisa bantu lewat doa, so sorry guys :’’’

Ayo sama-sama jadikan ini pelajaran. Sebagaimana ketua pagelaran kita tercinta bilang, “Datulaya itu bukan hasil, tapi proses.” Untuk saat ini saya bisa jadi tidak peduli apa itu identitas Banten, kenapa kita harus mengenalkan Banten? Apa esensi budaya sebagai identitas bangsa dan lain sebagainya. Mungkin buat saya itu proses untuk akhirnya benar-benar tahu karena sejauh ini yang saya tahu masih sebatas ‘identitas sebagai pemersatu’. Proses pun bukan hanya itu saja. Proses untuk saling mengenal kembali satu sama lain, proses untuk saling mengerti bahwa kita keluarga #tsah. Proses untuk menyadari bahwa kita anak Banten dan Banten butuh kita #ea

Siapa yang tahu Banten?
Mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi dengan konsentrasi politik dinasti paling tinggi, mungkin orang mengetahuinya sebagai provinsi yang melahirkan atraksi Debust yang ‘menyeramkan’, dan mungkin orang mengetahuinya sebagai tempat tinggal kaum Baduy. Kemungkinan ini toh bukan stereotype, that makes Banten Banten, anyway. Setelah pagelaran ini, mungkin akan ada identitas baru untuk Banten?